Susutnya kehidupan beserta segala ekspresinya menjadi taksiran nilai
keuangan yang hampa hanya dimungkinkan lewat penggunaan benda abstrak,
objektif, dan tidak berarti seperti uang. Uang kaku dan tidak berjiwa. Uang
berpindah tangah dengan begitu mudahnya, tanpa kepedulian—menjadi angka-angka
yang dimasukkan ke layar. Uang menggampangkan hidup, sebab kita tidak harus
berpikir. Kita tidak harus mempersoalkan dari mana asalnya deretan mebel Ikea
yang tidak ada habisnya, atau bagaimana kita dapat memperoleh stroberi pada
Februari. Kita tinggal menyerahkan uang. Simpel.
Biaya sebenarnya dari kemewahan-kemewahan ini tidak meresap
ke dalam harganya sebab itu tidaklah mungkin. Bagaimana Anda menghitung
hilangnya hutan hujan—matinya seratus ribu pohon, punahnya spesies tanaman dan
hewan, serta hilangnya rumah, budaya, bahasa, pengetahuan dan cara untuk
menjadi manusia? Bagaimana Anda mengalkulasi biaya perubahan iklim, penipisan
tanah, serta pengambilan lahan suatu masyarakat karena airnya, lantas memaksa
mereka untuk bekerja dalam perbudakan efektif, melakukan pekerjaan nirjiwa
bertani monokultur bagi orang-orang di tempat jauh yang tidak akan pernah dijumpai?
Anda tidak bisa memerinci semua itu. Karena itulah kita tidak
melakukannya. Uang merupakan satu-satunya cara kita melakukan itu, karena
sifatnya yang sama sekali abstrak sehingga dapat mewakili segala kerusahan,
kepedihan, dan tragedi, tanpa sedikit pun terpengaruh. Uang kaku dan tidak
berjiwa. Angka-angka di layar.
Sekali lagi, bukan hanya biosfer kita yang secara negatif
terpengaruh oleh penggunaan uang. Diri kita begitu masyarakat kita pun sangat
tersakiti. Karena pemutusan hubungan yang diperbuat ekonomi moneter pada kita
dewasa ini, sedikit saja orang yang mengetahui siapa yang memanggangkan roti
mereka, jangankan petani yang menumbuhkan gandumnya atau tukang giling yang
menggilasnya menjadi tepung. Bagi kita, balok roti itu sekadar produk di rak,
dan biasanya tidak ada hubungan nyata di antara produsen dan konsumen.
Dalam ekonomi pramoneter, tingkat keterpisahan antara
produsen dan pengguna terentang dari nol sampai dua—kalau Anda tidak membuat
sendiri barang yang Anda gunakan, entahkah Henry tetangga Anda atau istrinya
yang melakukannya. Ini berarti Anda terhubung secara mendalam dengan segala
sesuatu pada prosesnya. Dalam konteks dewasa ini, jika Anne menyiksa hewan atau
menyemprot hasil bumi yang Anda makan dengan senjata biologis, Anda akan
mengetahui itu dan mungkin membahasnya dengan dia jika Anda awas. Jika
kesehatan Henry terganggu karena membuatkan sepatu untuk Anda, Anda mungkin
ingin membantu dia menemukan pemecahan yang baik bagi dirinya.
Jika Anda menumbuhkan pangan sendiri, Anda tidak akan
menghamburkannya. Jika Anda mesti bertanggung jawab atas persediaan air Anda
sendiri, kemungkinan Anda tidak akan beol di situ. Belum lama ini saya
berbicara dengan seorang wartawan mengenai laporan Kementerian Lingkungan,
Pangan, dan Pedesaan Inggris (DEFRA)[1] yang
menyatakan bahwa sekarang ini roti menjadi makanan nomor satu yang
dihambur-hamburkan, dan ia menanyakan pendapat saya sebabnya demikian. Saya
menjawab sederhananya itu karena kita tidak lagi harus menguleni dan memanggang
roti sendiri. Jika kita harus mengerahkan tiga puluh menit cinta berikut lemak
siku ke dalam roti itu, kita tidak akan menyia-nyiakannya barang seiris pun.[2]
Semakin kurang mendalam hubungan kita dengan makanan kita,
semakin banyak kita menghambur-hamburkannya. Semakin lama kita tidak terhubung
dengan apa yang kita konsumsi, semakin sedikit harapan untuk memahami bahwa
kita bukanlah makhluk yang sepenuhnya mandiri, melainkan bagian yang saling
bergantung dari alam semesta yang lebih besar. Kita pun akan terus mengambil
keputusan yang dianggap baik menurut pemaknaan diri kita yang egosentris (ego
yang terbungkus-oleh-kulit, aku) dengan mengorbankan diri holistis kita (alam
semesta).
Sebagian orang akan membantah bahwa justru di sinilah
masuknya konsumerisme etis—yang memungkinkan uang menjadi cermin pertimbangan
masyarakat terhadap cara-cara yang merusak. Saya akan menangkis bahwa tidak ada
yang namanya konsumerisme etis, sama seperti saya berpendapat bahwa tidak ada
yang namanya pemerkosaan etis. Ted Trainer sependapat, dengan menyatakan bahwa
masyarakat yang adil dan makmur tidak mungkin berupa masyarakat konsumtif.”[3]
Konsumerisme berarti membeli semakin banyak barang, sumber daya, dan jasa
secara terus-menerus tanpa berkesudahan. Konsumerisme pada dasarnya bersifat
linear, karena mensyaratkan—dan bergantung pada—persediaan masukan yang tidak
terhingga, yang tidak ada, dan tidak mempertimbangkan apa yang terjadi pada
keluarannya bila masa pakainya yang dirancang terbatas sudah berakhir.
Bagaimana mungkin sistem serupa itu disebut etis, apalagi cerdas? Lebih-lebih,
konsumerisme etis tidak memperhitungkan pandangan menyeluruh mengenai manusia
beserta hubungan-hubungan biologis yang terpengaruh oleh suatu produk atau
jasa. Pertimbangannya mengenai yang “etis” atau bahkan “berkaitan dengan
lingkungan” sudah pasti sangat terbatas. Gagasan bahwa kita dapat berbelanja
untuk kelestarian tidaklah lebih menggelikan daripada bersanggama supaya
perawan.
Namun lebih daripada itu, konsumerisme etis memperkuat status
quo—memperkuat apa yang kita semua ketahui merupakan kepalsuan, bahwa uang itu
berarti, dan dengan memperkuat ini, konsumerisme etis memperkuat dan
memperkukuh keterpisahan kita dari diri kita sendiri, masyarakat kita, berikut
Alam. Ini tidak berarti membeli bahan makanan dari toko petani organik setempat
alih-alih supermarket bukanlah perbuatan baik. Tentu saja itu baik. Makan
merupakan tindakan konsumerisme, tindakan untuk hidup, dan sekarang ini
mendukung mereka yang menumbuhkan pangan dengan menghargai kesehatan biosfer
sangatlah penting. Maksud saya sekadar bahwa tindakan-tindakan serupa itu
dengan sendirinya tidak akan menghasilkan tingkat perubahan yang sangat kita
butuhkan. Beberapa bentuk konsumerisme bisa saja memang lebih berkelanjutan
serta tidak lebih mengeksploitasi dan mencemari daripada yang lain, namun tidak
mungkin dikatakan absolut. Pemerkosa yang hirau untuk menggunakan kondom ramah
lingkungan agaknya bisa dibilang lebih etis, namun akankah siapa pun, terlepas
dari definisi mereka mengenai “etis”, istilah yang paling tidak jelas ini, berani
menyebutnya etis secara absolut?
Hingga kita memahami bahwa kesehatan kita sendiri, kehidupan
kita sendiri, bergantung pada kesehatan alam semesta, kita tidak akan mampu
melawan kebudayaan yang tampaknya bersikeras merampas semua ikan, pohon, dan
mineral dari planet ini, sekalian mencemari udara dan sungai kita. Derrick
Jensen, penulis dan aktivis lingkungan Amerika, menyatakan bahwa “jika
pengalaman Anda berupa makanan yang berasal dari toko bahan pangan dan air yang
berasal dari keran, maka Anda akan mati-matian mempertahankan sistem yang
menyediakannya pada Anda karena hidup Anda bergantung padanya. Namun, jika
pengalaman Anda berupa makanan yang berasal dari tanah dan air yang berasal
dari kali, maka Anda akan mati-matian mempertahankan tanah itu berikut
kalinya.”[4] Tidak ada
yang lebih baik daripada uang dalam menghentikan kita memahami kesalingbergantungan
kita dengan tanah.
Kemanunggalan, sifat liar, kemasyarakatan, dan
kedirian—gagasan-gagasan melayang bebas di ranah filsafat yang teramat lesu.
Apalah saya ini menyatakan apakah gagasan-gagasan tersebut benar atau
salah—mereka hanyalah dugaan, dugaan yang kuat pula, karena semuanya terasa
pas, namun toh dugaan belaka. Maka, bagaimana jika saya salah? Terlepas dari
filosofinya, terlepas dari renungan batin akan sifat diri, adakah petunjuk
konkret, petunjuk yang “nyata”, yang menyatakan bahwa penggunaan uang pada
hakikatnya tidak berbahaya?
Banyak. Cukup untuk mengisi tiga bab buku ini. Namun di sini
hanya ada satu bab, dan pendek pula. Maka saya pilihkan yang terbaik dengan
harapan sebagian di antaranya mudah-mudahan berguna bagi Anda sementara Anda
membantu kita semua menciptakan kisahan masa depan, kisahan yang patut bagi
Zaman kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar