Dalam penggalan Tokyo Ueno
Station karya Yu Miri, yang direncanakan terbit pada 2019 oleh Tilted Axis
Press, seorang pria gelandangan mengingat kegagalan sebagai orang tua.
Terdengar suara itu lagi.
Suara itu—
Aku mendengarnya.
Namun aku tidak apakah suara itu ada di telingaku atau
benakku.
Aku tidak tahu apakah suara itu berasal dari dalam diriku
atau dari luar.
Aku tidak tahu kapan suara itu datang, atau siapa pemilik
suara itu.
Apakah itu penting?
Apakah dulu itu penting?
***
Dulu aku sering berpikir hidup itu seperti buku: kau membalik
halaman pertama, lalu ada halaman selanjutnya. Ketika kau terus membalik
halaman demi halaman, pada akhirnya kau mencapai halaman terakhir. Tetapi hidup
itu tidak seperti cerita dalam buku. Mungkin saja ada kata-kata, dan
halaman-halamannya bernomor, tetapi tidak ada plot. Mungkin saja ada penutup,
namun tidak ada ujung.
Terabaikan—
Seperti sebatang pohon bergurat di tanah kosong tempat sebuah
rumah lapuk telah dirobohkan.
Seperti air di vas yang dari dalamnya bunga layu telah
dikeluarkan.
Terabaikan.
Namun
apa gerangan yang tersisa dari diriku di sini?
Rasa letih.
Dulu
aku selalu letih.
Tidak pernah aku tidak letih.
Tidak ketika kehidupan mencengkeramkan cakarnya padaku,
ataupun ketika aku melarikan diri dari dia.
Tidak
ada niatku untuk hidup, aku sekadar hidup.
Namun
kini itu telah berakhir.
***
Aku
mengamati dengan perlahan, seperti biasanya.
Bukan
pemandangan yang sama namun serupa.
Dalam
pemandangan yang suram ini, ada luka.
Dalam saat yang terasa karib ini, ada momen-momen kesakitan.
Aku
melihat lebih dekat.
Ada
banyak orang.
Tiap-tiapnya
berbeda.
Tiap-tiapnya dengan pikiran yang berbeda, wajah, tubuh, serta
hati yang berbeda.
Tentu
saja aku mengetahui itu.
Namun dilihat dari kejauhan, mereka semua tampak sama, atau
serupa.
Tiap-tiap wajah terlihat tak lebih daripada kolam air kecil.
Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri pada hari ketika aku
pertama kali menjejakkan kaki di platform Stasiun Ueno, dalam gerombolan orang
yang menunggu tibanya kereta Jurusan Yamanote.
Dulu aku sering menatap penampakanku yang terpantul di
cermin, kaca jendela, serta foto, dan aku merasa tidak percaya diri. Aku tidak
merasa diriku ini luar biasa jelek, namun penampakanku ini bukan tipe yang
memancing tatapan orang.
Sikapku yang tertutup dan tidak cakap lebih parah daripada
penampakanku, namun yang paling tak tertahankan ialah kesialanku.
Aku
orang yang sial.
Kini kudengar suara itu lagi. Hanya suara itu, bagaikan
aliran darah—seperti arus yang deras—pada waktu itu, yang kudengar hanya suara
itu, berkeliaran di dalam tengkorakku, seolah-olah ada sarang lebah di dalam
kepalaku dan ratusan lebah tengah berusaha untuk terbang keluar semuanya
sekaligus, bunyinya mendengung, membakar, dan menyakitkan, aku tidak sanggup
memikirkan apa pun lagi, kelopak mataku berkedut dan bergetar seakan-akan
dihantam air hujan, aku mengepalkan tinju, semua otot dalam tubuhku menegang—
Suara
itu mencabik-cabikku, namun tak mau padam.
Aku tidak dapat menangkapnya, menjebaknya, ataupun membawanya
ke tempat jauh.
Aku tidak bisa menutup telingaku dari suara itu dan aku tidak
dapat melarikan diri.
Sejak
saat itu, suara itu hidup bersamaku.
Hidup—?
“Kereta jurusan Ikebukuro dan Shinjuku memasuki platform dua.
Untuk keselamatan Anda, dimohon berdiri di belakang garis kuning.”
***
Begitu kau keluar dari gerbang tiket di Pintu Keluar Taman
Stasiun Ueno, selalu ada gelandangan duduk-duduk di tanah berpagar di sekitar rumpun
pohon ginkgo di seberang persimpangan.
Dulu ketika aku duduk di sana, aku merasa seperti anak
tunggal yatim piatu, meskipun kenyataannya kedua orang tuaku, yang tidak pernah
meninggalkan desa mereka di Sōma,
Prefektur Fukushima, hidup sampai usia sembilan puluhan tahun, dan menyusul
kelahiranku pada 1933, orang tuaku menghasilkan empat anak perempuan serta tiga
anak laki-laki: Haruko, Fukiko, Hideo, Naoko, Michiko, Katsuo, dan Masao.
Empat belas tahun di antara aku dan Masao menjadikan dia
lebih seperti anakku daripada adikku.
Namun
waktu telah berlalu.
Di
sinilah aku dulu duduk, sendirian, menua—
Selagi tidur-tidur ayam, aku biasa mendengkur, kelelahan—dan
ketika mataku terbuka sesekali bayangan serupa jaring yang berasal dari
dedaunan ginkgo bergoyang, dan aku merasa bahwa aku tengah berkelana tanpa arah
sekalipun aku tengah berada di sini, sekalipun aku telah berada di taman ini,
selama bertahun-tahun—
“Cukup.” Kata itu terlepas dari seorang pria yang
kelihatannya sedang tidur. Asap putih membubung, lambat-lambat, dari mulut dan
hidungnya. Bara rokok yang dipegang tangan kanannya tampak seperti akan segera
membakar jemarinya. Debu dan keringat bertahun-tahun telah mengubah warna
pakaiannya sehingga tak keruan lagi, namun dengan topi pelukis dari wol, mantel
kotak-kotak, serta bot kulit cokelat, ia terlihat seperti pemburu dari Inggris.
Sebuah mobil mendaki Jalan Yamashita-dori ke arah Uguisudani.
Cahaya lampu lalu lintas berubah hijau, sinyal bagi yang lemah penglihatan
berbunyi, lalu orang-orang yang baru keluar dari stasiun di Pintu Keluar Taman
mulai menyeberang jalan.
Pria itu mencondongkan badannya ke arah pemandangan
orang-orang menyeberang jalan—orang-orang dengan rumah yang dihias
cantik—seakan-akan hendak menguji batas penglihatannya—lantas, dengan tangan
gemetar, seolah-olah gerakan ini mengambil segenap sisa tenaganya, ia
mengangkat rokok ke mulutnya untuk diisap—jenggotnya telah memutih—lantas
mengepulkan asap seolah-olah tidak hendak jadi melakukannya, seraya melebarkan
jari-jarinya yang keriput untuk menjatuhkan rokok itu, dan memadamkan bara
dengan ujung botnya yang telah pudar.
Pria lain dengan kantong sampah transparan terisi penuh oleh
kaleng aluminium di antara kedua kakinya tertidur sembari berpegangan pada
payung vinil bening yang seolah-olah tongkat.
Seorang wanita yang rambut putihnya digelung dengan karet
gelang berbaring dengan wajah terbenam dalam ransel merah tua di sisinya,
sembari menggunakan kedua lengannya sebagai bantal.
Wajah-wajah
berganti, dan jumlahnya berkurang.
Setelah penggelembungan aset meledak, populasi gelandangan membengkak.
Taman diselimuti gubuk terpal di mana-mana selain di jalan-jalan dan fasilitas-fasilitasnya
sampai-sampai tanah atau rumput tidak terlihat.
Ketika terjadi penggusuran, “ekspedisi perburuan”, karena
anggota keluarga Kerajaan hendak mengunjungi salah satu museum atau galeri di
taman itu, kami dipaksa menurunkan tenda dan diusir dari taman. Ketika sudah
gelap kami kembali ke tempat asal kami, mereka telah mendirikan papan berbunyi,
“Pemeliharaan rumput sedang berlangsung—tolong jauhi rumput,” sehingga pilihan
tempat kami untuk membangun gubuk semakin menyusut.
Banyak gelandangan di Taman Hibah Kerajaan Ueno berasal dari
Timur Laut.
“Pintu Gerbang ke Utara”—selama ledakan ekonomi pascaperang,
pemuda dari Timur Laut beramai-ramai naik kereta malam untuk mencari pekerjaan
di ibu kota, dan mereka menjejakkan kaki pertama kali di Stasiun Ueno. Ketika
mereka pulang kampung untuk berlibur hanya dengan membawa beberapa tas semampu
mereka, mereka naik kereta di Ueno.
Lima puluh tahun telah berlalu. Orang tua dan sanak saudara
telah meninggal. Rumah keluarga tempat kami semestinya dapat kembali telah raib
bagi orang-orang yang menghabiskan hari demi hari di taman ini.
Para gelandangan yang duduk di lantai beton berpagar di
seputar hutan ginkgo sekarang sedang pada tidur atau makan.
Seorang pria mengenakan topi bisbol biru gelap yang diturunkan
menutupi mata serta kemeja dril dengan kancing di bawah kerah sedang menyantap bento di atas pangkuan celana panjang
hitamnya.
Kami tidak pernah kekurangan makanan.
Ada suatu kesepakatan tersirat dengan restoran-restoran mapan
di Ueno: setelah tutup saat malam, banyak tempat yang tidak mengunci pintu
belakang mereka. Di dalamnya makanan yang tidak terjual dibagi-bagi dan dimasukkan
ke kantong-kantong yang apik, secara jelas dipisahkan dari makanan yang telah
menjadi sampah.
Minimarket juga mengumpulkan bento, roti lapis, serta pastri yang sudah melewati tanggal
kedaluwarsa di area dekat tempat pembuangan sampah, sehingga jika kami datang
sebelum sampah diangkut, kami dapat mengklaim apa pun yang kami hendaki. Ketika
cuaca sedang cerah kami harus menyantap makanan pada hari itu juga, namun
ketika sedang dingin, kami dapat menyimpannya di pondok kami selama beberapa
hari dan menghangatkannya dengan kompor kemah.
Tiap Rabu dan Minggu Gedung Festival Tokyo Metropolitan
memberi kami nasi dan kare; tiap Jumat ada Gereja Misi Akhir Zaman; dan tiap
Sabtu Misionaris Cinta Kasih membagi-bagikan makanan. Misionaris Cinta Kasih
kepunyaan Bunda Teresa, sedang Gereja Misi Akhir Zaman kepunyaan orang Korea.
Mereka memiliki spanduk yang berbunyi, “Bertobatlah, karena kerajaan surga
sudah dekat,” serta gadis-gadis berambut panjang yang menyanyikan himne dan
memetik gitar—wanita-wanita berambut keriting tahan lama mengaduk panci-panci
besar dengan serok—para gelandangan berdatangan dari tempat-tempat sejauh
Shinjuku, Ikebukuro, dan Asakusa, sehingga sering kali antreannya panjang,
hampir lima ratus orang. Begitu himne dan khotbah usai, mereka membagikan
makanan. Nasi kimchi dengan ham,
keju, dan sosis, nasi dan kacang merah dengan yakisoba, roti manis dengan kopi …. Puji Tuhan, puji Tuhan,
terpujilah nama Tuhan, haleluya, haleluya—
“Aku
lapar, Mama.”
“Kamu
mau ini?”
“Enggak mau.”
“Ya
sudah, Mama makan semuanya.”
“Enggak,
Mama, jangan!”
Gadis kecil berusia sekitar lima tahun, dalam gaun berlengan
pendek sepucat merahnya sakura mekar, berjalan dengan kepala beralih menengadah
pada ibunya, yang dari gaun ketat membungkus tubuh bermotifkan macan tutul
menunjukkan pekerjaannya di perekonomian malam.
Wanita muda lain dalam setelan biru laut melewati mereka,
tumit sepatunya klak klik.
Seketika itu, tahu-tahu hujan lebat menggebuki kanopi
pepohonan sakura dan menjatuhi batu-batu hampar putih, meninggalkan jejak kaki
hitamnya di mana-mana.
Saat hujan sekalipun orang-orang terus mengalir.
Di bawah payung bersisian dua wanita tua yang mengenakan blus
longgar serta celana panjang hitam yang sama mengobrol sembari berjalan.
“Pagi
ini suhunya dua puluh dua, kan ya?”
“Mm-hmm.”
“Ini
bukan dingin lagi, tetapi terlalu dingin, aku merasa seperti mau membeku!”
“Hujannya
dingin betul!”
“Tahu
tidak, Ryuji terus mengocehkan masakan ibu tirinya.”
“Oh,
pasti tidak enak rasanya untukmu.”
“Menurut
dia aku perlu belajar dari ibu tirinya.”
“Deras
sekali, ya, hujan ini.”
“Dan
musim hujan baru saja dimulai, masih ada sebulan lagi untuk dinantikan.”
“Sekarang
sedang waktu mekarnya bunga bokor, ya?”
“Oh,
belum.”
“Bagaimana
dengan pohon ek?”
“Belum
musimnya juga.”
“Di sekitar sini pemandangannya agak berubah, ya? Sepertinya
itu dulu bukan Starbucks.”
“Iya,
kelihatannya jadi agak bergaya, ya?”
Di
sini lorong pepohonan sakura.
Setiap tahun pada pertengahan April kawasan ini disesaki
orang yang datang untuk minum dan makan di bawah mekarnya bunga.
Ketika
pepohonan sakura tengah mekar kami tidak perlu mencari makanan.
Kami bisa makan dan minum sisa orang, dan dengan alas yang
mereka tinggalkan kami mendapatkan atap serta dinding baru untuk pondok kami,
menggantikan terpal yang telah renyuk dan mulai bocor selama setahun terakhir.
Hari
ini Senin, kebun binatang ditutup.
Aku tidak pernah membawa anak-anakku ke kebun binatang.
Aku datang untuk bekerja di Tokyo pada akhir 1963. Waktu itu
Yoko berusia lima tahun sedangkan Koichi tiga tahun.
Sembilan tahun kemudian Kebun Binatang Ueno kedatangan panda.
Waktu itu anak-anak sama-sama duduk di bangku SMP, sudah bukan usianya mereka
tertarik ke kebun binatang.
Aku tidak membawa mereka ke kebun binatang, ataupun taman
hiburan, pantai, pegunungan. Aku tidak pernah menghadiri upacara masuk sekolah,
kelulusan, pertemuan orang tua, ataupun pekan olahraga mereka, tidak sekali
pun.
Aku pulang kampung hanya dua kali setahun, pada musim panas
dan musim dingin, ke desaku di Fukushima tempat kedua orang tuaku,
saudara-saudariku, serta istri dan anak-anakku menantiku.
Suatu kali ketika aku bisa pulang kampung beberapa hari
sebelum libur Obon, ada festival atau sesuatunya, sehingga aku membawa
anak-anakku ke Haramachi pada hari itu.
Haramachi hanya berjarak satu stasiun dari Kashima, namun
saat itu puncak musim panas, dan di kereta pun sangat panas, sehingga aku
menjadi malas. Terserang oleh kantuk, suara anak-anak yang bersemangat dan
tanggapanku yang setengah hati terdengar sayup seakan-akan aku suatu kabut,
sementara kereta menembus lanskap langit, pegunungan, pertanian dan persawahan,
melewati terowongan sebelum menambah kecepatan. Aku melihat tangan anak-anakku,
merenggang seperti tokek, dan dahi serta bibir mereka melekat pada jendela,
yang di luarnya hanya berwarna biru dan hijau. Bau keringat mereka mengisi
hidungku dan sebentar kemudian kepalaku tertunduk.
Begitu kami meninggalkan Haramachi, pemeriksa tiket
mengatakan bahwa kami mungkin dapat menaiki helikopter di Hibarigahara,
sehingga aku bergerak ke Jalan Hamakaido sembari menggandeng tangan Yoko di
kananku sedang Yoichi di kiriku.
Koichi, yang terlalu jarang bertemu denganku untuk bisa
kangen padaku dan tidak pernah berusaha menarik-narik ataupun memaksakan
kehendaknya, meremas tanganku. “Ayah, aku ingin ke helikopter.” Aku dapat
melihat wajahnya dengan jelas sekarang dalam benakku, hendak mengatakan
sesuatu, membuka dan menutup mulutnya beberapa kali sebelum akhirnya ia bicara
dan, pada akhirnya, memerah seakan-akan sedang marah. Namun saat itu aku tidak
punya uang. Biaya naik helikopter tiga ribu yen pada waktu itu, atau tiga puluh
tibu lebih dalam harga sekarang …. Terlalu mahal.
Sebagai gantinya, aku membelikan keduanya masing-masing es
krim Matsunaga, waktu itu harganya seratus lima puluh yen. Serta-merta Yoko
menjadi ceria, namun Koichi memunggungiku dan mulai menangis. Tubuhnya gemetar
oleh isak sementara ia menonton helikopter lepas landas, isinya anak-anak
dengan orangtua yang kaya raya.
Ia mengusap air matanya dengan kepalan tangan.
Hari itu, langit sebiru carikan kain. Aku ingin ia bisa naik
helikopter itu, tetapi aku tidak mampu, sehingga aku tidak bisa—aku masih
menyesalinya sekarang. Dan sepuluh tahun kemudian, pada hari yang buruk itu,
penyesalan itu kembali menikam hatiku, sampai sekarang, tidak pernah pergi—
Dari Tokyo Ueno
Station, yang direncanakan terbit pada 2019 oleh Tilted Axis Press.
Terjemahan bahasa Inggris oleh Morgan Giles dalam Words without Borders edisi Desember 2018.
Yu Miri (atau Miri Yu dalam terbitan bahasa Inggris
lain) merupakan pengarang Jepang keturunan Korea dari Yokohama, Jepang. Karyanya
berkenaan dengan topik seperti tingginya tingkat bunuh diri di Jepang, penelantaran
anak-anak, serta berbagai masalah yang dihadapi oleh orang-orang dengan
identitas nasional yang kabur, seperti golongan zainichi kankokujin (etnis Korea yang lahir dan dibesarkan di
Jepang). Yu telah memenangkan banyak penghargaan atas karya-karyanya, termasuk
Penghargaan Akutagawa yang bergengsi pada 1997 untuk Kazoku Shinema (Sinema Keluarga), dan memiliki pembaca yang luas di
Jepang serta Korea Selatan, dan karya-karyanya tengah diterjemahkan ke beberapa
bahasa lain. Pada 2002, Gold Rush
terbit dalam edisi bahasa Inggris oleh Stephen Snyder. Tilted Axis Press akan
menerbitkan terjemahan Bahasa Inggris karya Yu pada 2014, JR Ueno-eki koen-guchi (Stasiun Ueno Tokyo) pada 2019.
Morgan Giles adalah penerjemah, pengulas, dan penulis.
Ia telah menerjemahkan karya berbagai pengarang seperti Nao-Cola Yamazaki, Gen’ichiro
Takahashi, dan Fumiko Hayashi. Ulasannya dimuat di Times Literary Supplement, For
Books’ Sake, dan Full Stop. Ia
berasal dari Kentucky dan kini tinggal di Tokyo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar