“Orang-orang di sana tidak membaca!” cetus petugas tata
usaha di Texas A&M University. Ia membicarakan orang-orang di Qatar. Tentu
saja ia keliru; angka melek huruf di Qatar lebih dari 96 persen, di atas
Australia, namun di bawah Jalur Gaza.
Si petugas tata usaha barangkali belum mengetahui ini. Jadi apa alasan di
balik opininya? Dari mana timbulnya pikiran bahwa “orang-orang di sana tidak
membaca”? Yang sebenarnya dimaksudkan oleh si petugas tata usaha yaitu membaca
bacaan fiksi atau membaca untuk kesenangan. Di sinilah paling sering terdapat
ketidaksesuaian antara apa yang dianggap sebagai melek huruf dan apa yang dibaca.
Menurut si petugas tata usaha, ilmu pengetahuan diperoleh melalui bacaan fiksi
dan dengan pandangan tersebut ia menyimpulkan bahwa penduduk Qatar tidak
membaca.
Menurut pandangan Islam tradional, konsep ilmu pengetahuan secara umum
dilihat dari segi yang suci versus yang profan. Bobot ilmu pengetahuan yang
diperoleh diukur dari kedua nilai ini. Bagi sebagian umat Islam, ilmu
pengetahuan yang suci--Alquran, hadis, dan wejangan agama--memungkinkan manusia
untuk memelihara hubungan dengan Sang Pencipta. Sebaliknya, ilmu pengetahuan
dalam bentuk fiksi, khususnya bacaan spekulatif, seperti fiksi sains, fantasi,
serta komik, menjauhkan manusia dari Sang Pencipta dan mengarahkan untuk
mengejar dunia. Tentu saja, tidak ada dasar agama bagi pemisahan seperti itu, kecuali
jika fiksi dicampuradukkan dengan perbuatan dusta. Fiksi, terutama fiksi sains,
fantasi, dan komik, merupakan cara yang konkret untuk mendorong aktivitas
membaca, menulis, serta berimajinasi yang dapat
memacu kreativitas dan inovasi dalam segala bidang pembelajaran bagi umat
Islam. Melalui fiksi, pembaca dan penulis juga dapat menjembatani dan
memperkuat kedua cabang ilmu pengetahuan tersebut. Sebagai pendidik yang
meneliti dan mengajar berdasarkan Islam Amerika, saya sering menggunakan apa
yang saya sebut sebagai fiksi Islam dalam kerja pedagogis.
Maka bagaimana kita mendorong umat Islam supaya tidak hanya mempelajari
ilmu pengetahuan suci melainkan segala ilmu pengetahuan? Tradisi Nabi adalah
titik awal yang ideal. Perintah untuk mencari ilmu dari buaian sampai ke liang
lahad merupakan pepatah yang lazim terdengar dari umat Islam di seluruh dunia.
Nabi Muhammad memerintahkan pengikutnya supaya “mencari ilmu sampai ke Cina”,
demikian mendorong pencarian ilmu pengetahuan di luar dunia keagamaan. Umat
Islam diperintahkan untuk merenung, berpikir, belajar, memahami, serta mengkaji
segalanya yang ada di sekitar mereka. Sebagaimana yang dianjurkan ilmuwan
sosial Anas Al-Shaikh, ilmu pengetahuan, pendidikan serta kecakapan belajar
bagi umat Islam, memperkuat “nilai-nilai perikemanusiaan, kesusilaan,
kewarganegaraan, hidup berdampingan secara damai, penolakan terhadap rasisme
dan diskriminasi, penerimaan terhadap yang ‘liyan’, serta berikatan dengan
keterampilan untuk berpikir kritis dan berkesadaran yang secara aktif
diajarkan.” Jadi bagaimana itu disesuaikan dengan keengganan membaca fiksi yang
tampak di negara-negara Muslim?
Seperti kebanyakan permasalahan di dunia, kita dapat memandang persoalan
ini sebagai salah satu kekuatan. Tidak mengherankan, imajinasi dilihat sebagai
tantangan bagi orang-orang yang memiliki wewenang atas dogma agama, serta
penguasaan tafsir dan pemahamannya. Pikiran mengenai ilmu pengetahuan yang suci
versus yang profan bisa dan tengah digunakan untuk melumpuhkan setiap usaha
membaca “demi kesenangan”. Dalam masyarakat Muslim, membaca fiksi sains dan
fantasi dipandang profan dan karena itu bukan hanya sia-sia tetapi juga
berbahaya bagi mereka yang sedang mencoba untuk meningkatkan pemahaman akan
Sang Pencipta. Di beberapa negara Muslim, seperti Arab Saudi dan Iran, bacaan
ini selalu dilarang, dan di negara-negara lainnya mendapat sensor berat.
Sekalipun begitu, inovasi dan penemuan ilmiah dari peradaban Muslim
berperan sebagai kiasan sastra dalam banyak bacaan fiksi sains dan fantasi kontemporer.
Banyak alat ciptaan Muslim seperti astrolab, kuadran, serta peta navigasi
terperinci telah membantu memperluas warisan sastra fiksi sains, fantasi, serta
tulisan spekulatif secara keseluruhan. Astrolab dan kuadran telah menjadi bahan
baku dalam film dan acara televisi fiksi sains populer seperti Star Wars, Star Trek, dan Dune. Penggunaan astrolab serta Kuadran
Alfa, Beta, Delta dan Gamma sebagai nama pesawat luar angkasa menunjukkan umur
panjang invensi awal ini dan kepentingannya sebagai sarana penemuan.
Kiasan fiksi ilmiah lainnya, perjalanan waktu, juga berakar pada Islam.
Salah satu contoh terbesar mengenai perjalanan paranormal yaitu cerita tentang
mikraj Nabi dari Yerusalem ke Surga sementara duduk di Masjid Agung di
Yerusalem. Bagi umat Islam, gambaran ini tidaklah aneh ataupun asing. Yusuf
Nuruddin, pengajar Studi Afrika di University of Massachusetts Boston,
menunjukkan bahwa mikraj Nabi merupakan contoh dari apa yang disebutnya tema
fiksi sains--suatu sistem kepercayaan yang merangsang imajinasi. Nuruddin juga
berpendapat bahwa sebagian cerita dalam Kisah
1001 Malam, semisal, “Kota Kuningan” (“The City of Brass”) dan “Kuda Hitam” (“The Ebony Horse”), merupakan contoh awal dari fiksi
sains dipadukan dengan unsur fantasi.
Para penulis Muslim kontemporer sering kali mengambil dari kisah religi
dan parabel profetik awal ini untuk mengembangkan cerita fiksi sains dan fantasi
mereka. Crescent in the Sky (1990)
dan A Gathering of Stars (1990) karya
Donald Moffitt merupakan contoh awal fiksi sains mengenai umat Islam yang
plotnya dilandaskan pada kerinduan akan kejayaan Islam. Novel Moffitt
menggambarkan Islam yang telah menyebar ke seluruh alam semesta, tetapi tidak
memiliki pemimpin tunggal atau khalifah. Untuk mengukuhkan kepemimpinan
kerajaan antarplanet ini, si tokoh harus melakukan perjalanan ke Mekah, usaha
yang penuh bahaya dan muslihat. Perjalanan dari Planet Mars ke Mekah
melambangkan kewajiban yang mesti ditunaikan semua Muslim yang mampu sedikitnya
sekali seumur hidup. Contoh menarik lainnya, yang muncul lebih awal, yaitu The Book of Strangers (1972) karya Ian
Dallas, yang kemudian berubah menjadi Abdul Qadir as-Sufi. Cerita Dallas
berlatar di dunia berteknologi tinggi dalam mana penyaluran informasi
dikendalikan oleh komputer. Tokoh utamanya seorang pustakawan universitas yang
mengawasi informasi dan menemukan serangkaian tulisan Sufi/religius yang
menggiringnya pada perjalanan untuk memperoleh yang hilang dalam hidupnya.
Perjalanan itu akhirnya membawa dia ke Afrika Utara tempat perjumpaannya dengan
mantan pustakawan universitas yang memberikan dorongan bagi perubahan inti
dirinya. Dalam cerita ini Dallas memasukkan penjelajahan pribadinya menuju
Islam, sambil mencatat bahwa teknologi dan pencerahan spiritual tidaklah
berlawanan melainkan berfaedah bagi satu sama lain.
Bagaimana pendidik memanfaatkan fiksi sains, fantasi, dan komik sebagai
metode pendidikan? Apa yang dapat diberikan metode ini dalam kaitannya dengan
pendekatan baru terhadap pembelajaran Islam? Jawabannya beragam. Fiksi sains
(FS) menyediakan cara bagi penyampaian cerita dari sudut pandang yang
berlawanan dengan asumsi dan stereotip kita, serta mendesakkan wacana baru
mengenai ras, privilese, dan kekuasaan. FS, sebagaimana saudara dekatnya, fantasi, dapat menyertakan pembaca dengan manfaat dasar imajinasi,
pengalaman buruk, mimpi, yang tidak terjelaskan, dan yang mustahil. Fiksi Islam
memberi kesempatan bagi pendidik untuk mengembangkan ilmu mendidik serta
kecakapan yang pemikiran kritis, komunikasi, dan inovasi; serta untuk
menjelajah tema dalam kondisi kemanusiaan yang memungkinkan orang lain
“berjalan satu kilometer menggunakan sepatunya” tanpa menghakimi. Sebagai
sarana eksperimen-gagasan memberikan kesempatan yang subur bagi pemahaman dan
pelajaran kebudayaan. Sastra, film, musik, serta permainan yang terinspirasi
oleh Islam dapat menantang siswa untuk meninjau kembali asumsi lama, membahas
topik-topik yang kontroversial, menyuarakan pendapat mereka, dan menulis tanpa
takut. Siswa dapat mengembangkan pemikiran kritis dengan menjelajah berbagai
sudut pandang dan kompleksitas dalam Islam, tindakan yang hanya mungkin apabila
siswa mengerti bahwa tidak ada persoalan kompleks yang dapat dipahami
seluruhnya dalam kerangka hitam-putih. Mengetahui cara meneliti keragaman
praktik Islam dalam masyarakat Muslim memerlukan, di antaranya, agar siswa
mengenali sumber-sumber yang autentik, memahami strategi pencarian di luar
Google, mengembangkan kecakapan analitis dan interpretasi yang juga dapat memberikan keahlian yang berharga dan
bertahan lama. Cara unik dan kreatif bagi siswa untuk mengembangkan pemahaman
lintas-kebudayaan dalam kerangka fiksi sains akan menciptakan peran dan wacana
mereka sendiri dalam genre tersebut.
Memang, para pendidik telah mulai memanfaatkan fiksi sains, fantasi, dan
komik sebagai sarana pendidikan di dunia Muslim. Sejumlah lokakarya dan
konferensi telah diadakan baik di dunia Barat maupun Muslim untuk memajukan
gagasan itu. The Middle East Film & Comic Con di Dubai serta konferensi
Sinbad SciFi di British Museum, London, merupakan contoh yang baik atas
pengakuan bahwa genre ini mengandung kesempatan transnasional bagi pendidikan,
kerja sama, dan wacana.
Contoh lainnya yaitu Yatakhayaloon--atau
Liga Penggemar SciFi Arab--didirikan oleh insinyur komputer, penulis, dan
pengusaha Arab Saudi, Yasser Bahjatt. Yatakhayaloon (“Mereka berkhayal”)
berlandaskan kepercayaan bahwa fiksi sains dan ilmu pengetahuan pada hakikatnya
berhubungan. Sebagaimana yang pernah dikatakan oleh penulis fiksi sains
termasyhur Isaac Asimov, “fiksi sains sejati tak dapat benar-benar ada hingga
orang memahami rasionalisme ilmu pengetahuan dan mulai mempergunakannya dengan
rasa hormat dalam kisah mereka.” Dalam kolaborasinya bersama penulis Saudi
lain, Ibraheem Abbas, Bahjatt telah menulis sebuah novel roman fiksi sains yang
sangat bagus berjudul HWJN (Hawjan).
Novel itu mengisahkan tentang hubungan antara jin dan manusia serta banyaknya
rintangan yang mereka hadapi. Masyarakat manusia dalam HWJN telah meninggalkan ajaran Islam dan terperosok dalam ilmu gaib
dan sihir sementara bangsa Jin menaati Alquran dan jauh lebih berakal. Semua
ini dianggap berlebihan oleh penguasa Saudi. Pada 2013 Komisi Saudi untuk
Peningkatan Kebajikan dan Pencegahan Kejahatan menghentikan penjualan HWJN, sementara memutuskan apakah hendak
melarangnya atas penghujatan Tuhan serta propaganda pemujaan setan. Pengusutannya
boleh jadi terdorong oleh rumor bahwa buku tersebut “mengarahkan gadis-gadis
remaja untuk mencoba-coba papan Ouija”. Walau penguasa Saudi segera
menghentikan pelarangan HWJN, Kuwait
dan Qatar mengumumkan bahwa mereka juga akan melakukannya. Keberhasilan HWJN menunjukkan bahwa terlepas dari
anggapan si petugas tata usaha orang Texas, ada kehausan akan fiksi di dunia
Muslim. Sebelum buku tersebut menjadi perhatian otoritas keagamaan di Saudi,
penjualannya telah mencapai 25.000 kopi dan serta puncak daftar buku laris di
Saudi. Sebagaimana tanggapan Bahjatt atas reaksi pejabat terhadap HWJN, “Saya memperkirakan keributan
tersebut, saat kami menyadari dari memantau media sosial Saudi bahwa
sekolah-sekolah mulai mengeluh karena siswa membaca HWJN seharian. Jadi saya sudah memperkirakan bahwa sekolah-sekolah
akan mulai melarang buku itu karena mengganggu pelajaran. Namun kami tidak
pernah memperkirakan bahwa guru-guru di sekolah akan memulai rumor tentang isi
buku itu tanpa sekali pun membacanya. Dan, sayangnya, buku itu masih dilarang
di Kuwait dan Qatar, dan kebanyakan toko buku di Saudi masih ketakutan untuk
mengembalikannya ke rak.”
Namun melarang karya fiksi sains seperti itu sungguh picik. Tindakan itu
juga sepenuhnya buta akan kegunaan karya sedemikian sebagai sarana pendidikan
yang dapat memajukan diskusi mengenai persoalan dunia nyata dan membantu
menemukan pemecahan konkret terhadap masalah rasisme dan xenofobia yang
mewabahi masyarakat kita. Sebagai pertimbangan, misalnya saja, dua novel Steven
Barnes, Lions Blood dan Zulu Heart dari seri Insha’Allah
karangannya. Kedua novel ini memajukan persoalan rasisme secara langsung--namun
dengan membalikkan konvensi. Berlatar di dunia alternatif dalam mana orang
Afrika dan Asia menjadi majikan sedang para budaknya berasal dari Eropa, kedua
novel ini luar biasa dalam merefleksikan peristiwa terkini di seluruh dunia
Muslim. Tokoh utama cerita ini yaitu dua orang anak, yang satu Muslim dan putra
dari tokoh paling berpengaruh di Bilalistan, Kai bin Rashid, sementara yang
satu lagi yaitu budak berkebangsaan Irlandia, Aidan O’Dere yang telah
kehilangan desanya serta sebagian besar keluarganya akibat perdagangan budak. Cerita
Barnes pada khususnya menyangkut kawasan yang dulunya disebut Afrika Kuno,
Afrika yang mencakup daerah yang dalam dunia poskolonial kini dianggap sebagai
bagian dari Timur Tengah. Keinginan penuh untuk memperoleh kebebasan dari
perselisihan yang terus-menerus, patronasi, serta ketergantungan pada kongsi
yang tidak berperikemanusiaan memaksa pembaca agar menghadapi dan menantang
asumsi mengenai sistem perbudakan. Barnes menggunakan Islam untuk meredam
sebagian kenyataan sengit mengenai ras dan rasisme, serta kekuasaan dan
privilese yang menunjang pengetahuan kita pada abad ke-21 mengenai perbudakan. Ia
mendesakkan karakteristik “yang disebut” manusiawi ini di sepanjang jalan
cerita dan menekankan bahwa pandangan Islam atas perbudakan tidaklah
berdasarkan ras dan bukan pula penghalang bagi kemajuan di dalam masyarakat.
Para budak di Dar Kush diperlakukan dengan baik, keluarga mereka tetap utuh,
dan tidak hanya diizinkan menjalankan agama mereka, perkebunan mempertahankan
adanya hutan kecil yang digunakan para budak sebagai tempat suci. Di Bilalistan
orang-orang kulit putih diberi kemerdekaan bila mereka berjuang demi tuan
mereka, sebagaimana yang dilakukan oleh banyak orang kulit hitam yang berjuang
di pihak Uni pada Perang Saudara Amerika Serikat. Para budak fiktif yang telah
dibebaskan berjuang untuk menemukan tempat dan memulihkan kebudayaan mereka,
serta membentuk masyarakat yang makmur di dunia yang dikuasai oleh orang kulit
hitam. Ketika dewasa, Kai dan Aidan membahas perlunya mengakhiri perbudakan,
kemanusiaan bangsa kulit putih, serta agama Islam dan Kristen; mereka berbicara
secara setara. Aidan mendesak Kai agar memahami akibat perbudakan bagi
orang-orang yang diperbudak serta pemilik budak. Kemampuan berbicaranya itu
boleh jadi berasal dari suara Frederick Douglass[1] atau
pendukung anti-perbudakan mana pun. Pandangannya terhadap Islam mencerminkan
pernyataan Douglass terhadap kekristenan pedagang budak. Karakter Aidan,
Kai, dan Babatunde membarui banyak diskusi dan pembahasan mengenai aspek
legitimasi, etis, dan moral dari perbudakan dan perdagangan budak yang terus
berlangsung dalam masyarakat Muslim dan non-Muslim di dunia alternatif ini,
serta mencerminkan perdebatan yang pernah terjadi di Amerika. Pembicaraan
mereka menggemakan kata-kata yang pernah diucapkan oleh para anggota gerakan
abolisi, tokoh-tokoh pendukung perbudakan, serta para mantan budak. Kedua novel
ini merangkul dunia fantasi maupun kesusastraan fiksi sains, memanfaatkan kedua
genre dengan cara yang mendorong kita untuk memikirkan kembali kepercayaan
umum, serta membuat kita merasa tidak nyaman, untuk secara kritis memikirkan
perbudakan dan mempertanyakan dampak jangka panjangnya serta pengaruh sistemis
dari lembaga yang khusus itu.
Persoalan ini pokok di seluruh negara Timur Tengah dan Afrika, namun tidak
dibicarakan, begitu pun di Mesir, dengan identitas gandanya--Afrika dan Arab. Baik novel-novel Barnes maupun keadaan dewasa kini di seluruh
dunia mengesankan bahwa kebenaran tak lekang waktu yang memberikan cahaya
perubahan, berdampak dan mengubah kehidupan ribuan orang, sering kali
diungkapkan melalui tindakan individu ketimbang kelompok. Instruktur dapat
menggunakan kedua karya ini untuk menghadapkan gagasan-gagasan akan identitas
dan penindasan, persoalan-persoalan yang berhubungan dengan peristiwa dunia
masa ini. Apakah dampak dari kolonialisme dan imperialisme terhadap yang
menaklukkan dan yang ditaklukkan di semesta alternatif? Novel-novel ini
mengajukan berbagai wacana mengenai peran gender, poligami, dampak kolonial dan
poskolonial terhadap masyarakat, toleransi agama, bahkan hukum maritim!
Novel grafis G.
Willow Wilson, Cairo, yang mengangkat
sekaligus mendukung toleransi, serta karya mutakhir tentang superhero Amerika
keturunan Pakistan Ms Marvel yang
hendak “mewajarkan” pengalaman Muslim dalam pandangan pluralistis Amerika, juga
dapat menjadi sarana pendidikan yang bagus sekali. Kedua kisah tersebut
mengenalkan publik pada keragaman karakter, plot, dan jalan cerita dalam
tradisi Islam. Mengkaji Cairo dapat
membuka kesempatan baik untuk membahas peristiwa terkini serta topik-topik
kontroversial seperti hubungan Muslim/Yahudi begitu pula konflik
Palestina/Israel dari sudut pandang historis dan kontemporer. Yang menarik,
novel itu memberikan wawasan yang menyingggung tentang orang-orang Eropa,
Amerika, dan Arab yang baru-baru ini pergi ke Suriah dan Irak untuk menjadi
tentara ISIS, lewat karakter Shaheed, warga Amerika keturunan Lebanon yang
pergi ke Mesir untuk menjadi pelaku bom bunuh diri. Cairo mencoba mempersembahkan gagasan ini dalam kemasan kisah yang
mencakup unsur-unsur fantasi meliputi Jin yang merupakan kunci bagi jalan
cerita. Buku yang cemerlang ini dapat menggugah wacana sulit namun perlu
sehingga dibutuhkan orang yang dapat menggiring diskusi ini dengan pemahaman
sejarah, ekonomi, serta gagasan “pendirian negara” dalam Islam.
Peran gender dalam
Islam dikupas melalui buku komik superhero Wilson Ms Marvel berikut karya lainnya dari penulis Muslim maupun
non-Muslim. Sebagai contoh, berapa banyak orang yang mengenal Roquia Sakhawat
Hussain (1880-1932)? Hussain merupakan penulis yang sangat produktif serta
pekerja sosial dari Bangladesh (saat itu masih bagian dari India) pada awal abad
kedua puluh. Yang paling dikenal dari berbagai upayanya
untuk kepentingan kesetaraan gender dan persoalan-persoalan lainnya yaitu ia
mendirikan sekolah pertama yang khusus ditujukan untuk gadis-gadis Muslim, yang
masih ada hingga kini. Bukunya, Sultana’s Dream merupakan karya fiksi sains feminis yang
pertama-tama, mencakup pertukaran peran antara laki-laki/perempuan dalam dunia
utopia. Sultana’s Dream pertama kali dipublikasikan pada 1905 dalam majalah
berbahasa Inggris bertempat di Madras, Indian
Ladies Magazine, kemudian sebagai buku pada 1908. Sering kali tulisan
laki-laki dan perempuan dengan karakter wanita Muslim sayangnya cenderung
mengekalkan stereotip mengenai orang-orang yang penurut, tertindas, serta ‘tertutup/terbungkam’,
namun banyak di antara kisah-kisah yang belakangan menantang narasi demikian,
dengan menawarkan pandangan yang lebih bernuansa dan berlawanan. Throne of the Crescent Moon (2012) karya
Saladin Ahmad menyertakan pengubah bentuk/pejuang perempuan sebagai salah satu
tokoh utamanya, film-film eksperimental serta instalasi seni seperti Nation
Estate karya Larissa Sansour menonjolkan tokoh-tokoh utama perempuan, dan The 99, serial buku komik karya Naif
Al-Mutawa dari Kuwait, menyertakan sejumlah pahlawan perempuan Muslim. Karya penulis,
penyair, dan pendongeng Pamela Taylor juga merupakan sumber berharga untuk mendiskusikan
aktivisme, penulisan puisi, serta para wanita Muslim. Taylor telah menulis
banyak buku anak-anak serta menyajikan penampilan dongeng dengan menggunakan
kisah-kisah dari berbagai masyarakat Muslim meliputi kebudayaan Palestina,
Amerika, dan Turki. 50 Fatwas for the
Virtuous Vampire karyanya terkenal berkat humor dan imajinasinya.
Fiksi Islam juga
dapat membangkitkan penugasan menarik untuk memacu penulisan puisi. Dengan
menggunakan dampak pemanasan global sebagai latar belakang, para siswa dapat
mengkaji Beyonder, sajak epik karya
musisi dan penyair Amerika keturunan Afrika, Jalaluddin Nuriddin. Nuriddin merupakan
salah seorang anggota perintis The Last Poets, grup ikonik musisi dan penyair
yang berkembang dari Harlem Writers’ Workshop di New York pada akhir 1960-an.
Syairnya dianggap sebagai karya agung seni dan puisi panggung, mendahului
zamannya dalam memerinci malapetaka yang diakibatkan oleh perusakan yang
dilakukan manusia terhadap lingkungan hidup. Gagasan bahwa teknologi merupakan
panasea bagi segala penyakit kita dikemukakan lewat penciptaan android bernama
Sir Mankin (kin to man—famili bagi
manusia), namun sia-sia saja, dunia telah tersesat. Syair lain yang layak
digarap di ruang kelas adalah epos Persia The
Shanameh, yang saat ini tersedia dalam bentuk seri buku komik serta novel
grafis. Ditulis oleh penyair Ferdowsi antara sekitar 977 sampai 1010, dan
terdiri dari sekitar 60.000 bait, karya ini memerinci masa lalu kekaisaran
Persia secara historis dan mitologis mulai dari penciptaan dunia sampai
penaklukan Islam atas Persia. Para siswa dapat membandingkan riwayat-riwayat di
sepanjang syair ini dengan karya fiksi dan syair lainnya. Sebagai contoh, kisah
anak-anak yang terkenal, Rapunzel (Rapunzel, Rapunzel turunkan rambut
panjangmu), sebenarnya merupakan cerita dalam The Shahnameh, romansa antara Zal dan Rudaba.
Banyak topik lain,
seperti politik dan politikus, perbedaan dan kesamaan Sunni dan Shia, dapat
dipelajari melalui perantaraan fiksi Islam. Pilihan kontennya mestilah
ditentukan menurut hasil yang dikehendaki dari pelajaran, namun tak terhitung
cara yang dengannya karya-karya pelengkap yang melukiskan masyarakat Mulism
lewat film, buku komik dan novel grafis, karya sastra, gim, dan diskursus lain
dapat diintegrasikan ke dalam aneka kurikulum. Malah, sumber daya dan peluang
yang tersedia untuk membantu pengajaran tentang Islam tidak akan ada habisnya. Ada
situs internet, festival film, pameran buku, konvensi, dan konferensi yang
dewasa ini menonjolkan para penulis dan kritikus fiksi sains/fantasi Muslim
terkemuka. Karya baru-baru ini yang ramai diperbincangkan yaitu Frankenstein in Baghdad oleh novelis
Iraq Ahmad Saadawi, yang memenangkan Penghargaan Internasional untuk Fiksi
Arab. Novel tersebut merupakan campuran antara fiksi sains dan horor,
menyegarkan kisah Frankenstein sekaligus kritik terhadap invasi Amerika di
Irak. Ceritanya mengisahkan tentang Hadi al-Attag, seorang pria yang menjahit
bagian-bagian tubuh orang-orang yang terbunuh dalam ledakan di ibu kota Iraq. Monster
ciptaan itu kemudian hidup dan memulai serangan balas dendam terhadap
orang-orang yang bertanggung jawab atas kematiannya. Karya ini merupakan contoh
cemerlang betapa fiksi Islam dapat menerangkan subjek dari perspektif yang
selain sangat berbeda juga historis dan multikultural secara mendalam.
Untuk
bersungguh-sungguh mengapresiasi nilai edukasi pada fiksi sains, fantasi, dan
literatur buku komik akan membutuhkan waktu dan komitmen. Kita mesti terus
menguatkan hubungan antara fiksi sains dan studi ilmiah dalam dunia Muslim:
minat pada fiksi sains akan mencetuskan minat pada sains, dan sebaliknya.
Pendidikan yang yang membukakan masyarakat Muslim pada fiksi Islam dapat
mewujudkan masa depan yang positif dan bergairah bagi masyarakat Muslim.
"The Case for Fictional Islam" terdapat dalam edisi 15.3 | "Educational Reform Critical Muslim.
[1] (1818 - 1895) reformis
sosial, anggota gerakan abolisi, orator, penulis, dan
negarawan berkebangsaan Afrika-Amerika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar