Dalam sorot cahaya yang luruh dari satu-satunya jendela di
ruangan itu, Abla[1]
Saniya si penjahit menjalankan mesinnya. Ia sadar untuk memanfaatkan berkas
cahaya matahari yang penghabisan sebelum ruangan gelap seluruhnya. Abla Saniya
menyalakan lampu yang kabelnya berasal dari jendela. Listrik dibayarnya lima
paun sebulan. Uang itu dikumpulkannya dengan amat cermat, sebab penghasilannya
selalu melumer oleh senyum anak-anaknya serta jerih payah sehari-hari.
Ruangan itu tidaklah sempit dan terbilang murah di Jalan
Turki karena ukurannya yang lapang itu. Di bagian depan terdapat dapur. Kamar
mandi pun ada. Sewanya tiga paun. Abla Saniya menyewa ruangan itu sejak
bertahun-tahun lalu, sewaktu papan tanda persewaan dipasang di mana-mana di
sepanjang jalan. Abla Saniya menganggap dirinya beruntung sebab al-Mualim
Tahsin, yang bekerja di kafe, memasangkan listrik untuknya dengan syarat istri
dan anak-anak pria itu didahulukan saat mengepaskan pakaian. Jarang-jarang
penyewa yang mampu berbaur dengan yang tidak mampu.
Pada hari-hari terakhir Ramadan, tempat Abla Saniya penuh
sesak oleh wanita dan anak-anak. Mereka para pelanggan Lebaran. Abla Saniya
duduk menyelesaikan jahitan kain berwarna gelap yang terakhir. Ia mulai tidak
bisa menjahit kain gelap dengan penerangan bohlam. Ia pun mengkhususkan siang
hari untuk itu sedangkan malamnya untuk menjahit kain berwarna terang. Di
sekitarnya berpencaran wajah-wajah gelisah para tetangganya.
“Bu Saniya sayang, bikinkan topi untuk putra kecilku dari
baju Aziza.”
“Sesuai keinginanmu, Umi Muhammad.”
“Jangan lupa gandakan kelimnya supaya bisa dipakai sampai
Shadia besar.”
“Baik.”
Seorang gadis kecil bersenandung. Suaranya meninggi
mengiringi dengung teratur mesin jahit.
”Abla Saniya? Abla Saniya? Adakah mutiara dan hiasannya?”
Abla Saniya menyahut dengan keluh, “Kau tak tahu kesulitan
yang kuhadapi ....”
Seperti biasa naluri keibuannya yang menang. Ia melontarkan
kantong kain pada gadis itu.
“Lihat dalamnya, sayang. Di tas ini ada kain yang kau cari.”
Obrolan lainnya berpusar ke sana kemari di antara para
wanita, begitu pula dengan anak-anak kecil, yang bercampur dengan pertengkaran
dan ujung-ujungnya nyaris memengaruhi ibu-ibu. Semua ini berpadu dengan suara
mesin jahit yang bagian-bagiannya telah berkarat. Iramanya yang kentara
menjengkelkan Abla Saniya, sehingga sakit kepalanya menjadi-jadi. Ditangguhkannya
dulu pekerjaan itu untuk menalikan kembali syal yang melorot ke alisnya, di
situlah persisnya nyeri itu bersarang. Ia meneruskan pekerjaan tanpa sekali pun
kehilangan senyum kecuali saat melihat suaminya pulang dalam keadaan ringsek,
serupa mayat yang terendam dalam opium.
Abla Saniya ingat masa mudanya dengan lelaki itu hingga
mereka menikah, meskipun ibunya ingin supaya ia menikahi sepupunya. Madbuli,
suaminya, pemuda yang jangkung, sehat, waras, dan juga tampan. Lelaki itu
memiliki separuh toko di Jalan Muhammad Ali. Abla Saniya berkenalan dengan
lelaki itu selagi ia belajar menjahit pada Adila Barakat, penjahit paling
kesohor di jalan tersebut. Abla Saniya biasa membeli rokok dan pernak-pernik
lain untuk gurunya dari lelaki itu. Saat lelaki itu menggodanya untuk pertama
kali, Abla Saniya mengernyitkan alis seraya berujar,
“Dengar, ya, aku bukan perempuan seperti itu, jadi awas!”
Lelaki itu tersenyum dan menjawab, “Niatku tulus, tapi aku
tahu sikap ....”
Abla Saniya tak menyahut lagi, sementara lelaki itu terus mencari
tahu tentang dirinya hingga mengetahui tentang keluarganya dan mengajukan
lamaran. Namun mereka semua menolak lelaki itu, apalagi ibunya yang berkata:
“Lupakan penggemarmu itu, Saniya. Orang ini tak dapat mengurusmu.”
Tak disangka perasaan ibunya setajam mesin yang memprakirakan
petir sebelum menyambar, atau mencatat getaran sebelum letusan gunung berapi.
Maka, Saniya pun menikah dengan Madbuli. Pernikahan mereka
menjadi perbincangan di kalangan tetangga. Sekumpulan penari wanita memimpin
pawai sementara para pemuda tetangga menari di depan mereka.
Belum setahun pernikahan, Madbuli mulai memakai opium dan
menjadi kecanduan. Tanpa disadari ia kehilangan separuh tokonya. Ia mengambil
sejumlah yang diperlukan dari rekannya demi membeli opium, hingga ia tidak lagi
memiliki apa pun. Rekan Madbuli senang-senang saja menerima uang terselip di
antara kedua belah tangannya.
Madbuli bahkan tidak menginsafi dirinya sendiri pada hari
ketika ia pergi bersama rekannya untuk menyerahkan kepemilikan separuh tokonya.
Meski begitu hari itu tak akan pernah dilupakan Saniya. Putrinya yang tertua
masih menyusu sementara ia sedang hamil putrinya yang kedua. Ada yang memberi
tahu Saniya bahwa Madbuli sedang menjual kaveling tokonya. Saniya menampari
pipinya, merobek pakaiannya, dan untuk pertama kali sejak menikah ia memfitnah
suaminya, mengutuk lelaki itu di depan para tetangga. Dunianya runtuh dan ia
tak pernah sanggup mencari perlindungan ke tempat ibunya. Alih-alih, ia mencari
perlindungan pada mesin jahit. Ia memutuskan untuk meninggalkan rumah dan
menyewa tempat lain, demi mendapatkan ruang yang tidak mengingatkan dirinya
akan kebahagiaan semula. Ia pun berdiam di Jalan Turki. Di ruangan inilah ia
menjalani hidup terjepit oleh mesin jahit hingga cintanya yang melimpah pada
keempat anaknya berkembang. Hubungan dengan suaminya menjadi canggung. Kadang
ia mengasihani suaminya. Pada waktu lain diam-diam ia menangkap sepintas
sisa-sisa cinta mereka dahulu. Namun pada waktu yang lain lagi ia mencaci-maki
suaminya, menangis, menjerit, dan menyalahkan lelaki itu atas aibnya.
Saat hari terasa muram, senyum anak-anaknya lah yang
memancarkan kehangatan. Ia berusaha menjawab impian mereka dengan nyeri di
punggung yang secara tidak langsung disebabkan mesin jahit itu.
Para wanita di sekitarnya banyak menuntut, “Rendanya rada
sempit.” “Jelek sekali, warna kancingnya tidak cocok.” “Ya Tuhan, terberkatilah
tanganmu, Umi Fatha.”
Mereka tidak senang bukan karena ini Lebaran, tapi karena
pakaian baru. Mereka tidak sering-sering membeli pakaian di sekitar sini, dan
karena itulah mereka jarang-jarang meninggalkan tempat Abla Saniya. Penghuni
Jalan Turki seperti penghuni gang-gang di Kairo serta jalan kecil lainnya di
lingkungan tersebut. Pakaian baru hanya untuk dua kesempatan: yang pertama
untuk Lebaran dan yang kedua saat pakaian Lebaran usang. Ini biasanya terjadi
saat maulid atau liburan lain, atau terjangan musim dingin yang tiba-tiba.
Maka, Fatima si pedagang perantara pun bertindak, wira-wiri membungkusi
barangnya. “Kain yang ini buat orang-orang tua, dan yang ini buat anak-anak
muda ....” Fatima memilah-milah--supaya orang-orang sekampung memaklumi.
Hubungannya dengan mereka selalu berupa pemiutang dan pengutang. Abla Saniya
berutang pada Fatima demi anak-anaknya, membayar pengeluaran, serta menjahit
apa pun yang diinginkannya.
Kapan pun menjelang Lebaran, ruangan Abla Saniya dipenuhi
oleh wanita dan anak-anak. Tidurnya makin berkurang hingga tibalah malam
Lebaran, saat tak ada yang sempat tidur di ruangan itu. Di sela-sela tidur,
anak-anak menyusu payudara ibu mereka, atau duduk bermain dengan barang apa
pun, atau menangis minta makanan atau manisan. Sementara Abla Saniya menyatu dengan
mesin jahitnya. Keduanya sama-sama lelah dan memprotes. Tapi berkat rasa lelah
itulah alasan protes keduanya terlupa di tengah-tengah beban kerja yang begitu
berat.
Tiap kali Abla Saniya menyelesaikan satu jahitan, ia
menyerahkannya pada salah seorang gadis yang memasang kancing serta mata ikan.
Taysir, Awatif, dan Jamala, ketiga gadis muda itu sama-sama bermimpi menjadi
Abla Saniya berikutnya di Jalan Turki. Namun Jamala lah yang kecerdasan serta
kejenakaannya melebihi mereka semua, dan menurutnya, “Aku ini Abla Saniya yang
lebih baik.” Ia mengucapkannya tiap kali melihat suami Abla Saniya yang ringsek
bersama sekumpulan pemuda dua puluhan tahun dalam pengaruh opium.
Pemandangan di ruangan itu berbaur dan melebur. Salah seorang
pelanggannya tengah meremas-remas adonan untuk kue bersama putri sulungnya.
Anak bungsunya, Hassan, bergegas menuruni tangga menuju ruangan itu seolah-olah
mendadak terlupa akan sesuatu.
“Mama, Mama, mana jalabiyaku untuk Lebaran?”
Abla Saniya menjatuhkan benda yang tengah dipegangnya lalu
menghentikan pekerjaan, seraya memberi Hassan pelukan senilai dunia dan
seisinya. Sembari menguasai dirinya kembali, ia berkata, “Allah melindungimu
beserta segala sesuatu di sisimu. Jalabiyamu, inilah dia!”
Ia menyampirkan selembar kain di tubuh Hassan, namun anak itu
mengembalikannya. “Enggak, enggak, aku ingin yang sudah jadi, atau Mama akan
mengakhirkanku seperti biasanya?”
Ia berbisik di telinga Hassan, seraya mengambil kesempatan
untuk mencium pipi anaknya, “Nanti begitu Mama dapat uang dari pelanggan, Mama
akan taruh tiga shilling yang masih baru di semua saku.”
Hassan bersorak, terburu-buru menuju anak-anak lain sembari
memegangi kain itu. “Jalabiyaku, Mama ... sudah selesaikah sebelum Lebaran
besok?”
Bocah-bocah itu berlarian. Tatapan Abla Saniya mengekori
mereka, takluk oleh pekerjaan yang mesti dilakukannya pada sisa malam Lebaran
yang melelahkan.
Pada penghujung malam para pelanggan terkantuk-kantuk
sementara anak-anak menggeletak di lantai, tertidur seakan-akan ada yang
menyemprot mereka dengan insektisida hingga mereka bertumbangan bagai lalat.
Rentetan cacian menyela pekerjaannya, membuyarkan sisa malam itu.
“Begini saja, Abla Saniya? Sudah seminggu kau mengerjakan
pakaian untuk keluargaku!”
Abla Saniya menjawab tanpa mengangkat tangannya dari mesin
jahit,
“Sayangku, kau lah yang telat memberi renda yang kuminta.”
“Aku sudah datang jauh-jauh, Abla Saniya. Aku baru saja dari
Jalan Baru, tapi Tuhan tak merestui kepergianku ke Umi Shahana. Sebenarnya aku
suka jahitanmu.”
“Selamat Lebaran untukmu juga, Umi Darwish. Nah sudah
selesai, tinggal mengerjakan lengan dan kancingnya.”
Saèdiya, putrinya, mengusap-usap mata untuk menyingkirkan pasir. “Mama, Mama,
mana bajuku?”
Abla Saniya menghentikan pekerjaan dan memeluk serta membelai
putrinya, “Kasih kecilku, kesayanganku, nanti pagi bajunya jadi, Insyaallah,
tapi sekarang, tidurlah.”
Waktu berjalan lambat melewati segala jerih payah, seiring
tiap-tiap pelanggan mengambil pakaian anak mereka, membawa yang perlu dibawa,
membangunkan yang perlu dibangunkan, dan melangkah dengan baju baru menjuntai
di lengan.
Abla Saniya tersenyum selagi mengukur pakaian anak-anaknya
sementara mereka tertidur, seraya menggumamkan ungkapan sederhana akan kasihnya
pada mereka.
“Alhamdulillah ... mereka tambah besar dari tahun lalu ... Saèdiya sekarang tingginya
empat setengah tangan ... dia tumbuh seperempat tangan ... semalam dia tiga
setengah tangan .... Allah menjagamu ....”
Mesin jahit berputar lekas dengan sendirinya. Seiring ia
menjahit pakaian, kegembiraan menyurutkan perhatiannya dari keletihan. Ia
menambahkan sentuhan terakhir lalu meletakkan sehelai pakaian baru di samping
tiap-tiap anaknya. Ia mengeluarkan tas kecil berisi uang dari dalam bajunya.
Sembari memilih lembaran yang paling baru, ia meletakkan tiga helai lima paun
di tiap-tiap kantong anaknya. Kantuk merajai mata. Ia pun dirundung pening.
Setelah menyelimuti anak-anak dan mesin jahit, ia menyerah kalah. Dilengkungkannya
badan hendak tidur.
Maka dimulailah Lebaran di Jalan Turki.[]
Na’am al-Baz wartawan
Mesir yang bekerja untuk koran Al-Akhbar. Cerpen ini diterjemahkan dari versi
bahasa Inggris Alexa Firat, “Mrs. Saniya’s Holiday”, yang dipublikasikan dalam
situs Words Without Borders edisi
Januari 2006, “Words Cannot Be Weighed: Literature from Egypt”.
[1] Panggilan untuk wanita yang
lebih tua di Mesir