Berlawanan dengan kerangka waktu linear yang dicekokkan narasi kebudayaan
kini pada kita, hidup adalah serangkaian siklus. Terlebih lagi, siklus
memperlengkapi satu sama lain, tidak seperti sistem linear, yang bermula di
satu tempat dan berakhir di tempat lainnya. Kita tuai yang kita tabur yang kita
tuai yang kita tabur. Tentu saja, ini artinya dibutuhkan sejumlah perhatian
serta pemeliharaan untuk memastikan yang dituai itu bermanfaat, begitu pula
pengendalian diri yang kuat agar menjamin siklus tersebut memiliki cukup energi
untuk menyokong dirinya sendiri.
Akan tetapi, peradaban Barat telah memutuskan untuk
memperjuangkan yang linear. Kerangka ini menghendaki adanya masukan yang
sewenang-wenang, yang pada akhirnya berubah wujud dan termuntahkan sebagai
keluaran yang “tidak memiliki tempat”. Dari dalam siklus ekologis yang berjalan
diam-diam di sekitar kita, kita renggut yang kita senangi, mengolahnya melalui
rentetan pabrik, dan menikmati, untuk sesaat saja, yang keluar dari sisi
satunya. Lantas kita membuangnya, dan mulai lagi. Secara terus-menerus kita
mengambil energi, dan tidak ada yang kita kembalikan. Pada taraf tertentu,
siklus ini akan runtuh. Banyak di antaranya yang sudah runtuh.
Perilaku ini bukanlah kebetulan; bukan pula, sebagaimana yang
akan dicamkankan para pembela status quo, sifat dasar manusia. Pola pikir
tersebut sepenuhnya lahir dari kebudayaan yang mana dalam prasarananya
dibenamkan pemisahan serta pemutusan hubungan; pola pikir yang benar-benar
mesti ditinggalkan jika kita hendak memiliki harapan untuk mempertahankan,
apalagi memulihkan, keruntuhan ekologis yang kita hadapi. Sekiranya “Dalam alam
liar dunia terpelihara,” seperti yang dikatakan naturalis abad ke-19 Henry
David Thoreau, maka ucapan Wendell Berry
tidak akan terasa semakin menyengat: “Dalam kebudayaan manusia alam liar terpelihara.”
Anda mungkin bertanya-tanya bagaimana timbulnya ketakutan
terhadap alam liar ini. Tidak mengherankan, jawabannya tidaklah jelas. Charles
Eisenstein[1] menciptakan
teori menarik mengenai keterpisahan, yang memerinci peralihan kita dari bakteri
yang tenggelam dalam kemanunggalan menjadi pekerja profesional pinggir kota
yang terputus sebagaimana kita rasakan kini. Tentunya, metaformosis ini tidak
terjadi dalam semalam saja. Kita bukannya terjaga di hutan pada suatu hari,
mengumpulkan beri-berian untuk sarapan, lantas memutuskan untuk “persetan
dengan kemanunggalan! Aku ingin sikat gigi elektrik!” dan berderap keluar dari
pepohonan untuk membangun pabrik. Prosesnya jauh lebih halus daripada itu—suatu
perjalanan, perpisahan setahap demi setahap dalam waktu lama. Pengolahan api,
bahasa, waktu linear, dan pengukuran, yang menuntun pada pengembangan
pertanian, teknologi, pemerintahan terpusat, berikut media massa, semua itu
selama ribuan tahun berkontribusi pada pemisahan bertahap manusia dari Alam, masyarakat,
dan terutama, dirinya sendiri, hingga kita berakhir sebagaimana sekarang
ini—makhluk yang sepenuhnya terjerat dalam ilusi kemandirian dan keterpisahan[2]. Dari ilusi
ini lahirlah kebudayaan modern.
Kebudayaan kita sekarang ini tidaklah memelihara alam liar.
Kebudayaan kita justru merusaknya—melenyapkannya dari muka Bumi. Perusakan ini
bukan kejadian baru—perang melawan Alam dimulai sejak Penciptaan, dan sejak itu
ketakutan serta kebencian yang menggebu-gebu akan sifat kebinatangan yang tidak
terkendali dalam diri manusia telah mengejawantah di antara kita, terutama di
antara mereka yang berkuasa. Bajingan, manusia liar, orang kafir, makhluk
biadab, bangsa barbar—semua kesan ini mendekam dalam jiwa kita sebagai sosok
gelap samar-samar di mana bahaya niscaya mengintai. Perjuangan untuk
menjinakkan yang liar telah merajalela berabad-abad, sering kali dengan sadar
dan sengaja, adakalanya sekadar refleksi wajar akibat mentalitas masyarakat.
Gereja memerangi kebirahian, anismisme, ilmu sihir, dan ilmu jamu. Aristokrasi
memagari kita dari rakyat jelata. Para industrialis menyeret kita dari tanah ke
pabrik-pabrik. Bangkitnya rasionalitas dan ilmu pengetahuan menyingkirkan emosi
serta pengalaman subjektif dari tanah yang dijunjung, dan di mana-mana pria
berbuat segalanya atas kuasa mereka untuk menindas sifat alami wanita. Sebagian
memandangi dunia dan mendesakkan bahwa dewasa ini kebutuhan gencar kita untuk
menaklukan Alam tengah dipercepat—dengan rekayasa genetika, nanoteknologi, dan
pengilegalan zat-zat yang dapat mengubah kondisi kesadaran. Lantas apakah
mustahil bahwa seluruh sistem ekonomi moneter mensyaratkan kita untuk merasa tercerai
dan terpisah dari semua yang selain itu agar dapat berjalan sebagaimana
mestinya? Divide et impera. Pecah dan kendalikan. Ini tipuan lama.
Ketika kita tercerai dari satu sama lain berikut Alam, dengan gampangnya kita
ditaklukkan.
Seberapa berhasilnya itu? Perkenankan saya menanyakan ini
pada Anda. Berapa banyak di antara Anda yang memandang diri sendiri sebagai
makhluk yang hebat dan bersemangat, enkapsulasi agung atas seluruh alam semesta?
Berapa banyak di antara Anda yang merasa hidup di dunia yang senantiasa
mengukuhkan dan merayakan keindahan, kepedulian, belas kasihan, serta
spontanitas yang sanggup diperbuat kita semua? Berapa banyak di antara Anda
yang merasa hidup di dunia di mana kejujuran dan kreativitas dianggap lebih
penting daripada detak jam, atau membayar tagihan? Saya kira tidak banyak.
Namun siapa yang menyangsikan bahwa hidup di dunia serupa itu akan menjadikan
kita lebih bahagia, dan lebih puas?
Alam liar merentang jauh lebih mendalam daripada ruang fisik.
Alam liar—sifat liar—merupakan esensi, yang ada dalam kita semua. Kita tidak
dapat menyentuhnya, namun kita mengetahui keberadaannya, kita mengetahui
rasanya. Saya bisa menunjukkan bahwa sifat liar merupakan keadaan menghayati
dan berpartisipasi dalam kemanunggalan, dan bahwa penggunaan uang, selaku alat
pemisah, pada dasarnya menghalangi kita dari mengalami keadaan tersebut.
Perkenankan saya mengajukan beberapa pertanyaan lagi. Di
balik deru mesin, apakah Anda merasakan sakitnya hutan purba kala dirobohkan ke
tanah, berikut suaranya, aromanya, serta kemegahannya yang raib selamanya? Di
luar silaunya pembangunan mutakhir, apakah Anda merasakan kehilangan saat ada
satu spesies yang menghilang, berikut perspektif dan pemahamannya yang unik
terhadap kehidupan yang pergi tidak akan kembali? Di bawah gemuruh tambang
emas, bisakah Anda mendengar gema tangisan pilu seluruh kebudayaan yang dulunya
berada di sana?
Bagi banyak orang—miliaran, jika yang sudah mati dihitung
juga—jawabannya “ya” yang sarat kepedihan dan kesedihan. Namun bagi kita yang
merupakan warga kota di dunia “maju”, saya yakin jawabannya “tidak” yang segan
kemalu-maluan. Kita tidak dapat mendengar jeritan, pun merasakan kepedihan,
karena kita—semuanya—tidak diprogram demikian. Ketulian dan kebekuan rasa
diperlukan untuk memelihara sistem moneter berbasis globalisasi, dan diiringi
tarian ayam serta telur yang mengasyikkan namun keji, kita telah menyelubungi
diri dalam kebudayaan yang memperkuat dan memperkokohnya. Yang berdiri di
tengah-tengah tarian ini, dengan beskap berkilauan dan kedua lengannya teracung
jaya, ialah uang.
[1] Eisenstein, Charles (2007). The Ascent of Humanity. Panenthea.
[2] Pemahaman akan proses pemisahan ini penting bagi siapa pun
yang ingin memahami bagaimana kita sampai pada keadaan sekarang. The Ascent of Humanity oleh Charles
Eisenstein merupakan karya orisinal yang sangat penting dan berpengaruh dalam
semangat ini, dan merupakan bacaan esensial mengenai persoalan ini. Buku ini
juga tersedia di internet menurut “semangat berbagi” yang diamalkan sendiri
oleh Eisenstein dengan berani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar