Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Andrew Driver (6) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (273) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yasutaka Tsutsui (6) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

The Moneyless Manifesto: Waktu bukanlah uang (Mark Boyle, 2012)

Manusia … mengorbankan kesehatannya demi uang. Kemudian ia mengorbankan uang demi memulihkan kesehatannya. Kemudian ia gelisah akan masa de...

20190406

Metamorfosis (Fumiko Enchi, 2004)

1 Nantinya teringat oleh dia bahwa saat itu malam tanpa tidur yang janggal.

Sanogawa Shinsha telah lelap di tempat tidur sembari mendekap naskah di dadanya ketika datang kabar bahwa adiknya, Tojaku, baru meninggal dalam kecelakaan mobil.

Shinsha dan istrinya, Chisa, tidur bersisian masing-masing di ranjang rendah yang serupa. Kamar mereka didekorasi dengan gaya campuran Jepang dan asing. Karena Shinsha punya kebiasaan membaca naskah, menghafal dialog, dan merancang lakon sampai larut malam, tabir antik dengan lukisan monokrom dari Chobunsai Eishi tegak di antara kedua tempat tidur itu untuk mengelakkan cahaya.

Shinsha memandangi naskah drama baru di mana ia akan memerankan tokoh utamanya. Hujan monsun yang bertalu-talu baginya terdengar bak keluhan nenek-nenek yang murung lagi menjemukan, sementara desir lembut napas Chisa selagi tidur memunculkan bayangan gadis yang tertidur nyenyak dalam benaknya. Sehabis membaca babak kedua, ia mulai menerawang ke sosok pelacur yang tengah berdiri seraya melipat kelim jubahnya pada tabir.

Tabir itu telah dimiliki keluarga Sanogawa selama beberapa generasi. Shinsha merasa terhubung secara intim dengan tabir itu sejak kanak-kanaknya. Sejak lama ia merasa si pelacur cantik telah membantu dia menyempurnakan keseniannya. Kadang kala, ketika sedang selingkuh, ia merasa si pelacur memahami emosi yang tak mungkin ia utarakan pada istrinya.

Biasanya ketika memandangi sosok pada tabir itu, ia mulai merasa mengantuk. Maka ia mematikan lampu dan dengan segera hanyut dalam tidur. Namun malam itu, entah mengapa, saking lelah tubuhnya malah tegang dan ia baru tertidur setelah beberapa lama bolak-balik di kasur.

Shinsha mendengar dering telepon seolah-olah datangnya dari tempat jauh. Ia mendengar suara Chisa yang nyaring berteriak, “Sayang, sayang!” Ia merasakan pundaknya direnggut. Tangan istrinya gemetar namun anehnya kaku bertenaga.

“Apa? …. Ada apa? …. Teleponnya?” tanya Shinsha dengan suara goyah.

“Sayang … ada berita buruk. Katanya Kiichan meninggal.”

Seakan-akan hanya pesan itu yang sanggup terkatakan oleh Chisa, istrinya mendadak roboh di samping tempat tidur. Kiichan kependekan dari Kikuo, nama saudara tiri Shinsha. Nama panggung Kikuo di teater Kabuki adalah Tojaku.

“Apa? …. Tidak mungkin …. Kau bercanda.”

“Kalau saja itu hanya gurauan ….”

Tampak Chisa berpegangan pada ranjang, susah payah berusaha menyangga tubuhnya. Pundaknya berguncang-guncang di balik kerah jubah musim panas bermotif merah muda. Seketika Shinsha merasa kata-katanya tak berguna dan menyadari dua hal: ia mesti menerima kenyataan akan kematian Tojaku sebab peristiwa mengerikan itu memang sungguh terjadi; dan ia takut besarnya luapan emosi Chisa membuat istrinya itu kewalahan.

“Siapa tadi yang menelepon? Apa masih tersambung?”

“Mitsuyo … ia bilang Kiichan kecelakaan mobil.”

Setelah menenangkan istrinya sebaik mungkin dengan mengelus pundak wanita itu, Shinsha mengangkat gagang telepon yang jatuh di lantai bawah meja.

“Halo.”

“Oh, tuan. Ini Tsunekichi.” Suara tersebut bukan dari istri Tojaku, Mitsuyo, melainkan pembantu laki-lakinya.

“Tsune? Apa yang terjadi? Kaget aku.”

“Iya, tuan. Tadi nyonya yang bicara, tetapi ada orang dari rumah sakit yang datang.”

“Katanya itu kecelakaan mobil …. Apa ia tabrakan malam tadi?”

“Ya. Ketika menabrak truk, tuan dalam perjalanan pulang dari studio televisi dan menyetir mobil sendirian.”

“Apa? Ia yang menyetir? Bukankah studio ada sopir untuk dia?”

“Ya, tetapi entah mengapa tuan bersikeras menyetir sendiri malam ini. Tuan menolak mobil yang sudah disiapkan studio.”

“Oh, begitu,” sahut Shinsha, menebak bahwa adiknya, aktor muda yang sedang naik daun, mestilah punya tujuan selain pulang.

Kecelakaan itu terjadi dekat Akasaka-mitsuka. Tojaku dibawa ambulans ke rumah sakit terdekat, namun begitu ambulans tiba di rumah sakit, ia sudah tidak bernyawa. Luka luarnya ringan, namun agaknya hantaman keras pada dada menyebabkan jantungnya berhenti.

“Keadaannya buruk … Nyonya belum sempat melihat tuan, reporter televisi dan surat kabar sudah berkerumun di mana-mana.”

“Pastinya.”

Selagi menyimak, Shinsha berpikir bahwa sebaiknya ia juga buru-buru ke rumah sakit. Ia menutup telepon dan berpaling ke tempat yang mana baru sejenak lalu Chisa terbaring ambruk kepayahan. Wanita itu sudah tidak ada. Terlepas di lantai dan terarah ke pintu tergeletak ban pinggang tenun tipis dari Hakata, selembar benda panjang berwarna ungu dan putih.

“Kacaunya,” ucap Shinsha. Jantungnya berdebar. Ia tahu murid serta pembantunya akan bangun menjawab panggilannya jika ia berteriak, namun ia enggan ada orang lain sebelum ia dapat menenangkan Chisa.

Mencari-cari istrinya, Shinsha memasuki koridor yang dari kamar tidur mengarah ke ruang tamu dan tanpa sadar menyalakan lampu-lampu, seakan-akan hendak menghalau bayangan-bayangan serupa hantu yang bersembunyi di kegelapan. Seperti yang telah diduganya, cahaya menyorot dari lemari di ruang sebelah. Laci paling atas pada lemari terbuka. Dari situ terjuntai pakaian dalam Shiozawa milik Chisa serta kimono sutra tipis berpotongan kecil. Chisa merosot di depan lemari berlaci itu, mengenakan pakaian dalam panjang berpola pusaran air biru pucat pada latar putih. Agaknya ia pingsan ketika mengeluarkan kimono dari laci. Bagi Shinsha, bahu montok istrinya yang terbalut dalam biru dan putih menyerupai ikan mati yang bengkak dengan perut menghadap permukaan di kolam. Perhatiannya kepada Chisa dengan segera berganti menjadi amarah. Akan tetapi, karena takut akan terjadi keributan jika ia tidak menahan kedongkolannya yang memuncak, Shinsha mengerahkan kendali selayaknya pria paruh baya seperti dirinya.

“Ayolah, kendalikan dirimu,” ucapnya dengan suara selembut yang dapat ia keluarkan. Ia menepuk pelan bahu istrinya, tanpa benar-benar mengelus wanita itu. Barangkali ini imbas tak terelakkan dari menjadi seorang aktor hingga ia merasa seolah-olah tengah memainkan suatu peran: penjahat yang sedang berusaha untuk memperdaya karakter yang naif.

“Kau pusing karena syok. Maukah kuambilkan anggur?” Shinsha mengangkat bagian atas tubuh Chisa ke pangkuannya dan menatap wajah istrinya yang tanpa ekspresi. Bibir putihnya yang membengkak tampak bak ulat sutra.

“Tadi aku hendak mengenakan kimono … lantas aku merasa pusing.”

“Sepertinya kau mau ke rumah sakit, ya? Kalau begitu, aku juga pergi. Sebaiknya memang kau minum dulu. Kecuali kau bisa mengendalikan diri, kau tidak akan sanggup mengemudikan mobil.”

Dengan gigih Shinsha berhasil memaksa Chisa mengangguk menyetujui. Ditopang tangan Shinsha, Chisa meminum segelas anggur yang dibawakannya dari bar di ruangan sebelah.

“Aku akan memanggil pembantu. Tenanglah dulu.”

“Tolong jangan panggil siapa-siapa,” Chisa memohon.

“Tetapi kita harus panggil orang,” sahut Shinsha, dengan kuat memegangi tangan istrinya, seraya menatap dalam-dalam mata Chisa. “Pertama, mobilnya mesti disiapkan lebih dahulu dan—Sayang, aku tidak berkeberatan kau ke rumah sakit, namun jangan lupa di sana akan ada banyak orang tak dikenal. Pastilah kita akan dikepung gerombolan penyiar radio dan reporter surat kabar, yang wajar terjadi ketika aktor muda populer seperti Tojaku tiba-tiba meninggal. Aku akan mengurus para pencari berita itu, kau tidak usah berkata apa-apa. Tetapi ingatlah betapapun kacaunya perasaanmu, jangan sampai hilang kesabaran. Itu tidak ada gunanya bagi Kikuo, istrinya, ataupun anak-anak kita, dan malah menimbulkan masalah bagi semua orang. Tolong camkan baik-baik, ya? Mengertikah kau? Kau putri keluarga Hamamura, dan sebagai istriku kau harus berperilaku sepantasnya dalam situasi seperti ini.”

Walau bersikap demikian, Shinsha tersenyum pahit akan caranya berbicara. Tidak biasanya ia mengucapkan kata-kata semacam itu, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun di atas panggung. Ia menyadari sumber ketenangan yang telah menguasai perasaannya serta mewujudkan diri dalam seulas senyum kecut. Ia membatin, mengapa Chisa begitu terusik oleh kematian adik tirinya, yang tidak bertalian darah dengan istrinya itu?

Shinsha berusia dua puluhan tahun lebih tua daripada saudaranya, Tojaku. Ayah mereka—yang nama panggungnya juga Shinsha—pada usia senja memiliki kekasih yang cukup muda untuk menjadi cucunya. Kikuo adalah buah hati mereka. Ketika wanita muda itu menikah setelah kematian ayah Kikuo, anak itu diambil oleh keluarga ayahnya. Pada waktu usianya empat belas atau lima belas tahun, ia sudah terlihat amat tampan. Di panggung ia dapat menari dengan baik, cakap memerankan perempuan, dan, terlepas dari minimnya pengalaman, penuh perhatian pada detail keahliannya. Kikuo yang cepat dewasa segera memperoleh banyak penggemar yang membandingkan ketampanannya dengan sakura yang mekar saat malam, meskipun ia memendam kesenduan yang melekati kehidupan anak yatim. Ia diberikan nama panggung Tojaku—nama lainnya yang biasa digunakan oleh keluarga Sanogawa—dan baru menikahi Mitsuyo tiga atau empat tahun lalu.

Chisa juga keturunan keluarga Kabuki yang termasyhur, keluarga Hamamura. Ayah Chisa, Hamamura senior, mendukung karier Shinsha dan yakin bahwa ia dapat menjadi aktor terkemuka. Karena itulah, Shinsha menghormati Chisa dan keluarganya. Kehidupan pernikahan mereka pun berjalan dengan baik-baik saja. Istrinya bergaul baik dengan orang-orang, tanpa bersandar pada pengaruh kedua orang tuanya melainkan mendudukkan berbagai persoalan secara riang dan pada tempatnya. Walau demikian, berkenaan dengan profesinya sebagai aktor, perselingkuhan Shinsha tak terhitung, yang sering kali membuatnya tidak pulang saat malam.

Terlepas dari pola kelakuannya sendiri, awalnya ia malah tidak menyadari bahwa telah lama Chisa dan Tojaku menjalin hubungan yang lebih daripada sekadar saudara ipar. Hubungan ini dimulai sejak Tojaku masih dipanggil Kikuo. Keduanya menghindari pertemuan sebab mereka sangat berhati-hati. Akan tetapi, pada akhirnya, Shinsha diberi tahu mengenai hubungan keduanya oleh Torisu Kishi, kepala rumah tangga.

Kishi anak perempuan pembuat wig yang dibesarkan di Shitamachi. Ia menghabiskan masa terburuk dalam tahun-tahun peperangan dengan merawat kedua orang tuanya yang lanjut usia. Sekarang setelah melewati usia kawin, ia memiliki perasaan luar biasa tajam terhadap hubungan romantis. Ia tidak mendapati hubungan di antara Kikuo dan Chisa dengan menangkap basah mereka. Alih-alih, ia membuat simpulan dari pertimbangan cermat yang bisa dibilang sangat ilmiah. Ketika pertama kali Kishi memberi tahu Shinsha mengenai istri dan saudara tirinya, Shinsha menghardik dia karena memfitnah keduanya. Namun saat Chisa menjalani opname selama satu dua bulan setelah operasi batu empedu, tingkah laku Kiko menjadi aneh. Akibatnya Shinsha menyadari bahwa betapa Kikuo pada usianya telah tertarik secara obsesif pada wanita yang lebih tua.

Karena Shinsha sendiri terlibat dalam banyak perselingkuhan, ia tidak sebegitu terusik oleh terungkapnya hubungan ini selayaknya suami pada umumnya. Dengan mudah ia dapat memahami cinta Chisa pada Kikuo, yang lebih muda empat belas atau lima belas tahun. Ia juga dapat memahami rumitnya perasaan yang menggiring Kikuo hingga menanggapi Chisa. Malah, Shinsha agak menghargai kehati-hatian keduanya untuk menghindari kecurigaan. Sementara tinggal di rumah yang sama, mereka mengelabui semua orang kecuali Kishi.

Shinsha mendapati Kikuo mampu mengendalikan hasratnya dalam usianya yang baru dua puluh tahun, dan dengan demikian tidak menampakkan emosinya secara canggung. Apakah Kikuo cepat dewasa karena ketampanannya yang menawan telah menjadikan dia objek berahi begitu banyak wanita? Shinsha pernah berpikir, Kikuo mungkin seorang bajingan, namun dengan kemampuan sedemikian ia dapat menjadi aktor yang sangat cakap, seraya menganggukkan apresiasi menyimpang akan kecerdasan Kikuo.

Setelah mengetahui perselingkuhan keduanya, Shinsha tidak mengubah sikapnya terhadap Chisa. Walaupun ia dan Kikuo berbeda ibu, Kikuo adalah saudara sedarah. Barangkali perasaannya terhadap Kikuo unik sebab mereka aktor Kabuki yang sering kali berperan sebagai sepasang kekasih dan berangkulan di panggung.

Shinsha merundingkan dengan Chisa segala persoalan mengenai pemilihan nama panggung Kikuo hingga pernikahannya. Chisa sendiri tidak pernah berusaha merintangi rencana pernikahan Kikuo. Kedua peristiwa itu terjadi dalam rentang setahun, dan setelahnya Kikuo meninggalkan rumah Shinsha untuk berumah tangga sendiri. Sejak itu, tiga tahun berlalu. Popularitas Tojaku melangit dan Mitsuyo telah melahirkan seorang putra, Osamu.

Ketika Tojaku mulai tinggal terpisah, Chisa tidak lagi harus mengasuh dia. Walau begitu, Shinsha sulit menaksir hubungan mereka selanjutnya, kendati terbiasa oleh hubungan romantis. Ia membiarkan Chisa berbuat sesukanya, dengan menganggap bahwa istrinya akan mengakhiri hubungan itu sebab sudah bukan umurnya Tojaku butuh dimanjakan oleh wanita yang lebih tua. Akan tetapi, Kishi bersikeras bahwa hubungan mereka belum berakhir. Begitu sudah memutuskan, Kishi keras kepala dan teguh pendirian. Namun tidak seperti wanita lain, ia tidak berwatak penggosip yang mesti memberitahukan rahasianya kepada orang lain dan tak mampu memendamnya sendiri. Karena dibungkam oleh Shinsha, Kishi dapat mengubur rahasia itu di hatinya selama bertahun-tahun.

Selepas pukul dua pada malam kejadian itu—ketika seluruh rumah menjadi gaduh karena melihat Shinsa dan Chisa pergi ke rumah sakit—dengan berhati-hati Kishi menarik lengan baju setelan Shinsha. “Karena nyonya, ya?” tanyanya dengan tatapan sengit. “Bahaya kalau media sampai tahu.”

2 Saat itu sudah hampir fajar ketika jasad Tojaku dibawa ke rumahnya.

Selama empat hari menjelang pemakaman, kelompok-kelompok pelayat menjadikan rumah Tojaku hiruk-pikuk, sehingga Mitsuyo yang mendadak janda tidak berkesempatan untuk mengheningkan cipta atas kepergian suaminya.

Kematian mendadak seorang aktor muda pada puncak ketenarannya juga tersiar di antara orang-orang yang tidak berhubungan dengan teater. Karena kecelakaan terjadi saat Tojaku menyetir pulang, mustahil memperoleh penjelasan mengenai kejadian sebenarnya. Kecurigaan konyol bahwa itu peristiwa bunuh diri hanyalah delusi orang-orang yang syok atas kematiannya yang tiba-tiba.

Selama empat hari itu, para kerabat serta pendukung setia keluarga Sanogawa memenuhi rumah, menyambut para tamu, serta membantu persiapan pemakaman. Sebagai kakak mendiang, Shinsha dimintai pendapatnya atas segala persoalan. Paling tidak, untung bulan ini ia tidak sibuk dengan pertunjukan.

Mitsuyo dan putranya, Osamu, duduk saja dalam waktu lama dengan kepala menunduk. Alhasil, tugas mengatur berbagai urusan jatuh pada Chisa, meskipun di balik layar. Para tamu dan kenalan dari teater yang banyak itu harus disuguhi makanan, dan pelanggaran etiket dapat mempermalukan seluruh keluarga di mata masyarakat. Seorang pria bernama Takagi, yang bertindak sebagai semacam manajer di keluarga Sanogawa, membantu Kishi mengatur sejumlah persoalan, namun ketika ada silang pendapat, terserah pada Chisa untuk menentukan keputusan. Wanita yang sempat pingsan akibat syok dan kepedihan akan berita kematian Tojaku entah bagaimana telah meneguhkan hatinya begitu tiba di rumah sakit dan menyaksikan jasad serta wajah tampan yang tak tersentuh. Sekarang ia bergairah dan cepat tanggap, hampir-hampir lincah.

Kishi sendiri orang yang cerdas serta pekerja yang teramat cermat. Namun mengetahui perselingkuhan Chisa dengan Tojaku tidak memberi dia keuntungan melebihi majikannya itu sebab Chisa menyadari transaksi gelap Kishi di dapur Sanogawa dengan pedagang tertentu. Kishi menganggap Chisa lihai karena diam saja atas kejadian yang ia pergoki. Dari sejak Kishi mendengar kabar kematian Tojaku—dan seiring dengan tersaputnya rumah oleh warna-warna perkabungan, terperangkap di antara kesemrawutan dan seremoni—ia sangat tertarik akan cara Shinsha dan istrinya menangani berbagai persoalan. Ia penasaran menyaksikan perubahan macam apa yang akan menghampiri Chisa, dan bagaimana perubahan itu akan memengaruhi Shinsha.

Kishi sendiri meyakini bahwa Chisa bertemu dengan Tojaku beberapa hari sebelum kecelakaan itu. Malah, pertemuan itu terjadi di kamar tidur Shinsha sendiri. Keduanya telah mengatur supaya gerbang taman di belakang kamar tidur tidak terkunci. Pada sore hari itu, Kishi menemani Shinsha ke pembukaan teater yang baru dibangun milik sebuah perusahaan surat kabar. Saat Kishi kembali ke rumah mendahului Shinsha, ia menyadari bahwa Tojaku baru dari sana. Ia satu-satunya yang mengetahui bahwa kedua orang itu kadang menggunakan kamar itu untuk janji pertemuan mereka. Dengan kematian Tojaku, rasa penasaran Kishi meningkat. Namun selama tiga hari mendatangi rumah Tojaki dengan Shinsha dan Chisa untuk membantu sang janda, Kishi kecewa sebab Chisa selalu berhasil menghindari dia, padahal mereka terus bersama-sama.

Saat Kishi dan Takagi menghadap Chisa untuk meminta petunjuk dalam mengurus tugas yang sulit, Chisa mengejutkan mereka dengan kelancaran dan pertimbangannya yang tajam. “Tidak terlihat dari penampilan luarnya, nyonya Chisa itu sebenarnya kuat, ya?” Takagi berkata dengan ekspresi wajah berlebihan menirukan pelakon Kabuki yang diakrabinya. “Dengan watak seperti itu, ia terlihat persis betul dengan ibunya, istri Hamamura yang dulu. Ia sama sekali bukan nyonya muda yang manja.”

Kishi mendengarkan penilaian Takaji dengan raut mafhum. “Anda benar, Tuan Takagi,” sahutnya dengan senyum penuh arti. “Nyonya kami memang aktor yang lebih cakap daripada tuannya!”

Dalam tubuh paruh baya Chisa yang putih gemuk mengalir darah biru kental keluarga yang telah menghasilkan bergenerasi-generasi aktor Kabuki ternama. Hingga garis darah yang apik itu tahu-tahu menampakkan diri dalam situasi ini—bagaimanakah metamorfosis sedemikian terjadi? Boleh jadi malah bukan kasih sayang sejati atau cinta romantis yang dirasakan Chisa pada Tojaku, melainkan sekadar ketertarikan pada kemudaan dan ketampanan lelaki itu. Kalau memang demikian, selanjutnya tidaklah begitu sulit bagi Chisa—meskipun boleh jadi ia memang merasakan dukacita—untuk mempertahankan pembawaan diri yang sepantasnya atas posisinya sebagai istri Shinsha.

Sembari terus bermanuver menembus impitan orang-orang di rumah yang hiruk-pikuk itu, tanpa henti Kishi mengerami berbagai pertanyaan, yang jawabannya tersembunyi di balik kekusutan hati Chisa.

3 Kendati sibuk, Kishi semakin penasaran saat seorang wanita muda bernama Yukiko secara berhati-hati memanggil di pintu belakang. Yukiko, yang bekerja di stan camilan di Teater S, baru-baru ini telah membangkitkan gairah Tojaku. Tojaku menyembunyikan perselingkuhan dengan Yukiko, namun perbuatan diam-diam itu malah mengipasi kobaran hasratnya. Pada malam kecelakaan itu, ia sedang dalam perjalanan menuju apartemen dekat Shibuya untuk mengunjungi Yukiko. Yukiko tidak memiliki perantara yang dapat memperkenalkan dia ke rumah tempat istri dan anak Tojaku tinggal, namun wanita itu merasa bertanggung jawab atas kematian nahas lelaki itu dan terdorong oleh pikiran bahwa ia tidak dapat melanjutkan hidup tanpa menyaksikan wajah kekasihnya sekali lagi.

“Tidak mungkin saya dapat membicarakan ini pada janda nyonya rumah,” jawab Takagi saat Kishi mengangkat persoalan ini padanya. “Dan kalau sampai kabar perselingkuhan ini terdengar, bisa dibayangkan betapa kacaunya beliau. Saya pikir tindakan yang tepat adalah mempertemukan wanita itu dengan anggota rumah utama.” Kishi menyetujuinya sebagai jalan terbaik. Saat itu, Shinsha dan Chisa sama-sama sedang beristirahat di ruang tamu sementara jeda menjagai jenazah. Maka Kishi masuk ke ruangan itu, kemudian dengan suara pelan ia menyampaikan keadaan itu.

“Jangan sampai Mitsuyo mengetahui ini,” ujar Shisha, yang berpakaian haori sutra dengan hakama senada. Haori tersebut disulam dengan lambang keluarga. “Sudah kuperkirakan bahwa hal seperti ini mungkin terjadi.” Sementara duduk tegak lurus dengan gaya aktor, ia menjentikkan abu dari rokoknya ke asbak. Pandangannya terarah kepada Chisa, yang mengenakan jubah berkabung informal berwarna ungu pudar dan duduk di sampingnya seraya meminum teh hijau.

Setelah menyaksikan betapa kalutnya Chisa saat mendengar kabar kematian Tojaku, Shinsha menjadi lebih terkejut lagi daripada Kishi akan ketenangan dan energi wanita itu setelahnya. Bagi Shisha, istrinya terlihat seolah-olah dikuasai suatu arwah. Setelah kekalutan sedemikian ekstrem, bagaimanakah Chisa mampu mengendalikan emosinya secara cekatan dalam waktu sedemikian singkat? Ketika mengamati Chisa dari jarak dekat sementara istrinya itu tanpa cela menyambut para pelayat sebagai istri kakak mendiang, Shinsha mendapati dirinya entah mengapa tergugah. Ia merasa seakan-akan tengah menonton penampilan brilian dari sesama aktor.

Pikirnya, jika ini memang pertunjukan, maka itu sungguh suatu pencapaian. Dan jika pun ini bukan pertunjukan, maka Chisa merupakan wanita lancang yang telah mempergunakan Tojaku sebagai mainan.

Dari sejak Shinsha mulai mempercayai laporan Kishi atas perselingkuhan itu sampai baru-baru ini, ia lebih terkesan akan kehati-hatian saudaranya daripada istrinya. Dan dalam situasi yang sekarang, berkenaan dengan kegemarannya sendiri dalam bermain wanita, Shinsha merasa lebih nyaman menyimpulkan bahwa Chisa pun sekadar bermain-main dengan Kikuo yang lebih muda.

Namun Shinsha telah menyaksikan istrinya benar-benar goyah saat pertama kali mendengar kematian Tojaku, dan mau tak mau ia menafsirkannya sebagai bukti cinta yang tak tersembunyikan. Ia mesti menelan pedihnya mengetahui bukti tersebut seolah-olah ada benda persegi dicekokkan ke kerongkongannya. Itulah sebabnya ia berbicara kepada Chisa dengan kikuk, dengan nada memperingatkan yang sebelumnya tidak pernah ia gunakan terhadap istrinya itu.

Di sisi lain, Chisa terlalu mendadak pulih dari syok itu. Setelah datang ke rumah Tojaku, ia menenangkan Mitsuyo yang berurai air mata dan menitikkan air mata secukupnya saat membelai kepala Osamu yang lugu. Kemudian, seakan-akan sambil mengenakan topeng keberanian yang diperlukannya dalam situasi sedih ini, dengan sepantasnya ia menampakkan mata yang sembap memerah sementara menyambut berbagai tamu dan anggota keluarga. Chisa bersikap dengan gaya yang sungguh tanpa cela, selayaknya seorang istri dari kakak mendiang, dan malah lebih besar lagi martabat serta kesopanan yang ditampakkannya selaku istri kepala keluarga Sanogawa saat ini. Shinsha membatin, jika ini lakon, maka ayah Chisa—dengan segala keahliannya berteater—sungguh orang tua yang bodoh karena tidak melatih putrinya sebagai aktris. Seketika itu, dengan gabungan antara kedegilan dan perhitungan yang mencoraki orang-orang seni drama, Shinsha berpikiran bahwa ia ingin melihat kemampuan Chisa diuji melawan wanita muda itu, Yukiko.

Shinsha menyuruh Kishi membawa Yukiko ke ruangan kecil di lantai dua tempat ia dan Chisa duduk bersisian. Di tengah-tengah keripuhan di hampir seluruh rumah itu, ruangan tersebut menjadi suaka. “Mohon maaf ruangannya sesak,” Chisa meminta maaf, “tetapi tidak ada tempat lain yang leluasa untuk berbicara.” Yukiko yang sungkan berbicara duduk dengan kepala menunduk. Wanita itu menatap lututnya, yang menyembul dari rok hitam ketat pendek. Ketika melihat payudara Yukiko yang padat nyaris meledak dari kelim blus tipis musim panas yang dikenakannya, Shinsha merasa memahami ketertarikan Tojaku pada wanita muda yang mungil ini.

“Sepertinya pada malam itu Kikuo tewas dalam perjalanannya mengunjungimu, benar begitu?” Setiap sepuluh pertanyaan yang diajukan dengan cara ini ini oleh Shinsha disambut oleh hanya empat atau lima jawaban canggung. Di balik keragu-raguan Yukiko, Shinsha bisa merasakan kasmaran yang dialami Tojaku selama tiga atau empat bulan perselingkuhan tersebut. Jelaslah, Tojaku sangat takut perselingkuhan itu diketahui.

“Mmm … ia selalu bilang lebih gawat jika kakaknya memarahi dia daripada kalau istrinya yang tahu … dan ia sering membicarakan Anda. Saya, hari ini, … terpikir oleh saya bahwa saya bisa mengandalkan kakaknya dan istri … dan kalau Anda berdua maklum, maka pastilah, saya pikir, saya mungkin dibolehkan untuk melihat jenazahnya.”

Setelah mengatakan sebegitu banyak, wanita muda itu tahu-tahu dikuasai emosi dan mulai terisak. Kedua tangannya menutupi wajah, dan air mata menetes dari sela-sela jemarinya.

“Apa, ya, yang bisa kami lakukan. Tentu saja kami tidak dapat membicarakan ini dengan Mitsuyo ataupun orang tuanya ….” Shinsha melipat kedua lengannya. Ketimbang mengamati Yukiko, ia memancangkan matanya pada Chisa, supaya tidak meluputkan sedikit pun perubahan pada raut wajah istrinya sementara wanita muda itu membicarakan tentang keadaan-keadaan dalam hubungan asmaranya dengan Tojaku.

“Ini sangat menyedihkan,” ucap Chisa. “Mari kita biarkan ia menemui Tojaku.” Seraya membalas tatapan suaminya, ia melanjutkan. “Aku tahu akan kacau jika ayah Mitsuyo atau orang lainnya nanti mengetahui soal ini dan mengeluh, sehingga kau bisa berpura-pura tidak mengetahui masalah ini, sayang. Bagaimana kalau kita katakan saja bahwa cuma kita yang menangani persoalan ini—hanya aku dan Kishi? Sebentar lagi, pendeta akan selesai membacakan sutra kedua, maka kemungkinan para tamu akan pindah ke lantai dua. Ada karangan bunga di mana-mana, jadi kalau kita memutar secara berhati-hati lewat belakang dan membuka penutup peti jenazah, tidak akan ada yang tahu. Kita akan menyuruh pengurus pemakaman memberi tahu kalau ada yang bertanya bahwa kita sedang mengganti es kering.”

Perkataan Chisa sungguh lancar tanpa tersendat hingga Shinsha merasakan kebencian belaka kepada istrinya. “Maukah kau melakukan itu untukku?” tanyanya. “Aku akan berterima kasih bisa berpura-pura tidak mengetahui seluruh persoalan ini.”

“Ya, tidak apa-apa,” sahut Chisa pada suaminya sebelum beralih kepada wanita muda itu. “Kita bisa mengobrol lagi pada waktu luang setelah pemakaman, Yukiko, namun untuk sekarang, demi Kikuo, tolong lakukan tepat seperti yang kami minta dan jangan mengatakan apa pun kepada siapa pun. Kita harus berhati-hati. Sebab ia aktor yang sangat populer, media akan mengawasi dengan ketat.”

Di sela-sela tangisannya, Yukiko mengangguk memahami.

Sekitar setengah jam kemudian, setelah memastikan bahwa pelayat telah berkurang, Kishi dan Chisa membawa Yukiko—sembari berpura-pura membantu asisten pengurus pemakaman mengisi ulang es kering—ke ujung panggung tempat peti jenazah.

Secara berhati-hati si asisten menyisikan pelapis kaca persegi dari kepala peti jenazah kemudian melangkah turun dari panggung rendah tersebut. Mengikuti Chisa, Yukiko melangkah naik ke platform, dan melihat wajah Tojaku yang tenang dalam peti jenazah berimpitan dengan kantung-kantung es kering. Tojaku diberi riasan tipis dan terlihat bak boneka lilin.

“Ahhh.” Rintihan lepas dari mulut Yukiko.

“Tenanglah. Jangan menangis,” perintah Chisa dengan suara yang begitu dingin sehingga terdengar bengis. Lantas, tanpa ragu-ragu, ia mengambil tangan Yukiko dan secara diam-diam menjulurkannya ke bawah kaca. Bersama-sama kedua wanita itu menyentuh pipi Tojaku dengan jemari mereka.

“Lihat kan, sudah begini dingin. Malah lebih dingin daripada es. Kau mesti menerima kematiannya—sudah jelas?”

Yukiko telah menyerahkan kedua tangannya pada Chisa seakan-akan ia tak sadarkan diri. Saat melangkah turun dari panggung, ia terhuyung-huyung lalu terjatuh.

“Tahanlah! Jangan lupakan rasanya pipi Kikuo yang dingin,” bisik Chisa di kuping Yukiko sembari menopang wanita muda itu di dadanya.

Sementara punggung kedua wanita itu menyatu beberapa saat, Kishi memandangi dengan kesungguhan yang sama seperti kepada pertunjukan panggung yang luar biasa. Tak ternyana, ia mendapati Shinsha tengah berdiri di dekat tabir shoji, menatap dengan penuh perhatian kepada dua wanita yang berangkulan erat itu. Kendati Shinsha berkata ingin berpura-pura mengabaikan seluruh persoalan ini, ia malah terlihat seolah-olah hendak menghampirinya.

Kishi terkejut, namun sebelum ia dapat mengatakan apa-apa, Chisa menyadari keberadaan suaminya dan membelalak kepadanya. Shinsa membalas pelototan istrinya dan sesaat kedua pasang mata itu menantang satu sama lain dengan cara yang dapat menerbangkan percikan-percikan api di udara.

“Aku ingat yang kukatakan tadi, tetapi aku juga ingin melihat wajah Kikuo sekali lagi,” kata Shinsha kepada Chisa.

Segera sesudah itu, ekspresi wajah Shinsha berubah sehingga tidak sempat mendapat balas. Diiringi desir dari hakama sutra yang dikenakannya, Shinsha melangkah cepat menaiki platform seolah-olah tengah berusaha untuk menciptakan jarak di antara Chisa dan Yukiko. Dengan bersungguh-sungguh ia menatap pada wajah adiknya yang tidur dengan polos di bawah pelapis kaca persegi. Dalam kematian wajah itu tetap indah seperti yang diingatnya kala di panggung: ketika ia memerankan Kumagae berhadapan dengan Tojaku yang Atsumori atau Jirozaemon sementara Tojaku Yatsuhashi[1]. Ia tak dapat menentukan wajah mana—yang mati ini atau yang di panggung—yang merupakan ilusi.

Ketika istrinya dengan acuh tak acuh dan tanpa ternyana menyentuh wajah Tojaku di peti mati sembari memegangi tangan Yukiko, Shinsha merasa seolah-olah dirinya hendak memasuki dunia metamorfis yang penuh daya pesona.

“Hentikan!” Shinsha memperingati dirinya sendiri. “Kau aktor berusia lima puluh tahun! Masak kau tidak bisa mengamati penampilanmu sendiri seobjektif pengamatanmu terhadap orang lain?” Seraya melangkah turun dari platform pelan-pelan, seketika itu ia mengharapkan ekspresi kasih dan penghormatan yang khidmat.

Yang dilihat Yukiko dan Kishi, yang mengamati Shinsha dari belakang, hanyalah seorang pria yang berusaha menahan tangis saat memandangi wajah mati adiknya.

Selagi Shinsha melangkah turun dengan pedih dari platform, Chisa memahami maksud suaminya itu. Matanya diliputi kebencian. “Betapa memuakkannya aktor, pekerjaan yang menjijikkan,” ia bergumam sendiri dengan batin yang menggelegak. Akan tetapi, dengan menggunakan rumah duka ini sebagai panggungnya, sekarang ia pun menyuguhkan penampilan lihai dengan peran yang janggal daripada dirinya yang sejati. Ia telah bersumpah untuk membawakannya dengan sukses hingga penghabisan sebab ia yakin bahwa jika ia gagal, yang terjadi di antara dirinya dan Kikuo tak berarti apa-apa. Keindahan yang tak teraba, bak bunga yang mekar dan tersebar dalam kehampaan …. Dibandingkan dengan tipu daya yang apik ini, betapa bodohnya kelihatan si wanita muda berpayudara besar itu! Chisa ingin tertawa keras-keras atas upaya tolol suaminya, ia yang telah mencoba untuk mempermalukannya dengan mengadu dia berhadapan dengan wanita semacam itu. Alih-alih, Chisa menundukkan kepalanya dengan takzim dan menyeka air mata dari sudut sebelah dalam kedua matanya.



Cerita ini diterjemahkan dari “Metamorphosis” karya Fumiko Enchi berdasarkan terjemahan Inggris S. Yumiko Hulvey yang terdapat dalam Words Without Borders edisi November/Desember 2004.



Fumiko Enchi (1905-1986) merupakan kritikus sastra dan novelis Jepang. Sebagai anak perempuan dari cendekiawan kesusastraan Jepang terkemuka, pada awalnya ia menulis untuk teater, baru kemudian beralih pada novel dan cerita pendek. Onnazaka (The Waiting Years) dianugerahi Penghargaan Sastra Noma pada 1957. Terjemahannya atas novel Jepang klasik The Tale of Genji ke bahasa Jepang modern mendapat sambutan luas.

S. Yumiko Hulvey merupakan guru besar tamu untuk sastra Jepang serta Wakil Dekan bidang akademik di College of Liberal Arts and Sciences University of Florida. Ia telah menerbitkan artikel mengenai penulis perempuan baik dalam kesusastraan Jepang klasik maupun modern di beberapa jurnal seperti Monumenta Nipponica, Manoa: A Pacific Journal of International Writing, serta Japan Studies Review. Ia juga menerbitkan bab dalam buku Japanese Women Writers: A Bio-Critical Sourcebook, Japan in Traditional and Post Modern Perspectives, Dictionary of Literary Biography: Medieval Japanese Writers, serta Body Politics and the Fictional Double. Bukunya Sacred Rites in Moonlight: Ben no Naishi Nikki diterbitkan oleh Cornell East Asia Series Press.




[1] Kumagae dan Atsumori adalah tokoh dalam Bab 9, Episode 16, “Kematian Atsumori”, dalam Hikayat Heike. Taira no Atsumori dibunuh oleh Kumagae no Jiro Naozane, prajurit rendahan yang bertarung demi faksi Minamoto selama Perang Genpei (1180-85) antara klan Taira dan klan Minamoto. Terjemahan lengkap episode ini dapat dibaca dalam karya terjemahan Helen Craig McCullough, “Death of Atsumori”, halaman 315-319.

Sandiwara Kabuki sewamono “Kagotsurube” (1888) karya Shinshichi Kawatake menggambarkan cinta tragis Sano Jirozaemon, saudagar sutra kaya raya dari Shim’tsuke, pada pelacur kelas atas, Yatsuhashi. Setelah menghabiskan banyak uang mengundang teman-temannya agar berjumpa Yatsuhashi, Jirozaemon dipermalukan ketika wanita itu menolak tawarannya untuk membebaskan dia dari kontrak. Yatsuhashi mengungkapkan bahwa ia telah lama memiliki seorang kekasih dan tidak ingin bertemu lagi dengan Jirozaemon. Setelah dihinakan, Jirozaemon membunuh Yatsuhashi dengan pedangnya, Kagotsurube, yang merupakan pusaka keluarga.

Dalam kedua cerita itu, karakter yang dimainkan oleh Shinsha sang kakak melihat jasad karakter yang diperankan oleh Tojaku sang adik, yang karena itu menyebabkan Shinsha mempertanyakan kebenaran dari kematian yang terjadi dalam kenyataan itu versus ilusi kematian yang diciptakan di panggung.

Tidak ada komentar: