Sheikha Yasmin al-Binawi menulis dalam bab pertama
bukunya, Etiket Kuliner bagi Vampir Islami, “Manusia yang masih
hidup pada umumnya meyakini bahwa Alquran melarang semua Muslim memakan darah.
Yang sebenarnya disampaikan Alquran adalah, ‘Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai,
darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain
Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang[1].’
(Surah 2, Sapi Betina, ayat 173) Jelaslah, sebagai vampir yang membutuhkan
darah untuk bertahan hidup, maka diizinkan baginya untuk mengonsumsi makanan alaminya,
selama ia tidak rakus, serakah, dan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah Maha
Pemurah, Mahasempurna Nikmat-Nya bagi kita!”
#
Wanita itu berbau lezat—sangat, sangat lezat. Ibrahim
membuntuti aroma wanita itu melewati Suq al’Ala, mengikuti wanginya di
tengah-tengah amis pada pedagang jalanan yang berdiri di bawah terik matahari
sejak subuh, busuknya sayuran rusak, tajamnya aroma ketumbar dan kayumanis yang
menggantung di atas meja-meja bertumpukan apel dan lemon, asap minyak dan
bensin dari mobil-mobil yang melintas, serta bau kelenjar dari keledai, unta,
dan unggas untuk sajian makan malam.
Ibrahim berjeda di kios yang menjual semangka, menangkap sekepul
parfum. Saat itu sudah gelap, dan wanita itu terburu-buru, hanya meninggalkan
jejak samar sementara melewati pasar. Ibrahim menduga wanita itu sedang
mencari para pedagang yang mulai mengemasi barang mereka karena sudah malam;
wanita itu tengah berusaha untuk memperoleh harga murah, berharap dapat menebus
makanan utuh untuk keluarganya dengan beberapa keping guinea[2].
Denyut nadi Ibrahim mengencang, meradang oleh tantangan melacak wanita itu di
tengah hiruk-pikuknya aroma.
Azan salat magrib bergemuruh dari selusin masjid, bergema
di seluruh gang-gang sempit Kairo. Desahan massal terdengar meruap dari suq[3]
tersebut. Malam telah turun. Sebentar lagi waktunya beristirahat. Jalanan mulai
dipenuhi pria-pria yang bergegas untuk beribadah. Berdesakan thobe[4]
putih, asap sheesha, dan kumis yang
diminyaki. Seorang pincang berjalan timpang, mengemis sedekah, mengayunkan
selubung mur samar-samar. Sesaat, dalam serbuan itu Ibrahim kehilangan aroma si
wanita, dan berpikir bahwa sebaiknya ia membiarkan saja. Lebih baik melakukan
yang lain daripada mengejar wanita itu. Ada banyak sasaran yang lebih mudah,
banyak yang lebih layak. Ia bisa membaui separuh lusin pria yang tidak akan
mengusik hati nuraninya.
Namun, begitu ia berbalik untuk mengikuti pria-pria itu,
ia menangkap embusan aroma wanita itu lagi. Cuping hidungnya melebar, dan
mulutnya berliur membayangkan rasa wanita itu. Ia tahu, wanita itu lebih dari
sekadar berbau lezat. Wanita itu memang orang
baik. Orang baik selalu berbau—dan berasa—yang terbaik, darah mereka manis oleh
ketaatan, oleh kebaikan, kesabaran, dan ketulusan niat. Sesaat Ibrahim ragu,
kemudian berbalik untuk mengikuti wanita itu. Sungguh ia tidak tahan, biarpun
punya tujuan yang lebih baik.
Ibrahim menemukan wanita itu di dekat ujung suq. Wanita itu berhenti untuk membeli
roti pipih dari seorang pemuda kurus berkulit cokelat. Ibrahim tertinggal dari
wanita itu yang mempercepat langkahnya di sepanjang gang-gang yang mulai gelap
menuju ke rumah, seraya mengangkat kelim abaya
yang dikenakannya supaya dapat memperpanjang langkah. Ibrahim bisa saja
mengambil wanita itu kapan pun yang ia inginkan. Namun ia menunggu. Ia tidak
mau menghalangi keluarga wanita itu dari makanan mereka. Ia juga tahu bahwa
wanita itu akan keluar lagi dari rumah setelah makan malam, paling tidak untuk
membuang air bekas cucian ke jalan.
Di samping itu, Ibrahim tidak suka menyambar mangsanya
begitu menemukan. Ia merasa lebih saleh, lebih taat, jika menunggu. Kalau ia
sabar, ia dapat merasakan bahwa kemungkinan ia telah mematuhi perintah Tuhan
untuk tidak tamak terhadap makanannya.
#
Pada pengantarnya dalam Aturan dan Kaidah Pemanenan
Halal Sheikha al-Binawi menulis, “Agaknya ideal bagi vampir Muslim untuk
bermitra dengan Pejagal Islami. Selain itu, salah satu elemen pokok dari
penyembelihan Islami adalah pembersihan seluruh darah yang dapat dibersihkan
dari bangkai. Siapa yang lebih baik dalam membersihkan darah tersebut selain
vampir yang mana dapat diandalkan untuk memenuhi kewajiban Zabiha[5]
lainnya itu! Sayangnya, vampir membutuhkan darah manusia. Darah ayam, domba,
kambing, sapi, dan makhluk hidup lainnya yang dikonsumsi manusia bergizi rendah
bagi vampir, dan, pada dasarnya, daging manusia tidak layak bagi konsumsi
manusia. Meski begitu, vampir yang saleh dapat menenteramkan hati dengan
mengetahui bahwa ia telah memenuhi kewajibannya kepada Tuhan dengan mengambil
nyawa berdasarkan Hukum Ilahi—dengan mengucapkan nama Allah atas individu yang
dituju, membunuh secara cepat dan berbelas kasih, kemudian menghabiskan seluruh
darahnya. Memenuhi persyaratan dalam penyembelihan halal dapat menenangkan hati
nurani vampir taat yang khawatir bahwa keadaan ragawinya menggerakkan dia
kepada dosa!”
#
Rumah wanita itu secara harfiah berupa lubang pada dinding
pagar besar tempat anak keluarga Minshawi tinggal, yang dilayani oleh seluruh
keluarga wanita itu. Wanita itu membungkuk ke dalam gubuk, sementara Ibrahim
mengambil posisi di seberang gang tersebut sehingga ia bisa tetap mengawasi
lewat pintu yang terbuka.
“Lihatlah, Safa, Marwa!” seru wanita itu, menyapa
anak-anaknya. “Ayam, roti, dan mulukia[6]
segar!” Tawar-menawarnya berlangsung lancar hari itu, dan malam itu mereka akan
berpesta.
Wanita itu beralih kepada kedua orang tuanya serta seorang
bibi yang sudah tua. Ia menciumi pipi mereka satu per satu dan menerima pelukan
hangat sebagai balasan. Ia menarik selembar kain di seberang pintu, sedang
Ibrahim duduk di balik dinding, mendengarkan kertak-kertuk belanga sementara
wanita itu membantu ibunya menyiapkan makanan, begitu pula kepada halusnya
suara wanita itu yang timbul tenggelam sementara ia berbagi gosip pasar. Ketika
anak-anak perempuannya mengeluhkan betapa manja dan teledornya anak-anak yang mereka
asuh, wanita itu hanya tertawa, dan membujuk mereka dengan lembut. “Kalau kita
sekaya keluarga Minshawi, bisa-bisa kita semalas mereka, menyuruh-nyuruh
sepasukan pelayan.”
Ibrahim merasakan tusukan hati nuraninya saat membayangkan
perasaan keluarga wanita itu ketika mereka menemukan jasadnya. Wanita itu
jelas-jelas merupakan tiang yang membantu mereka semua bertahan hidup dari
kemalangan karena menjadi orang Mesir yang miskin. Ibrahim hendak pergi, namun
gelak tawa membalikkan badannya. Suara kebahagiaan wanita itu sama tak
tertahankan dengan aromanya.
#
Dalam Bab Tiga Makan yang Etis: Tujuh Langkah Menuju Diet yang Saleh Sheikha
al-Binawi menjelaskan, “Memilih individu yang tepat untuk makan malam tampaknya
tidak mudah. Akan tetapi, vampir Muslim dapat berbesar hati, sebab Tuhan tidak
meninggalkan hamba-Nya tanpa petunjuk. Alquran, dalam surah dengan judul yang
sangat tepat—Hidangan—memberi tahu kita bahwa ‘barangsiapa yang membunuh
seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan
karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh
manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia,
maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.’[7]
Camkanlah ini baik-baik, vampir yang beriman tidak saja dapat memperoleh
bagiannya tetapi juga memakannya! Hatinya dapat tenang sentosa ketika menyantap
pembunuh, pembakar liar, pemerkosa, buaya darat, dan kriminalis keji lainnya,
dengan mengetahui bahwa ia tidak hanya membersihkan Bumi dari mereka yang
merusaknya, tetapi juga menyelamatkan jiwa-jiwa tak berdosa dalam prosesnya!
Sesungguhnya, kita mesti bersyukur atas karunia ganda yang telah dicurahkan
Tuhan kepada Makhluk Abadi!”
#
Ibrahim mulai berpikir dirinya harus menunggu sepanjang
malam ketika aroma seorang wanita yang kebanyakan makan menyergap hidungnya.
Jika wanita yang diikutinya tadi beraroma seiris basboosa[8],
wanita yang satu ini berupa semangkuk kacang kapri dan nasi making. Wanita
tersebut terhuyung-huyung menyusuri jalan ke arahnya dan berhenti di depan
gubuk itu. “Lina,” bentaknya, “Sidi Ahmed memanggilmu!”
Wanita yang dipanggil itu—Lina—menghampiri pintu. Matanya
yang gelap berkilau oleh cahaya lampu jalanan. Wajahnya memucat, dan rambutnya
yang panjang menjuntai ke dada berupa banyak ikal sehitam tinta. Ibrahim
menyadari bahwa baru terperhatikan olehnya bahwa wanita itu secantik tabiatnya.
“Beri tahu dia aku sakit kepala. Tadi aku bekerja
sepanjang hari di kebun saat panas terik.”
“Tiga hari berturut-turut, Lina! Kau tidak bisa
menghindari dia terus-terusan, mengerti kan. Ia sudah tidak sabar. Sekarang ini
keenggananmu mungkin terlihat memesona dan malu-malu, tetapi jika kau tidak
segera menemui dia, pembangkanganmu akan membuatnya murka, dan keadaanmu akan
semakin payah.”
Ibrahim menjadi tegang, begitu pula Lina. Sejenak Lina
menatap wanita yang lebih tua itu tanpa berucap apa-apa, kemudian dengan suara
tertahan, “Beri tahu saja dia.”
“Betapa lancangnya,” gumam si Kacang-campur-Nasi itu.
“Sayang sekali kau tidak menikah lagi setelah Hamza meninggal.”
“Seperti yang bakal mengakhiri kelakuannya saja,” sahut
Lina. “Itu sebabnya hubungan dia dengan Maha berakhir.”
Si wanita yang lebih tua itu mengangkat bahu dan
menggeleng perlahan, kemudian mengarah kembali menuju gerbang utama. Lina roboh
di balik dinding, terisak-isak. Ibrahim menjilati bibirnya pelan-pelan. Ia
dapat memecahkan persoalan wanita itu. Satu gigitan cepat, pusing sesaat, dan
segala kekhawatiran wanita itu akan lenyap.
Seandainya saja itu bukan perbuatan yang sedemikian zalim.
Lina bukanlah orang yang pantas mati.
Ibrahim meringis. Sidi Ahmed pastilah berbau seperti
sepapan daging domba yang terlupakan di sebelah belakang peti es, dan rasanya
serupa bonggol kol yang terlalu lama terbiarkan di bawah mentari. Yang lebih
buruk, membunuh orang itu tidak akan benar-benar mengatasi persoalan Lina. Wanita
itu akan selamat dari rasa malu karena digebuki tanpa alasan, dari terpaksa
tidur dengan lelaki itu, namun keluarganya masih tetap akan lebih miskin
daripada fellaheen[9].
Lebih buruk lagi, boleh jadi ayah Lina, saudara lelakinya, atau malah dirinya
sendiri akan disalahkan atas kematian Sidi Ahmed, mengingat percakapan dengan
si Kacang-campur-Nasi tadi. Lantas mereka semua akan dilempar ke jalan atau
berakhir di penjara. Kalaupun bukan demikian, anak lelaki Sidi Ahmed akan
mengambil alih rumah tangga, atau istrinya, dan kemudian akan ada kebinasaan
baru, atau lebih banyak kejadian serupa. Ibrahim mesti mengakui, apa pun yang
diperbuatnya, ia tidak dapat menyelamatkan Lina dari kehidupan yang telah
dipilihkan Tuhan untuknya.
Paling tidak, pikir Ibrahim, seandainya ia mengganyang
Sidi Ahmad, ia dapat menenteramkan diri dengan mengetahui bahwa ia telah
mengenyahkan seorang lagi bajingan dari dunia ini. Kecuali … kesenangan apakah
yang ada dari tindakan yang bisa saja menjadikan kehidupan seorang wanita lugu
semakin suram daripada sebelumnya?
Ibrahim membersut. Ia lelah dengan anyir darah dan
teka-teki moral. Sebaiknya ia kembali ke Israel, ke Palestina, tempat yang
saleh sering kali menikung pada ekstremisme. Muslim atau Yahudi, ia tak peduli.
Keduanya sama-sama bertanggung jawab atas huru-hara akibat main hakim sendiri.
Seandainya ia menangkap mereka cukup cepat sebelum mereka berpaling, mereka
masih beraroma harum, dan ia tak ragu tengah mencegah terjadinya pertumpahan
darah—yang dengan sendirinya merupakan akhir yang mulia. Jika saja keadaannya
tidak sedemikian suram. Sulit menyalahkan orang yang menyerang setelah misil
berjatuhan di halaman belakang mereka atau tank meratakan rumah mereka.
Adakalanya ia berharap tidak terlahir dengan hati nurani
sama sekali, agar hatinya tidak dengan begitu mudahnya bengkak oleh empati.
Setidaknya dengan begitu ia tidak akan berdiri dalam gelap begini, sangat
kelaparan, dan tak mampu memutuskan tindakan mana yang akan mengakibatkan paling
sedikit mudarat.
Semestinya ia punya gagasan yang lebih baik daripada
mengikuti Lina ke rumah. Telah lama yang lalu ia berjanji untuk tidak meraup
orang yang baik, untuk memilih sampah masyarakat saja. Namun ini godaan yang
kuat, dan bukan pertama kalinya ia berdiri di luar rumah seorang baik, tanpa
berkenan merenggut nyawa tak berdosa. Bukan pertama kalinya pula kebingungan
etis melumpuhkan dia hingga bergeming saja.
Ia berbalik hendak pergi. Makan enam jam untuk mencapai
tepi Gaza, enam jam yang panjang lagi melaparkan, tetapi setidaknya ia tidak
harus menghadapi pilihan antara membunuh Sidi Ahmed kemudian menjadikan keadaan
Lina semakin buruk, atau mengambil nyawa wanita itu lalu merutuki jiwanya
habis-habisan selama berlangsungnya.
Ia menyeret kakinya pada ubin jalan yang longgar, dan Lina
melihat ke arah Ibrahim, matanya yang gelap membelalak dan ketakutan.
“Siapa itu?” ucap Lina, suaranya gemetar, nyaris tidak
melebihi bisikan. Mata wanita itu mendapati Ibrahim dalam gelap, dan ia menciut
mundur ke dinding, begitu ngeri, begitu rawan.
Ibrahim tahu ia mendapat masalah. Masalah besar.
#
Hingga Akhir Zaman, atau, Cara
Hidup yang Harus Diajarkan Alquran kepada Vampir karya Sheikha al-Binawi
dimulai dengan kata-kata berikut, “Setiap vampir akan berhadapan dengan
kematian. Dengan ini, yang saya maksudkan bukanlah kematian yang disebabkan
olehnya sendiri—meskipun itu merupakan perkara moral untuk direnungkan secara
serius—melainkan kematian dirinya sendiri. Sayang sekali, keabadian
tidaklah selamanya. Setiap manusia, bahkan mereka yang telah menjadi vampir,
akan menemui Penciptanya pada Hari Penghisaban. Vampir yang bijaksana
mempersiapkan pertemuan ini dengan mengerahkan banyak amal saleh, serta menahan
perbuatannya dari segala dosa yang menggoda kita setiap hati. Melakukan yang
berawalan sama dengan mencari siksa yang kekal.”
#
Ibrahim tidak melawan wanita itu. Begitu tak berdaya.
Begitu pasrah. Mata wanita itu memberikan isyarat kepadanya. Suaranya.
Kulitnya. Darahnya. Ibrahim menginginkan dia. Ingin membenamkan giginya pada kelembutan
leher wanita itu, merasakan sirup besi dari wanita itu dalam mulutnya, untuk
menyesap habis wanita itu ke sepenuh dirinya, membaurkan kehidupan wanita itu
dengan kehidupannya sendiri. Akan tetapi, sekalian itu pula, tiap serat
tubuhnya ingin melindungi wanita itu. Untuk mengamankan wanita itu, menaungi
wanita itu, di sisinya. Selamanya. Bebas dari segala marabahaya yang dapat
dilandakan dunia kepada wanita itu. Menghancurkan atau menjaga. Antara pemangsa
dan pelindung memancar dalam diri, naluri bergulat mengungguli dalam sesaat
yang pesat sebelum impuls mendesaknya maju.
Seketika Ibrahim berada di sisi wanita itu, mulutnya pada
tenggorokan wanita itu, kedua tangannya menahan bahu wanita itu, gigi taring
menembus ke urat darah. Luka itu diisapnya dengan rakus. Oh Tuhan, sedap sekali!
Setelah darah busuk sekian lama, wanita itu berasa luar biasa lezat.
Pikiran itu mendera kabut hasrat, dan Ibrahim tersentak.
Ia tidak seharusnya membunuh wanita itu! Wanita itu tak berdosa, sesuci-sucinya
manusia yang pernah ia temui. Beberapa langkah ia terhuyung-huyung ke jalan
lalu bersandar pada dinding pekarangan yang berplester tebal, kedua tangannya
merenggut rambut dan menjambakinya keras-keras, berharap sakit pada kulit
kepalanya dan sejuk pada dinding dapat menumpas dahaga yang mengancam untuk
menguasai kembali dirinya.
Wanita itu terengah-engah pelan, dan Ibrahim berbalik ke
arahnya. Tangan wanita itu memegangi lehernya, menghentikan aliran darah,
sedang matanya membelalak kaget. Pemandangan merah gelap yang merembes di
antara jemari pucat wanita itu menyambar Ibrahim bak tendangan ke ginjal.
Ibrahim tahu yang terjadi, akibat perbuatannya. Pelanggaran mengerikan, yang
tak dapat ditariknya kembali, yang tidak akan pernah dapat diperbaikinya.
#
Fatwa nomor 1: Jangan Berputus Asa! Tak ada dosa sebesar
apa pun yang tidak akan diampuni Allah. Bukankah ia mengatakan “Hai
hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah
kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa
semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[10]
(Surah Zumar, ayat 53) Sekalipun kita telah berpesta pora dengan seratus
perawan, mengantarkan seribu imam pada ajalnya, serta merayakan teror yang
dapat ditimpakan kaum kita kepada yang hidup, Tuhan pasti mengampuni kita. Yang perlu
kita lakukan adalah mengakui kesalahan-kesalahan kita, memohon ampunan,
bertobat atas kekhilafan yang telah kita perbuat, serta memulai kehidupan yang
sepatutnya, kehidupan seorang Mukmin, kehidupan dengan Amal Saleh.
~Dari 50 Fatwa
untuk Vampir Saleh oleh Sheikha al-Binawi
#
Ibrahim maju selangkah pada Lina dan bertekuk lutut. “Aku
sungguh menyesal,” ucapnya, seraya menangkupkan kedua tangan pada wajahnya. Ia
tidak sanggup memandang wanita itu. “Sungguh, sangat, sangat menyesal.”
Wanita itu tak berucap apa-apa, dan ketika Ibrahim
memandang, wanita itu terlihat tak sadarkan diri, matanya tak fokus, menatap ke
gang pada titik tempat Ibrahim berdiri baru beberapa saat lalu. Boleh jadi
wanita itu tidak tahu yang tengah terjadi pada dirinya, bagaimana mikrob yang
telah menjadikan Ibrahim sebagaimana dia adanya kini telah menginfeksi wanita
itu, berputar-putar dalam urat darah, mengubah DNA tanpa dapat ditawar lagi.
Ibrahim tahu, serangannya yang tiba-tiba, serta penarikan dirinya yang tidak
terduga, yang telah mencuri suara wanita itu berikut kesadarannya sehingga tak
berkutik. Ibrahim ingat.
Akan makan waktu beberapa hari, bisa juga seminggu,
sebelum wanita itu menyadari keadaannya yang baru, apa yang telah diperbuat
Ibrahim padanya.
Mungkin lebih baik membunuh wanita itu sekalian.
Ibrahim bergidik muak akan pikiran itu, si predator telah
sepenuhnya ditekan, dahaganya diredakan oleh seteguk darah yang diperolehnya.
Ia tidak menghendaki lebih, sekarang, daripada merengkuh wanita itu dalam
pelukannya dan mengamankan wanita itu. Bagaimana dapat ia memaafkan dirinya
sendiri atas yang telah diperbuatnya pada wanita itu? Bagaimana dapat wanita
itu memaafkan Ibrahim saat menyadari bahwa ia telah dijadikannya vampir,
pembunuh umat manusia, peminum darah manusia?
#
“Bilamana kita membawa vampir baru ke dunia ini—entahkah sebagai
bentuk cinta yang direncanakan matang atau karena kebetulan yang tidak
diperkirakan maupun diniatkan—kita mesti melaksanakan tugas pengasuhan yang
diharuskan bagi semua orang tua Muslim. Yang pertama-tama ialah memberikan
pendidikan agama dan moral yang baik. Tanpa tuntunan yang tepat, vampir baru,
seperti anak manusia lazimnya, kemungkinan besar terjebak dalam kekacauan
spiritual, mengembangkan banyak kebiasaan buruk, kurang menghargai dirinya
secara sehat, menyikapi Ketuhanan secara keliru, serta pola hidup amoral secara
keseluruhan. Untunglah, Islam merupakan cara hidup yang komplet dan memberikan
bimbingan bagi setiap seluk-beluk kehidupan manusia, sehingga pendidikan bagi
vampir baru menjadi jauh lebih sederhana daripada yang dapat terbayangkan.
Meskipun begitu, pendidikan demikian seyogianya tidak dianggap enteng. Malah,
tanggung jawab terhadap bimbingan moral dan spiritual merupakan kewajiban
seumur hidup, hak anak atas orang tuanya selama kita, atau dia, hidup.”
~Dari Sheikha Al-Ninowi’s Dinamika Keluarga bagi Ayah dan Ibu Vampir bab 1,
“Pengembangan Karakter”
#
Ibrahim maju lagi, menyentuh bahu wanita itu pelan, dengan
penghormatan. “Aku ingin menolongmu, Lina,” ucapnya.
Kebingungan menaungi mata wanita itu, dan pelan-pelan ia
menjangkau lehernya, di mana jejak darah telah kering.
“Kau apa?”
“Aku ingin menolong. Aku dapat melindungimu dari Sidi Ahmed.”
“Kau tahu tentang dia? Yang ia inginkan?”
“Aku menguping.”
Wanita itu merupakan tanggung jawabnya. Dan ia harus
diberi makan tidak lama lagi. Sidi Ahmed bisa menjadi mangsa pertamanya.
Ibrahim mendapat penglihatan tak terduga akan keduanya berburu bersama,
pengejaran yang menggetarkan hati, hawa malam yang sejuk bersih di paru-paru
mereka, darah segar beraroma tajam di bibir mereka, darah yang dibagi dari
bibir ke bibir, lidah ke lidah. Getaran hasrat berlarian dalam pembuluh
darahnya. Aroma wanita itu, suara wanita itu, manis darah wanita itu masih ada
di mulutnya, kelembutan kulit wanita itu di bawah jemarinya, kenikmatan dalam
tawa wanita itu, kesucian jiwa wanita itu. Ibrahim menginginkan wanita itu
lebih daripada yang ia alami sebelumnya.
“Apa yang bisa lakukan? Kami bergantung sepenuhnya pada
dia. Kami berada dalam genggamannya.”
“Aku bisa menikahimu,” ucap Ibrahim, yang mengejutkan
dirinya sendiri. Perkataan yang impulsif, tak ternyana, namun pikiran itu terasa
baik, dan pas. Ia tahu dari lubuk hatinya bahwa itu merupakan keputusan yang
tepat. “Aku bisa memberimu mahar yang besar. Cukup bagi keluargamu untuk
membuka warung kecil di dekat suq,
atau mungkin menjalankan usaha taksi.” Ibrahim sangat ingin menyenangkan wanita
itu, melihat senyum wanita itu.
“Tetapi kau bahkan tidak mengenalku,” wanita itu memprotes.
Tetapi Ibrahim menyadari bahwa ia sungguh-sungguh mengenal
wanita itu. Aromanya, rasanya, memberi tahu Ibrahim segala yang perlu
diketahuinya dari wanita itu. Ia wanita yang baik. Teramat, sangat, dari lubuk
jiwa. Wanita itu dapat memberi Ibrahim kedamaian yang sangat ia cari. Hati
nurani wanita itu dapat menjamin bimbingan bagi Ibrahim dalam melalui berbagai
dilema etisnya.
“Walau begitu, aku ingin menjadikanmu wanita yang jujur,”
ucap Ibrahim, lalu memperlihatkan seringaian mencong. “Yah, membantumu untuk
tetap menjadi wanita yang jujur.”
Ini bukan sekadar perbuatan yang tepat, melainkan
satu-satunya yang dapat diperbuat. Perhatian-perhatian dari seorang dermawan pria
tak dikenal tentu akan mengundang gosip tak mengenakkan. Orang-orang akan
menyangka adanya hubungan yang tidak-tidak. Malah bisa saja keluarga wanita itu
sendiri berpendapat bahwa waniwa itu telah memberikan yang tidak sepatutnya
diberikan wanita Muslim yang baik.
Di samping itu, mereka telah terikat oleh darah, oleh
takdir. Ibrahim telah menjadikan wanita itu vampir. Sudah merupakan tugas
Ibrahim untuk mendampingi wanita itu, menolongnya. Bayangan seumur hidup
ditemani Lina menjadi semakin memikat saja dari waktu ke waktu. Ibrahim baru
menyadari betapa sepi dirinya sejak ia kabur dari vampir yang telah
menjadikannya vampir. Yousif bukanlah orang baik. Ia bersenang-senang dalam
kebejatannya, terbenam kian dalam setiap hari pada kebobrokan, serta perbuatan
keji dan mungkar. Kendati ada banyak kekurangan pada kejujuran moral Ibrahim,
ia tahu sejak awal bahwa ia akan menjalani kehidupannya sebagai vampir
sebagaimana kehidupannya sebagai manusia biasa—mencoba untuk menjadi orang
saleh, sekalipun ia sering kali gagal.
Lina memejamkan matanya erat-erat dan menggeleng pelan
seolah-olah Ibrahim merupakan mimpi yang dapat digusahnya.
“Ini begitu tiba-tiba,” ucap Lina ketika Ibrahim tidak kunjung lenyap.
“Kita punya banyak waktu untuk mengenal satu sama lain.”
Tidak lama lagi Lina mengetahui bahwa Ibrahim memaksudkan perkataannya itu
secara harfiah.
“Lina? Kau bicara dengan siapa?” suara seorang lelaki dari dalam rumah.
“Tidak ada siapa-siapa, Baba.”
“Apakah Sidi Ahmed?”
“Tidak, Baba. Aku bicara sendiri. Kembalilah tidur.
Sebentar lagi aku masuk.”
Ibrahim kembali menyentuh bahu Lina sepintas lalu.
“Beristirahatlah, Lina. Dan tidak usah pergi kerja besok. Aku … aku tidak tahan
jika ia mencoba untuk … menyakitimu dengan cara apa pun. Aku akan mendatangimu
setelah makan malam. Aku akan bicara dengan ayahmu, dan kita bisa
berjalan-jalan di taman, untuk saling mengenal lebih jauh.” Tidak perlu
memburu-burukan Lina, ataupun keluarganya. Seperti yang telah Ibrahim katakan,
mereka punya banyak waktu.
“Aku harus kerja atau seluruh keluargaku akan kehilangan
mata pencaharian.”
“Begitu kita menikah—“ Lina menghela napas lagi, namun
Ibrahim mengabaikannya “—mereka tidak harus bekerja di sini lagi. Tidak seorang
pun. Aku akan menjaga kalian, semuanya.”
Rasanya begitu benar hingga, untuk sekali ini, Ibrahim
tidak ada pikiran lain.
Cerpen-cerpen Pamela Taylor telah terbit di Citizen Culture Magazine, Tales of the Slug, serta A Mosque Among
the Stars. Puisi spekulatifnya, Foreign Thoughts, masuk nominasi
Rhysling Award 2006. Sehari-hari ia bekerja sebagai panelis untuk On Faith (http://newsweek.washingtonpost.com/onfaith/ModernMuslim). Teks asli "50 Fatwas for the Virtuous Vampire" dapat dibaca di sini.
[1] Menggunakan
terjemahan dari https://tafsirweb.com/660-surat-al-baqarah-ayat-173.html
[2] Koin mata uang kuno Inggris
[3] Pasar di tempat terbuka di kota-kota Arab
[4] Gamis panjang untuk pria
[5] Penyembelihan hewan menurut hukum Islam
[6] Semacam sayuran
[7] Alquran Surah Al-Ma’idah ayat 32. Terjemahan menurut
https://tafsirq.com/5-Al-Ma’idah/ayat-32
[8] Kue khas Mesir
[9] Sebutan untuk buruh tani di Timur Tengah dan Afrika utara
[10] Menggunakan terjemahan dari https://tafsirweb.com/8715-surat-az-zumar-ayat-53.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar