Siang Maut (1/2)
Ia penjambret musiman yang
belum lama beraksi di lingkungan ini.
Ia warga Jepang berusia 26
tahun (saksi mengatakan usianya pertengahan dua puluhan tahun), tinggi 170 cm,
kurus dan berkulit kuning langsat, serta berambut hitam kusut. Diam-diam
merebak dugaan warga sekitar bahwa kemungkinan ia orang Cina.
Ia penganggur. Bukan berarti ia tidak berminat kerja. Bila ia cukup beruntung memperoleh pekerjaan harian, ia akan muncul. Sesekali, seakan-akan atas dorongan hati, ia diwawancarai untuk posisi paruh waktu di minimarket atau restoran, tapi tidak pernah terpilih. Alasannya bermacam-macam. Kadang, ia diberi tahu bahwa mereka mengutamakan pelajar; kali lain, ia ditolak karena mereka memilih yang sudah berpengalaman. Kapan pun mereka memberi tahu akan menghubungi dia, nantinya mereka menolak dia dengan dalih telah mengupah orang lain. Ada di antara mereka yang berterus terang dan menyampaikan yang sebenarnya: ia memberikan kesan yang buruk.
Ia mulai mencuri sebab tidak
ada alternatif lagi. Pola tindak kriminalnya hampir selalu sama. Saat ia
kehabisan uang, ia akan berangkat pada malam buta untuk mencuri moped.
Kemudian, ia membawa pulang motor itu dan mengotori cerminnya supaya wajahnya
tidak terpantulkan. Kalau ia berencana menggunakan motor itu untuk beberapa
lama, ia akan memalsukan plat nomornya (caranya termasuk dengan
melengkungkannya serta mengubah “∙” atau “6” menjadi “8”). Keesokan paginya, ia akan
“bekerja” keras.
Ia mengendarai motor
curiannya keliling kota mencari sasaran yang mudah: pagi-pagi sekali, ia
mengincar pramuria yang berjalan gontai sambil memegang tas (persembahan dari
para penggemar mereka) dengan sebelah tangan; siang-siang, para pegawai
kantoran perempuan yang baru kembali dari makan siang dengan perut kenyang
sembari menggenggam dompet; sore-sore, para ibu rumah tangga dengan
kantong-kantong belanjaan yang dijejalkan di keranjang depan sepeda mereka;
saat matahari mulai tenggelam, para lansia yang sedang berjalan-jalan; dan
malamnya, para gadis SMA yang lagi main di kota. Setelah memilih target secara
berhati-hati, ia mengikuti perempuan itu diam-diam, mencondongkan tubuhnya saat
tidak ada seorang pun di sekitar, menjambret jarahannya, lantas meninggalkan
jeritan di belakangnya. Gerakannya secepat predator. Bahkan meskipun targetnya
panik dan berusaha untuk memegangi tas, yang tersambar biasanya cuma angin.
Beberapa korban cuma tercengang. Hanya sedikit kesempatan untuk berkata-kata. Sekalipun
cerca atau serapah terlontar kepada pemuda itu, tak pernah sampai pada sosoknya
yang segera menyusut.
Untuk meminimalkan risiko,
aksinya mesti cepat. Namun bila upayanya beroleh sedikit hasil, ia menggarap
dua atau tiga “pekerjaan” sekali jalan. Kemudian, sebelum polisi sempat diberi
tahu, ia sudah meninggalkan motornya lalu membuangi tas-tas yang dijambretnya
ke kali atau got, hanya mengambil isinya. Terakhir, ia mencopot sarung tangan
dan kacamata hitamnya, berganti pakaian dengan yang sudah disembunyikannya di
kamar kecil stasiun, kemudian berhati-hati pulang dengan kereta atau bis.
Ia mencurahkan sebagian besar
uang yang dibawanya ke dalam mesin pachinko dan untuk sementara waktu
menikmati kesenangan hidup berfoya-foya. Ia mulai terbiasa menjambret karena,
seperti halnya pachinko, ia dikaruniai “keberuntungan pemula”. Tas
pertama yang dijambretnya berisi 3.000.000 yen. Sejak itu, ia belum berhasil
mendapat tangkapan yang lebih besar, dan sudah biasa baginya mendecakkan lidah
karena kecewa saat membukai dompet-dompet yang dicurinya.
Sudah hampir setahun ia hidup
seperti ini.
Suatu hari, seperti biasanya,
ia mengucilkan diri ke bilik pachinko dengan uang hasil curiannya. Ia
dengar ada mesin baru, sehingga ia mengantre sebelum ruang penerimaannya dibuka
untuk memastikan ada tempat buat dia. Tapi, entah kenapa, tidak satu pun bola
yang keluar. Siangnya, ia telah menghamburkan semua uangnya. Ia bangkit
dan—setelah menyerapahi karyawan yang menegurnya karena menendangi mesin—pergi
melewati pintu belakang bangunan. Hasil kerja keras kemarin tersia-siakan.
Memikirkan itu mendidihkan darahnya. Ia kedinginan sampai ke tulang akibat
terlalu lama berada di ruangan ber-AC. Lengannya yang menjulur dari kaus putih
rombeng tiba-tiba saja merinding saat bersentuhan dengan udara luar. Hangatnya tak
nyaman seperti buatan—panas udara yang pengap menjemukan terjebrol ke sela-sela
bangunan.
“Haruskah aku kerja dulu
sebentar sebelum pulang?”
Pikiran itu timbul saat ia
mencari motornya di sepanjang gang sepi arkade pertokoan. Kepalanya masih
berdenyut-denyut akibat musik yang meraung-raung serta bunyi metalik bola-bola pachinko
di dalam bangunan itu. Lama kemudian, ia menemukan motornya, tapi ada yang
menjatuhkannya. Ia menendang pelek roda motor itu: “Berengsek!”
Ia gusar. Ia menegakkan motor,
mengangkat helm yang dicurinya bersamaan dengan motor itu, lalu duduk di
jok sebelum menarik sebatang rokok dari saku dan menyalakannya. Ia membeli satu
pak rokok dalam perjalanan ke tempat itu, namun ini sudah rokok yang terakhir.
Tadinya ia berencana untuk menyetok kembali rokoknya dengan memenangkan satu
karton, namun tak kejadian. Ia memuntir kotak rokok yang sudah kosong lalu
membuangnya ke jalan sebelum mengembuskan asap dalam desahan panjang.
Menimbang keadaannya
sekarang, kemungkinannya hari ini tidak akan berakhir gemilang. Tiba-tiba saja
muncul hasrat tidak tertahankan untuk meniduri perempuan, namun ia tidak ada
prospek ataupun uang. Ia berpikir untuk memerkosa saja. Ini bukan fantasi liar;
ia tidak pernah melakukannya namun gagasan itu melintasi benaknya berkali-kali.
Siapa pun mungkin mengkhayalkannya. Barangkali ia akan mengikuti wanita muda
yang sedang berjalan dekat situ. Seketika itu juga, seorang wanita paruh baya
terburu-buru keluar dari gedung kantor bersama yang terletak di seberang
bersilangan dari dirinya. Wanita itu tidak dikawal siapa-siapa dan mengepit tas
di ketiaknya seakan-akan itu barang penting. Semakin bagus lagi, wanita itu
mulai berjalan di sisi kiri jalan satu arah dengan membelakanginya—sasaran
ideal.
Gedung tersebut merupakan sumber
gosip sehari-hari di daerah itu karena menampung lintah darat yang keji.
Seketika ia merasakan bahwa
perolehannya kali ini akan besar. Ia bukannya siap, namun mana mungkin
melewatkan peluang ini.
Wanita itu tampak seakan-akan
telah menggadaikan masa depan demi mempertahankan harapannya untuk saat ini; kelegaan
sementara centang-perenang di wajahnya. Pipinya yang pucat pasi tanpa jejak
riasan dibingkai ikal-ikal rambut putih yang simpang siur. Wanita itu melihat
pada jam tangannya dengan gelisah; sekarang pukul 1:05. Satu tempat lagi … ah,
mungkin dua tempat lagi. Bisakah ia menuntaskan pada waktunya?
.
Ruangan itu hampir kosong;
cuma ada dua lelaki di dalamnya. Salah satunya, yang berusia pertengahan empat
puluhan, menggeletak di sofa belakang kantor yang disekat. Dari cara lelaki itu
menatap malas ke langit-langit, wanita itu tidak pasti apakah ia terjaga atau
tidak. Rambut lelaki itu dicat cokelat, dan kalung emas menjuntai di atas
bukaan lebar kemejanya. Wanita itu memandangi lelaki tersebut sementara ia dituntun
memasuki ruangan dan cepat-cepat ia menundukkan pandangan. Lelaki lainnya,
kemungkinan masih berusia dua puluhan, menyadari kesungkanan wanita itu dan
mendorongnya: “Masuklah.” Lelaki itu boleh jadi malah lebih muda daripada putra
wanita itu. Ia mengenakan jas berkancing ganda, berambut hitam, dan pipinya
yang cekung kurang sehat agak tertutupi oleh tunggul cambang.
Baru kali ini wanita itu
merayu sedemikian. Ia mendapati dua lelaki yang ada bersama dia di ruangan itu
seperti binatang buas. Biasanya ia takut, namun rasa jijik terhadap orang-orang
ini jauh melampaui rasa takutnya. Bagaimanapun juga, apa pun risikonya, ia
tidak mungkin pergi tanpa meminjam uang—ia berniat untuk memohon-mohon bahkan
menyembah-nyembah jika ia ditolak. Ia harus menemukan suatu cara menghasilkan
150.000 yen sebelum pukul 3. Kalau tidak, perusahaannya tidak akan dapat
membayar tagihannya. Ia telah berhasil mengumpulkan 50.000 yen, namun masih
kurang 100.000 yen. Dengan cara apa pun, ia harus sanggup mengumpulkan jumlah
tersebut, namun ia sudah mencoba segala cara yang manusiawi dan hanya dapat
menadah 50.000 yen. Masih ada 100.000. Tinggal sepuluh lembar uang 10.000 yen.
Akankah ia dan suaminya kehilangan pabrik yang telah mereka pelihara selama
lebih dari dua puluh lima tahun untuk jumlah sekecil itu? Akankah mereka
kehilangan pabrik itu karena ia tidak mampu mengatasi tantangan ini untuk
sehari ini saja? Benar! Sekarang, ia hanya perlu menjalani hari ini. Sejak
suaminya kena stroke dan dibawa ambulans dua hari lalu, wanita itu merawat
suaminya sekaligus tergopoh berkeliling mengumpulkan uang. Apakah jadinya bila,
saat suaminya pulih dan keluar dari rumah sakit, mengetahui bahwa perusahaannya
telah bangkrut? Tak terbayangkan. Bahkan sekalipun wanita itu bekerja keras hari
ini, suaminya pasti dapat menemukan jalan keluar seandainya pulih nanti. Sampai
saat itu tiba, wanita itu akan melindungi perusahaan mereka, berapa pun
harganya. Kalau mereka bangkrut, segalanya habis sudah. Meratapi kenyataan yang
ada tidak akan menghasilkan apa-apa.
Lelaki yang ada di sofa
sesekali mengutak-atik remote AC, mengubah arah dan volume udara.
Penyesuaiannya luar biasa kecil; denyit mesin terus-terusan terdengar ke
seluruh ruangan. Tampaknya lelaki yang lebih muda itu terganggu, dan tiap kali
AC berdenyit, ia menyeringai dan mendelik ke arah partisi, kakinya bergerak-gerak
begitu cepatnya sehingga meja bekertak.
Perusahaan wanita itu
merupakan subkontraktor kelas bawah untuk suatu pabrik alat elektronik besar,
dan mereka kebanyakan memproduksi bagian-bagian untuk AC komersial. Bahkan saat
menghadapi resesi, usaha mereka stabil sampai lima tahun lalu, dan mereka
selalu mempekerjakan sekitar sepuluh orang. Sekitar waktu itu, order pekerjaan
menurun drastis yang mencerminkan memburuknya kinerja perusahaan induk mereka,
dan semakin buruk lagi saat lembaga keuangan ternyata pada enggan memberikan
pinjaman. Sekarang, wanita itu dan suaminya, berikut seorang pekerja terampil
yang telah membersamai mereka sejak awal, serta dua karyawan dari negara Asia
lainnya, hampir-hampir tidak sanggup mengelola beban kerja—yang hanya satu per
tiga dari biasanya pada masa jaya mereka. Pada waktu inilah, utang mereka
membengkak besar-besaran. Mereka menggadaikan baik rumah maupun perusahaan itu.
Kinerja perusahaan mereka memburuk, dan tidak ada lagi yang mereka bisa
tawarkan sebagai jaminan; baik bank maupun serikat kredit tidak hendak
menambahkan pinjaman mereka. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka
mengambil sedikit pinjaman pribadi dari perusahaan penjual kredit, dan saat itu
tidak mencukupi, mereka meminjam dari perusahaan pembiayaan konsumen. Mereka
mulai semakin sering mengandalkan pinjaman ini. Seiring dengan meningkatnya
jumlah pinjaman, mereka mulai merasakan beban bunga dan tidak lama kemudian
tenggelam dalam utang. Mereka mencairkan polis asuransi jiwa mereka, menggadaikan
beberapa barang sekaligus, bahkan meminjam uang dari putra mereka dan istrinya.
Untuk bulan kemarin pun, mereka mengetatkan anggaran makan habis-habisan.
Itulah yang mengakibatkan suami wanita itu ambruk dan dirawat di rumah sakit.
(Bersambung)
“Hinshi no gogo to namiutsu iso no osanai kyōdai” pertama kali terbit dalam majalah sastra Gunzō pada edisi November 2003. Terjemahan ini berdasarkan pada versi bahasa Inggris Brandon Geist, “A Fatal Afternoon and Young Brothers on a Wave-Swept Shore”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar