Manusia … mengorbankan kesehatannya demi uang. Kemudian ia mengorbankan
uang demi memulihkan kesehatannya. Kemudian ia gelisah akan masa depan sehingga
tidak menikmati masa kini. Alhasil ia tidak hidup pada masa kini ataupun masa
depan. Ia hidup seakan-akan tidak akan mati, lalu ia mati tanpa benar-benar
menghayati hidup.
– Dalai Lama
Uang melekatkan diri dengan apiknya pada perjalanan keterpisahan manusia,
menjelma segala yang lebih penting dari padanya, dan membubuhkan sendiri cita
rasanya yang tidak nyata. Dengan membangun ilusi akan waktu yang linear serta
perkembangan bahasa, pengukuran, dan penjumlahan—menyusutkan mahluk hidup dan
tanaman yang khas dan tidak tergantikan menjadi sekadar kata dan angka, serta
mengikis “kekhasan-tempat menjadi [homogenitas] kawasan pinggir kota yang
mengglobal[1]”—uang
berkedudukan cukup tinggi di atas rangkaian ini untuk membutakan kita terhadap
segala yang lebih penting dari padanya. Keadaan ini paling terlihat dalam
hubungan dengan waktu yang dipaksakan uang pada kita.
Uang tidak lebih daripada kesadaran akan utang piutang yang
diperincikan. Jika Anda berutang uang, mau tidak mau sebagian diri Anda
terjebak di masa lalu, dan jika Anda menyimpan sejumlah uang di bank atau di
bawah kasur maka setidaknya tanpa sadar Anda memikirkan masa depan. Jika Anda
mengelabui diri dengan memikirkan sebaliknya, maka sekarang juga dermakanlah
semua rupiah yang Anda miliki dan mulailah hidup hanya untuk hari ini saja.
Tentu ini karena ada kebutuhan akan perlindungan. Kita telah diajarkan bahwa
menabung memberikan jaminan, jaring pengaman bagi masa depan. Meskipun
demikian, bagaimanakah dampaknya ini terhadap rasa kepercayaan kita?
Kajian antropologi berulang-ulang menunjukkan bahwa banyak
masyarakat adat, terlepas dari seberapa banyak yang berhasil mereka buru atau
kumpulkan, tidak pernah menyimpan makanan. Daniel Everett, linguis kondang yang
menghabiskan beberapa tahun di tengah-tengah Pirahã—suku di Brazil yang tidak
memiliki konsep mengenai sistem angka, apalagi uang—menulis dalam Don’t Sleep, There are Snakes[2] bahwa ketika ditanya sebabnya mereka
tidak menyimpan makanan, orang Pirahã menjawab “saya menyimpan daging di perut
saudara saya.” Pernyataan ini menyiratkan dalamnya kepercayaan pada Alam
sebagai pemberi kehidupan, serta penghargaan atas kesalingtergantungan dalam
masyarakat tersebut. Adakalanya mereka kelaparan, namun seringnya mereka makan
besar. Mereka tidak pernah cemas. Menurut laporan Everet, mereka juga
masyarakat yang lebih bahagia dan puas karena hidup demikian, dan itu bisa
dimaklumi. Seperti anak kecil yang cuek, tidakkah Anda lebih bahagia dengan menganggap
bahwa besok hidup Anda akan tercukupi?
Berbalikan dengan cara hidup kita dalam peradaban dewasa ini,
yang selalu khawatir akan berbagai kejadian lalu serta merencanakan masa depan,
tidak pernah berada pada saat ini. Berapa banyak kesempatan hidup yang kita
lewatkan karena pikiran kita sedang berkelana lintas masa?
Nyata sekali kurang dianggapnya peranan konsep uang terhadap
ketidakmampuan kita untuk menghayati saat ini yang menurut sejarah tiada
taranya. Bukan hanya kajian antropologi yang menunjukkan hubungan antara
penggunaan uang dan menurunnya kemampuan untuk menghayati saat ini—sedikitnya
pengalaman saya sendiri justru mengajarkan demikian. Berbalikan dengan akal
sehat dan di luar dugaan, kecemasan saya akan segala sesuatu perlahan berkurang—bukannya bertambah—setelah tiga-empat bulan hidup tanpa uang. Terus terang,
selama beberapa bulan pertama saya cemas sekali, sebagian besar karena memang
uang sudah sejak lama memberi saya rasa aman, dan saya khawatir kalau-kalau mengalami kelaparan
atau kesulitan saya tidak bisa kembali mengandalkan uang.
Seiring dengan bergulirnya roda waktu saya mendapati diri
dengan sukarela berpasrah pada kehidupan dan mulai menghayati waktu, hal yang
tidak pernah saya perbuat ketika masih lebih menyadari konsep serupa utang
piutang. Setiap hari saya merasa tercukupi, dan seiring dengan berulangnya
pengalaman tersebut perlahan Anda pun mulai berhenti mencemaskan esok. Dalam
hati Anda menyadari bahwa segalanya akan baik-baik saja, dan seburuk-buruknya
yang dapat terjadi pada Anda ialah kembali pada alam semesta, yang saya maklumi
bagaimanapun juga merupakan jati diri Anda. Orwell pernah mengatakan bahwa
“kebahagiaan hanya ada dalam penerimaan,” dan pernyataan itu telah menjadi
pengalaman saya, begitu pula masyarakat seperti suku Pirahã. Menerima yang
dibawakan kehidupan untuk Anda setiap hari, tidak menyesali apa pun dan tidak
mencemaskan masa depan. Dan bergembiralah—tidak ada yang sebegitu beratnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar