Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Andrew Driver (6) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (273) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yasutaka Tsutsui (6) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

The Moneyless Manifesto: Waktu bukanlah uang (Mark Boyle, 2012)

Manusia … mengorbankan kesehatannya demi uang. Kemudian ia mengorbankan uang demi memulihkan kesehatannya. Kemudian ia gelisah akan masa de...

20190427

Persoalan Fiksi Islam (Ruqayyah Kareem)

“Orang-orang di sana tidak membaca!” cetus petugas tata usaha di Texas A&M University. Ia membicarakan orang-orang di Qatar. Tentu saja ia keliru; angka melek huruf di Qatar lebih dari 96 persen, di atas Australia, namun di bawah Jalur Gaza.

Si petugas tata usaha barangkali belum mengetahui ini. Jadi apa alasan di balik opininya? Dari mana timbulnya pikiran bahwa “orang-orang di sana tidak membaca”? Yang sebenarnya dimaksudkan oleh si petugas tata usaha yaitu membaca bacaan fiksi atau membaca untuk kesenangan. Di sinilah paling sering terdapat ketidaksesuaian antara apa yang dianggap sebagai melek huruf dan apa yang dibaca. Menurut si petugas tata usaha, ilmu pengetahuan diperoleh melalui bacaan fiksi dan dengan pandangan tersebut ia menyimpulkan bahwa penduduk Qatar tidak membaca.

Menurut pandangan Islam tradional, konsep ilmu pengetahuan secara umum dilihat dari segi yang suci versus yang profan. Bobot ilmu pengetahuan yang diperoleh diukur dari kedua nilai ini. Bagi sebagian umat Islam, ilmu pengetahuan yang suci--Alquran, hadis, dan wejangan agama--memungkinkan manusia untuk memelihara hubungan dengan Sang Pencipta. Sebaliknya, ilmu pengetahuan dalam bentuk fiksi, khususnya bacaan spekulatif, seperti fiksi sains, fantasi, serta komik, menjauhkan manusia dari Sang Pencipta dan mengarahkan untuk mengejar dunia. Tentu saja, tidak ada dasar agama bagi pemisahan seperti itu, kecuali jika fiksi dicampuradukkan dengan perbuatan dusta. Fiksi, terutama fiksi sains, fantasi, dan komik, merupakan cara yang konkret untuk mendorong aktivitas membaca, menulis, serta berimajinasi yang dapat memacu kreativitas dan inovasi dalam segala bidang pembelajaran bagi umat Islam. Melalui fiksi, pembaca dan penulis juga dapat menjembatani dan memperkuat kedua cabang ilmu pengetahuan tersebut. Sebagai pendidik yang meneliti dan mengajar berdasarkan Islam Amerika, saya sering menggunakan apa yang saya sebut sebagai fiksi Islam dalam kerja pedagogis.

Maka bagaimana kita mendorong umat Islam supaya tidak hanya mempelajari ilmu pengetahuan suci melainkan segala ilmu pengetahuan? Tradisi Nabi adalah titik awal yang ideal. Perintah untuk mencari ilmu dari buaian sampai ke liang lahad merupakan pepatah yang lazim terdengar dari umat Islam di seluruh dunia. Nabi Muhammad memerintahkan pengikutnya supaya “mencari ilmu sampai ke Cina”, demikian mendorong pencarian ilmu pengetahuan di luar dunia keagamaan. Umat Islam diperintahkan untuk merenung, berpikir, belajar, memahami, serta mengkaji segalanya yang ada di sekitar mereka. Sebagaimana yang dianjurkan ilmuwan sosial Anas Al-Shaikh, ilmu pengetahuan, pendidikan serta kecakapan belajar bagi umat Islam, memperkuat “nilai-nilai perikemanusiaan, kesusilaan, kewarganegaraan, hidup berdampingan secara damai, penolakan terhadap rasisme dan diskriminasi, penerimaan terhadap yang ‘liyan’, serta berikatan dengan keterampilan untuk berpikir kritis dan berkesadaran yang secara aktif diajarkan.” Jadi bagaimana itu disesuaikan dengan keengganan membaca fiksi yang tampak di negara-negara Muslim?

Seperti kebanyakan permasalahan di dunia, kita dapat memandang persoalan ini sebagai salah satu kekuatan. Tidak mengherankan, imajinasi dilihat sebagai tantangan bagi orang-orang yang memiliki wewenang atas dogma agama, serta penguasaan tafsir dan pemahamannya. Pikiran mengenai ilmu pengetahuan yang suci versus yang profan bisa dan tengah digunakan untuk melumpuhkan setiap usaha membaca “demi kesenangan”. Dalam masyarakat Muslim, membaca fiksi sains dan fantasi dipandang profan dan karena itu bukan hanya sia-sia tetapi juga berbahaya bagi mereka yang sedang mencoba untuk meningkatkan pemahaman akan Sang Pencipta. Di beberapa negara Muslim, seperti Arab Saudi dan Iran, bacaan ini selalu dilarang, dan di negara-negara lainnya mendapat sensor berat.

Sekalipun begitu, inovasi dan penemuan ilmiah dari peradaban Muslim berperan sebagai kiasan sastra dalam banyak bacaan fiksi sains dan fantasi kontemporer. Banyak alat ciptaan Muslim seperti astrolab, kuadran, serta peta navigasi terperinci telah membantu memperluas warisan sastra fiksi sains, fantasi, serta tulisan spekulatif secara keseluruhan. Astrolab dan kuadran telah menjadi bahan baku dalam film dan acara televisi fiksi sains populer seperti Star Wars, Star Trek, dan Dune. Penggunaan astrolab serta Kuadran Alfa, Beta, Delta dan Gamma sebagai nama pesawat luar angkasa menunjukkan umur panjang invensi awal ini dan kepentingannya sebagai sarana penemuan.

Kiasan fiksi ilmiah lainnya, perjalanan waktu, juga berakar pada Islam. Salah satu contoh terbesar mengenai perjalanan paranormal yaitu cerita tentang mikraj Nabi dari Yerusalem ke Surga sementara duduk di Masjid Agung di Yerusalem. Bagi umat Islam, gambaran ini tidaklah aneh ataupun asing. Yusuf Nuruddin, pengajar Studi Afrika di University of Massachusetts Boston, menunjukkan bahwa mikraj Nabi merupakan contoh dari apa yang disebutnya tema fiksi sains--suatu sistem kepercayaan yang merangsang imajinasi. Nuruddin juga berpendapat bahwa sebagian cerita dalam Kisah 1001 Malam, semisal, “Kota Kuningan” (“The City of Brass”) dan “Kuda Hitam” (“The Ebony Horse”), merupakan contoh awal dari fiksi sains dipadukan dengan unsur fantasi.

Para penulis Muslim kontemporer sering kali mengambil dari kisah religi dan parabel profetik awal ini untuk mengembangkan cerita fiksi sains dan fantasi mereka. Crescent in the Sky (1990) dan A Gathering of Stars (1990) karya Donald Moffitt merupakan contoh awal fiksi sains mengenai umat Islam yang plotnya dilandaskan pada kerinduan akan kejayaan Islam. Novel Moffitt menggambarkan Islam yang telah menyebar ke seluruh alam semesta, tetapi tidak memiliki pemimpin tunggal atau khalifah. Untuk mengukuhkan kepemimpinan kerajaan antarplanet ini, si tokoh harus melakukan perjalanan ke Mekah, usaha yang penuh bahaya dan muslihat. Perjalanan dari Planet Mars ke Mekah melambangkan kewajiban yang mesti ditunaikan semua Muslim yang mampu sedikitnya sekali seumur hidup. Contoh menarik lainnya, yang muncul lebih awal, yaitu The Book of Strangers (1972) karya Ian Dallas, yang kemudian berubah menjadi Abdul Qadir as-Sufi. Cerita Dallas berlatar di dunia berteknologi tinggi dalam mana penyaluran informasi dikendalikan oleh komputer. Tokoh utamanya seorang pustakawan universitas yang mengawasi informasi dan menemukan serangkaian tulisan Sufi/religius yang menggiringnya pada perjalanan untuk memperoleh yang hilang dalam hidupnya. Perjalanan itu akhirnya membawa dia ke Afrika Utara tempat perjumpaannya dengan mantan pustakawan universitas yang memberikan dorongan bagi perubahan inti dirinya. Dalam cerita ini Dallas memasukkan penjelajahan pribadinya menuju Islam, sambil mencatat bahwa teknologi dan pencerahan spiritual tidaklah berlawanan melainkan berfaedah bagi satu sama lain.

Bagaimana pendidik memanfaatkan fiksi sains, fantasi, dan komik sebagai metode pendidikan? Apa yang dapat diberikan metode ini dalam kaitannya dengan pendekatan baru terhadap pembelajaran Islam? Jawabannya beragam. Fiksi sains (FS) menyediakan cara bagi penyampaian cerita dari sudut pandang yang berlawanan dengan asumsi dan stereotip kita, serta mendesakkan wacana baru mengenai ras, privilese, dan kekuasaan. FS, sebagaimana saudara dekatnya, fantasi, dapat menyertakan pembaca dengan manfaat dasar imajinasi, pengalaman buruk, mimpi, yang tidak terjelaskan, dan yang mustahil. Fiksi Islam memberi kesempatan bagi pendidik untuk mengembangkan ilmu mendidik serta kecakapan yang pemikiran kritis, komunikasi, dan inovasi; serta untuk menjelajah tema dalam kondisi kemanusiaan yang memungkinkan orang lain “berjalan satu kilometer menggunakan sepatunya” tanpa menghakimi. Sebagai sarana eksperimen-gagasan memberikan kesempatan yang subur bagi pemahaman dan pelajaran kebudayaan. Sastra, film, musik, serta permainan yang terinspirasi oleh Islam dapat menantang siswa untuk meninjau kembali asumsi lama, membahas topik-topik yang kontroversial, menyuarakan pendapat mereka, dan menulis tanpa takut. Siswa dapat mengembangkan pemikiran kritis dengan menjelajah berbagai sudut pandang dan kompleksitas dalam Islam, tindakan yang hanya mungkin apabila siswa mengerti bahwa tidak ada persoalan kompleks yang dapat dipahami seluruhnya dalam kerangka hitam-putih. Mengetahui cara meneliti keragaman praktik Islam dalam masyarakat Muslim memerlukan, di antaranya, agar siswa mengenali sumber-sumber yang autentik, memahami strategi pencarian di luar Google, mengembangkan kecakapan analitis dan interpretasi yang juga dapat memberikan keahlian yang berharga dan bertahan lama. Cara unik dan kreatif bagi siswa untuk mengembangkan pemahaman lintas-kebudayaan dalam kerangka fiksi sains akan menciptakan peran dan wacana mereka sendiri dalam genre tersebut.

Memang, para pendidik telah mulai memanfaatkan fiksi sains, fantasi, dan komik sebagai sarana pendidikan di dunia Muslim. Sejumlah lokakarya dan konferensi telah diadakan baik di dunia Barat maupun Muslim untuk memajukan gagasan itu. The Middle East Film & Comic Con di Dubai serta konferensi Sinbad SciFi di British Museum, London, merupakan contoh yang baik atas pengakuan bahwa genre ini mengandung kesempatan transnasional bagi pendidikan, kerja sama, dan wacana.

Contoh lainnya yaitu Yatakhayaloon--atau Liga Penggemar SciFi Arab--didirikan oleh insinyur komputer, penulis, dan pengusaha Arab Saudi, Yasser Bahjatt. Yatakhayaloon (“Mereka berkhayal”) berlandaskan kepercayaan bahwa fiksi sains dan ilmu pengetahuan pada hakikatnya berhubungan. Sebagaimana yang pernah dikatakan oleh penulis fiksi sains termasyhur Isaac Asimov, “fiksi sains sejati tak dapat benar-benar ada hingga orang memahami rasionalisme ilmu pengetahuan dan mulai mempergunakannya dengan rasa hormat dalam kisah mereka.” Dalam kolaborasinya bersama penulis Saudi lain, Ibraheem Abbas, Bahjatt telah menulis sebuah novel roman fiksi sains yang sangat bagus berjudul HWJN (Hawjan). Novel itu mengisahkan tentang hubungan antara jin dan manusia serta banyaknya rintangan yang mereka hadapi. Masyarakat manusia dalam HWJN telah meninggalkan ajaran Islam dan terperosok dalam ilmu gaib dan sihir sementara bangsa Jin menaati Alquran dan jauh lebih berakal. Semua ini dianggap berlebihan oleh penguasa Saudi. Pada 2013 Komisi Saudi untuk Peningkatan Kebajikan dan Pencegahan Kejahatan menghentikan penjualan HWJN, sementara memutuskan apakah hendak melarangnya atas penghujatan Tuhan serta propaganda pemujaan setan. Pengusutannya boleh jadi terdorong oleh rumor bahwa buku tersebut “mengarahkan gadis-gadis remaja untuk mencoba-coba papan Ouija”. Walau penguasa Saudi segera menghentikan pelarangan HWJN, Kuwait dan Qatar mengumumkan bahwa mereka juga akan melakukannya. Keberhasilan HWJN menunjukkan bahwa terlepas dari anggapan si petugas tata usaha orang Texas, ada kehausan akan fiksi di dunia Muslim. Sebelum buku tersebut menjadi perhatian otoritas keagamaan di Saudi, penjualannya telah mencapai 25.000 kopi dan serta puncak daftar buku laris di Saudi. Sebagaimana tanggapan Bahjatt atas reaksi pejabat terhadap HWJN, “Saya memperkirakan keributan tersebut, saat kami menyadari dari memantau media sosial Saudi bahwa sekolah-sekolah mulai mengeluh karena siswa membaca HWJN seharian. Jadi saya sudah memperkirakan bahwa sekolah-sekolah akan mulai melarang buku itu karena mengganggu pelajaran. Namun kami tidak pernah memperkirakan bahwa guru-guru di sekolah akan memulai rumor tentang isi buku itu tanpa sekali pun membacanya. Dan, sayangnya, buku itu masih dilarang di Kuwait dan Qatar, dan kebanyakan toko buku di Saudi masih ketakutan untuk mengembalikannya ke rak.”

Namun melarang karya fiksi sains seperti itu sungguh picik. Tindakan itu juga sepenuhnya buta akan kegunaan karya sedemikian sebagai sarana pendidikan yang dapat memajukan diskusi mengenai persoalan dunia nyata dan membantu menemukan pemecahan konkret terhadap masalah rasisme dan xenofobia yang mewabahi masyarakat kita. Sebagai pertimbangan, misalnya saja, dua novel Steven Barnes, Lions Blood dan Zulu Heart dari seri Insha’Allah karangannya. Kedua novel ini memajukan persoalan rasisme secara langsung--namun dengan membalikkan konvensi. Berlatar di dunia alternatif dalam mana orang Afrika dan Asia menjadi majikan sedang para budaknya berasal dari Eropa, kedua novel ini luar biasa dalam merefleksikan peristiwa terkini di seluruh dunia Muslim. Tokoh utama cerita ini yaitu dua orang anak, yang satu Muslim dan putra dari tokoh paling berpengaruh di Bilalistan, Kai bin Rashid, sementara yang satu lagi yaitu budak berkebangsaan Irlandia, Aidan O’Dere yang telah kehilangan desanya serta sebagian besar keluarganya akibat perdagangan budak. Cerita Barnes pada khususnya menyangkut kawasan yang dulunya disebut Afrika Kuno, Afrika yang mencakup daerah yang dalam dunia poskolonial kini dianggap sebagai bagian dari Timur Tengah. Keinginan penuh untuk memperoleh kebebasan dari perselisihan yang terus-menerus, patronasi, serta ketergantungan pada kongsi yang tidak berperikemanusiaan memaksa pembaca agar menghadapi dan menantang asumsi mengenai sistem perbudakan. Barnes menggunakan Islam untuk meredam sebagian kenyataan sengit mengenai ras dan rasisme, serta kekuasaan dan privilese yang menunjang pengetahuan kita pada abad ke-21 mengenai perbudakan. Ia mendesakkan karakteristik “yang disebut” manusiawi ini di sepanjang jalan cerita dan menekankan bahwa pandangan Islam atas perbudakan tidaklah berdasarkan ras dan bukan pula penghalang bagi kemajuan di dalam masyarakat. Para budak di Dar Kush diperlakukan dengan baik, keluarga mereka tetap utuh, dan tidak hanya diizinkan menjalankan agama mereka, perkebunan mempertahankan adanya hutan kecil yang digunakan para budak sebagai tempat suci. Di Bilalistan orang-orang kulit putih diberi kemerdekaan bila mereka berjuang demi tuan mereka, sebagaimana yang dilakukan oleh banyak orang kulit hitam yang berjuang di pihak Uni pada Perang Saudara Amerika Serikat. Para budak fiktif yang telah dibebaskan berjuang untuk menemukan tempat dan memulihkan kebudayaan mereka, serta membentuk masyarakat yang makmur di dunia yang dikuasai oleh orang kulit hitam. Ketika dewasa, Kai dan Aidan membahas perlunya mengakhiri perbudakan, kemanusiaan bangsa kulit putih, serta agama Islam dan Kristen; mereka berbicara secara setara. Aidan mendesak Kai agar memahami akibat perbudakan bagi orang-orang yang diperbudak serta pemilik budak. Kemampuan berbicaranya itu boleh jadi berasal dari suara Frederick Douglass[1] atau pendukung anti-perbudakan mana pun. Pandangannya terhadap Islam mencerminkan pernyataan Douglass terhadap kekristenan pedagang budak. Karakter Aidan, Kai, dan Babatunde membarui banyak diskusi dan pembahasan mengenai aspek legitimasi, etis, dan moral dari perbudakan dan perdagangan budak yang terus berlangsung dalam masyarakat Muslim dan non-Muslim di dunia alternatif ini, serta mencerminkan perdebatan yang pernah terjadi di Amerika. Pembicaraan mereka menggemakan kata-kata yang pernah diucapkan oleh para anggota gerakan abolisi, tokoh-tokoh pendukung perbudakan, serta para mantan budak. Kedua novel ini merangkul dunia fantasi maupun kesusastraan fiksi sains, memanfaatkan kedua genre dengan cara yang mendorong kita untuk memikirkan kembali kepercayaan umum, serta membuat kita merasa tidak nyaman, untuk secara kritis memikirkan perbudakan dan mempertanyakan dampak jangka panjangnya serta pengaruh sistemis dari lembaga yang khusus itu.

Persoalan ini pokok di seluruh negara Timur Tengah dan Afrika, namun tidak dibicarakan, begitu pun di Mesir, dengan identitas gandanya--Afrika dan Arab. Baik novel-novel Barnes maupun keadaan dewasa kini di seluruh dunia mengesankan bahwa kebenaran tak lekang waktu yang memberikan cahaya perubahan, berdampak dan mengubah kehidupan ribuan orang, sering kali diungkapkan melalui tindakan individu ketimbang kelompok. Instruktur dapat menggunakan kedua karya ini untuk menghadapkan gagasan-gagasan akan identitas dan penindasan, persoalan-persoalan yang berhubungan dengan peristiwa dunia masa ini. Apakah dampak dari kolonialisme dan imperialisme terhadap yang menaklukkan dan yang ditaklukkan di semesta alternatif? Novel-novel ini mengajukan berbagai wacana mengenai peran gender, poligami, dampak kolonial dan poskolonial terhadap masyarakat, toleransi agama, bahkan hukum maritim!

Novel grafis G. Willow Wilson, Cairo, yang mengangkat sekaligus mendukung toleransi, serta karya mutakhir tentang superhero Amerika keturunan Pakistan Ms Marvel yang hendak “mewajarkan” pengalaman Muslim dalam pandangan pluralistis Amerika, juga dapat menjadi sarana pendidikan yang bagus sekali. Kedua kisah tersebut mengenalkan publik pada keragaman karakter, plot, dan jalan cerita dalam tradisi Islam. Mengkaji Cairo dapat membuka kesempatan baik untuk membahas peristiwa terkini serta topik-topik kontroversial seperti hubungan Muslim/Yahudi begitu pula konflik Palestina/Israel dari sudut pandang historis dan kontemporer. Yang menarik, novel itu memberikan wawasan yang menyingggung tentang orang-orang Eropa, Amerika, dan Arab yang baru-baru ini pergi ke Suriah dan Irak untuk menjadi tentara ISIS, lewat karakter Shaheed, warga Amerika keturunan Lebanon yang pergi ke Mesir untuk menjadi pelaku bom bunuh diri. Cairo mencoba mempersembahkan gagasan ini dalam kemasan kisah yang mencakup unsur-unsur fantasi meliputi Jin yang merupakan kunci bagi jalan cerita. Buku yang cemerlang ini dapat menggugah wacana sulit namun perlu sehingga dibutuhkan orang yang dapat menggiring diskusi ini dengan pemahaman sejarah, ekonomi, serta gagasan “pendirian negara” dalam Islam.

Peran gender dalam Islam dikupas melalui buku komik superhero Wilson Ms Marvel berikut karya lainnya dari penulis Muslim maupun non-Muslim. Sebagai contoh, berapa banyak orang yang mengenal Roquia Sakhawat Hussain (1880-1932)? Hussain merupakan penulis yang sangat produktif serta pekerja sosial dari Bangladesh (saat itu masih bagian dari India) pada awal abad kedua puluh. Yang paling dikenal dari berbagai upayanya untuk kepentingan kesetaraan gender dan persoalan-persoalan lainnya yaitu ia mendirikan sekolah pertama yang khusus ditujukan untuk gadis-gadis Muslim, yang masih ada hingga kini. Bukunya, Sultana’s Dream merupakan karya fiksi sains feminis yang pertama-tama, mencakup pertukaran peran antara laki-laki/perempuan dalam dunia utopia. Sultana’s Dream pertama kali dipublikasikan pada 1905 dalam majalah berbahasa Inggris bertempat di Madras, Indian Ladies Magazine, kemudian sebagai buku pada 1908. Sering kali tulisan laki-laki dan perempuan dengan karakter wanita Muslim sayangnya cenderung mengekalkan stereotip mengenai orang-orang yang penurut, tertindas, serta ‘tertutup/terbungkam’, namun banyak di antara kisah-kisah yang belakangan menantang narasi demikian, dengan menawarkan pandangan yang lebih bernuansa dan berlawanan. Throne of the Crescent Moon (2012) karya Saladin Ahmad menyertakan pengubah bentuk/pejuang perempuan sebagai salah satu tokoh utamanya, film-film eksperimental serta instalasi seni seperti Nation Estate karya Larissa Sansour menonjolkan tokoh-tokoh utama perempuan, dan The 99, serial buku komik karya Naif Al-Mutawa dari Kuwait, menyertakan sejumlah pahlawan perempuan Muslim. Karya penulis, penyair, dan pendongeng Pamela Taylor juga merupakan sumber berharga untuk mendiskusikan aktivisme, penulisan puisi, serta para wanita Muslim. Taylor telah menulis banyak buku anak-anak serta menyajikan penampilan dongeng dengan menggunakan kisah-kisah dari berbagai masyarakat Muslim meliputi kebudayaan Palestina, Amerika, dan Turki. 50 Fatwas for the Virtuous Vampire karyanya terkenal berkat humor dan imajinasinya.

Fiksi Islam juga dapat membangkitkan penugasan menarik untuk memacu penulisan puisi. Dengan menggunakan dampak pemanasan global sebagai latar belakang, para siswa dapat mengkaji Beyonder, sajak epik karya musisi dan penyair Amerika keturunan Afrika, Jalaluddin Nuriddin. Nuriddin merupakan salah seorang anggota perintis The Last Poets, grup ikonik musisi dan penyair yang berkembang dari Harlem Writers’ Workshop di New York pada akhir 1960-an. Syairnya dianggap sebagai karya agung seni dan puisi panggung, mendahului zamannya dalam memerinci malapetaka yang diakibatkan oleh perusakan yang dilakukan manusia terhadap lingkungan hidup. Gagasan bahwa teknologi merupakan panasea bagi segala penyakit kita dikemukakan lewat penciptaan android bernama Sir Mankin (kin to man—famili bagi manusia), namun sia-sia saja, dunia telah tersesat. Syair lain yang layak digarap di ruang kelas adalah epos Persia The Shanameh, yang saat ini tersedia dalam bentuk seri buku komik serta novel grafis. Ditulis oleh penyair Ferdowsi antara sekitar 977 sampai 1010, dan terdiri dari sekitar 60.000 bait, karya ini memerinci masa lalu kekaisaran Persia secara historis dan mitologis mulai dari penciptaan dunia sampai penaklukan Islam atas Persia. Para siswa dapat membandingkan riwayat-riwayat di sepanjang syair ini dengan karya fiksi dan syair lainnya. Sebagai contoh, kisah anak-anak yang terkenal, Rapunzel (Rapunzel, Rapunzel turunkan rambut panjangmu), sebenarnya merupakan cerita dalam The Shahnameh, romansa antara Zal dan Rudaba.

Banyak topik lain, seperti politik dan politikus, perbedaan dan kesamaan Sunni dan Shia, dapat dipelajari melalui perantaraan fiksi Islam. Pilihan kontennya mestilah ditentukan menurut hasil yang dikehendaki dari pelajaran, namun tak terhitung cara yang dengannya karya-karya pelengkap yang melukiskan masyarakat Mulism lewat film, buku komik dan novel grafis, karya sastra, gim, dan diskursus lain dapat diintegrasikan ke dalam aneka kurikulum. Malah, sumber daya dan peluang yang tersedia untuk membantu pengajaran tentang Islam tidak akan ada habisnya. Ada situs internet, festival film, pameran buku, konvensi, dan konferensi yang dewasa ini menonjolkan para penulis dan kritikus fiksi sains/fantasi Muslim terkemuka. Karya baru-baru ini yang ramai diperbincangkan yaitu Frankenstein in Baghdad oleh novelis Iraq Ahmad Saadawi, yang memenangkan Penghargaan Internasional untuk Fiksi Arab. Novel tersebut merupakan campuran antara fiksi sains dan horor, menyegarkan kisah Frankenstein sekaligus kritik terhadap invasi Amerika di Irak. Ceritanya mengisahkan tentang Hadi al-Attag, seorang pria yang menjahit bagian-bagian tubuh orang-orang yang terbunuh dalam ledakan di ibu kota Iraq. Monster ciptaan itu kemudian hidup dan memulai serangan balas dendam terhadap orang-orang yang bertanggung jawab atas kematiannya. Karya ini merupakan contoh cemerlang betapa fiksi Islam dapat menerangkan subjek dari perspektif yang selain sangat berbeda juga historis dan multikultural secara mendalam.

Untuk bersungguh-sungguh mengapresiasi nilai edukasi pada fiksi sains, fantasi, dan literatur buku komik akan membutuhkan waktu dan komitmen. Kita mesti terus menguatkan hubungan antara fiksi sains dan studi ilmiah dalam dunia Muslim: minat pada fiksi sains akan mencetuskan minat pada sains, dan sebaliknya. Pendidikan yang yang membukakan masyarakat Muslim pada fiksi Islam dapat mewujudkan masa depan yang positif dan bergairah bagi masyarakat Muslim.



"The Case for Fictional Islam" terdapat dalam edisi 15.3 | "Educational Reform Critical Muslim.




[1] (1818 - 1895) reformis sosial, anggota gerakan abolisi, orator, penulis, dan negarawan berkebangsaan Afrika-Amerika

Tidak ada komentar: