Kita semua tahu manfaat uang. Setiap hari kita dibombardir olehnya.
Ekonom, politikus, wartawan, pimpinan eksekutif perusahaan maupun badan amal,
pengiklan, tabloid, semua orang mulai dari Adam Smith sampai Katie Price dan
selebriti lainnya yang terkenal karena menghirup dan mengembuskan gas-gas
atmosfer—mereka semua memuja kebaikan uang, berulang-ulang, setiap hari. Sudah
pasti dunia tidak memerlukan saya untuk turut bertepuk tangan padanya. Oleh
karena itu “karena waktu itu pendek”, saya akan berbuat sebagaimana Thoreau[1] dan “saya
akan mengabaikan segala puja-puji yang berlebihan itu dan menahankan segala
kecaman.”
Ekonomi Skala dikawinkan dengan uang
Konsep uang merupakan pokok bagi cara kerja ekonomi modern, terutama model
kapitalis yang dominan pada masa kita. Dua prinsip ekonomi yang terutama, yaitu
ekonomi skala dan divisi tenaga kerja, mendapat perhatian khusus dalam cakupan
buku ini. Keduanya selalu ada dalam taraf tertentu, ibarat sepasang suami istri
yang memasakkan makan malam untuk sepuluh orang, si istri memotong-motong
wortel adapun suaminya yang mencucikan kentang. Namun datangnya uang, yang
dikawinkan dengan prinsip-prinsip ini, melahirkan suatu unsur yang tidak
harmonis, menciptakan keadaan ekstrem yang tidak pernah terbayangkan oleh nenek
moyang kita.
Saya bermaksud menunjukkan pada Anda betapa kedua prinsip
ekonomi ini, begitu dikawinkan dengan gagasan mengenai uang, melengkapi hubungan
mereka dengan melahirkan kekuatan-kekuatan yang menggiring pada penjarahan
planet ini, eksploitasi kehidupan manusia maupun nonmanusia di atasnya, serta
perubahan keahlian tradisional dan mata pencaharian yang berkelanjutan menjadi
pekerjaan-pekerjaan menjemukan di atas lini perakitan masyarakat industri,
pekerjaan-pekerjaan yang hanya memberi sedikit kebebasan, kreativitas, dan
otonomi. Namun yang terpenting, saya bermaksud menunjukkan pada Anda sebabnya
konsekuensi-konsekuensi ekstrem tersebut hanya dimungkinkan oleh—dan merupakan
hasil yang tidak terelakkan dari—alat yang kita namakan uang ini.
Prinsip ekonomi skala memiliki pengaruh kuat, namun sangat
sederhana. Pada dasarnya ekonomi skala berarti bahwa ketika suatu entitas,
entahkah itu perusahaan, petani, ataupun Negara, memproduksi sesuatu yang
jumlahnya terus meningkat, mereka berpotensi mendapatkan keuntungan dari
meningkatkan harga dan/atau efisiensi tenaga kerja sementara skala operasi
meningkat sampai pada suatu titik. Sebagai contoh, anggaplah diperlukan biaya
£1 juta untuk mendirikan pabrik yang memproduksi pin Adam Smith. Jika mereka
hendak memproduksi satu pin saja, benda itu harus dijual dengan harga lebih
dari £1 juta hanya supaya pulang pokok. Akan tetapi, jika pabrik itu
memproduksi 100 juta pin, yang kemungkinan pabrik itu sudi melakukannya, maka
setiap pin hanya berharga satu sen. Semakin banyak pin yang diproduksi pabrik
itu, semakin murah harganya, yang secara teoretis berarti penjualan meningkat
dan bahkan harga pinnya pun semakin murah lagi hingga pabrik tersebut mencapai
produksi maksimal. Gagasan ini pula yang menyebabkan saya dapat mengepos paket
dari Inggris ke Irlandia dengan harga beberapa paun saja, dan populasi Cuckoo’s
Knob yang sangat kecil itu dapat memiliki mobil, Blackberry (bukan yang buah,
tetapi satunya yang menipu itu), serta penanganan sedot lemak untuk
menghilangkan lemak yang bertumpuk karena duduk di lini perakitan yang
memproduksi Blackberry dan juga karena mengemudikan mobil.
Terus apa masalahnya? Saya dengar desakan Anda! Sepintas sih
tidak ada. Sampai Anda menyadari bahwa ekonomi skala, jika dipikirkan secara
logis, mengarah pada yang saya namakan ekologi
industrialisasi. Ya, ekonomi skala memang model ekonomi yang sangat
efisien, dan justru itulah masalahnya. Kesadaran kita bahwa efisiensi dapat
meningkat seiring dengan skala, (dan inilah poin pentingnya) digabungkan dengan
kemampuan uang yang secara logistik memungkinkan umat manusia mencapai skala
yang luar biasa, berarti bahwa efisiensi-biaya menuntut produksi dalam skala
yang sangat besar, yang memerlukan masukan material yang sangat banyak berikut
konsumen monokultur yang sangat luas yang meminta produk serupa. Ini telah
menggiring kita pada kebrutalan efisiensi penjarahan Bumi, akhir kesuburannya,
kebocoran paru-parunya, pelucutan segala sesuatu yang lainnya yang oleh kita
manusia diklasifikasikan sebagai sumber daya (yang menurut spesies lain
merupakan bagian dari rumah mereka) serta impersonalisasi dan homogenisasi
seluruh kebudayaan. Jika Anda ingin melihat contohnya, pergilah ke hutan purba
yang ditebang habis lalu hiruplah dalamnya kepedihan yang disisakan mesin.
Tidak dimungkiri model ekonomi ini efisien—terlalu efisien bagi siapa pun yang
matanya kering setelah mempertahankan hubungan dengan komunitas kehidupan
selainnya.
Tanpa uang, skala maksimal yang dapat kita capai ialah ketika
hubungan sejati yang didasarkan pada kepercayaan mungkin terjadi, paling
mungkin di desa dengan populasi kira-kira seratus lima puluh orang atau kurang
(kurang lebih delapan puluh), angka terkenal yang menurut penelitian antropolog
Robin Dunbar[2]
merupakan jumlah orang yang dapat memiliki hubungan bermakna dengan kita. Uang
bertindak mewakili kepercayaan dalam transaksi ekonomi di mana konsumen tidak
harus bertemu produsen. Tanpa uang tidak akan ada penduduk Italia yang
menghabiskan sepanjang hari memproduksi berkaleng-kaleng buncis yang ditujukan
untuk suatu desa di barat daya Inggris, dengan kepercayaan bahwa mereka tidak
bekerja dalam semangat yang sama dengan memproduksi sari apel untuk dikirimkan
ke Roma. Pikiran yang bagus, namun tidak akan pernah terjadi. Uang memungkinkan
Anda untuk berniaga dengan orang-orang yang tidak pernah Anda kenal ataupun
jumpai. Penyebab kita ingin melakukannya merupakan persoalan yang lebih
mendalam.
Gagasan-gagasan ekonomi yang paling mendasar menggoda kita
memasuki dunia di mana kita dapat membuat hampir apa pun yang kita inginkan,
selama kita dapat meyakinkan cukup orang untuk membelinya dengan uang yang pada
gilirannya mereka peroleh dari melakukan pekerjaan-pekerjaan yang kita rasakan
semakin hampa makna, kreativitas, dan otonomi.
Inilah sebabnya saya meyakini bahwa gerakan-gerakan
lingkungan dan budaya tandingan, pada khususnya, jelas-jelas salah arah ketika
mereka menyatakan bahwa dengan sekadar mengonsumsi lebih sedikit akan
menghasilkan perubahan signifikan sementara mereka masih menjalani gaya hidup
yang memerlukan teknologi kompleks. Sebagian dari orang yang terlibat dalam
gerakan-gerakan itu—banyak di antaranya teman saya—mengatakan pada saya bahwa
mereka “benar-benar tidak dapat melepaskan gaya hidup tersebut.” Entah
bagaimana mereka mengajukan planet yang bersih dan sehat dengan produk-produk
yang mempersyaratkan industrialisasi besar-besaran, dan ketika ditanyai soal
ini, mereka pun tidak tahu. Semakin tinggi taraf teknologinya, semakin besar
pula ekonomi skala yang dibutuhkan untuk membenarkan adanya produk-produk
tersebut (dengan beberapa pengecualian, seperti teknologi yang sangat mahal
semacam pesawat tempur jet, hulu ledak senjata nuklir, serta sistem pengawasan
publik, yang kebanyakan dibayar secara kolektif oleh kita melalui pajak, dan
tidak satu pun yang kita butuhkan secara langsung dalam kehidupan sehari-hari).
Besarnya ekonomi skala berarti besarnya jumlah orang yang harus membeli
produk-produk tersebut dan (lagi-lagi, ini poin yang penting sekali) pada
dasarnya mempersyaratkan sesedikit mungkin orang untuk berbagi barang yang
sudah dibeli. Setiap orang harus membeli satu berarti setiap bukit ditambang,
setiap dasar samudra ditebari pukat harimau, dan setiap hutan dimasukkan ke
dalam pak. Setiap hutan yang dimasukkan ke dalam pak dan setiap dasar samudra
yang ditebari pukat harimau berarti tidak ada oksigen bagi saya dan Anda. Tidak
ada oksigen berarti mati.
Begitulah versi ruwetnya, dan itu pun tidak sebegitu ruwet.
Versi simpelnya begini: hasrat lama zaman kita untuk memperoleh keuntungan dari
ekonomi skala—yang dengan sendirinya alamiah—dikawinkan dengan uang yang
merupakan spesies invasif (tumbuhan liar, Pecunia),
menjadikan biosfer kita tidak lagi layak huni bagi jumlah spesies yang terus
meningkat.
Inilah salah satu alasan utama saya menganjurkan agar ekonomi
kita dilokalisasi sepenuhnya (saya akan menjelaskan maksudnya secara terperinci
di bab dua) dengan menggunakan teknologi berskala kecil yang sesuai dengan
kondisi setempat. Yang saya maksudkan di sini ialah teknologi apa pun yang
dapat dihasilkan manusia mana pun baik untuk dirinya sendiri maupun masyarakat
sekitarnya tanpa keberadaannya bergantung pada banyak orang lainnya yang juga
memiliki barang serupa secara sendiri-sendiri, atau pada seluruh masyarakat di
dunia (yang tidak menggunakan tembaga, minyak, dan lain-lainnya, yang
dibutuhkan produk-produk berteknologi tinggi kita) yang secara diam-diam
ataupun sebaliknya dipaksa menerima ideologi ekonomi dan politik yang sama.
Teknologi berdampak rendah seperti itu dapat digunakan bersama oleh seluruh masyarakat,
serta menghemat waktu, usaha, dan material semua orang, karena keberadaannya
tidak berdasarkan kepentingan ekonomi bahwa semua orang harus punya satu supaya
investasi awal dalam modal prasarana tertutupi. Sekalipun pada masa yang
dianggap prihatin, prinsip ekonomi skala merupakan penyebab Anda tidak akan
pernah mendengar ada politikus yang menyampaikan kita harus lebih banyak
berbagi. Lagi pula Perdana Menteri hanya dapat memiliki mesin cuci baru yang
bagus, jika ada cukup orang di antara para pemilihnya yang juga ingin punya
mesin cuci sendiri-sendiri.
Meski begitu, saya tidak bermaksud sedikit pun untuk
mengritik siapa saja yang mencoba meminimalkan dampaknya terhadap biosfer.
Semua itu menghasilkan perbedaan dan sangatlah patut dihargai di dunia yang
tidak mempermudahnya. Mengikuti tahapan transisi ini juga merupakan kebijakan
pribadi yang sangat baik. Namun untuk jangka panjangnya kita mesti menyadari
kenyataan bahwa kita perlu merancang cara hidup yang tidak mempersyaratkan
ekonomi skala untuk mencapai kemakmuran, sehingga kita dapat berbagi hasil
pekerjaan tanpa kena runtuhan model ekonomi yang menuntut kita supaya tidak
berbagi sumber daya.
Supaya teori ekonomi skala dapat terangkat hingga tarafnya
dewasa ini, ia harus dikawinkan bukan saja dengan konsep uang, melainkan juga
dengan gagasan divisi tenaga kerja yang berspesialisasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar