Sepanjang tahun kemarin ia memperoleh penghasilan yang besar,
jadi ia menyewa rumah di pinggir laut untuk menghabiskan liburan. Rumah itu
berlantai dua dengan taman di belakang sehingga mereka bisa makan sore sambil
menikmati matahari terbenam. Istri dan kedua anaknya sangat gembira saat melihat
rumah tua besar berhalaman luas itu dan ia merasa bangga akan dirinya. Hidup
memang sulit namun ada saja momen ketika kebahagiaan tinggal sejangkauan tangan.
Sementara anak-anak memelesat ke kamar-kamar mencari tempat rahasia, tangga
tersembunyi, serta sudut dan celah misterius, ia dan istrinya menurunkan barang
dari mobil dan menatanya dengan cermat dan sukaria. Malam telah turun saat
barang-barang selesai ditata, lalu mereka melahap roti lapis yang telah
disiapkan istrinya sebelum keluar kota. Karena lelah setelah perjalanan
panjang, mereka pun menaiki ranjang dan segera tertidur.
Keesokan harinya mereka bangun
kesiangan dan mendapati cuaca begitu indah. Ranting pepohonan di taman
berayun-ayun ditiup angin sepoi sementara burung-burung, yang acuh tak acuh
pada kegiatan keluarga yang baru tiba ini, mematuki buah.
Setelah mengumpulkan handuk, rakit
tiup, dan tabir surya, mereka berkendara ke pantai. Ayah dan ibu leyeh-leyeh
menjemur diri sementara anak-anak bermain di bibir air. Si istri mengeluarkan
novel dari tas dan mulai membaca. Suaminya bergeming saja, berbaring, sembari
mengawasi anak-anak dari kejauhan dan menikmati keselarasan antara matahari,
laut, dan anak-anaknya yang membentuk bidang segitiga itu. Pada segitiga
imajiner itu mendadak tampak sorot yang tajam, dan ia pun tersenyum, mengingat
semasa kanak-kanak dianggapnya sosok geometris itu sebagai Tuhan yang muncul di
hadapannya.
Ombak menggulingkan rakit tiup dan
melemparkan anak-anak ke pasir. Diiringi tawa jenaka yang turut dilontarkan
anak-anak lainnya, mereka berusaha untuk menaiki rakit itu lagi. Si ayah
terpikir anak-anaknya bisa saja tersapu ke laut oleh arus yang tak diduga-duga
dan mendadak merasa gelisah. Ia menyadari bahwa di pantai yang terpencil itu
tidak ada sarana penyelamatan. Ia belum tentu bisa berenang sejauh lengan anak-anak
menebah, mencari-cari pegangan tanpa daya. Jika petaka semacam itu melanda,
pikirnya, ia akan meminta pertolongan dari pengunjung lainnya di pantai itu.
Sambil melihat-lihat orang di dekatnya untuk mencari yang mana saja yang
tampaknya agak lebih kekar, ia memilih para calon anggota tim penyelamat. Ia
menemukan dua-tiga orang yang sepertinya dapat menolong, yang membuatnya merasa
sedikit lega. Namun untuk berjaga-jaga, ia pun bangkit dan berjalan ke air,
menyuruh anak-anaknya agar berhati-hati. “Pasangnya sedang naik,” jelasnya.
“Biarpun kalian tetap di situ, airnya bisa saja jadi dalam.”
Begitu kembali ke sisi istrinya,
sekonyong-konyong ia didera pikiran bahwa mobilnya mungkin saja belum dikunci.
Ia melangkah ke tempat parkir dan melihat pintu mobil sudah dikunci namun
jendela di sisi jok yang diduduki istrinya tadi terbuka sedikit. Ia menaikkan
kaca jendela itu dan kembali ke handuk pembaringannya tadi.
“Jendela di samping tempat dudukmu
tadi belum naik,” ucapnya.
“Cuma sedikit, biar ada udara masuk.
Kalau tidak begitu, nanti di dalam terlalu panas.”
“Nanti bagaimana kalau ada orang
yang iseng buang puntung rokok ke mobil?”
Istrinya menggumam tidak jelas yang
dapat berarti apa pun, menutup novelnya, dan mulai mengoleskan losion ke bahu.
Suaminya memalingkan muka, berusaha menemukan anak-anak, dan merasa panik
hingga berhasil menyuruh mereka keluar dari kumpulan anak-anak yang bermain di
bibir air.
“Sudah kau matikan televisinya
tadi?” ia lalu bertanya pada istrinya. Tatapannya masih terpancang pada
anak-anak.
“Kau sendiri yang mematikan sakelarnya
sebelum kita pergi,” ujar istrinya.
“Aku tahu, tapi kalau kita
meninggalkan rumah selama sebulan penuh, baiknya kita matikan semuanya. Mana
tahu kita kalau-kalau ada kejadian apa.”
“Sudah kumatikan. Tenang saja,” kata istrinya.
Ia merasakan desakan untuk
menyalakan rokok tetapi tidak jadi, sembari memenungkan bahwa pengorbanan
kecilnya itu akan dapat mencegah terjadinya petaka yang tak terduga-duga selama
liburan. Sebagai gantinya ia meraih sepotong kayu yang mengapung lalu
mengetuk-ngetukkan jemarinya yang menyilang pada benda itu tiga kali, matanya
tidak pernah lepas dari anak-anak.
Sore hari mereka pergi ke
perkampungan. Di situ mereka membeli seekor lobster yang sangat besar di pasar
untuk merayakan dimulainya liburan mereka. Lobster tersebut masih hidup dan
anak-anak dengan girang menyodok-nyodokkan ranting di antara capit binatang itu
sementara ayah mereka mengawasi, gelisah membayangkan binatang itu melumatkan
tangan salah seorang anaknya. Begitu mereka sampai di rumah, ia mencari-cari
tali, mengikat capit krustasea yang sangat kuat itu, dan meletakkannya di bak
cuci piring di dapur.
“Besok kami akan memakanmu,” ucapnya, berusaha
terdengar ceria. Meski begitu, ia mulai dilanda rasa khawatir akan lobster itu.
Malam itu ia terbangun pada pukul
tiga dini hari gara-gara suara samar namun teratur yang menusuk-nusuk heningnya
daerah pedalaman yang senyap. Suara itu tampaknya berasal dari lantai bawah. Ia
mengenakan selop dan turun, berjalan dengan hati-hati, namun derit tangga
meredam suara misterius itu.
Ia langsung menuju dapur dan
menyadari bahwa suara itu berasal dari bak cuci piring, tempat lobster tersebut
tengah sekarat. Binatang itu mengatup-ngatupkan bagian tubuhnya yang tampak
seperti sepasang bibir mungil yang mestilah merupakan mulutnya, menimbulkan
suara mengetok-ngetok yang terdengar nyaring dalam rumah itu. Memandangi si
lobster malah memperbesar kecemasannya. Binatang itu lebih dari sekadar
hidangan mewah, melainkan makhluk hidup yang direnggut dari habitat alaminya
dan kini bergelut mempertahankan hidup.
Si krustasea menggerak-gerakkan
matanya, dan ia membayangkan penderitaan hebat karena terjebak dalam cangkang
yang keras itu.
Terpikir olehnya, barangkali
binatang itu sedang menjerit-jerit, dalam frekuensi yang tidak bisa didengarnya.
Kemudian ia menyadari bahwa tali di salah satu capit binatang itu telah lepas,
dan anggota badannya yang kanan pun terbebas. Binatang itu mungkin saja kidal,
batinnya, untuk mengurangi rasa takut yang mulai menguasai. Ia pikir si lobster
tidak akan bisa keluar dari bak, dan meskipun bisa, entah bagaimana caranya,
binatang itu tidak akan sanggup memanjat tangga dan mencapai kamar tidur mana
pun. Meski begitu, ia ke kamar mandi mencari-cari karet gelang, lalu membelitkannya
beberapa kali pada capit si lobster yang kuat sekali. Kembali ia berhasil
melumpuhkan binatang itu. Mana tahan aku mendengar binatang itu sekarat
semalaman, pikirnya. Namun ia tidak tahu caranya mematikan lobster.
Ia mengambil panci bergagang dan memukul
kepala si lobster, namun tidak cukup keras untuk memecahkan cangkangnya.
Makhluk sekarat itu pun kembali bergerak-gerak, pelan sebagaimana sebelumnya
dan tak menampakkan ekspresi. Mungkin jika ia memasukkan jarum dari kepala ke
ekor binatang itu, organ vitalnya akan kena. Tidak ada jarum di dekat-dekat
situ, namun ia menemukan alat pemecah es dan berkat usaha yang sungguh-sungguh
disertai takut sekaligus jijik, ia berhasil menusuk bagian yang dikiranya
leher. Meski begitu, raut gelap dan lembap lobster yang sukar dibaca tak
menampakkan tanda-tanda keberhasilan usahanya. Mulut binatang itu terus saja
megap-megap, sambil mengeluarkan buih sekarat yang menjijikkan.
Dalam keputusasaan ia menyumbat
mulut si lobster dengan sapu tangan dan mengikatkannya ke leher pada keran. Diliputi
kegelisahan yang teramat sangat, ia menaiki tangga hendak tidur.
Keesokan harinya mereka pergi ke
pantai. Anak-anak tidak ada yang tewas, mobil tidak terbakar, sekalipun begitu
istrinya tetap saja sembrono. Mereka lalu menyiapkan lobster, yang menurut
keluarganya lezat. Mengaku perutnya sedang tidak keruan—sebagian karena ia
sedang tidak hendak pada lobster, sebagian lagi karena ia berharap pengorbanan
kecilnya akan memberikan kedamaian selama Agustus itu—ia tidak mencicipinya.
Liburan itu kan untuk beristirahat, batinnya.
Untuk mempersingkat cerita.[]
Juan José Millás pengarang
novel dan cerpen kontemporer, telah memenangkan sejumlah penghargaan sastra
paling terkemuka di Spanyol untuk karya fiksi. Karya-karyanya telah
diterjemahkan ke dalam belasan bahasa. Cerpen ini diterjemahkan dari versi
bahasa Inggris Tobias Hecht dalam Words Without Borders edisi
September 2003.
2 komentar:
Aku masih belum bisa mencari ciri khas dari si Tuan Millas ini, tapi aura kematangan yang sangat-sangat sudah demikian kuat terasa. Dan ketika aku menemukan penulis dengan cerpen yang kuat seperti ini, aku tak bisa berkomentar apa-apa. Jangankan ngekritik, ngemuji pun tak sanggup.
Wow, saya terkesan kamu bisa menangkap perasaan demikian dari cerpen ini. Sepertinya akan bermanfaat kalau kamu menjabarkan aura kematangan dan kekuatan cerpen ini secara terperinci.
Terima kasih sudah meninggalkan jejak, Shin Elqi :)
Posting Komentar