Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Andrew Driver (6) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (273) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yasutaka Tsutsui (6) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

The Moneyless Manifesto: Waktu bukanlah uang (Mark Boyle, 2012)

Manusia … mengorbankan kesehatannya demi uang. Kemudian ia mengorbankan uang demi memulihkan kesehatannya. Kemudian ia gelisah akan masa de...

20190506

50 Fatwa untuk Vampir Saleh (Pamela Taylor, 2010)

Sheikha Yasmin al-Binawi menulis dalam bab pertama bukunya, Etiket Kuliner bagi Vampir Islami, “Manusia yang masih hidup pada umumnya meyakini bahwa Alquran melarang semua Muslim memakan darah. Yang sebenarnya disampaikan Alquran adalah, ‘Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang[1].’ (Surah 2, Sapi Betina, ayat 173) Jelaslah, sebagai vampir yang membutuhkan darah untuk bertahan hidup, maka diizinkan baginya untuk mengonsumsi makanan alaminya, selama ia tidak rakus, serakah, dan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah Maha Pemurah, Mahasempurna Nikmat-Nya bagi kita!”
#
Wanita itu berbau lezat—sangat, sangat lezat. Ibrahim membuntuti aroma wanita itu melewati Suq al’Ala, mengikuti wanginya di tengah-tengah amis pada pedagang jalanan yang berdiri di bawah terik matahari sejak subuh, busuknya sayuran rusak, tajamnya aroma ketumbar dan kayumanis yang menggantung di atas meja-meja bertumpukan apel dan lemon, asap minyak dan bensin dari mobil-mobil yang melintas, serta bau kelenjar dari keledai, unta, dan unggas untuk sajian makan malam.

Ibrahim berjeda di kios yang menjual semangka, menangkap sekepul parfum. Saat itu sudah gelap, dan wanita itu terburu-buru, hanya meninggalkan jejak samar sementara melewati pasar. Ibrahim menduga wanita itu sedang mencari para pedagang yang mulai mengemasi barang mereka karena sudah malam; wanita itu tengah berusaha untuk memperoleh harga murah, berharap dapat menebus makanan utuh untuk keluarganya dengan beberapa keping guinea[2]. Denyut nadi Ibrahim mengencang, meradang oleh tantangan melacak wanita itu di tengah hiruk-pikuknya aroma.

Azan salat magrib bergemuruh dari selusin masjid, bergema di seluruh gang-gang sempit Kairo. Desahan massal terdengar meruap dari suq[3] tersebut. Malam telah turun. Sebentar lagi waktunya beristirahat. Jalanan mulai dipenuhi pria-pria yang bergegas untuk beribadah. Berdesakan thobe[4] putih, asap sheesha, dan kumis yang diminyaki. Seorang pincang berjalan timpang, mengemis sedekah, mengayunkan selubung mur samar-samar. Sesaat, dalam serbuan itu Ibrahim kehilangan aroma si wanita, dan berpikir bahwa sebaiknya ia membiarkan saja. Lebih baik melakukan yang lain daripada mengejar wanita itu. Ada banyak sasaran yang lebih mudah, banyak yang lebih layak. Ia bisa membaui separuh lusin pria yang tidak akan mengusik hati nuraninya.

Namun, begitu ia berbalik untuk mengikuti pria-pria itu, ia menangkap embusan aroma wanita itu lagi. Cuping hidungnya melebar, dan mulutnya berliur membayangkan rasa wanita itu. Ia tahu, wanita itu lebih dari sekadar berbau lezat. Wanita itu memang orang baik. Orang baik selalu berbau—dan berasa—yang terbaik, darah mereka manis oleh ketaatan, oleh kebaikan, kesabaran, dan ketulusan niat. Sesaat Ibrahim ragu, kemudian berbalik untuk mengikuti wanita itu. Sungguh ia tidak tahan, biarpun punya tujuan yang lebih baik.

Ibrahim menemukan wanita itu di dekat ujung suq. Wanita itu berhenti untuk membeli roti pipih dari seorang pemuda kurus berkulit cokelat. Ibrahim tertinggal dari wanita itu yang mempercepat langkahnya di sepanjang gang-gang yang mulai gelap menuju ke rumah, seraya mengangkat kelim abaya yang dikenakannya supaya dapat memperpanjang langkah. Ibrahim bisa saja mengambil wanita itu kapan pun yang ia inginkan. Namun ia menunggu. Ia tidak mau menghalangi keluarga wanita itu dari makanan mereka. Ia juga tahu bahwa wanita itu akan keluar lagi dari rumah setelah makan malam, paling tidak untuk membuang air bekas cucian ke jalan.

Di samping itu, Ibrahim tidak suka menyambar mangsanya begitu menemukan. Ia merasa lebih saleh, lebih taat, jika menunggu. Kalau ia sabar, ia dapat merasakan bahwa kemungkinan ia telah mematuhi perintah Tuhan untuk tidak tamak terhadap makanannya.
 #
Pada pengantarnya dalam Aturan dan Kaidah Pemanenan Halal Sheikha al-Binawi menulis, “Agaknya ideal bagi vampir Muslim untuk bermitra dengan Pejagal Islami. Selain itu, salah satu elemen pokok dari penyembelihan Islami adalah pembersihan seluruh darah yang dapat dibersihkan dari bangkai. Siapa yang lebih baik dalam membersihkan darah tersebut selain vampir yang mana dapat diandalkan untuk memenuhi kewajiban Zabiha[5] lainnya itu! Sayangnya, vampir membutuhkan darah manusia. Darah ayam, domba, kambing, sapi, dan makhluk hidup lainnya yang dikonsumsi manusia bergizi rendah bagi vampir, dan, pada dasarnya, daging manusia tidak layak bagi konsumsi manusia. Meski begitu, vampir yang saleh dapat menenteramkan hati dengan mengetahui bahwa ia telah memenuhi kewajibannya kepada Tuhan dengan mengambil nyawa berdasarkan Hukum Ilahi—dengan mengucapkan nama Allah atas individu yang dituju, membunuh secara cepat dan berbelas kasih, kemudian menghabiskan seluruh darahnya. Memenuhi persyaratan dalam penyembelihan halal dapat menenangkan hati nurani vampir taat yang khawatir bahwa keadaan ragawinya menggerakkan dia kepada dosa!”
 #
Rumah wanita itu secara harfiah berupa lubang pada dinding pagar besar tempat anak keluarga Minshawi tinggal, yang dilayani oleh seluruh keluarga wanita itu. Wanita itu membungkuk ke dalam gubuk, sementara Ibrahim mengambil posisi di seberang gang tersebut sehingga ia bisa tetap mengawasi lewat pintu yang terbuka.

“Lihatlah, Safa, Marwa!” seru wanita itu, menyapa anak-anaknya. “Ayam, roti, dan mulukia[6] segar!” Tawar-menawarnya berlangsung lancar hari itu, dan malam itu mereka akan berpesta.

Wanita itu beralih kepada kedua orang tuanya serta seorang bibi yang sudah tua. Ia menciumi pipi mereka satu per satu dan menerima pelukan hangat sebagai balasan. Ia menarik selembar kain di seberang pintu, sedang Ibrahim duduk di balik dinding, mendengarkan kertak-kertuk belanga sementara wanita itu membantu ibunya menyiapkan makanan, begitu pula kepada halusnya suara wanita itu yang timbul tenggelam sementara ia berbagi gosip pasar. Ketika anak-anak perempuannya mengeluhkan betapa manja dan teledornya anak-anak yang mereka asuh, wanita itu hanya tertawa, dan membujuk mereka dengan lembut. “Kalau kita sekaya keluarga Minshawi, bisa-bisa kita semalas mereka, menyuruh-nyuruh sepasukan pelayan.”

Ibrahim merasakan tusukan hati nuraninya saat membayangkan perasaan keluarga wanita itu ketika mereka menemukan jasadnya. Wanita itu jelas-jelas merupakan tiang yang membantu mereka semua bertahan hidup dari kemalangan karena menjadi orang Mesir yang miskin. Ibrahim hendak pergi, namun gelak tawa membalikkan badannya. Suara kebahagiaan wanita itu sama tak tertahankan dengan aromanya.
 #
Dalam Bab Tiga Makan yang Etis: Tujuh Langkah Menuju Diet yang Saleh Sheikha al-Binawi menjelaskan, “Memilih individu yang tepat untuk makan malam tampaknya tidak mudah. Akan tetapi, vampir Muslim dapat berbesar hati, sebab Tuhan tidak meninggalkan hamba-Nya tanpa petunjuk. Alquran, dalam surah dengan judul yang sangat tepat—Hidangan—memberi tahu kita bahwa ‘barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.’[7] Camkanlah ini baik-baik, vampir yang beriman tidak saja dapat memperoleh bagiannya tetapi juga memakannya! Hatinya dapat tenang sentosa ketika menyantap pembunuh, pembakar liar, pemerkosa, buaya darat, dan kriminalis keji lainnya, dengan mengetahui bahwa ia tidak hanya membersihkan Bumi dari mereka yang merusaknya, tetapi juga menyelamatkan jiwa-jiwa tak berdosa dalam prosesnya! Sesungguhnya, kita mesti bersyukur atas karunia ganda yang telah dicurahkan Tuhan kepada Makhluk Abadi!”
 #
Ibrahim mulai berpikir dirinya harus menunggu sepanjang malam ketika aroma seorang wanita yang kebanyakan makan menyergap hidungnya. Jika wanita yang diikutinya tadi beraroma seiris basboosa[8], wanita yang satu ini berupa semangkuk kacang kapri dan nasi making. Wanita tersebut terhuyung-huyung menyusuri jalan ke arahnya dan berhenti di depan gubuk itu. “Lina,” bentaknya, “Sidi Ahmed memanggilmu!”

Wanita yang dipanggil itu—Lina—menghampiri pintu. Matanya yang gelap berkilau oleh cahaya lampu jalanan. Wajahnya memucat, dan rambutnya yang panjang menjuntai ke dada berupa banyak ikal sehitam tinta. Ibrahim menyadari bahwa baru terperhatikan olehnya bahwa wanita itu secantik tabiatnya.

“Beri tahu dia aku sakit kepala. Tadi aku bekerja sepanjang hari di kebun saat panas terik.”

“Tiga hari berturut-turut, Lina! Kau tidak bisa menghindari dia terus-terusan, mengerti kan. Ia sudah tidak sabar. Sekarang ini keenggananmu mungkin terlihat memesona dan malu-malu, tetapi jika kau tidak segera menemui dia, pembangkanganmu akan membuatnya murka, dan keadaanmu akan semakin payah.”

Ibrahim menjadi tegang, begitu pula Lina. Sejenak Lina menatap wanita yang lebih tua itu tanpa berucap apa-apa, kemudian dengan suara tertahan, “Beri tahu saja dia.”

“Betapa lancangnya,” gumam si Kacang-campur-Nasi itu. “Sayang sekali kau tidak menikah lagi setelah Hamza meninggal.”

“Seperti yang bakal mengakhiri kelakuannya saja,” sahut Lina. “Itu sebabnya hubungan dia dengan Maha berakhir.”

Si wanita yang lebih tua itu mengangkat bahu dan menggeleng perlahan, kemudian mengarah kembali menuju gerbang utama. Lina roboh di balik dinding, terisak-isak. Ibrahim menjilati bibirnya pelan-pelan. Ia dapat memecahkan persoalan wanita itu. Satu gigitan cepat, pusing sesaat, dan segala kekhawatiran wanita itu akan lenyap.

Seandainya saja itu bukan perbuatan yang sedemikian zalim. Lina bukanlah orang yang pantas mati.

Ibrahim meringis. Sidi Ahmed pastilah berbau seperti sepapan daging domba yang terlupakan di sebelah belakang peti es, dan rasanya serupa bonggol kol yang terlalu lama terbiarkan di bawah mentari. Yang lebih buruk, membunuh orang itu tidak akan benar-benar mengatasi persoalan Lina. Wanita itu akan selamat dari rasa malu karena digebuki tanpa alasan, dari terpaksa tidur dengan lelaki itu, namun keluarganya masih tetap akan lebih miskin daripada fellaheen[9]. Lebih buruk lagi, boleh jadi ayah Lina, saudara lelakinya, atau malah dirinya sendiri akan disalahkan atas kematian Sidi Ahmed, mengingat percakapan dengan si Kacang-campur-Nasi tadi. Lantas mereka semua akan dilempar ke jalan atau berakhir di penjara. Kalaupun bukan demikian, anak lelaki Sidi Ahmed akan mengambil alih rumah tangga, atau istrinya, dan kemudian akan ada kebinasaan baru, atau lebih banyak kejadian serupa. Ibrahim mesti mengakui, apa pun yang diperbuatnya, ia tidak dapat menyelamatkan Lina dari kehidupan yang telah dipilihkan Tuhan untuknya.

Paling tidak, pikir Ibrahim, seandainya ia mengganyang Sidi Ahmad, ia dapat menenteramkan diri dengan mengetahui bahwa ia telah mengenyahkan seorang lagi bajingan dari dunia ini. Kecuali … kesenangan apakah yang ada dari tindakan yang bisa saja menjadikan kehidupan seorang wanita lugu semakin suram daripada sebelumnya?

Ibrahim membersut. Ia lelah dengan anyir darah dan teka-teki moral. Sebaiknya ia kembali ke Israel, ke Palestina, tempat yang saleh sering kali menikung pada ekstremisme. Muslim atau Yahudi, ia tak peduli. Keduanya sama-sama bertanggung jawab atas huru-hara akibat main hakim sendiri. Seandainya ia menangkap mereka cukup cepat sebelum mereka berpaling, mereka masih beraroma harum, dan ia tak ragu tengah mencegah terjadinya pertumpahan darah—yang dengan sendirinya merupakan akhir yang mulia. Jika saja keadaannya tidak sedemikian suram. Sulit menyalahkan orang yang menyerang setelah misil berjatuhan di halaman belakang mereka atau tank meratakan rumah mereka.

Adakalanya ia berharap tidak terlahir dengan hati nurani sama sekali, agar hatinya tidak dengan begitu mudahnya bengkak oleh empati. Setidaknya dengan begitu ia tidak akan berdiri dalam gelap begini, sangat kelaparan, dan tak mampu memutuskan tindakan mana yang akan mengakibatkan paling sedikit mudarat.

Semestinya ia punya gagasan yang lebih baik daripada mengikuti Lina ke rumah. Telah lama yang lalu ia berjanji untuk tidak meraup orang yang baik, untuk memilih sampah masyarakat saja. Namun ini godaan yang kuat, dan bukan pertama kalinya ia berdiri di luar rumah seorang baik, tanpa berkenan merenggut nyawa tak berdosa. Bukan pertama kalinya pula kebingungan etis melumpuhkan dia hingga bergeming saja.

Ia berbalik hendak pergi. Makan enam jam untuk mencapai tepi Gaza, enam jam yang panjang lagi melaparkan, tetapi setidaknya ia tidak harus menghadapi pilihan antara membunuh Sidi Ahmed kemudian menjadikan keadaan Lina semakin buruk, atau mengambil nyawa wanita itu lalu merutuki jiwanya habis-habisan selama berlangsungnya.

Ia menyeret kakinya pada ubin jalan yang longgar, dan Lina melihat ke arah Ibrahim, matanya yang gelap membelalak dan ketakutan.

“Siapa itu?” ucap Lina, suaranya gemetar, nyaris tidak melebihi bisikan. Mata wanita itu mendapati Ibrahim dalam gelap, dan ia menciut mundur ke dinding, begitu ngeri, begitu rawan.

Ibrahim tahu ia mendapat masalah. Masalah besar.
 #
Hingga Akhir Zaman, atau, Cara Hidup yang Harus Diajarkan Alquran kepada Vampir karya Sheikha al-Binawi dimulai dengan kata-kata berikut, “Setiap vampir akan berhadapan dengan kematian. Dengan ini, yang saya maksudkan bukanlah kematian yang disebabkan olehnya sendiri—meskipun itu merupakan perkara moral untuk direnungkan secara serius—melainkan kematian dirinya sendiri. Sayang sekali, keabadian tidaklah selamanya. Setiap manusia, bahkan mereka yang telah menjadi vampir, akan menemui Penciptanya pada Hari Penghisaban. Vampir yang bijaksana mempersiapkan pertemuan ini dengan mengerahkan banyak amal saleh, serta menahan perbuatannya dari segala dosa yang menggoda kita setiap hati. Melakukan yang berawalan sama dengan mencari siksa yang kekal.”
 #
Ibrahim tidak melawan wanita itu. Begitu tak berdaya. Begitu pasrah. Mata wanita itu memberikan isyarat kepadanya. Suaranya. Kulitnya. Darahnya. Ibrahim menginginkan dia. Ingin membenamkan giginya pada kelembutan leher wanita itu, merasakan sirup besi dari wanita itu dalam mulutnya, untuk menyesap habis wanita itu ke sepenuh dirinya, membaurkan kehidupan wanita itu dengan kehidupannya sendiri. Akan tetapi, sekalian itu pula, tiap serat tubuhnya ingin melindungi wanita itu. Untuk mengamankan wanita itu, menaungi wanita itu, di sisinya. Selamanya. Bebas dari segala marabahaya yang dapat dilandakan dunia kepada wanita itu. Menghancurkan atau menjaga. Antara pemangsa dan pelindung memancar dalam diri, naluri bergulat mengungguli dalam sesaat yang pesat sebelum impuls mendesaknya maju.

Seketika Ibrahim berada di sisi wanita itu, mulutnya pada tenggorokan wanita itu, kedua tangannya menahan bahu wanita itu, gigi taring menembus ke urat darah. Luka itu diisapnya dengan rakus. Oh Tuhan, sedap sekali! Setelah darah busuk sekian lama, wanita itu berasa luar biasa lezat.

Pikiran itu mendera kabut hasrat, dan Ibrahim tersentak. Ia tidak seharusnya membunuh wanita itu! Wanita itu tak berdosa, sesuci-sucinya manusia yang pernah ia temui. Beberapa langkah ia terhuyung-huyung ke jalan lalu bersandar pada dinding pekarangan yang berplester tebal, kedua tangannya merenggut rambut dan menjambakinya keras-keras, berharap sakit pada kulit kepalanya dan sejuk pada dinding dapat menumpas dahaga yang mengancam untuk menguasai kembali dirinya.

Wanita itu terengah-engah pelan, dan Ibrahim berbalik ke arahnya. Tangan wanita itu memegangi lehernya, menghentikan aliran darah, sedang matanya membelalak kaget. Pemandangan merah gelap yang merembes di antara jemari pucat wanita itu menyambar Ibrahim bak tendangan ke ginjal. Ibrahim tahu yang terjadi, akibat perbuatannya. Pelanggaran mengerikan, yang tak dapat ditariknya kembali, yang tidak akan pernah dapat diperbaikinya.
 #
Fatwa nomor 1: Jangan Berputus Asa! Tak ada dosa sebesar apa pun yang tidak akan diampuni Allah. Bukankah ia mengatakan “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[10] (Surah Zumar, ayat 53) Sekalipun kita telah berpesta pora dengan seratus perawan, mengantarkan seribu imam pada ajalnya, serta merayakan teror yang dapat ditimpakan kaum kita kepada yang hidup, Tuhan pasti mengampuni kita. Yang perlu kita lakukan adalah mengakui kesalahan-kesalahan kita, memohon ampunan, bertobat atas kekhilafan yang telah kita perbuat, serta memulai kehidupan yang sepatutnya, kehidupan seorang Mukmin, kehidupan dengan Amal Saleh.

~Dari 50 Fatwa untuk Vampir Saleh oleh Sheikha al-Binawi
 #
Ibrahim maju selangkah pada Lina dan bertekuk lutut. “Aku sungguh menyesal,” ucapnya, seraya menangkupkan kedua tangan pada wajahnya. Ia tidak sanggup memandang wanita itu. “Sungguh, sangat, sangat menyesal.”

Wanita itu tak berucap apa-apa, dan ketika Ibrahim memandang, wanita itu terlihat tak sadarkan diri, matanya tak fokus, menatap ke gang pada titik tempat Ibrahim berdiri baru beberapa saat lalu. Boleh jadi wanita itu tidak tahu yang tengah terjadi pada dirinya, bagaimana mikrob yang telah menjadikan Ibrahim sebagaimana dia adanya kini telah menginfeksi wanita itu, berputar-putar dalam urat darah, mengubah DNA tanpa dapat ditawar lagi. Ibrahim tahu, serangannya yang tiba-tiba, serta penarikan dirinya yang tidak terduga, yang telah mencuri suara wanita itu berikut kesadarannya sehingga tak berkutik. Ibrahim ingat.

Akan makan waktu beberapa hari, bisa juga seminggu, sebelum wanita itu menyadari keadaannya yang baru, apa yang telah diperbuat Ibrahim padanya.

Mungkin lebih baik membunuh wanita itu sekalian.

Ibrahim bergidik muak akan pikiran itu, si predator telah sepenuhnya ditekan, dahaganya diredakan oleh seteguk darah yang diperolehnya. Ia tidak menghendaki lebih, sekarang, daripada merengkuh wanita itu dalam pelukannya dan mengamankan wanita itu. Bagaimana dapat ia memaafkan dirinya sendiri atas yang telah diperbuatnya pada wanita itu? Bagaimana dapat wanita itu memaafkan Ibrahim saat menyadari bahwa ia telah dijadikannya vampir, pembunuh umat manusia, peminum darah manusia?
 #
“Bilamana kita membawa vampir baru ke dunia ini—entahkah sebagai bentuk cinta yang direncanakan matang atau karena kebetulan yang tidak diperkirakan maupun diniatkan—kita mesti melaksanakan tugas pengasuhan yang diharuskan bagi semua orang tua Muslim. Yang pertama-tama ialah memberikan pendidikan agama dan moral yang baik. Tanpa tuntunan yang tepat, vampir baru, seperti anak manusia lazimnya, kemungkinan besar terjebak dalam kekacauan spiritual, mengembangkan banyak kebiasaan buruk, kurang menghargai dirinya secara sehat, menyikapi Ketuhanan secara keliru, serta pola hidup amoral secara keseluruhan. Untunglah, Islam merupakan cara hidup yang komplet dan memberikan bimbingan bagi setiap seluk-beluk kehidupan manusia, sehingga pendidikan bagi vampir baru menjadi jauh lebih sederhana daripada yang dapat terbayangkan. Meskipun begitu, pendidikan demikian seyogianya tidak dianggap enteng. Malah, tanggung jawab terhadap bimbingan moral dan spiritual merupakan kewajiban seumur hidup, hak anak atas orang tuanya selama kita, atau dia, hidup.”

~Dari Sheikha Al-Ninowi’s Dinamika Keluarga bagi Ayah dan Ibu Vampir bab 1, “Pengembangan Karakter”
 #
Ibrahim maju lagi, menyentuh bahu wanita itu pelan, dengan penghormatan. “Aku ingin menolongmu, Lina,” ucapnya.

Kebingungan menaungi mata wanita itu, dan pelan-pelan ia menjangkau lehernya, di mana jejak darah telah kering.

“Kau apa?”

“Aku ingin menolong. Aku dapat melindungimu dari Sidi Ahmed.”

“Kau tahu tentang dia? Yang ia inginkan?”

“Aku menguping.”

Wanita itu merupakan tanggung jawabnya. Dan ia harus diberi makan tidak lama lagi. Sidi Ahmed bisa menjadi mangsa pertamanya. Ibrahim mendapat penglihatan tak terduga akan keduanya berburu bersama, pengejaran yang menggetarkan hati, hawa malam yang sejuk bersih di paru-paru mereka, darah segar beraroma tajam di bibir mereka, darah yang dibagi dari bibir ke bibir, lidah ke lidah. Getaran hasrat berlarian dalam pembuluh darahnya. Aroma wanita itu, suara wanita itu, manis darah wanita itu masih ada di mulutnya, kelembutan kulit wanita itu di bawah jemarinya, kenikmatan dalam tawa wanita itu, kesucian jiwa wanita itu. Ibrahim menginginkan wanita itu lebih daripada yang ia alami sebelumnya.

“Apa yang bisa lakukan? Kami bergantung sepenuhnya pada dia. Kami berada dalam genggamannya.”

“Aku bisa menikahimu,” ucap Ibrahim, yang mengejutkan dirinya sendiri. Perkataan yang impulsif, tak ternyana, namun pikiran itu terasa baik, dan pas. Ia tahu dari lubuk hatinya bahwa itu merupakan keputusan yang tepat. “Aku bisa memberimu mahar yang besar. Cukup bagi keluargamu untuk membuka warung kecil di dekat suq, atau mungkin menjalankan usaha taksi.” Ibrahim sangat ingin menyenangkan wanita itu, melihat senyum wanita itu.

“Tetapi kau bahkan tidak mengenalku,” wanita itu memprotes.

Tetapi Ibrahim menyadari bahwa ia sungguh-sungguh mengenal wanita itu. Aromanya, rasanya, memberi tahu Ibrahim segala yang perlu diketahuinya dari wanita itu. Ia wanita yang baik. Teramat, sangat, dari lubuk jiwa. Wanita itu dapat memberi Ibrahim kedamaian yang sangat ia cari. Hati nurani wanita itu dapat menjamin bimbingan bagi Ibrahim dalam melalui berbagai dilema etisnya.

“Walau begitu, aku ingin menjadikanmu wanita yang jujur,” ucap Ibrahim, lalu memperlihatkan seringaian mencong. “Yah, membantumu untuk tetap menjadi wanita yang jujur.”

Ini bukan sekadar perbuatan yang tepat, melainkan satu-satunya yang dapat diperbuat. Perhatian-perhatian dari seorang dermawan pria tak dikenal tentu akan mengundang gosip tak mengenakkan. Orang-orang akan menyangka adanya hubungan yang tidak-tidak. Malah bisa saja keluarga wanita itu sendiri berpendapat bahwa waniwa itu telah memberikan yang tidak sepatutnya diberikan wanita Muslim yang baik.

Di samping itu, mereka telah terikat oleh darah, oleh takdir. Ibrahim telah menjadikan wanita itu vampir. Sudah merupakan tugas Ibrahim untuk mendampingi wanita itu, menolongnya. Bayangan seumur hidup ditemani Lina menjadi semakin memikat saja dari waktu ke waktu. Ibrahim baru menyadari betapa sepi dirinya sejak ia kabur dari vampir yang telah menjadikannya vampir. Yousif bukanlah orang baik. Ia bersenang-senang dalam kebejatannya, terbenam kian dalam setiap hari pada kebobrokan, serta perbuatan keji dan mungkar. Kendati ada banyak kekurangan pada kejujuran moral Ibrahim, ia tahu sejak awal bahwa ia akan menjalani kehidupannya sebagai vampir sebagaimana kehidupannya sebagai manusia biasa—mencoba untuk menjadi orang saleh, sekalipun ia sering kali gagal.

Lina memejamkan matanya erat-erat dan menggeleng pelan seolah-olah Ibrahim merupakan mimpi yang dapat digusahnya.

“Ini begitu tiba-tiba,” ucap Lina ketika Ibrahim tidak kunjung lenyap.

“Kita punya banyak waktu untuk mengenal satu sama lain.” Tidak lama lagi Lina mengetahui bahwa Ibrahim memaksudkan perkataannya itu secara harfiah.

“Lina? Kau bicara dengan siapa?” suara seorang lelaki dari dalam rumah.

“Tidak ada siapa-siapa, Baba.”

“Apakah Sidi Ahmed?”

“Tidak, Baba. Aku bicara sendiri. Kembalilah tidur. Sebentar lagi aku masuk.”

Ibrahim kembali menyentuh bahu Lina sepintas lalu. “Beristirahatlah, Lina. Dan tidak usah pergi kerja besok. Aku … aku tidak tahan jika ia mencoba untuk … menyakitimu dengan cara apa pun. Aku akan mendatangimu setelah makan malam. Aku akan bicara dengan ayahmu, dan kita bisa berjalan-jalan di taman, untuk saling mengenal lebih jauh.” Tidak perlu memburu-burukan Lina, ataupun keluarganya. Seperti yang telah Ibrahim katakan, mereka punya banyak waktu.

“Aku harus kerja atau seluruh keluargaku akan kehilangan mata pencaharian.”

“Begitu kita menikah—“ Lina menghela napas lagi, namun Ibrahim mengabaikannya “—mereka tidak harus bekerja di sini lagi. Tidak seorang pun. Aku akan menjaga kalian, semuanya.”

Rasanya begitu benar hingga, untuk sekali ini, Ibrahim tidak ada pikiran lain.



Cerpen-cerpen Pamela Taylor telah terbit di Citizen Culture Magazine, Tales of the Slug, serta A Mosque Among the Stars. Puisi spekulatifnya, Foreign Thoughts, masuk nominasi Rhysling Award 2006. Sehari-hari ia bekerja sebagai panelis untuk On Faith (http://newsweek.washingtonpost.com/onfaith/ModernMuslim). Teks asli "50 Fatwas for the Virtuous Vampire" dapat dibaca di sini.



[1] Menggunakan terjemahan dari https://tafsirweb.com/660-surat-al-baqarah-ayat-173.html
[2] Koin mata uang kuno Inggris
[3] Pasar di tempat terbuka di kota-kota Arab
[4] Gamis panjang untuk pria
[5] Penyembelihan hewan menurut hukum Islam
[6] Semacam sayuran
[7] Alquran Surah Al-Ma’idah ayat 32. Terjemahan menurut https://tafsirq.com/5-Al-Ma’idah/ayat-32
[8] Kue khas Mesir
[9] Sebutan untuk buruh tani di Timur Tengah dan Afrika utara
[10] Menggunakan terjemahan dari https://tafsirweb.com/8715-surat-az-zumar-ayat-53.html

Tidak ada komentar: