Ike merasa akhirnya
ia melewati titik kritis. Ia meminta pengukir kayu jalanan membuatkannya cap
bundar bergambar kadal dengan tulisan “Ike Ngoma—Dukun Jiwa”. Istilah tersebut
kedengarannya kurang tepat, tetapi udara saat itu sangat panas sehingga ia
tidak terpikir yang lebih baik. Kemudian ia memberikan seekor ayam dan tiga
ratus Franc pada pejabat yang langsung mengeluarkan izin. Sekarang Ike siap
menjalankan praktiknya. Orang selalu senang menghadiahi siapa pun yang mampu
mengeluarkan mereka dari kesulitan. Mereka akan membawakanmu buah, ubi rambat,
atau gula, sekalipun jika mereka sendiri tidak punya apa-apa untuk dimakan.
Suatu pagi Ike
pergi ke pasar seperti biasa, dan bermain mata dengan seorang pedagang yang
masih muda hingga gadis itu memberinya sepotong fufu[1] dengan kuah
daging secara cuma-cuma. Saat ini Ike sudah menganggur selama hampir
enam bulan, sejak bosnya memecat dia dari gudang. Bosnya mengklaim bahwa
beberapa peti berisi kola dan bir telah menghilang meski Ike siap bersumpah ia
tidak pernah sekali pun menutup mata saat berjaga. Ia yakin benar
bahwa si empunya gudang mengarang-ngarang barang yang hilang itu untuk
menyingkirkan dia dan mengoper pekerjaannya pada kerabat bajingan si bos yang
baru datang ke kota. Namun kini segalanya akan menjadi lain. Ike mengalami
mimpi, yang memberinya ide cemerlang. Dalam mimpi itu ia melihat dirinya sedang
melewati kerumunan orang yang terpincang-pincang. Mereka menautkan
kedua tangan memohon dan ia menyembuhkan mereka dengan sekali sentuh. Ia
menaruh tangannya dengan lembut di kening mereka, menggosok pelipis mereka,
atau menyentuh pelupuk mata mereka yang separuh terpejam. Orang-orang datang
padanya dengan borok bernanah, dengan belatung berkerubung dalam lubang di
wajah mereka, orang-orang tak berhidung, serta anak-anak berperut kembung.
Orang-orang berkumpul ke arahnya dalam arak-arakan yang tiada akhir—ia bahkan
tidak tahu apakah mereka berjalan atau mengambang. Gerakan mereka seperti
menaiki eskalator yang dilihatnya tahun lalu di supermarket Yaoundé. Hujan mencurahi
wajah mereka. Hujan begitu derasnya hingga bumi menyatu dengan langit.
Tetes-tetes merah terangkat dari tanah dan raib dalam awan kelabu. Mata orang-orang
dalam kerumunan itu menatap jauh ke depan, seakan-akan mereka telah kehilangan
segala harapan dan menerima akhir yang tak terelakkan. Sementara Ike menyentuh
mereka seraya menggumamkan empat baris sajak yang diajarkan seorang tua padanya
sewaktu ia kecil, kehidupan menyala kembali dalam tatapan mereka yang berkaca-kaca
dan darah pun pelan-pelan meniris dari putih mata mereka. Ike yakin bahwa
tuah dalam mimpinya berlaku pula di dunia nyata. Ia tahu itu sebab
suara-suara yang dipercayainya mengatakan demikian.
Ike datang ke bar
dan berbaur dengan para pelanggan hingga ia menemukan botol bir yang belum
habis isinya. Sambil berdiri ia
menyesap bir itu pelan-pelan dan menonton orang-orang yang bermain dadu. Tahu-tahu ia merasa
ada yang memukul kepalanya dengan tongkat. Pandangannya
mengabur dan ia terbungkuk nyeri. Setelah pulih ia berpaling dan tidak
mendapati apa pun yang mencurigakan di belakangnya. Di jalan para wanita yang tengah
menyeimbangkan belanga di atas kepala lambat-lambat mengerumuni pasar dan tak
seorang pun memerhatikan dia begitu pula orang-orang yang tengah berdiri di
luar bar. Ike menggosok luka di puncak kepalanya dan memandangi telapak
tangannya. Darah berlumuran.
Ike ke dapur untuk
mencuci tangan dan berusaha mencerna kejadian itu. Ia bahkan tidak
yakin apakah ia cenderung marah atau bingung. Dulu sewaktu remaja
ia banyak berkelahi, sering pulang dengan benjol dan baret. Namun nyeri kali
ini terasa sungguh berbeda. Serangan itu membuatnya merinding.
Ike telah membeli
rempah dan mengumpulkan herba, meramunya lalu mengemasnya ke dalam botol-botol
kecil yang diperolehnya dari tempat pembuangan sampah di belakang sebuah hotel. Ia menomori
botol-botol itu menurut caranya sendiri lalu membagi-baginya berdasarkan asal
penyakit—mental dan fisik, yang terakhir ini dibagi lagi menjadi sebelah luar
dan dalam.
Baru saja memulai,
Ike beruntung bertemu beberapa wanita tua yang memang membutuhkan herba atau
arang obat untuk disentri. Pemula mana pun biasanya baru berhasil setelah
beberapa hari praktik. Apalagi Ike bisa mengandalkan jampi yang
dipelajarinya sewaktu kecil, beberapa kalimat ajaib yang memperlancar awal
praktiknya. Kabar keberhasilannya menyebar cepat padahal baru sedikit yang bisa
ia bualkan. Di kota kecil seperti Bamenda perkataan wanita tua dikeramatkan.
Dari jasanya itu
Ike memperoleh kursi ukiran yang ditempatkannya di samping tempat tidur dan ia
dapat membeli sepasang sandal baru. Ia dapat menukar beberapa telur dengan ikan
asin di pasar dan mampu membeli bir tanpa mengutang. Hidupnya membaik.
Suatu hari seorang
lelaki kurus kering yang putus asa mendatangi pondoknya. Lelaki itu bilang Ike
harus menyembuhkan saudarinya. Gadis itu berada di rumah sakit namun dokter
tidak tahu apa lagi yang mesti diperbuat untuk menolongnya. Gadis itu sudah dua
kali menjalani operasi.
Ike mendatangi
rumah sakit itu. Di sana ia menemui seorang wanita muda berkulit pucat yang
berbaring diam dengan mata membuka, dikelilingi tembok terang semerah darah.
Lelaki yang putus asa itu menyeret Ike ke dalam ruangan dan duduklah ia
berhadapan dengan dokter.
Sewaktu dibawa ke
rumah sakit, gadis itu menjerit-jerit kesakitan. Dokter mendapati bahwa itu
bukanlah penyakit usus buntu melainkan demam siput stadium lanjut. Mereka
segera melakukan operasi dan mengeluarkan setengah ember cacing kerawit. Dalam
dua minggu kondisi gadis itu membaik namun begitu akan keluar dari rumah sakit
kakinya lumpuh dan denyut nadinya hampir tidak teraba. Semua dokter berlarian
ke ruang operasi dan ketika mereka membedah perutnya, mereka mendapati isi
perutnya lagi-lagi penuh oleh sekawanan cacing tipis yang panjangnya sekitar
dua puluh sentimeter. Ada sebanyak lima kilogram cacing yang dikeluarkan. Sejak
itu si gadis menderita sekali dan dokternya tidak dapat berpikir apa lagi yang mesti dilakukan selain
menyuntikkan morfin.
Ike
terhuyung-huyung mundur dan pergi ke luar mencari udara segar. Saat itu siang
dan matanya pedih oleh keringat. Mengetahui keadaan ini saja sudah membuatnya
sesak. Ia ingin kembali menemui lelaki malang itu dan meminta maaf. Namun baru
beberapa langkah hendak melalui ambang pintu rumah sakit, ia lagi-lagi
merasakan kepalanya dipukul oleh benda tumpul. Pukulan kali ini lebih dahsyat
daripada yang sebelumnya, sehingga Ike pun roboh dan pingsan.
Kabut gelap di
hadapannya tercerai lalu muncul seekor burung hitam yang amat besar. Burung itu
hinggap di perutnya dan matanya yang amat besar meneliti wajah Ike. Dokterlah
yang membawa Ike kembali ke rumah sakit untuk mengobati lukanya. Sembari masih
terbaring di kasur, Ike menyangga tubuh dengan siku dan melihat seorang lelaki
siluman duduk di sebelah dokter dan lelaki kurus kering yang putus asa itu.
Kaki lelaki siluman berjuntai dari kasur dan ia memainkan tongkat panjang yang
menyerupai gagang cangkul, seraya mengawasi Ike yang siuman. Gerak tubuh lelaki
itu mengisyaratkan bahwa dirinya inkognito. Ia tidak terlihat oleh dokter dan
lelaki satunya. Ike seorang yang dapat melihatnya.
Kemudian pada hari
itu juga si lelaki siluman mendatangi rumah Ike. Dengan santainya ia meminta
maaf karena telah memukul Ike dan mengakui bahwa ia agak keterlaluan. Si lelaki
siluman mengelilingi pondok Ike, sembari mengayun-ayunkan tongkat dan
mengetukkannya pada perabot, tempat tidur, serta dinding kardus yang lembap.
Kadang ia merengut, lalu mengangguk-angguk mengapresiasi dan bergumam pelan
seakan-akan sedang menilai barang yang hendak dibelinya.
Walau ia berbicara
pada Ike dengan nada yang ramah, memanggilnya “sobatku”, ia tidak terlihat
baik. Ike tidak menyukai tatapan bengis nan pucat ataupun nada suaranya yang,
alih-alih menyuruhnya berbuat sesuatu, lelaki siluman itu mengatakan hal
seperti “sudah pasti kau akan setuju”, “kau tahu sendiri inilah yang terbaik
untukmu” atau “aku yakin kau tak akan menolak”. Ike mendengarkan si lelaki
siluman seperti yang terpesona dan tidak sanggup melawan, maka ia setuju akan
mengobati si gadis yang telah membikin rumah sakit angkat tangan itu. Si lelaki
siluman berjanji akan menemani dan membantu jika diperlukan. Seperti yang ia
perbuat sebelumnya, tanpa diketahui Ike.
Tamu tersebut
singgah hingga tengah malam. Mereka berbagi seporsi fufu dengan kuah ikan, dan
mengguyurnya dengan bir buatan sendiri dari kedai seberang jalan. Kemudian si
lelaki siluman melambaikan tongkat sebagai tanda undur diri dan raib ke dalam
gelap.
Begitu pintu
terempas di belakangnya, Ike merasa lega. Ia merasa seolah-olah seharian itu
tubuhnya tidak berbuat apa pun selain dalam kendali si lelaki bertongkat. Baru
sekarang ia menyadari bahwa lelaki itu telah menguasai dia sepenuhnya. Ia
bertanya-tanya apa yang mesti diperbuatnya dalam keadaan ini. Ia memeriksa persediaan
herbanya dan terus-terusan merapal jampi dari masa kecilnya. Ia memerban
lukanya, lalu meregangkan diri di kasur dan memejamkan mata.
Ike memimpikan si
gadis di rumah sakit itu. Tubuhnya diselimuti banyak cacing. Cacing-cacing itu
menyeret si gadis ke arah sungai cokelat yang berbuih. Gadis itu mencoba
bertahan pada bebatuan tajam yang menyembul di jalan namun cacing-cacing
mengerogoti tangannya. Tanpa perlawanan, gumpalan rumput yang dicengkam jemari
gadis itu pun merayap dari tanah. Ike berdiri di bantaran, bersama
binatang-binatang liar dan makhluk lainnya, memandangi perjuangan sia-sia gadis
itu. Kakinya terbuat dari batu dan lidahnya menjadi kayu. Sebelum ia dapat
menjangkau si gadis cacing-cacing sudah menyeretnya ke air untuk selama-lamanya.
Ike bangun
terengah-engah dan kuyup oleh keringat. Badai mengamuk di luar dan hawa di
dalam pondok terasa berat lagi pengap, seakan-akan ada yang menyerakkan mayat
di seluruh tempat itu. Luka di balik perbannya masih berborok dan nyerinya
tidak juga surut, tidak biarpun dengan perban khusus. Ike menjeritkan sumpah
serapah terkasar yang dapat dipikirkannya pada gemuruh guntur. Ia tercengkam
oleh amarah tanpa daya melawan si lelaki siluman yang telah menyiksa dia tanpa
sebab, dengan terus berpura-pura hendak membantu. Ike telah mengorbankan segala
kekuatannya untuk mengobati yang sakit hanya untuk diberi pukulan yang tidak
kunjung pulih. Ia berlari keluar pada hujan dan mulai menyusuri jalan panjang
ke arah pasar. Ia tidak tahu untuk apa namun merasa terpaksa keluar dari rumah
yang dinding-dindingnya mengimpit dia dan menjadikan dia merasa kian kerdil.
Secercah cahaya
lentera berkelip-kelip oleh angin di tengah alun-alun. Lubang-lubang di jalan
tarmak tertutup oleh banjir. Ike terperosok berkali-kali dan pergelangan
kakinya nyeri akibat tergelincir sewaktu berlari keluar dari rumah tadi. Kala
matanya separuh terpicing, aliran air hujan menyerupa kaca gelap. Di balik kaca
itu samar-samar ia mendapati siluet sosok-sosok dalam mimpinya dulu, ketika
untuk pertama kali ia melihat dirinya sebagai seorang dukun. Ia melihat
wanita-wanita tua penderita diare, anak-anak pengidap kusta dengan anggota
badan yang diamputasi, si lelaki kurus kering yang putus asa, serta penjaja
herba di pasar. Sebagian menganggukkan sapa sementara yang lain bergeming.
Putih mata mereka berkilauan dalam gelap tanpa bergerak.
Entah bagaimana
akhirnya ia sampai di depan bangunan rumah sakit. Suara hujan menggebuk atap
seng memekakkan dan nyala api unggun yang dibikin dadakan memancar di koridor.
Si lelaki siluman muncul dari keremangan dan mengarahkan Ike pada gadis itu. Si
gadis berbaring di lantai dekat api. Ike menyadari hujan yang turun ke balik
atap sama derasnya dengan yang di sebelah luar. Ia berlutut pada kubangan air,
serta-merta mengikuti perintah si lelaki siluman. Ia menggosokkan minyak pada
perut basah si gadis, sambil pelan-pelan mengucapkan jampi ajaib dari mimpinya
berulang-ulang. Dari balik punggung ia mendengar suara-suara monoton merapalkan
doa yang tak terpahami. Ia merasa kian lemah saja hingga tidak menyadari darah
dari luka di kepalanya mulai menetes ke kulit berkilau gadis itu. Darahnya
bercampur dengan minyak dan semakin pelan saja ia mengusapkannya. Pandangannya
meredup dan sesaat ia mengira melihat benang-benang hitam.
Cacing-cacing itu
perlahan mulai mengisar di kedua tangan Ike. Ia tidak sanggup menyingkirkan
mereka. Ia berlutut di atas gadis tak bernyawa di tengah-tengah sepetak area
terbuka di hutan luar kota. Yang bisa dilihatnya hanyalah api yang membara.
Lalu tangan si lelaki siluman dengan lembut menyentuh dahinya. Ike diliputi
rasa tak berdaya, serta panas yang membakar. Kepalanya terjatuh ke payudara
telanjang wanita itu.
Sementara tubuhnya
menggigil sekarat, Ike berusaha mengumpulkan segenap kekuatan yang tersisa
untuk mengucapkan sekalimat. Bibirnya membentuk jampi yang telah banyak
membantunya, diajarkan padanya oleh orang yang ditemuinya di hutan kala ia
kecil:
Kau yang tak
berbadan
Kumohon: biarkanku
lepas dari nyeri
Kau yang membawa
kematian
Kumohon: biarkanku
terjaga lagi
[]
Cerpen ini diterjemahkan dari versi bahasa Inggris Julia Sherwood dan Peter Sherwood.
Catatan penerjemah
bahasa Inggris
Keterpesonaan penulis Slowakia
Marek Vadas pada Afrika Barat dan Tengah dimulai pada 1997 saat ia pertama kali
mengunjungi Kamerun dan Gabon sebagai jurnalis muda. Sejak itu ia kembali
berkali-kali dengan waktu kunjung lebih lama, sambil membawa obat-obatan dan
keperluan dasar lainnya yang dapat diangkut pesawat dan bis kecil.
“Saya mengunjungi
Khatulistiwa bukan untuk mengkritik atau mengubah apa-apa,” kata Marek Vadas
dalam wawancara baru-baru ini dengan majalah sastra Ceko A2. “ Saya tidak ingat kapan dan bagaimana saya melintasi
perbatasan dan mulai melihat adat dan ritual setempat sebagai kelaziman ….
Mereka memiliki nilai-nilai yang berbeda, pemahaman yang berbeda akan masa lalu
dan masa depan, cara yang berbeda dalam melihat penyebab dari berbagai hal dan
mereka sangat terikat pada tradisi. …. Kamerun berubah pesat, jalan-jalan baru
sedang dibangun, di kota-kota besar hampir segalanya tersedia di rumah, hidup
menjadi semakin ‘beradab’. Kerajaan-kerajaan di perbatasan antara Kamerun dan
Nigeria cukup terasing sehingga kebanyakan tradisi mereka terjaga. Sehari-hari
mereka masih dalam aturan raja, dewan tetua serta dukun, perselisihan
dipecahkan di batu keramat, penjahat diketahui dari kura-kura, tukang sihir
melakukan ritual untuk meminta nasihat dari para leluhur, dan sebelum menebang
pohon orang berdoa dulu dan meminta ampunan padanya. Akan tetapi, dunia seperti
ini akan segera menghilang dan lenyap selamanya sebelum kita sempat untuk
mengenali dan memahaminya.”
Seperti yang bisa dilihat
dari tanggapan terhadap krisis pengungsi di Eropa Tengah, pemahaman akan budaya
lain di kawasan ini sayangnya tidak cukup. Marek Vadas mewakili suara langka
yang membantu mendirikan jembatan antarbudaya yang berbeda-beda. Ia telah
mendalami budaya, ritual, dan tradisi Afrika. Cerita-cerita karangannya, yang
mengaburkan batasan antara mimpi dan kenyataan, diisi karakter-karakter yang
jenis kelamin, wujud, warna kulit, dan ingatannya dapat berubah-ubah dalam
semalaman. Namun Vadas tidak hendak mengeksotiskan dunia ini. Cerita-ceritanya
disampaikan tanpa tedeng aling-aling, dari sudut pandang protagonis dengan
bahasa yang mengupas dan memaparkan. Tantangan dan tujuan utama kami dalam
menerjemahkan “The Healer” adalah untuk mempertahankan gaya tanpa tedeng
aling-alingnya yang berlawanan dengan kualitas mistis dan angker cerita
tersebut.
Marek Vadas penulis Slowakia lahir di Košice pada 1971. Ia sering
mengunjungi kawasan khatulistiwa Afrika dan menjadi penasihat raja Nyenjei,
sebuah kerajaan kecil di Kamerun. Ia pengarang novel Malý
román (A
Little Novel, 1994), beberapa kumpulan cerpen, meliputi Prečo sa
smrtka smeje (Mengapa Malaikat Maut Tertawa,
2003) Liečiteľ (Sang Dukun, 2006), dan Čierne
na čiernom (Hitam yang Hitam, 2013), juga buku kumpulan dongeng
Afrika untuk anak-anak. Fiksinya menggabungkan bentuk narasi tradisional Afrika
dengan modernisme Eropa. Dalam cerita-ceritanya yang sering kali absurd dan
ironis, berlatarkan adat dan budaya setempat, kenyataan bercampur dengan mimpi,
yang hidup dengan yang mati, dan yang sakral dengan yang profan. Buku-buku Vadas
telah diterjemahkan ke bahasa Ceko, Ukrania, Jerman, dan Hungaria. Terjemahan
buku-bukunya dalam bahasa Slovenia dan Polandia sedang dikerjakan. Pada 2007
kumpulan cerpennya Liečiteľ memperoleh anugerah Anasoft
Litera, penghargaan sastra paling prestisius di Slowakia.
Julia Sherwood lahir dan tumbuh di
Bratislava, Slowakia. Setelah bekerja untuk Amnesty International selama dua
puluh tahun lebih, pada 2008 ia menjadi penerjemah lepas. Buku-buku terjemahannya
ke bahasa Inggris (bersama Peter Sherwood) meliputi Samko
Tále’s Cemetery Book oleh Daniela Kapitáňová, Freshta oleh Petra
Procházková, The House of the Deaf Man oleh Peter
Krištúfek, Lullaby for a Hanged Man oleh
Hubert Klimko-Dobrzaniecki (dari bahasa Polandia ke
Slowakia dan Inggris), serta The Memory Chalet oleh
Tony Judt ke bahasa Slowakia.
Peter Sherwood mengajar di Pusat Studi
Slowakia dan Eropa Timur (kini bagian dari University College London) hingga
2007. Dari 2008 sampai 2014 ia Profesor Budaya dan Bahasa Hungaria di
Universitas Carolina Utara di Chapel Hill. Ia penerjemah novel The Book
of Fathers oleh Miklós Vámos dan The
Finno-Ugrian Vampire oleh Noémi Szécsi serta kumpulan cerpen oleh Dezső
Kosztolányi, Zsigmond Móricz, dan lain-lainnya, juga karya-karya berupa puisi, drama, dan
filsafat. Saat ini ia menerjemahkan esai-esai tentang sastra dunia oleh Antal
Szerb.
[1] Makanan pokok di kawasan Afrika
Barat dan Karibia, umumnya terbuat dari tepung ketela
Tidak ada komentar:
Posting Komentar