1 Nantinya teringat oleh dia bahwa saat
itu malam tanpa tidur yang janggal.
Sanogawa Shinsha telah lelap di
tempat tidur sembari mendekap naskah di dadanya ketika datang kabar bahwa
adiknya, Tojaku, baru meninggal dalam kecelakaan mobil.
Shinsha dan istrinya, Chisa,
tidur bersisian masing-masing di ranjang rendah yang serupa. Kamar mereka
didekorasi dengan gaya campuran Jepang dan asing. Karena Shinsha punya
kebiasaan membaca naskah, menghafal dialog, dan merancang lakon sampai larut
malam, tabir antik dengan lukisan monokrom dari Chobunsai Eishi tegak di antara
kedua tempat tidur itu untuk mengelakkan cahaya.
Shinsha memandangi naskah drama
baru di mana ia akan memerankan tokoh utamanya. Hujan monsun yang bertalu-talu
baginya terdengar bak keluhan nenek-nenek yang murung lagi menjemukan,
sementara desir lembut napas Chisa selagi tidur memunculkan bayangan gadis yang
tertidur nyenyak dalam benaknya. Sehabis membaca babak kedua, ia mulai
menerawang ke sosok pelacur yang tengah berdiri seraya melipat kelim jubahnya
pada tabir.
Tabir itu telah dimiliki
keluarga Sanogawa selama beberapa generasi. Shinsha merasa terhubung secara
intim dengan tabir itu sejak kanak-kanaknya. Sejak lama ia merasa si pelacur
cantik telah membantu dia menyempurnakan keseniannya. Kadang kala, ketika
sedang selingkuh, ia merasa si pelacur memahami emosi yang tak mungkin ia utarakan
pada istrinya.
Biasanya ketika memandangi
sosok pada tabir itu, ia mulai merasa mengantuk. Maka ia mematikan lampu dan
dengan segera hanyut dalam tidur. Namun malam itu, entah mengapa, saking lelah
tubuhnya malah tegang dan ia baru tertidur setelah beberapa lama bolak-balik di
kasur.
Shinsha mendengar dering
telepon seolah-olah datangnya dari tempat jauh. Ia mendengar suara Chisa yang
nyaring berteriak, “Sayang, sayang!” Ia merasakan pundaknya direnggut. Tangan
istrinya gemetar namun anehnya kaku bertenaga.
“Apa? …. Ada apa? …. Teleponnya?” tanya Shinsha dengan
suara goyah.
“Sayang … ada berita buruk. Katanya Kiichan meninggal.”
Seakan-akan hanya pesan itu
yang sanggup terkatakan oleh Chisa, istrinya mendadak roboh di samping tempat
tidur. Kiichan kependekan dari Kikuo, nama saudara tiri Shinsha. Nama panggung
Kikuo di teater Kabuki adalah Tojaku.
“Apa? …. Tidak mungkin …. Kau bercanda.”
“Kalau saja itu hanya gurauan ….”
Tampak Chisa berpegangan pada
ranjang, susah payah berusaha menyangga tubuhnya. Pundaknya berguncang-guncang
di balik kerah jubah musim panas bermotif merah muda. Seketika Shinsha merasa
kata-katanya tak berguna dan menyadari dua hal: ia mesti menerima kenyataan
akan kematian Tojaku sebab peristiwa mengerikan itu memang sungguh terjadi; dan
ia takut besarnya luapan emosi Chisa membuat istrinya itu kewalahan.
“Siapa tadi yang menelepon? Apa masih tersambung?”
“Mitsuyo … ia bilang Kiichan
kecelakaan mobil.”
Setelah menenangkan istrinya sebaik
mungkin dengan mengelus pundak wanita itu, Shinsha mengangkat gagang telepon
yang jatuh di lantai bawah meja.
“Halo.”
“Oh, tuan. Ini Tsunekichi.”
Suara tersebut bukan dari istri Tojaku, Mitsuyo, melainkan pembantu
laki-lakinya.
“Tsune? Apa yang terjadi? Kaget aku.”
“Iya, tuan. Tadi nyonya yang
bicara, tetapi ada orang dari rumah sakit yang datang.”
“Katanya itu kecelakaan mobil ….
Apa ia tabrakan malam tadi?”
“Ya. Ketika menabrak truk, tuan
dalam perjalanan pulang dari studio televisi dan menyetir mobil sendirian.”
“Apa? Ia yang menyetir? Bukankah studio ada sopir untuk
dia?”
“Ya, tetapi entah mengapa tuan
bersikeras menyetir sendiri malam ini. Tuan menolak mobil yang sudah disiapkan
studio.”
“Oh, begitu,” sahut Shinsha,
menebak bahwa adiknya, aktor muda yang sedang naik daun, mestilah punya tujuan
selain pulang.
Kecelakaan itu terjadi dekat
Akasaka-mitsuka. Tojaku dibawa ambulans ke rumah sakit terdekat, namun begitu
ambulans tiba di rumah sakit, ia sudah tidak bernyawa. Luka luarnya ringan,
namun agaknya hantaman keras pada dada menyebabkan jantungnya berhenti.
“Keadaannya buruk … Nyonya
belum sempat melihat tuan, reporter televisi dan surat kabar sudah berkerumun
di mana-mana.”
“Pastinya.”
Selagi menyimak, Shinsha
berpikir bahwa sebaiknya ia juga buru-buru ke rumah sakit. Ia menutup telepon
dan berpaling ke tempat yang mana baru sejenak lalu Chisa terbaring ambruk
kepayahan. Wanita itu sudah tidak ada. Terlepas di lantai dan terarah ke pintu
tergeletak ban pinggang tenun tipis dari Hakata, selembar benda panjang
berwarna ungu dan putih.
“Kacaunya,” ucap Shinsha.
Jantungnya berdebar. Ia tahu murid serta pembantunya akan bangun menjawab
panggilannya jika ia berteriak, namun ia enggan ada orang lain sebelum ia dapat
menenangkan Chisa.
Mencari-cari istrinya, Shinsha
memasuki koridor yang dari kamar tidur mengarah ke ruang tamu dan tanpa sadar
menyalakan lampu-lampu, seakan-akan hendak menghalau bayangan-bayangan serupa
hantu yang bersembunyi di kegelapan. Seperti yang telah diduganya, cahaya
menyorot dari lemari di ruang sebelah. Laci paling atas pada lemari terbuka.
Dari situ terjuntai pakaian dalam Shiozawa milik Chisa serta kimono sutra tipis
berpotongan kecil. Chisa merosot di depan lemari berlaci itu, mengenakan
pakaian dalam panjang berpola pusaran air biru pucat pada latar putih. Agaknya
ia pingsan ketika mengeluarkan kimono dari laci. Bagi Shinsha, bahu montok
istrinya yang terbalut dalam biru dan putih menyerupai ikan mati yang bengkak
dengan perut menghadap permukaan di kolam. Perhatiannya kepada Chisa dengan
segera berganti menjadi amarah. Akan tetapi, karena takut akan terjadi
keributan jika ia tidak menahan kedongkolannya yang memuncak, Shinsha
mengerahkan kendali selayaknya pria paruh baya seperti dirinya.
“Ayolah, kendalikan dirimu,”
ucapnya dengan suara selembut yang dapat ia keluarkan. Ia menepuk pelan bahu
istrinya, tanpa benar-benar mengelus wanita itu. Barangkali ini imbas tak
terelakkan dari menjadi seorang aktor hingga ia merasa seolah-olah tengah
memainkan suatu peran: penjahat yang sedang berusaha untuk memperdaya karakter
yang naif.
“Kau pusing karena syok. Maukah
kuambilkan anggur?” Shinsha mengangkat bagian atas tubuh Chisa ke pangkuannya
dan menatap wajah istrinya yang tanpa ekspresi. Bibir putihnya yang membengkak
tampak bak ulat sutra.
“Tadi aku hendak mengenakan kimono … lantas aku merasa
pusing.”
“Sepertinya kau mau ke rumah
sakit, ya? Kalau begitu, aku juga pergi. Sebaiknya memang kau minum dulu.
Kecuali kau bisa mengendalikan diri, kau tidak akan sanggup mengemudikan
mobil.”
Dengan gigih Shinsha berhasil
memaksa Chisa mengangguk menyetujui. Ditopang tangan Shinsha, Chisa meminum
segelas anggur yang dibawakannya dari bar di ruangan sebelah.
“Aku akan memanggil pembantu. Tenanglah dulu.”
“Tolong jangan panggil siapa-siapa,” Chisa memohon.
“Tetapi kita harus panggil
orang,” sahut Shinsha, dengan kuat memegangi tangan istrinya, seraya menatap
dalam-dalam mata Chisa. “Pertama, mobilnya mesti disiapkan lebih dahulu
dan—Sayang, aku tidak berkeberatan kau ke rumah sakit, namun jangan lupa di
sana akan ada banyak orang tak dikenal. Pastilah kita akan dikepung gerombolan
penyiar radio dan reporter surat kabar, yang wajar terjadi ketika aktor muda
populer seperti Tojaku tiba-tiba meninggal. Aku akan mengurus para pencari
berita itu, kau tidak usah berkata apa-apa. Tetapi ingatlah betapapun kacaunya
perasaanmu, jangan sampai hilang kesabaran. Itu tidak ada gunanya bagi Kikuo,
istrinya, ataupun anak-anak kita, dan malah menimbulkan masalah bagi semua
orang. Tolong camkan baik-baik, ya? Mengertikah kau? Kau putri keluarga
Hamamura, dan sebagai istriku kau harus berperilaku sepantasnya dalam situasi
seperti ini.”
Walau bersikap demikian,
Shinsha tersenyum pahit akan caranya berbicara. Tidak biasanya ia mengucapkan
kata-kata semacam itu, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun di atas
panggung. Ia menyadari sumber ketenangan yang telah menguasai perasaannya serta
mewujudkan diri dalam seulas senyum kecut. Ia membatin, mengapa Chisa begitu
terusik oleh kematian adik tirinya, yang tidak bertalian darah dengan istrinya
itu?
Shinsha berusia dua puluhan
tahun lebih tua daripada saudaranya, Tojaku. Ayah mereka—yang nama panggungnya
juga Shinsha—pada usia senja memiliki kekasih yang cukup muda untuk menjadi
cucunya. Kikuo adalah buah hati mereka. Ketika wanita muda itu menikah setelah
kematian ayah Kikuo, anak itu diambil oleh keluarga ayahnya. Pada waktu usianya
empat belas atau lima belas tahun, ia sudah terlihat amat tampan. Di panggung
ia dapat menari dengan baik, cakap memerankan perempuan, dan, terlepas dari
minimnya pengalaman, penuh perhatian pada detail keahliannya. Kikuo yang cepat
dewasa segera memperoleh banyak penggemar yang membandingkan ketampanannya
dengan sakura yang mekar saat malam, meskipun ia memendam kesenduan yang
melekati kehidupan anak yatim. Ia diberikan nama panggung Tojaku—nama lainnya
yang biasa digunakan oleh keluarga Sanogawa—dan baru menikahi Mitsuyo tiga atau
empat tahun lalu.
Chisa juga keturunan keluarga
Kabuki yang termasyhur, keluarga Hamamura. Ayah Chisa, Hamamura senior,
mendukung karier Shinsha dan yakin bahwa ia dapat menjadi aktor terkemuka. Karena
itulah, Shinsha menghormati Chisa dan keluarganya. Kehidupan pernikahan mereka
pun berjalan dengan baik-baik saja. Istrinya bergaul baik dengan orang-orang,
tanpa bersandar pada pengaruh kedua orang tuanya melainkan mendudukkan berbagai
persoalan secara riang dan pada tempatnya. Walau demikian, berkenaan dengan
profesinya sebagai aktor, perselingkuhan Shinsha tak terhitung, yang sering
kali membuatnya tidak pulang saat malam.
Terlepas dari pola kelakuannya
sendiri, awalnya ia malah tidak menyadari bahwa telah lama Chisa dan Tojaku
menjalin hubungan yang lebih daripada sekadar saudara ipar. Hubungan ini
dimulai sejak Tojaku masih dipanggil Kikuo. Keduanya menghindari pertemuan
sebab mereka sangat berhati-hati. Akan tetapi, pada akhirnya, Shinsha diberi
tahu mengenai hubungan keduanya oleh Torisu Kishi, kepala rumah tangga.
Kishi anak perempuan pembuat
wig yang dibesarkan di Shitamachi. Ia menghabiskan masa terburuk dalam
tahun-tahun peperangan dengan merawat kedua orang tuanya yang lanjut usia.
Sekarang setelah melewati usia kawin, ia memiliki perasaan luar biasa tajam
terhadap hubungan romantis. Ia tidak mendapati hubungan di antara Kikuo dan
Chisa dengan menangkap basah mereka. Alih-alih, ia membuat simpulan dari
pertimbangan cermat yang bisa dibilang sangat ilmiah. Ketika pertama kali Kishi
memberi tahu Shinsha mengenai istri dan saudara tirinya, Shinsha menghardik dia
karena memfitnah keduanya. Namun saat Chisa menjalani opname selama satu dua
bulan setelah operasi batu empedu, tingkah laku Kiko menjadi aneh. Akibatnya
Shinsha menyadari bahwa betapa Kikuo pada usianya telah tertarik secara obsesif
pada wanita yang lebih tua.
Karena Shinsha sendiri terlibat
dalam banyak perselingkuhan, ia tidak sebegitu terusik oleh terungkapnya
hubungan ini selayaknya suami pada umumnya. Dengan mudah ia dapat memahami
cinta Chisa pada Kikuo, yang lebih muda empat belas atau lima belas tahun. Ia
juga dapat memahami rumitnya perasaan yang menggiring Kikuo hingga menanggapi
Chisa. Malah, Shinsha agak menghargai kehati-hatian keduanya untuk menghindari
kecurigaan. Sementara tinggal di rumah yang sama, mereka mengelabui semua orang
kecuali Kishi.
Shinsha mendapati Kikuo mampu
mengendalikan hasratnya dalam usianya yang baru dua puluh tahun, dan dengan
demikian tidak menampakkan emosinya secara canggung. Apakah Kikuo cepat dewasa
karena ketampanannya yang menawan telah menjadikan dia objek berahi begitu
banyak wanita? Shinsha pernah berpikir, Kikuo mungkin seorang bajingan, namun
dengan kemampuan sedemikian ia dapat menjadi aktor yang sangat cakap, seraya
menganggukkan apresiasi menyimpang akan kecerdasan Kikuo.
Setelah mengetahui perselingkuhan
keduanya, Shinsha tidak mengubah sikapnya terhadap Chisa. Walaupun ia dan Kikuo
berbeda ibu, Kikuo adalah saudara sedarah. Barangkali perasaannya terhadap
Kikuo unik sebab mereka aktor Kabuki yang sering kali berperan sebagai sepasang
kekasih dan berangkulan di panggung.
Shinsha merundingkan dengan
Chisa segala persoalan mengenai pemilihan nama panggung Kikuo hingga
pernikahannya. Chisa sendiri tidak pernah berusaha merintangi rencana
pernikahan Kikuo. Kedua peristiwa itu terjadi dalam rentang setahun, dan
setelahnya Kikuo meninggalkan rumah Shinsha untuk berumah tangga sendiri. Sejak
itu, tiga tahun berlalu. Popularitas Tojaku melangit dan Mitsuyo telah
melahirkan seorang putra, Osamu.
Ketika Tojaku mulai tinggal
terpisah, Chisa tidak lagi harus mengasuh dia. Walau begitu, Shinsha sulit
menaksir hubungan mereka selanjutnya, kendati terbiasa oleh hubungan romantis.
Ia membiarkan Chisa berbuat sesukanya, dengan menganggap bahwa istrinya akan
mengakhiri hubungan itu sebab sudah bukan umurnya Tojaku butuh dimanjakan oleh
wanita yang lebih tua. Akan tetapi, Kishi bersikeras bahwa hubungan mereka
belum berakhir. Begitu sudah memutuskan, Kishi keras kepala dan teguh
pendirian. Namun tidak seperti wanita lain, ia tidak berwatak penggosip yang
mesti memberitahukan rahasianya kepada orang lain dan tak mampu memendamnya
sendiri. Karena dibungkam oleh Shinsha, Kishi dapat mengubur rahasia itu di
hatinya selama bertahun-tahun.
Selepas pukul dua pada malam
kejadian itu—ketika seluruh rumah menjadi gaduh karena melihat Shinsa dan Chisa
pergi ke rumah sakit—dengan berhati-hati Kishi menarik lengan baju setelan
Shinsha. “Karena nyonya, ya?” tanyanya dengan tatapan sengit. “Bahaya kalau
media sampai tahu.”
2 Saat itu sudah hampir fajar
ketika jasad Tojaku dibawa ke rumahnya.
Selama empat hari menjelang
pemakaman, kelompok-kelompok pelayat menjadikan rumah Tojaku hiruk-pikuk,
sehingga Mitsuyo yang mendadak janda tidak berkesempatan untuk mengheningkan
cipta atas kepergian suaminya.
Kematian mendadak seorang aktor
muda pada puncak ketenarannya juga tersiar di antara orang-orang yang tidak
berhubungan dengan teater. Karena kecelakaan terjadi saat Tojaku menyetir
pulang, mustahil memperoleh penjelasan mengenai kejadian sebenarnya. Kecurigaan
konyol bahwa itu peristiwa bunuh diri hanyalah delusi orang-orang yang syok
atas kematiannya yang tiba-tiba.
Selama empat hari itu, para
kerabat serta pendukung setia keluarga Sanogawa memenuhi rumah, menyambut para
tamu, serta membantu persiapan pemakaman. Sebagai kakak mendiang, Shinsha
dimintai pendapatnya atas segala persoalan. Paling tidak, untung bulan ini ia
tidak sibuk dengan pertunjukan.
Mitsuyo dan putranya, Osamu,
duduk saja dalam waktu lama dengan kepala menunduk. Alhasil, tugas mengatur
berbagai urusan jatuh pada Chisa, meskipun di balik layar. Para tamu dan
kenalan dari teater yang banyak itu harus disuguhi makanan, dan pelanggaran
etiket dapat mempermalukan seluruh keluarga di mata masyarakat. Seorang pria
bernama Takagi, yang bertindak sebagai semacam manajer di keluarga Sanogawa,
membantu Kishi mengatur sejumlah persoalan, namun ketika ada silang pendapat,
terserah pada Chisa untuk menentukan keputusan. Wanita yang sempat pingsan
akibat syok dan kepedihan akan berita kematian Tojaku entah bagaimana telah
meneguhkan hatinya begitu tiba di rumah sakit dan menyaksikan jasad serta wajah
tampan yang tak tersentuh. Sekarang ia bergairah dan cepat tanggap,
hampir-hampir lincah.
Kishi sendiri orang yang cerdas
serta pekerja yang teramat cermat. Namun mengetahui perselingkuhan Chisa dengan
Tojaku tidak memberi dia keuntungan melebihi majikannya itu sebab Chisa
menyadari transaksi gelap Kishi di dapur Sanogawa dengan pedagang tertentu.
Kishi menganggap Chisa lihai karena diam saja atas kejadian yang ia pergoki.
Dari sejak Kishi mendengar kabar kematian Tojaku—dan seiring dengan tersaputnya
rumah oleh warna-warna perkabungan, terperangkap di antara kesemrawutan dan
seremoni—ia sangat tertarik akan cara Shinsha dan istrinya menangani berbagai
persoalan. Ia penasaran menyaksikan perubahan macam apa yang akan menghampiri
Chisa, dan bagaimana perubahan itu akan memengaruhi Shinsha.
Kishi sendiri meyakini bahwa
Chisa bertemu dengan Tojaku beberapa hari sebelum kecelakaan itu. Malah,
pertemuan itu terjadi di kamar tidur Shinsha sendiri. Keduanya telah mengatur
supaya gerbang taman di belakang kamar tidur tidak terkunci. Pada sore hari
itu, Kishi menemani Shinsha ke pembukaan teater yang baru dibangun milik sebuah
perusahaan surat kabar. Saat Kishi kembali ke rumah mendahului Shinsha, ia
menyadari bahwa Tojaku baru dari sana. Ia satu-satunya yang mengetahui bahwa
kedua orang itu kadang menggunakan kamar itu untuk janji pertemuan mereka.
Dengan kematian Tojaku, rasa penasaran Kishi meningkat. Namun selama tiga hari
mendatangi rumah Tojaki dengan Shinsha dan Chisa untuk membantu sang janda,
Kishi kecewa sebab Chisa selalu berhasil menghindari dia, padahal mereka terus
bersama-sama.
Saat Kishi dan Takagi menghadap
Chisa untuk meminta petunjuk dalam mengurus tugas yang sulit, Chisa mengejutkan
mereka dengan kelancaran dan pertimbangannya yang tajam. “Tidak terlihat dari
penampilan luarnya, nyonya Chisa itu sebenarnya kuat, ya?” Takagi berkata
dengan ekspresi wajah berlebihan menirukan pelakon Kabuki yang diakrabinya.
“Dengan watak seperti itu, ia terlihat persis betul dengan ibunya, istri
Hamamura yang dulu. Ia sama sekali bukan nyonya muda yang manja.”
Kishi mendengarkan penilaian
Takaji dengan raut mafhum. “Anda benar, Tuan Takagi,” sahutnya dengan senyum
penuh arti. “Nyonya kami memang aktor yang lebih cakap daripada tuannya!”
Dalam tubuh paruh baya Chisa
yang putih gemuk mengalir darah biru kental keluarga yang telah menghasilkan
bergenerasi-generasi aktor Kabuki ternama. Hingga garis darah yang apik itu
tahu-tahu menampakkan diri dalam situasi ini—bagaimanakah metamorfosis
sedemikian terjadi? Boleh jadi malah bukan kasih sayang sejati atau cinta
romantis yang dirasakan Chisa pada Tojaku, melainkan sekadar ketertarikan pada
kemudaan dan ketampanan lelaki itu. Kalau memang demikian, selanjutnya tidaklah
begitu sulit bagi Chisa—meskipun boleh jadi ia memang merasakan dukacita—untuk
mempertahankan pembawaan diri yang sepantasnya atas posisinya sebagai istri
Shinsha.
Sembari terus bermanuver
menembus impitan orang-orang di rumah yang hiruk-pikuk itu, tanpa henti Kishi
mengerami berbagai pertanyaan, yang jawabannya tersembunyi di balik kekusutan
hati Chisa.
3 Kendati sibuk, Kishi semakin
penasaran saat seorang wanita muda bernama Yukiko secara berhati-hati memanggil
di pintu belakang. Yukiko, yang bekerja di stan camilan di Teater S, baru-baru
ini telah membangkitkan gairah Tojaku. Tojaku menyembunyikan perselingkuhan
dengan Yukiko, namun perbuatan diam-diam itu malah mengipasi kobaran hasratnya.
Pada malam kecelakaan itu, ia sedang dalam perjalanan menuju apartemen dekat
Shibuya untuk mengunjungi Yukiko. Yukiko tidak memiliki perantara yang dapat
memperkenalkan dia ke rumah tempat istri dan anak Tojaku tinggal, namun wanita
itu merasa bertanggung jawab atas kematian nahas lelaki itu dan terdorong oleh
pikiran bahwa ia tidak dapat melanjutkan hidup tanpa menyaksikan wajah
kekasihnya sekali lagi.
“Tidak mungkin saya dapat
membicarakan ini pada janda nyonya rumah,” jawab Takagi saat Kishi mengangkat
persoalan ini padanya. “Dan kalau sampai kabar perselingkuhan ini terdengar, bisa
dibayangkan betapa kacaunya beliau. Saya pikir tindakan yang tepat adalah
mempertemukan wanita itu dengan anggota rumah utama.” Kishi menyetujuinya
sebagai jalan terbaik. Saat itu, Shinsha dan Chisa sama-sama sedang
beristirahat di ruang tamu sementara jeda menjagai jenazah. Maka Kishi masuk ke
ruangan itu, kemudian dengan suara pelan ia menyampaikan keadaan itu.
“Jangan sampai Mitsuyo
mengetahui ini,” ujar Shisha, yang berpakaian haori sutra dengan hakama
senada. Haori tersebut disulam dengan
lambang keluarga. “Sudah kuperkirakan bahwa hal seperti ini mungkin terjadi.”
Sementara duduk tegak lurus dengan gaya aktor, ia menjentikkan abu dari
rokoknya ke asbak. Pandangannya terarah kepada Chisa, yang mengenakan jubah
berkabung informal berwarna ungu pudar dan duduk di sampingnya seraya meminum
teh hijau.
Setelah menyaksikan betapa
kalutnya Chisa saat mendengar kabar kematian Tojaku, Shinsha menjadi lebih
terkejut lagi daripada Kishi akan ketenangan dan energi wanita itu setelahnya.
Bagi Shisha, istrinya terlihat seolah-olah dikuasai suatu arwah. Setelah
kekalutan sedemikian ekstrem, bagaimanakah Chisa mampu mengendalikan emosinya
secara cekatan dalam waktu sedemikian singkat? Ketika mengamati Chisa dari
jarak dekat sementara istrinya itu tanpa cela menyambut para pelayat sebagai
istri kakak mendiang, Shinsha mendapati dirinya entah mengapa tergugah. Ia
merasa seakan-akan tengah menonton penampilan brilian dari sesama aktor.
Pikirnya, jika ini memang
pertunjukan, maka itu sungguh suatu pencapaian. Dan jika pun ini bukan
pertunjukan, maka Chisa merupakan wanita lancang yang telah mempergunakan
Tojaku sebagai mainan.
Dari sejak Shinsha mulai
mempercayai laporan Kishi atas perselingkuhan itu sampai baru-baru ini, ia
lebih terkesan akan kehati-hatian saudaranya daripada istrinya. Dan dalam
situasi yang sekarang, berkenaan dengan kegemarannya sendiri dalam bermain
wanita, Shinsha merasa lebih nyaman menyimpulkan bahwa Chisa pun sekadar
bermain-main dengan Kikuo yang lebih muda.
Namun Shinsha telah menyaksikan
istrinya benar-benar goyah saat pertama kali mendengar kematian Tojaku, dan mau
tak mau ia menafsirkannya sebagai bukti cinta yang tak tersembunyikan. Ia mesti
menelan pedihnya mengetahui bukti tersebut seolah-olah ada benda persegi
dicekokkan ke kerongkongannya. Itulah sebabnya ia berbicara kepada Chisa dengan
kikuk, dengan nada memperingatkan yang sebelumnya tidak pernah ia gunakan
terhadap istrinya itu.
Di sisi lain, Chisa terlalu
mendadak pulih dari syok itu. Setelah datang ke rumah Tojaku, ia menenangkan
Mitsuyo yang berurai air mata dan menitikkan air mata secukupnya saat membelai
kepala Osamu yang lugu. Kemudian, seakan-akan sambil mengenakan topeng keberanian
yang diperlukannya dalam situasi sedih ini, dengan sepantasnya ia menampakkan
mata yang sembap memerah sementara menyambut berbagai tamu dan anggota
keluarga. Chisa bersikap dengan gaya yang sungguh tanpa cela, selayaknya
seorang istri dari kakak mendiang, dan malah lebih besar lagi martabat serta
kesopanan yang ditampakkannya selaku istri kepala keluarga Sanogawa saat ini.
Shinsha membatin, jika ini lakon, maka ayah Chisa—dengan segala keahliannya
berteater—sungguh orang tua yang bodoh karena tidak melatih putrinya sebagai
aktris. Seketika itu, dengan gabungan antara kedegilan dan perhitungan yang
mencoraki orang-orang seni drama, Shinsha berpikiran bahwa ia ingin melihat
kemampuan Chisa diuji melawan wanita muda itu, Yukiko.
Shinsha menyuruh Kishi membawa
Yukiko ke ruangan kecil di lantai dua tempat ia dan Chisa duduk bersisian. Di
tengah-tengah keripuhan di hampir seluruh rumah itu, ruangan tersebut menjadi
suaka. “Mohon maaf ruangannya sesak,” Chisa meminta maaf, “tetapi tidak ada
tempat lain yang leluasa untuk berbicara.” Yukiko yang sungkan berbicara duduk
dengan kepala menunduk. Wanita itu menatap lututnya, yang menyembul dari rok
hitam ketat pendek. Ketika melihat payudara Yukiko yang padat nyaris meledak
dari kelim blus tipis musim panas yang dikenakannya, Shinsha merasa memahami
ketertarikan Tojaku pada wanita muda yang mungil ini.
“Sepertinya pada malam itu
Kikuo tewas dalam perjalanannya mengunjungimu, benar begitu?” Setiap sepuluh
pertanyaan yang diajukan dengan cara ini ini oleh Shinsha disambut oleh hanya
empat atau lima jawaban canggung. Di balik keragu-raguan Yukiko, Shinsha bisa
merasakan kasmaran yang dialami Tojaku selama tiga atau empat bulan perselingkuhan
tersebut. Jelaslah, Tojaku sangat takut perselingkuhan itu diketahui.
“Mmm … ia selalu bilang lebih
gawat jika kakaknya memarahi dia daripada kalau istrinya yang tahu … dan ia
sering membicarakan Anda. Saya, hari ini, … terpikir oleh saya bahwa saya bisa
mengandalkan kakaknya dan istri … dan kalau Anda berdua maklum, maka pastilah,
saya pikir, saya mungkin dibolehkan untuk melihat jenazahnya.”
Setelah mengatakan sebegitu
banyak, wanita muda itu tahu-tahu dikuasai emosi dan mulai terisak. Kedua
tangannya menutupi wajah, dan air mata menetes dari sela-sela jemarinya.
“Apa, ya, yang bisa kami
lakukan. Tentu saja kami tidak dapat membicarakan ini dengan Mitsuyo ataupun
orang tuanya ….” Shinsha melipat kedua lengannya. Ketimbang mengamati Yukiko,
ia memancangkan matanya pada Chisa, supaya tidak meluputkan sedikit pun
perubahan pada raut wajah istrinya sementara wanita muda itu membicarakan
tentang keadaan-keadaan dalam hubungan asmaranya dengan Tojaku.
“Ini sangat menyedihkan,” ucap
Chisa. “Mari kita biarkan ia menemui Tojaku.” Seraya membalas tatapan suaminya,
ia melanjutkan. “Aku tahu akan kacau jika ayah Mitsuyo atau orang lainnya nanti
mengetahui soal ini dan mengeluh, sehingga kau bisa berpura-pura tidak
mengetahui masalah ini, sayang. Bagaimana kalau kita katakan saja bahwa cuma
kita yang menangani persoalan ini—hanya aku dan Kishi? Sebentar lagi, pendeta
akan selesai membacakan sutra kedua,
maka kemungkinan para tamu akan pindah ke lantai dua. Ada karangan bunga di
mana-mana, jadi kalau kita memutar secara berhati-hati lewat belakang dan
membuka penutup peti jenazah, tidak akan ada yang tahu. Kita akan menyuruh
pengurus pemakaman memberi tahu kalau ada yang bertanya bahwa kita sedang
mengganti es kering.”
Perkataan Chisa sungguh lancar
tanpa tersendat hingga Shinsha merasakan kebencian belaka kepada istrinya.
“Maukah kau melakukan itu untukku?” tanyanya. “Aku akan berterima kasih bisa
berpura-pura tidak mengetahui seluruh persoalan ini.”
“Ya, tidak apa-apa,” sahut
Chisa pada suaminya sebelum beralih kepada wanita muda itu. “Kita bisa
mengobrol lagi pada waktu luang setelah pemakaman, Yukiko, namun untuk
sekarang, demi Kikuo, tolong lakukan tepat seperti yang kami minta dan jangan
mengatakan apa pun kepada siapa pun. Kita harus berhati-hati. Sebab ia aktor
yang sangat populer, media akan mengawasi dengan ketat.”
Di sela-sela tangisannya, Yukiko mengangguk memahami.
Sekitar setengah jam kemudian,
setelah memastikan bahwa pelayat telah berkurang, Kishi dan Chisa membawa
Yukiko—sembari berpura-pura membantu asisten pengurus pemakaman mengisi ulang es
kering—ke ujung panggung tempat peti jenazah.
Secara berhati-hati si asisten
menyisikan pelapis kaca persegi dari kepala peti jenazah kemudian melangkah
turun dari panggung rendah tersebut. Mengikuti Chisa, Yukiko melangkah naik ke
platform, dan melihat wajah Tojaku yang tenang dalam peti jenazah berimpitan dengan
kantung-kantung es kering. Tojaku diberi riasan tipis dan terlihat bak boneka
lilin.
“Ahhh.” Rintihan lepas dari mulut Yukiko.
“Tenanglah. Jangan menangis,”
perintah Chisa dengan suara yang begitu dingin sehingga terdengar bengis.
Lantas, tanpa ragu-ragu, ia mengambil tangan Yukiko dan secara diam-diam
menjulurkannya ke bawah kaca. Bersama-sama kedua wanita itu menyentuh pipi
Tojaku dengan jemari mereka.
“Lihat kan, sudah begini
dingin. Malah lebih dingin daripada es. Kau mesti menerima kematiannya—sudah
jelas?”
Yukiko telah menyerahkan kedua
tangannya pada Chisa seakan-akan ia tak sadarkan diri. Saat melangkah turun
dari panggung, ia terhuyung-huyung lalu terjatuh.
“Tahanlah! Jangan lupakan
rasanya pipi Kikuo yang dingin,” bisik Chisa di kuping Yukiko sembari menopang
wanita muda itu di dadanya.
Sementara punggung kedua wanita
itu menyatu beberapa saat, Kishi memandangi dengan kesungguhan yang sama
seperti kepada pertunjukan panggung yang luar biasa. Tak ternyana, ia mendapati
Shinsha tengah berdiri di dekat tabir shoji,
menatap dengan penuh perhatian kepada dua wanita yang berangkulan erat itu.
Kendati Shinsha berkata ingin berpura-pura mengabaikan seluruh persoalan ini,
ia malah terlihat seolah-olah hendak menghampirinya.
Kishi terkejut, namun sebelum
ia dapat mengatakan apa-apa, Chisa menyadari keberadaan suaminya dan membelalak
kepadanya. Shinsa membalas pelototan istrinya dan sesaat kedua pasang mata itu
menantang satu sama lain dengan cara yang dapat menerbangkan percikan-percikan
api di udara.
“Aku ingat yang kukatakan tadi,
tetapi aku juga ingin melihat wajah Kikuo sekali lagi,” kata Shinsha kepada
Chisa.
Segera sesudah itu, ekspresi
wajah Shinsha berubah sehingga tidak sempat mendapat balas. Diiringi desir dari
hakama sutra yang dikenakannya,
Shinsha melangkah cepat menaiki platform seolah-olah tengah berusaha untuk
menciptakan jarak di antara Chisa dan Yukiko. Dengan bersungguh-sungguh ia
menatap pada wajah adiknya yang tidur dengan polos di bawah pelapis kaca persegi.
Dalam kematian wajah itu tetap indah seperti yang diingatnya kala di panggung:
ketika ia memerankan Kumagae berhadapan dengan Tojaku yang Atsumori atau
Jirozaemon sementara Tojaku Yatsuhashi[1].
Ia tak dapat menentukan wajah mana—yang mati ini atau yang di panggung—yang merupakan
ilusi.
Ketika istrinya dengan acuh tak
acuh dan tanpa ternyana menyentuh wajah Tojaku di peti mati sembari memegangi
tangan Yukiko, Shinsha merasa seolah-olah dirinya hendak memasuki dunia
metamorfis yang penuh daya pesona.
“Hentikan!” Shinsha
memperingati dirinya sendiri. “Kau aktor berusia lima puluh tahun! Masak kau
tidak bisa mengamati penampilanmu sendiri seobjektif pengamatanmu terhadap
orang lain?” Seraya melangkah turun dari platform pelan-pelan, seketika itu ia
mengharapkan ekspresi kasih dan penghormatan yang khidmat.
Yang dilihat Yukiko dan Kishi,
yang mengamati Shinsha dari belakang, hanyalah seorang pria yang berusaha
menahan tangis saat memandangi wajah mati adiknya.
Selagi Shinsha melangkah turun
dengan pedih dari platform, Chisa memahami maksud suaminya itu. Matanya
diliputi kebencian. “Betapa memuakkannya aktor, pekerjaan yang menjijikkan,” ia
bergumam sendiri dengan batin yang menggelegak. Akan tetapi, dengan menggunakan
rumah duka ini sebagai panggungnya, sekarang ia pun menyuguhkan penampilan lihai
dengan peran yang janggal daripada dirinya yang sejati. Ia telah bersumpah
untuk membawakannya dengan sukses hingga penghabisan sebab ia yakin bahwa jika ia
gagal, yang terjadi di antara dirinya dan Kikuo tak berarti apa-apa. Keindahan
yang tak teraba, bak bunga yang mekar dan tersebar dalam kehampaan ….
Dibandingkan dengan tipu daya yang apik ini, betapa bodohnya kelihatan si
wanita muda berpayudara besar itu! Chisa ingin tertawa keras-keras atas upaya tolol
suaminya, ia yang telah mencoba untuk mempermalukannya dengan mengadu dia
berhadapan dengan wanita semacam itu. Alih-alih, Chisa menundukkan kepalanya
dengan takzim dan menyeka air mata dari sudut sebelah dalam kedua matanya.
Cerita ini diterjemahkan dari “Metamorphosis” karya Fumiko
Enchi berdasarkan terjemahan Inggris S. Yumiko Hulvey yang terdapat dalam Words Without Borders
edisi November/Desember 2004.
Fumiko Enchi (1905-1986) merupakan kritikus sastra dan novelis Jepang.
Sebagai anak perempuan dari cendekiawan kesusastraan Jepang terkemuka, pada
awalnya ia menulis untuk teater, baru kemudian beralih pada novel dan cerita
pendek. Onnazaka (The Waiting Years) dianugerahi
Penghargaan Sastra Noma pada 1957. Terjemahannya atas novel Jepang klasik The Tale of Genji ke bahasa Jepang
modern mendapat sambutan luas.
S. Yumiko
Hulvey merupakan guru besar tamu
untuk sastra Jepang serta Wakil Dekan bidang akademik di College of Liberal
Arts and Sciences University of Florida. Ia telah menerbitkan artikel mengenai
penulis perempuan baik dalam kesusastraan Jepang klasik maupun modern di
beberapa jurnal seperti Monumenta Nipponica,
Manoa: A Pacific Journal of International Writing, serta Japan Studies Review. Ia juga
menerbitkan bab dalam buku Japanese Women
Writers: A Bio-Critical Sourcebook, Japan in Traditional and Post Modern
Perspectives, Dictionary of Literary Biography: Medieval Japanese Writers,
serta Body Politics and the Fictional
Double. Bukunya Sacred Rites in
Moonlight: Ben no Naishi Nikki diterbitkan oleh Cornell East Asia Series
Press.
[1] Kumagae dan
Atsumori adalah tokoh dalam Bab 9, Episode 16, “Kematian Atsumori”, dalam Hikayat Heike. Taira no
Atsumori dibunuh oleh Kumagae no Jiro Naozane, prajurit rendahan yang bertarung
demi faksi Minamoto selama Perang Genpei (1180-85) antara klan Taira dan klan
Minamoto. Terjemahan lengkap episode ini dapat dibaca dalam karya terjemahan
Helen Craig McCullough, “Death of Atsumori”, halaman 315-319.
Sandiwara Kabuki sewamono “Kagotsurube” (1888)
karya Shinshichi Kawatake menggambarkan cinta tragis Sano Jirozaemon, saudagar
sutra kaya raya dari Shim’tsuke, pada pelacur kelas atas, Yatsuhashi. Setelah
menghabiskan banyak uang mengundang teman-temannya agar berjumpa Yatsuhashi,
Jirozaemon dipermalukan ketika wanita itu menolak tawarannya untuk membebaskan
dia dari kontrak. Yatsuhashi mengungkapkan bahwa ia telah lama memiliki seorang
kekasih dan tidak ingin bertemu lagi dengan Jirozaemon. Setelah dihinakan,
Jirozaemon membunuh Yatsuhashi dengan pedangnya, Kagotsurube, yang merupakan
pusaka keluarga.
Dalam kedua cerita itu,
karakter yang dimainkan oleh Shinsha sang kakak melihat jasad karakter yang
diperankan oleh Tojaku sang adik, yang karena itu menyebabkan Shinsha
mempertanyakan kebenaran dari kematian yang terjadi dalam kenyataan itu versus ilusi kematian yang
diciptakan di panggung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar