Daripada cinta, uang, dan ketenaran, berilah saya kebenaran.
– Henry David Thoreau
Kami sedang berjalan menembus salju yang baru turun pada petang Januari
berlangit biru, ketika sembari menggenggam tangan kecil saya, ibu dengan lemah
lembut mengatakan bahwa Sinterklas itu tidak ada. Tentu saja ibu saya bermaksud
baik, hendak memberikan secubit cinta tegas untuk menyelamatkan saya dari aib
menceritakan hadiah Natal yang dibawakan Sinterklas untuk saya kepada anak-anak
lainnya yang lebih berpengalaman. Namun waktu itu usia saya sudah tujuh
setengah tahun. Waktu itu saya sudah mulai mempertanyakan kepercayaan saya akan
pakar ekonomi kasih yang agak buncit ini. Kecurigaan saya mulai timbul sejak
saya berusia sekitar empat tahun.
Hingga waktu itu, Sinterklas mengasihi saya tanpa pamrih,
sebagaimana payudara ibu saya, tanpa menghiraukan apakah saya bersikap baik
atau nakal. Seiring dengan mendekatnya Natal kelima saya, saya ingat diberi
tahu bahwa bagaimanapun juga si pria besar tidaklah segampang itu memberikan
barang. Saya tidak lagi patut menerima kebaikan hatinya kecuali saya menjadi
anak baik. Kasih Sinterklas, berikut kehidupan bersamanya, serasa
berangsur-angsur mengandung pamrih. Namun sewaktu kecil yang kita ketahui kepamrihan
bukanlah cara kerja Alam. (Semak berduri tidak pernah menanyakan apakah saya
nakal sebelum memberikan beri hitamnya pada saya, begitu juga kali dengan
airnya.) Maka saya pun mencium ada yang salah. Namun saya takut bila
menyuarakan keraguan tersebut dapat mengakibatkan surutnya mainan baru. Maka
selama dua setengah tahun itu saya melupakan pemikiran tersebut, menutup mulut,
dan terus bersikap memercayai kisah fantastis Sinterklas. Anak kecil bisa licik
juga.
Walaupun sudah curiga berat, saya ingat perasaan saya
bercampur aduk saat ibu membenarkan keraguan saya. Aneka perasaan ini mewujud
pertanyaan. Kalau Sinterklas tidak ada, melainkan sekadar isapan jempol yang
semua anak memercayainya—atau memilih untuk percaya karena merasa akan
memperoleh keuntungan—lantas dari mana semua mainan di bawah pohon cemara agung
kami berasal? Siapa yang membuatnya kalau bukan para asisten cilik Sinterklas?
Rasa terluka serta-merta meruap. Mengapa orang-orang yang
saya cintai membohongi saya selama bertahun-tahun ini? Mengapa mereka percaya
bahwa lebih baik menceritakan sosok asing khayalan yang membawakan saya mainan daripada
menceritakan kebenaran bahwa mereka yang saya cintailah yang memberikannya
kepada saya? Apakah karena orang tua saya ingin mengasihi anaknya sebagaimana
yang diyakini semua agama sebagai pemberian paling tulus, yakni pemberian tanpa
mencari pengakuan ataupun terima kasih, dengan menganggap “bahwa satu-satunya
amal sejati ialah yang dilakukan sembunyi-sembunyi”?[1] Ataukah karena
kebudayaan kita sedari dulu telah memelintir kisahan paling menceriakan ini
menjadi pelajaran bertahap mengenai kepamrihan, penyesuaian berangsur dengan
lingkungan ekonomi sebagaimana yang telah diajarkan pendidikan sekolah agar
saya siap memasukinya? Apakah pelajaran tersebut yang kini digunakan untuk
mengiringi saya dalam perjalanan modern yang sepi ini, yang dimulai dari
keadaan tanpa pamrih mengarah kepamrihan, sebuah pendahuluan menuju kehidupan
di mana segala yang saya peroleh bergantung pada apa yang saya berikan sebagai
balasannya? Kehidupan di mana saya hanya bisa memberi, atau berkelakuan
tertentu, jika saya memperoleh sesuatu yang lain? Atau yang lebih sederhananya:
apakah masyarakat sekadar menurunkan dan mengenang sebuah kisah kuno, yang
sejak lama didalangi bagian pemasaran perusahaan, tanpa sedikit pun berpikir
apakah dongeng saduran ini sesungguhnya masih berfaedah atau tidak?
Sebagaimana semua anak yang tumbuh dewasa, jauh di lubuk hati
saya ingin mengetahui kebenarannya, betapapun membingungkan. Kebenaran selalu
lebih berarti daripada karangan, yang sebagian menjadi sebab saya merasa
terdesak untuk menulis buku ini. Kebenaran yang perlu saya hadapi semasa kecil
ialah bahwa Sinterklas itu tidak ada. Ia sekadar mite, diturunkan dari satu
generasi ke generasi berikutnya, sama seperti tuyul, konsep mengenai kebaikan
dan kejahatan, serta kepercayaan bahwa menjilat testikel kambing dapat
menyembuhkan impotensi.
Sama seperti uang.
Uang merupakan kebenaran terakhir yang ingin saya hadapi saat
saya berusia dua puluhan tahun akhir. Percaya atau tidak, konsep
uang—perwujudan numerik modern akan gagasan kita mengenai utang piutang—tidak
ubahnya kisah Sinterklas berikut para titisannya yang terdahulu. Ketika ditanya
mengenai keekstreman keputusannya untuk hidup tanpa uang, Daniel Suelo[2], yang telah
hidup di Amerika Serikat selama dua belas tahun lebih tanpa sepeser pun, pernah
mengatakan:
... mengatakan bahwa saya hidup tanpa uang sesungguhnya tidak
menyuarakan apa pun. Itu seperti mengatakan saya hidup tanpa memercayai
Sinterklas. Nah, jika saya hidup di dunia di mana setiap orang memercayai
Sinterklas, Anda mungkin menganggap saya mengambil risiko dengan hidup tanpa
Sinterklas.
Mengapa kebutuhan akan uang merupakan isapan jempol? Ambillah waktu sejenak untuk melihat yang ada di sekitar
Anda. Cobalah menemukan satu hal yang Anda yakini tidak disediakan oleh uang.
Saya tebak Anda tidak dapat menemukannya. Bahkan sekalipun Anda menumbuhkan
pangan sendiri, saya yakin Anda berpikir “yah, benih dan peralatannya kan harus
dibeli.” Kuasa itulah yang telah kita berikan pada uang—kita telah mencapai
keyakinan bahwa kita membutuhkannya, bahwa kita bergantung padanya untuk
bertahan hidup. Kenyataan bahwa kita telah menciptakan ekonomi yang destruktif
dan impersonal di seputar uang hanya melanggengkan delusi itu. Kisahan
kebudayaan bahwa uang mencengkeram kuat-kuat benak kita dewasa ini sehingga
kita meyakini bahwa mustahil kita hidup tanpa memilikinya. Dengan mengamati
tingkah laku manusia, tampaknya hidup tanpa udara bersih, air segar, dan tanah
yang subur dianggap merupakan tantangan yang lebih lunak daripada hidup tanpa
uang.
Anehnya kita selaku orang dewasa percaya bahwa uang yang
memperlengkapi kita padahal Alamlah (yang meliputi manusia) yang melakukannya.
Kepercayaan kita pada uang semata delusi lain, dengan menimbang kuasanya semata
kenyataan bahwa kita sama-sama bersepakat untuk meyakininya. Bahkan Adam Smith,
bapak ekonomi modern, mengatakan bahwa “uang semata masalah keyakinan”.[3] Kita
meyakini uang sebab pengalaman mengajarkan bahwa kita dapat memperoleh berbagai
hal dengan menukarkannya, dan setiap kali kita melaksanakan aneka ritus dalam
kisahan ini (misal dengan menandatangani cek atau membeli kartu kredit), kita
menguatkan keyakinan tersebut berikut cengkeramannya dalam benak kita.
Uang fiat[4] merupakan
bentuk uang yang paling lazim dewasa ini. Dengan mengesampingkan penggunaannya
sebagai alat tukar, pada hakikatnya uang fiat tidaklah memiliki nilai. Artinya,
kecuali kita meyakini kisahan ekonomi, kebudayaan, dan sosiopolitik yang
menyertainya, dalam semalam uang fiat bisa menjadi nyaris tidak ada harganya,
sebagaimana disadari negara-negara yang telah menderita hiperinflasi. Seandainya
kebudayaan kita berhenti memercayai isapan
jempol yang mendukung uang—ditambah lagi berhimpunnya krisis ekologi, sosial,
dan finansial tengah memaksa kita agar berbuat demikian—uang kertas di bank
(yang mana menurut giro wajib minimum tidaklah banyak) tidak akan lebih
berharga daripada nilainya sebagai penyulut api. Yang mana, percayalah, tidak
lebih daripada sepotong kulit kayu.
Salah satu isapan jempol yang mendukung uang ialah bahwa saldo
bank kita dapat selalu ditukarkan dengan barang dan jasa yang bernilai
intrinsik, misalnya saja sayur-mayur atau meja. Toh, di dunia di mana hampir
semua modal alam dan sosial kita telah dilebur menjadi angka, seiring dengan
semakin menurunnya “aktiva” fisik maupun kebudayaan kita yang tersisa untuk
diuangkan, keyakinan semacam itu mesti segera dipertanyakan. Ketika
sungai-sungai kehilangan salmon dan penuh polutan, ketika hutan dan lautan kita
habis diserbu, ketika humus kita ludes dan kita telah menghamparkan padang
pasir di atas sebagian besar permukaan Bumi, “yang tersisa tinggallah uang
mati, tidak berharga lagi, sebagaimana yang diperingatkan melalui mite Raja
Midas berabad-abad lalu. Kita akan mati—namun dalam keadaan kaya raya.”[5]
Isapan jempol lain yang serupa itu ialah bahwa saya
dan Anda terpisah. Begitu ilusi yang diakibatkan isapan jempol ini juga menghilang (dan salah satu maksud buku ini memang
untuk membuyarkan isapan jempol tersebut), bayaran yang saya minta pada
Anda atas pemberian saya pada dunia (yang pada awalnya juga saya peroleh dari
pemberian), tidak kalah gila daripada saya meminta bayaran pada pohon atas
nitrogen dalam urine saya ketika saya kencing di bawahnya, dan pohon itu kemudian
memberi saya bon atas oksigen yang dihasilkan dan disediakan olehnya untuk
paru-paru saya. Seperti saya, Alam tidak menyukai birokrasi maupun
administrasi, maka ia memberi tanpa pamrih sama sekali, tanpa membuang energi
untuk pembukuan maupun pengawasan, dan alih-alih terus mengerjakan keahliannya.
Malah, ternyata tidak ada sesuatu pun—tidak bakteri, tidak burung, tidak pula
alga—yang mencatat keefisienannya yang teramat tinggi itu. Maka kita sepatutnya
bersyukur atas kenyataan tersebut—setiap waktu ada jutaan hubungan timbal balik
yang berlangsung dalam sejengkal tanah saja, sehingga seluruh dunia kita akan
runtuh seandainya Alam mencoba-coba menagih bayaran untuk itu.
Tentu saja tidak ada yang salah dengan kisahan itu sendiri
asalkan bermaslahat bagi kita berikut habitat kita. Selain itu, kita dapat
mengingat satu hal: itu sekadar kisahan, dan kita dapat menciptakan kisahan
yang lebih baik sekiranya kita berpikir yang baru itu lebih sesuai dengan dunia
yang kita hadapi. Jika memercayai dongeng
tentang Sinterklas, uang, ataupun menjilat testikel kambing membantu kita
menjalani hidup yang lebih memuaskan, bebas, dan sehat dengan cara yang memberi
kesempatan serupa bagi khalayak selebihnya, maka saya setuju sekali. Tetapi
jika tidak, bukankah akan sedikit lebih bijaksana untuk mulai menciptakan
kisahan kebudayaan baru yang lebih bermaslahat?
Pada titik ini Anda mungkin berpikir bahwa hingga dewasa ini
uang memang bermaslahat bagi kita. Uang telah memfasilitasi “peradaban” yang
kita miliki kini—televisi, mobil, hingga jaringan internet. Meski begitu,
berapa banyakkah di antara kita yang merasa diperbudak sepenuhnya oleh uang,
selalu merasa membutuhkannya sedikit lebih banyak lagi demi bertahan hidup,
bahagia, ataupun merasa makmur? Sebagaimana yang suatu kali saya baca di balik
pintu toilet, kebebasan lenyap di bawah dominasi adat yang buruk.
Bagaimana jika kisahan kebudayaan (seperti narasi mengenai
keterpisahan diri, yang akan saya telusuri sepanjang buku ini) yang mula-mula
menerbitkan uang ternyata pada dasarnya tidak kurang daripada delusi kemanusiaan
yang destruktif? Bagaimana jika Anda menyadari bahwa konsep uang yang itu juga,
walaupun pada awalnya dianggap berguna, dalam keberlangsungannya mau tidak mau
dapat menggiring pada Bumi berikut biosfernya yang tidak lagi layak huni bagi
manusia beserta banyak bentuk kehidupan lain? Akankah Anda terus melanjutkan
kisahan yang merusak itu, atau hendakkah Anda membuat kisahan baru, kisahan
yang selaras dengan Zaman berikut tantangan khas yang dihadapi masyarakat Anda?
Sepanjang buku ini, saya akan mempersoalkan dongengan yang menjadi dasar bagi lahirnya uang, untuk menyoroti
akibat merugikan yang tidak terelakkan sejak pertama kali konsep itu diciptakan
namun baru jelas terlihat setelah ada yang terjadi, dan—yang lebih penting
lagi—untuk meminta Anda membantu umat manusia memikirkan kisahan baru, cara
yang berbeda dalam melakukan berbagai hal yang patut bagi dunia yang kita semua
hadapi kini.
[1] Graeber, David (2011). Debt:
The First 5.000 Years. Melville House Publishing. p 109.
[2] Sundeen, Mark (2012). The
Man who Quit Money. Riverhead.
[3] Smith, Adam (1776). The
Wealth of Nations. Penguin Classics: Edisi baru, 1982.
[4] Uang fiat merupakan
mata uang yang dinyatakan oleh pemerintah sebagai alat pembayaran yang sah
(dengan kata lain mesti diterima sebagai suatu bentuk pembayaran di dalam
batas-batas suatu negara, baik untuk utang pribadi maupun utang publik), tetapi
dengan sendirinya tidak memiliki nilai intrinsik dan nilainya berasal dari
kepercayaan antarmasyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar