Ini prinsip sederhana lainnya, berawal dari kali pertama manusia bekerja
sama. Elemen yang telah berubah hanyalah presisi kejadiannya. Tidak pernah ada
spesialisasi tenaga kerja dengan divisi yang semakin klinis sebagaimana pada
dewasa ini. Kompleksitas dan spesialisasi yang terus meningkat ini erat
hubungannya dengan perkembangan kapitalisme dan masyarakat industri.
Keuntungannya hampir sama dengan yang diperoleh dari peningkatan ekonomi skala:
pertumbuhan efisiensi, pertumbuhan teknologi ajaib, serta penghematan tenaga
kerja per dolar yang dihasilkan. Namun diam-diam ada biaya sangat besar yang
mesti dibayarkan, biaya yang masyarakat waras mana pun akan menganggapnya tidak
sepadan.
Salah satu biaya peluang ini ialah kebutuhan kita untuk
menjalani kehidupan yang bahagia, bervariasi, dan bebas berkreasi, di mana yang
kita kerjakan setiap hari adalah pekerjaan yang kita cintai. Tentu masih ada
orang-orang yang mencintai pekerjaannya, namun mereka semakin menyerupai
pengecualian yang menentukan aturan. Kebanyakan dari kita, yang pekerjaannya
menyokong kehidupan sedikit orang yang beruntung ini (mereka yang diminta
merancang gambar Google terbaru atau memainkan pertunjukan solo akustik bagi
50.000 penggemar), membenci Senin Pagi dan mencintai Jumat malam karena suatu
alasan. Sedikitnya karena kesalahan kita sendiri, pekerjaan yang kita peroleh
diulang-ulang, membosankan, tidak memuaskan, dan menyia-nyiakan karunia
berharga yaitu kehidupan kita. Lebih buruk lagi, kita mulai menyadari itu.
Karena itulah antidepresan, klinik, bunuh diri, kejahatan pidana, dan peralihan
pada semua hal semacam itu merupakan upaya untuk mengisi kekosongan
eksistensial yang timbul karena melakukan pekerjaan yang tidak memupuk jiwa
ataupun raga kita.
Kalau masalahnya cuma ini, saya tidak akan sebegitu prihatin.
Setidaknya peralihan-peralihan tersebut hanya akan berbahaya bagi mereka yang
merasa akan mendapatkan keuntungan sekaligus dari padanya. Namun ketika
seseorang menghabiskan lebih dari empat puluh jam seminggu di kantor untuk
mengocok kertas elektronik dari satu kotak masuk ke kotak masuk berikutnya,
mereka hampir tidak memiliki hubungan dengan Alam selebihnya, atau dengan
barang yang mereka konsumsi. Ketiadaan hubungan serupa ini mengarah pada
kekosongan yang disumpal oleh eskapisme seperti konsumerisme.
Ketiadaan hubungan juga mengarah pada kurangnya pengetahuan
tentang, atau empati dan kepedulian pada, segala hal dan semua orang yang
terlibat dalam rantai pasokan produk yang dengannya kita mengisi kekosongan
kita. Berapa banyak orang yang memikirkan perang di Irak saat mereka mengisi
bensin di SPBU? Apakah Anda memikirkan bagaimana kejadiannya sehingga minyak
tersebut dapat masuk ke tangki Anda? Kalau tidak, bolehkah saya menanyakan
mengapa tidak? Saya yakin secara intelektual Anda peduli, namun tiadanya
hubungan itu berarti kepedulian tersebut tidak meresap ke dalam hati Anda,
peresapan yang hanya berdampak sepenuhnya bila Anda melihat tangis pedih mengaliri
wajah seorang ayah Irak yang kehilangan empat anggota keluarga dekatnya, hanya
supaya kita dapat menyetir ke pedesaan dan bertamasya alam seharian.
Lagi-lagi Anda mungkin menyangsikan hubungannya ini dengan
uang. Begitu Anda menciptakan sarana seperti uang Anda pun mulai melintasi jalan
menuju divisi tenaga kerja yang berspesialisasi. Ekonom seperti Adam Smith
menyatakan bahwa atas alasan ini pulalah uang tercipta pada awalnya—yang
memungkinkan Maria membuat bir sedang Miki memanggang roti, dan mereka berdua
dapat bertukar hasil kerja mereka dengan lebih mudah daripada setiap kali harus
menghitung berapa banyak tong bir yang setara dengan sebungkal roti.
Menurut Graeber, sebagian besar bukti antropologis membantah
adanya “negeri khayalan tentang barter” ini,[1] tempat yang
hanya dapat digambarkan sebagai sebuah mite ekonomi, namun mudah dimaklumi
sebabnya pernyataan Smith ini menguntungkan pernyataan para ahli ekonomi bahwa
keadaan tersebut sekadar buah alami dari kemajuan dan perkembangan umat
manusia. Terlepas dari apakah Anda menyetujui Graeber atau Smith (walau tidak
ada secarik pun bukti antropologis yang menyetujui Smith), ciptakan konsep yang
secair uang dan peningkatan ekonomi skala serta divisi tenaga kerja pun segera
datang sesudahnya. Terus gabungkan ketiganya dengan kompleksitas yang
menjadi-jadi, dan keadaan pun menjadi kacau-balau.
Dengan sendirinya divisi tenaga kerja merupakan gagasan
bagus. Demikian halnya dengan ekonomi skala, divisi tenaga kerja hanya menjadi
persoalan sosial dan ekologi ketika dikawinkan dengan gagasan akan uang.
Perkawinan itu menciptakan disharmoni dalam ekonomi yang berdasarkan ekologi,
sama halnya dengan spesies invasif yang baru dimasukkan dapat menimbulkan
malapetaka di wilayah permukaan Bumi. Tanpa uang, divisi tenaga kerja di
masyarakat kecil mana pun akan mencapai tingkat optimalnya, alih-alih tingkat
maksimal. Perbedaan antara optimal dan
maksimal sangatlah penting. Efisiensi, seperti segala sesuatu selainnya, ada
tingkat optimalnya. Maka sementara setiap orang berhenti mengerjakan setiap
hal sendirian—yang akan menuju keadaan ekstrem konyol lainnya—masyarakat akan
berkecukupan sebagai sebuah kesatuan, dan hidup pun dapat menjadi jauh lebih
bervariasi, lebih guyub, lebih otonom, dan bebas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar