Ia hidup di negeri
yang bebas hukum. Walau bukan ia sendiri yang memutuskan untuk tinggal di situ,
ia mencintainya dan ia tidak akan tinggal di tempat yang lain. Tanah airnya
permai. Madu dan susu melimpah. Segalanya penuh berkah. Sayang sekali orang
menganggapnya bagai tempat sampah—tempat sampah bagi ketidakadilan.
Lehilahy seorang tukang dan bangga akan pekerjaannya.
Istrinya cantik dan sedang mengandung. Mereka menunggu kelahiran anak itu
dengan tenang. Anak itu akan dilahirkan di kamar tidur mereka yang sempit.
Mereka tidak pernah ke rumah sakit ataupun bangsal bersalin. Orang-orang yang
mengambil risiko menginap di sana tidak ada yang kembali. Lehilahy tidak suka mendengarkan
cerita seram dari keluarga orang-orang yang menghilang itu, namun ia telah
memutuskan bahwa istrinya akan melahirkan didampingi bidan. Lebih baik begitu.
Anak itu pun lahir dan jenis kelaminnya laki-laki. Lengkaplah
kegembiraan mereka, senyuman kasih teriring. Euforia melingkupi tangisan sang
ibu. Tahu-tahu ia menjerit, lása ny rako—“darahku mengalir”. Dan
benar saja, darahnya membanjir dan dukun beranak tersebut tak berdaya
menyaksikan sang ibu menghadapi sakratulmaut.
Kini Lehilahy tinggal berdua saja dengan putranya, Ny Rako,
yang berarti “darahku”. Sesuai namanya, Ny Rako menjadi bocah yang kuat. Dia
lincah, penuh semangat, dan peramah. Dia tumbuh bagaikan tanaman muda yang
penuh getah. Ayahnya gembira karena pada usia delapan tahun dia begitu cerdas.
Namun Lehilahy cemas akan kerewelan putranya. Ny Rako patuh mengerjakan
pekerjaan rumah, namun dia juga menuntut hak-haknya. Dia menjerit dan merentak
saat pintanya tak dituruti. Kelakuannya itu konyol dalam masyarakat yang sama
sekali tak mengenal adanya hak.
Ny Rako sangat tekun mengerjakan tugas sekolahnya. Dia anak
yang bersungguh-sungguh dan tertib. Seperti yang sudah dewasa saja, Ny Rako
beralasan bahwa dia ingin mengurus ayahnya ketika sudah tua. Meski begitu, Ny
Rako tertinggal dalam pelajaran. Mengapakah demikian? Si ayah menjadi amat resah
mendapati putranya terus-menerus gagal di sekolah, entah apa sebabnya.
Bagaimana mungkin Lehilahy menjelaskan pada anak itu bahwa, sebagai anak seorang
tukang, dirinya tidak memiliki hak? Bagaimana mungkin seorang ayah mengekang
harga diri anaknya yang tengah bersemi, agar tak apes bagai dirinya kala disebar
di lahan berbatu? Haruskah ia memberi tahu Ny Rako bahwa ia tak memiliki cukup
uang, sekalipun untuk membayar biaya ujian akhirnya—atau lagi-lagi
mengungkapkan bahwa anak itu mesti mengulang kelas karena alasan serupa?
Mungkinkah ia, meski terlalu dini, memperingatkan anaknya akan kekuatan uang,
satu-satunya yang dapat menimbulkan kehormatan dalam masyarakat mereka yang
terkutuk? Tidak. Ny Rako tak akan beroleh apa pun selain keburukan yang mengelilinginya.
Ia akan belajar membenci atau menjilat teman-temannya; atau lebih buruk lagi,
bergabung dengan mereka untuk diperbudak oleh uang.
Lehilahy memberi tahu putranya bahwa dia harus bekerja keras
supaya berhasil. Pengetahuan tidaklah mudah untuk dicapai. Ny Rako menjadi
semakin bersungguh-sungguh. Dia terjaga hingga larut ditemani ayahnya, belajar
dengan penerangan lilin.
Setelah berusaha keras, Ny Rako mengharapkan ganjaran. Dia
keluar dari ruang ujian dengan wajah berseri-seri. Kali ini dia harus
mendapatkannya, ijazah SD. Tahun ajaran berikutnya dia akan menjadi murid SMP!
Lehilahy diliputi ketakutan akan pengharapan putranya. Ia
harus menahan nuraninya dan menyerah pada kenyataan. Ia juga akan menjadi salah
seorang koruptor. Untuk melakukan hal ini, ia mesti bekerja laksana budak untuk
membayar mereka yang berkepentingan. Ia pun membayar mereka. Mereka menatap
dengan curiga pada orang miskin yang pakaiannya bertambalan ini, dan
terkikik-kikik sementara menghitung kecilnya jumlah yang ditawarkan. Mereka toh
mengambilnya jua, dan berpaling.
Ny Rako harus menunggu ayahnya sebelum melihat hasil ujian.
Namun dia sangat tidak sabar—dan dia ingin mengejutkan ayahnya. Dia pun membaca,
dan membaca ulang, nama-nama yang tertera di papan pengumuman. Namanya tidak
ada. Pandangannya kabur, kepalanya mulai berdenyut. Ditahannya tangis dalam
kepanikan. Dia pasti tidak teliti membacanya. Dia membaca dari awal, dan
kembali lagi dan lagi hingga matanya tak sanggup memandang apa pun. Terhuyung dia
menjauhi papan pengumuman. “Aku tidak bisa apa-apa—aku tidak berguna!” ucapnya
terus-menerus. “Aku bukan apa-apa!”
Meski di jalan tak ada trotoar, anak itu melangkah dengan
hati-hati. Dia menyusuri bahu jalan, melawan arah kendaraan. Jalannya
terbungkuk-bungkuk bagaikan pria tua berbadan kecil. Rupanya dia terlalu yakin
akan dirinya sendiri. Dia harus belajar lebih keras lagi supaya bisa menjadi
anak yang pandai. Dia akan meminta maaf pada ayahnya atas kebodohannya. Dia
akan begadang setiap malam diterangi lilin dan dengan begitu dia akan berhasil.
Dia akan menjadi sopir—atau malah dokter? Dia akan menjadi tempat bergantung
ayahnya ketika sudah tua. Ny Rako marah pada dirinya sendiri karena menangis.
Dia merasa malu. Sebentar lagi dia sampai di rumah, tinggal beberapa langkah
saja menuju jalan berlumpur yang mengarah ke sana. Dia berhenti untuk menyeka
wajahnya yang bercucuran air mata. Bagaimana caranya menyurutkan tetesan air
sialan ini?
Seketika itu juga, di hadapannya, sebuah mobil mengklakson
dengan gusar seraya menyalip mobil lainnya, sementara sebuah truk mengebut dari
arah berlawanan. Mobil itu pun berkelit ke kanan dengan brutal untuk
menghindari tabrakan. Mobil itu kehilangan keseimbangan, tergelincir dan
meluncur, serta terguling mengarah pada Ny Rako, sebelum kembali pada posisi
semula dan meneruskan lintasannya yang ugal-ugalan. Karena wajahnya penuh air
mata, Ny Rako tak awas. Kini dia terkapar di jalan. Darah membanjir di
sekitarnya.
“Keparat! Pembunuh!” orang-orang yang lewat meneriaki pengemudi
sembrono yang lari itu.
“Saya ingat nomor mobilnya,” ujar sopir truk, yang berhenti
di tempat kejadian. “Cepat, ambilkan saya pulpen dan kertas, keburu saya lupa.
Saya akan menjadi saksinya dan orang itu akan membayar perbuatannya ini!”
“Ia mati! Ya Tuhan … ia sudah mati,” sungut orang-orang yang
membaringkan tubuh Ny Rako.
“Siapa dia?”
“Anak Lehilahy … ini dia orangnya!”
Lehilahy menangkap kengerian di wajah mereka. Keheningan di
sekitarnya kelu bagai maut itu sendiri. Seorang lelaki tua menghalangi Lehilahy
dari jasad anaknya. “Dia tak akan sanggup melihatnya, ini terlalu menyakitkan!”
Lehilahy menyisikan lelaki itu perlahan. Ia berlutut di samping putranya,
merengkuhnya dan mengguncang-guncangnya.
“Omeo zanako—kembalikan
anakku,” lantunnya dengan suara serak. “Omeo
zanako … omeo zanako ….”
Ia mengangkat jasad Ny Rako dan membawanya dengan langkah
goyah menuju kamar tidur mereka yang sempit. Di situ ia membaringkan putranya
di kasur sambil terus bersenandung. Orang-orang mengikutinya, mengerumuninya,
dan berdoa. Namun Lehilahy tak mengindahkan mereka, ia tak dapat melihat mereka.
Orang-orang berbisik-bisik: “Dia jadi gila.”
“Tidak!” ujar Lehilahy. “Aku tidak gila. Ini anakku dan aku
hendak menjaganya di sini. Tinggalkan kami.”
“Kita harus memanggil polisi!”
Polisi pun meninjau situasi itu. Mereka ingin memanggil
dokter untuk memeriksa jasad Ny Rako dan mencatat kematiannya. Dokter pun
mendatangi Lehilahy, yang berlumuran darah putranya.
“Jangan sentuh anakku!” raungnya. Omeo zanako.
Sudah dua hari. Para tetangga mulai cemas. Ny Rako mesti
dikubur, tetapi bagaimana cara membujuk ayahnya?
“Saya akan memberinya obat penenang,” dokter itu memutuskan.
“Buatkan dia kopi. Saya akan memasukkan Seconal ke dalamnya.”
Hal itu pun dilakukan. Lehilahy terjaga sendirian, tanpa
putranya. Ia menghempaskan dirinya ke sekeliling ruangan, ke sekeliling rumahnya,
ke sekeliling rumah semua tetangganya. Setelah ditangani, ia rubuh ke tanah.
“Omeo zanako,”
erangnya. “Omeo zanako.”
Tetangganya bergantian menjangkaunya, berusaha menenangkan
dirinya dan menjelaskan, namun ia menyuruh mereka pergi. Lehilahy menyayat
lengannya dan menulisi dinding dengan darahnya: omeo zanako … omeo zanako!
“Jangan!” seru para tetangganya. “Kau bisa mati. Jangan
lakukan itu!”
Namun Lehilahy terus menulis. Kalimat berwarna merah itu
berkilauan di bawah sinar mentari, menyiksa mata dan nurani. Para tetangga
berkumpul dan membeli cat berwarna merah. Mereka memberikan cat tersebut
padanya seraya mengatakan bahwa itu darahnya.
Maka kata-kata itu pun terpulas di dinding, di sebelah luar
dan dalam, bahkan pada tiang-tiang listrik di seputar desa. Jika kau
mengunjungi desa kami, kau masih dapat melihat tulisannya.
Sementara itu si pengemudi sembrono tak pernah diusut oleh
pihak yang berwenang. Sebagai orang kaya dan berkuasa, ia mengumpulkan sejumlah
saksi yang bersumpah bahwa pada saat kecelakaan terjadi ia tengah berada di
rumah sementara mobilnya di garasi. Si sopir truk didakwa atas pencemaran nama
baik dan kesaksian palsu. Ia dipenjara.
Lehilahy masih hidup di negeri yang bebas hukum dan tanpa
keadilan itu. Namun kini itu tidak begitu penting bagi dirinya. Ia masih
mencari-cari anaknya, dan tak menemukan apa-pun selain dinding demi dinding yang
kian meninggi di hadapannya, sebagaimana, dalam kenyataannya, tegak pula di
hadapan kita semua.[]
Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato
(1936-2008) penulis, penyair, dramawan, dan esais dari Madagaskar yang menulis
dalam bahasa Perancis. Banyak di antara karya dramanya yang telah
dipertunjukkan di Madagaskar, Perancis, dan Kanada, dan sebagiannya telah diterjemahkan
untuk ditampilkan di Italia dan Amerika Serikat. Beberapa novelnya diterbitkan
di Perancis. Ia juga pernah menjalani pendidikan kebidanan dan keperawatan
anak.
Terjemahan
ini berdasarkan versi bahasa Inggris Sophie Lewis atas cerpennya, “Omeo Zanako”,
yang termuat dalam Words
Without Borders edisi Desember 2015,
“Knowing the Unknowable: Writing from Madagascar”.
2 komentar:
Sedih Teh, terlampau merana hidupnya. Apa Teteh nggak bisa bikin yang happy ending gitu?
Template blognya masih seperti yang dulu, padahal ada template yang lebih baru loh, dengan segala keeleganannya.
Saya pikir apa yang terjadi di cerita ini identik sekali dengan yang ada di Indonesia. Uang bisa membeli hukum, dan pendidikan pun harus dibeli dengan uang, apa kabar dengan BOS?
Saya salut dengan penulisnya yang menjabarkan tragedi yang menimpa (susah kali namanya) tanpa terasa lebay, atau mendramatisir, bahkan terkesan tanpa hati, tetapi tetap ngena ke perasaan.
How can I write like that?
Ini bukan cerita karangan saya -_- saya hanya menerjemahkannya.
Saya suka template yang ini, hehehe.
Iya, memang, ternyata permasalahan yang ada di negeri kita itu ada juga di negara2 lain. Terlepas dari perbedaan budaya, iklim, dan sebagainya, ternyata ada saja perilaku atau sifat yang menyamakan manusia di mana2.
Saya merasa pada dasarnya cerita ini ditulis dengan sederhana. Mungkin karena itulah cerita yang pada dasarnya sudah tragis dapat tersampaikan secara efektif. Mungkin kuncinya ada pada cerita itu sendiri yang pada dasarnya realistis, bukan fantastis. Mungkin Tuhan memang "pengarang" paling hebat.
Mungkin kamu bisa mencoba menuliskan aneka tragedi kehidupan secara sederhana ^^;
Terima kasih sudah meninggalkan jejakmu di sini, Shin Elqi :)
Posting Komentar