Saya menyadari bahwa semakin banyak yang saya pelajari dari kehidupan,
semakin sedikit yang saya ketahui, atau yang dapat saya ketahui. Arogan rasanya
menulis sebuah buku yang boleh jadi, di luar kehendak, memberi kesan bahwa
saya—seorang manusia yang baru mulai memahami seutuhnya bagian-bagian paling
pokok dari dirinya sendiri—memiliki jawaban apa pun atas problematik
kemanusiaan mutakhir. Maka buku ini pun ditulis dengan sedikit banyak
kesungkanan.
Kita hidup di dunia yang terdiri dari banyak kebudayaan
manusia. Kenyataannya, kebudayaan-kebudayaan itu dengan gencar tengah
dihomogenkan oleh imperialisme dan hegemoni kebudayaan yang telah menjadi
sinonim dengan globalisasi dan menggantikan bentuk-bentuk kebudayaan yang lebih
tradisional. Di antara kebudayaan-kebudayaan ini terdapat banyak sekali
sub-subkebudayaan, yang semuanya hidup berjalinan dengan konvensi-konvensi
sosial dan ekologi yang terlalu kompleks untuk dipahami secara intelektual.
Kita merupakan gabungan dari para leluhur, dengan kepercayaan religi dan
spiritual yang berlainan, begitu pula dengan riwayat berurat berakar yang
menyertainya. Selama seribu tahun planet kita diris menjadi negara-negara yang
berbatasan, yang telah mengembangkan hukum, taraf pembangunan, etiket sosial,
mite kebudayaan, harapan duniawi, persoalan seks dan jenis kelamin,
ketergantungan emosi dan fisik, hingga kompleksitas keuangan dan mikroklimatnya
sendiri-sendiri. Bahkan di dalam kelompok-kelompok demografis yang beraneka itu
pun kepribadian manusia banyak macamnya. Negara yang sama menjadi rumah bagi
Noam Chomsky dan Rupert Murdoch.
Namun terlepas dari luasnya perbedaan itu, ada banyak yang
dapat menyatukan tiap-tiap orang. Kita hidup di planet yang sama, biosfer yang
sama, dan nasib kita saling bergantung. Bersama-sama kita menghadapi meja
prasmanan yang menyajikan tantangan sosial, ekologi, dan ekonomi dalam skala
yang sungguh luar biasa, bersama-sama pula kita bertanggung jawab atas sebagian
kisahan yang memulainya. Himpunan krisis ini memberi kita kesempatan paling
menggugah untuk menilai ulang dan mengubah cara hidup kita (di dunia Barat)
secara mendasar demi kemaslahatan seluruh kehidupan, namun tidak ada obat yang
mujarab, kecuali dengan satu kemungkinan: mengusahakan sikap dan spirit baru
dalam menjalani hidup kita, dengan mengganti kacamata kita dalam menghayati
dunia.
Kendati bersama-sama menanggalkan kacamata bermerek berapa
banyak yang bisa saya peroleh? lalu mengenakan kacamata lain yang berlabel
berapa banyak yang bisa saya beri?, berapa banyak orang yang bisa saya buat
tersenyum hari ini? atau bagaimana kita bisa bergotong royong memelihara dan
mempertahankan kehidupan di sekitar kita? dengan sendirinya tidak akan
mengakhiri problematik kekacauan iklim, penipisan sumber daya, serta grup-grup
penyanyi pria yang dilahirkan televisi, itu dapat menjadi titik awal yang
sangat penting. Ambillah waktu sejenak dan pikirkanlah. Bayangkanlah rasanya
menjalani hidup dengan fokus dan pandangan baru. Kita sama-sama tidak
mengetahui sepenuhnya yang mengadang, namun membesarkan komitmen tanpa pamrih
untuk membantu satu sama lain melaluinya, apa pun yang mungkin terjadi,
merupakan prakondisi yang cukup berfaedah daripada solusi apa pun yang lebih
teknis. Jika kita tidak dapat menemukan cara yang lebih memedulikan,
menghormati, memuaskan, dan bermakna untuk hidup bersama-sama, apa gunanya
hidup di dunia ini?
Selain menganjurkan pandangan hidup baru dan radikal, tentu
saya tidak mengklaim memiliki satu pun, apalagi semua, jawaban atas tantangan
kemanusiaan yang teramat besar. Memang saya memiliki pandangan dunia yang cukup
khas dan unik. Saya juga telah mengalami perjalanan pelik dari yang awalnya
tamatan sekolah bisnis dan terang-terangan mengikuti konsumerisme menjadi orang
yang hidup tanpa uang sama sekali selama hampir tiga tahun. Perjalanan ini
memberi saya kesempatan untuk mengalami kedua perspektif tersebut dan melihat
mana yang paling memuaskan saya. Pengalaman tersebut rupanya menjadi percobaan
yang mengubah hidup[1],
sekaligus menyadarkan saya bahwa tidak ada satu jawaban global, dan menjadi
nalar yang mendukung pemikiran bahwa boleh jadi penalaran serupa itu yang
justru menyebabkan kekacauan sedari awal. Jawaban akan tantangan yang kita
hadapi haruslah bersifat lokal, dan kisahan mesti diciptakan secara khusus agar
memenuhi kebutuhan masyarakat di tanahnya masing-masing yang khas.
Meskipun demikian, pada bab-bab mendatang ada dua hal yang
akan saya pecahkan. Saya hendak menyelami dalam-dalam apa yang saya yakini
sebagai salah satu akar penyebab dari banyaknya kesukaran kita yang serasa
lingkaran setan, dan menelusuri salah satu isapan
jempol yang telah menggiring kita pada titik genting dalam sejarah manusia ini. Isapan jempol yang kini dijalankan oleh hampir seluruh kebudayaan, bangsa,
dan kepercayaan di dunia, barangkali takhayul yang peredarannya paling luas
dalam sejarah spesies kita.
Dengan menganjurkan solusi yang mungkin bagi tantangan yang
menanti kita, saya semata hendak mendorong Anda supaya menyadari bahwa ekonomi
moneter bukanlah satu-satunya bentuk ekonomi yang bisa kita pilih. Selain itu,
supaya Anda mau tidak mau mempertimbangkan model ekonomi lain yang diperlukan
bagi periode khas dalam sejarah manusia yang tengah kita hadapi ini. Toh
sekarang bukan lagi 16.000 SM, jadi mengapa kita mesti terus tanpa pikir
panjang melanggengkan ritus yang tumbuh dari mite kebudayaan yang relevan dan
berguna pada taraf tersebut dalam evolusi kita, namun bisa dikatakan tidak
begitu tepat untuk masa kini?
Terlepas dari apakah Anda mencintai uang atau membencinya,
manfaatnya telah diakui di mana-mana dan niscaya merupakan salah satu konsep
paling revolusioner yang pernah diciptakan. Uang juga telah menyediakan
kerangka bagi semua perubahan revolusioner berikutnya yang membentuk dunia
dewasa ini. Namun, yang saya rasakan sama sekali tidak ada ialah kesadaran dan
pemahaman lebih dalam mengenai konsekuensi penuh uang pada kita secara pribadi,
sosial, dan ekologis. Salah satu tujuan saya hendak menjelaskan sebabnya saya
meyakini kemanusiaan perlu melangkahi takhayul uang, berikut dasar kerangka
pikir untuk peralihan yang baku, jika kita menghendaki masa depan jangka
panjang yang layak dijalani di planet ini.
Alasan ditulisnya buku ini tentu saja bukan sekadar untuk
menjelaskan sebabnya saya meyakini kita perlu meninjau ulang hubungan kita
dengan uang. Sasaran akhirnya yaitu memberi Anda menu lengkap berisi cara-cara
memenuhi kebutuhan tanpa uang (atau setidaknya mengurangi ketergantungan
padanya); cara-cara yang memungkinkan Anda untuk lebih mengendalikan hidup
serta berkreasi sebanyak-banyaknya; cara membatasi dampak negatif—serta
meningkatkan dampak positif—Anda pada Alam berikut masyarakat di sekitar Anda;
cara membebaskan diri dari pekerjaan yang tidak lagi Anda nikmati; atau sekadar
jalan setapak menuju bagian-bagian diri Anda yang belum terungkap.
Kita semua punya alasan masing-masing karena ingin mengurangi
ketergantungan pada uang, atau untuk sekadar mengurangi belanja. Alasan saya
sendiri pada awalnya, dan sangatlah pribadi, ialah supaya terhubung kembali
dengan bumi, berikut masyarakat dan makhluk hidup lain yang bersama-sama
mendiaminya. Saya betul-betul percaya bahwa hingga kita terhubung kembali
dengan cara tersebut, cara hidup yang sungguh lestari dan tanpa mengeksploitasi
akan tetap merupakan bahan obrolan di konferensi mewah sembari mengopi. Kini
alasan saya untuk melangkahi ekonomi moneter tampaknya semakin bertambah dari
hari ke hari, dan saya akan menelaahnya di bab berikut. Saya juga menyadari
keinginan saya untuk hidup bebas, dengan cara yang memberi kesempatan serupa
bagi kehidupan lain yang bersama-sama mendiami planet ini. Kebebasan dan kebahagiaan
yang dicapai dengan mengorbankan kehidupan lain bukanlah kebebasan dan
kebahagiaan yang saya inginkan.
Banyak orang yang saya kenal memiliki alasan yang lebih urgen
dan kurang muluk-muluk: mereka tidak lagi memiliki pekerjaan. Besarnya ekuitas
negatif[2] rumah
mereka yang telah dihipotekkan berarti mereka tidak bisa pindah ke daerah lain
di mana pekerjaan tersedia. Yang lain sekadar ingin hidup di luar sistem dan
mengambil kembali kebebasan yang dirasa telah berangsur-angsur dicuri dari diri
mereka. Lebih banyak lagi yang masih sakit hati pada privatisasi uang, sedang
sebagian tengah bersiap-siap untuk skenario bencana keuangan maupun ekologis.
Kebanyakan berupa alasan praktis, namun banyak juga yang mengatakan mereka
berupaya meniadakan uang demi alasan spiritual pribadi.
Tidak satu pun dari alasan-alasan yang mempersoalkan hubungan
kita dengan uang ini yang lebih benar atau salah daripada yang lain. Semuanya
sah. Alat likuid[3]
ini, yang seharusnya ada untuk melayani kita, diam-diam justru telah menjadi
majikan kita, yang merugikan kita dalam banyak hal, dengan cara yang
berbeda-beda bagi tiap-tiap orang. Menurut saya kegunaan uang bolehlah cukup
sampai di sini saja, setelah membawa kita pada suatu titik dalam evolusi
kolektif manusia di mana sekarang kita dapat memutuskan untuk mulai melangkahi
ekonomi moneter, dan memasuki ekonomi kasih berbasis lokalisasi, yang akan saya
gambarkan di bab dua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar