Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Andrew Driver (6) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (273) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yasutaka Tsutsui (6) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

The Moneyless Manifesto: Waktu bukanlah uang (Mark Boyle, 2012)

Manusia … mengorbankan kesehatannya demi uang. Kemudian ia mengorbankan uang demi memulihkan kesehatannya. Kemudian ia gelisah akan masa de...

20240106

Berdansa di Marcone (Guillermo Martínez, 1989)

Suatu Sabtu kala aku berjalan di Corrientes mencari wanita impianku, atau wanita mana pun boleh, aku berbelok ke Pueyrredón mengintil seorang wanita berambut gelap yang menarik sedang berlenggak-lenggok pongah. Aku menjangkaunya di Plaza Once, tetapi rupanya si rambut cokelat ini seorang profesional. Saat ia mengutip tiga kali lipat dari harga yang kutawarkan, dalam kepala aku menjumlahkan yang ada di kantongku, sekalipun aku tahu tak ada gunanya. Dua-lima bisa dapat apa? tanyaku. Beli permen saja, sarannya, kemudian menyeberangi Rivadavia, sambil goyangan bokongnya menjadi-jadi, sebagaimana yang dilakukan para wanita kala menyadari mereka sedang diamati.

Aku mau berbalik, tetapi ketika menyeberangi plaza tersebut aku memerhatikan ada cahaya berwarna-warni di puncak sebuah gedung tua berlantai dua atau tiga. Ada arena dansa, pikirku. Berdansa di Barrio Once: waktunya untuk cinta satu malam. Maka aku seberangi jalan. Sejenak kemudian aku menyadari mestinya masuk dari yang ada tulisan Hotel Marcone; ruangan dansanya ada di lantai paling atas hotel tersebut, dan rupanya tempat itu hanya bisa dicapai dengan lift reyot yang berderit-derit sepanjang jalan. Operator lift itu mengangkat keempat jarinya untuk memberitahuku di lantai mana ruangan itu berada, maka aku memasuki lift itu bersama tiga lelaki lain sekitar usiaku. Salah seorang di antara mereka menata rambutnya dibelah tengah; selagi lift naik, ia mengeluarkan sisir dan meluruskan belahan rambutnya seraya memandang ke cermin.

“Hei, bung,” tiba-tiba ia menanyai si operator lift. “Tahu tidak apa hotel ini bisa dibayar per jam?”

“Tanya ke resepsionis,” si operator lift berujar masam.

“Bukan, maksudku …” ucap bocah itu, seraya menatap kami semua separuh tersenyum, “biar kita tidak perlu jalan kejauhan ke kamar.”

Orang-orang yang membarengi dia tertawa: ini mulai tampak menjanjikan.

Karcis masuknya gratis untuk para wanita sedangkan untuk pria harganya sembilan-lima puluh. Aku membayar dengan satu-satunya pecahan-sepuluh yang aku punya lalu berjalan masuk setelah para lelaki itu. Begitu aku melihat meja-meja kecil serta grup musiknya, aku berpikiran untuk balik dan pergi, sembari memberi tahu penjaga di pintu masuk—entahlah—bahwa aku salah masuk atau apalah. Apalagi setelah aku perhatikan wanita-wanita di meja itu. Mereka bukan cewek-cewek lebih tua yang memikat: mereka benar-benar sudah tua, dengan rambut diwarnai, muka bagai digips, dan tetek mengerut yang meluber keluar dari garis leher baju mereka yang berpotongan rendah, serta kulit di bagian bawah lengan yang telah kendur. Aku tiba di sini tepat waktu, batinku, dalam sepuluh menit mereka semua bakal sudah wafat. Namun tempat itu tampak begitu ganjil, dan sembilan-lima puluh tidaklah banyak, sehingga aku menyerahkan jaketku ke penitipan dan beranjak memutari meja-meja ke lantai dansa supaya bisa lebih dekat melihat grup musiknya, yang mana masih bersiap-siap—dan yah, inilah yang aku takuti: ada bandoneón[1] di bangku. Ada orkes tango.

Si pianis sedang melaraskan orkes itu, dan seorang lelaki tua lemah yang hampir-hampir tak dapat menyangga kontrabasnya tegak lurus menanggapi dengan agak gemetar menggerakkan penggeseknya. Kemudian violinis serta pemain bandoneón tiba, dan seorang lelaki dengan rambut diwarnai serta mikrofon juga naik ke panggung, karena konser musik ini diiringi seorang penyanyi.

Ia meluncur langsung ke musik tango itu yang liriknya:

Demi Tuhan, katakan yang telah kaulakukan

Hingga membuatku merasa begitu asing,

Sampai aku lupa diri ….

Satu pasangan muncul di lantai dansa. Si lelaki berambut sangat panjang, serupa surai yang menjuntai hampir ke pundaknya. Ia tampak seperti Pangeran Valiant[2] versi  ubanan yang berperut buncit. Sementara si perempuan—aneh betul—betisnya merupai gadis muda. Bukan berarti ia mengenakan stoking atau sesuatunya; memang begitulah adanya—hampir-hampir botak, wajahnya dilumuri riasan mengerikan, dan tubuhnya menyerupai wanita tua kecil, tetapi betisnya terjaga, bagus dan kokoh, pergelangan kakinya pun indah, sempurna.

Kupandang kau berdansa di seberang ruang,

angkuh dan jauh

ikuti irama tango,

betapa sensual dan penuh rahasia ….

Ia berdansa, dan bisa terlihat bahwa memang beginilah caranya melakukan tango, tanpa muslihat permainan akrobat, tanpa bergembar-gembor, dan kami semua di situ menyaksikan mereka, tetapi tak satu pun pasangan lain tampak bernyali untuk bergabung dengan mereka.

Seiring dengan tango yang kedua, lantai dansa mulai terisi, dan aku pun menuju ke bar, di mana para lelaki yang datang bersamaku tadi sedang berkumpul.

Che[3], mereka hanya memainkan tango atau bagaimana?” tanyaku pada si rambut belah tengah.

“Tiga puluh tiga puluh,” ia menerangkan. “Tiga puluh menit tango, setelah itu ada ‘Los Internacionales’—cumbia[4] dan rock. Juga bolero.”

“Apa di sini tidak ada cewek yang masih muda?”

“Yah,” ia mengangkat bahu dan meneguk minumannya, “di seberang ruangan dansa ini, atau di sebelah sana, di jendela. Ada berbagai rupa. Tapi yang tua lebih baik,” katanya diiringi senyum bijaksana. “Dengan yang tua, bisa langsung ke ranjang.”

Aku melintasi ruangan sebaik mungkin, menyusuri meja-meja dan berusaha menghindari tabrakan dengan pasangan-pasangan yang sedang melantai. Lelaki berambut belah tengah itu hampir benar—aku melihat ada dua atau tiga orang yang cukup normal, khususnya seorang yang berambut pirang, sedang duduk sendiri di sebuah meja; dia juga sudah agak melewati masa jayanya, tetapi dengan semua bagian tubuhnya masih berada di tempat yang tepat. Ia sedang merokok dan menatap ke lantai dansa dengan matanya memandang nanar. Ia menyanyikan lagu tango itu dengan sangat lembut, seakan-akan hafal semua katanya.

Aku mundur sedikit, tetapi segera sesudah mereka selesai dengan tango dan mengumumkan “Los Internacionales”, aku beringsut mendekat karena aku melihat ada pergerakan mencurigakan di mana-mana; bahkan tiga lelaki dari ruang masuk tadi sudah mengelilingi meja itu. Dan begitu saja si bocah berambut belah tengah itu mendahuluiku. Aku mesti angkat topi untuknya, sebab ia bahkan tidak menunggu sampai musik dimulai. Ia tiba satu detik lebih cepat daripadaku, meminta macis, sehingga kami selebihnya digantung.

Tahulah rasanya meluputkan kesempatan pertama di arena dansa: aku memandang putus asa sementara lantai mulai terisi penuh: sekarang semua orang betul-betul berdansa:

Kucari seorang wanita,

Kalau dia kurus, kalau dia gemuk,

Kalau dia lucu atau dia buruk,

Sungguh bukan masalah ….

Dalam sekejap terbentuk pasangan-pasangan di depan mataku, hingga tidak ada lagi ruang untuk sesiapa pun. Aku memandang ke sekitar: hampir semua meja kosong; yang tersisa cuma ampas. Lantas aku mulai memutari seluruh ruangan itu. “Los Internacionales” mulai memainkan suatu cumbia.

Lepaskan tanganmu, Antonio,

Mamaku di sebelah sana sedang memasak,

Satu kecupan saja, Lupita,

Mamamu sedang tidak melihat ….

Lantai bergetar oleh langkah kaki para pedansa, dan riasan para wanita mulai semakin mengilap. Orang-orang pada membentuk barisan konga, dan sebagian meneriakkan chorus lagu:

Kar’na jika Mama menangkap basah kita,

Kau harus nikahi aku ….

Tahu-tahu, aku memerhatikan seorang gadis pendek, kecil mungil, sedang bersandar pada salah satu jendela dan memandang keluar. Ia memunggungiku, sehingga aku tidak bisa melihat wajahnya. Tapi, hei, pikirku, tidak mungkin lah ia lebih jelek daripada mereka yang tersisa di meja-meja. Maka aku berjalan ke sana, menyentuh bahunya, dan dengan suara khidmat sembari membungkuk yang sungguh berlebih-lebihan, aku ucapkan kalimat saktiku: Señorita, bolehkah saya mendapat kehormatan untuk berdansa? Ketika ia mengerling, batinku: Ini keajaiban, sekalipun pojok ruangan itu cukup gelap, bisa kulihat ia sedikit manis, di samping itu, tersenyum pula.

“Aku tidak berdansa cumbia,” kata dia, rautnya kembali serius, seakan-akan mendadak teringat bahwa ia lagi marah.

Lantas “Los Internacionales” menyelamatkanku sebab mereka mulai memainkan “Perfidia”:

Kepadamu

hatiku jeritkan “Perfidia,”

karena kudapati kau, cinta sejatiku

dalam dekapan yang lain ….

“Bagaimana dengan bolero?” tanyaku kepadanya, nyaris bergurau, karena sebelumnya ia menolak …. Tapi memang benar, perempuan itu tak bisa ditebak; ia memikirkannya sejenak lalu mulai melangkah ke arah lantai dansa. Aku mengekor, takjub akan keberuntunganku. Kami mesti berputar-putar jutaan kali barulah akhirnya ia berhenti, hampir-hampir di tengah lantai dansa. Aku ingin berada dekat dengan temanku, kata dia, seraya tersenyum agak meminta maaf. Saat melihat dia seperti itu, tersenyum di bawah cahaya, batinku, Sialan! Benarkah ini? Karena mau setebal apa pun riasannya, ia masih bocah. Aku menyadari usianya mestilah tak lebih daripada lima belas tahun, dan saat ia mengulurkan kedua lengannya yang mungil dan kurengkuh pinggangnya, aku merasa jika aku mendekapnya lebih erat, bisa-bisa ia remuk. Cahaya meredup, dan di sekitar kami beberapa pasangan mulai berciuman. Aku merasa agak tolol berdansa dengan gadis cilik ini, tapi hei, yang terjadi terjadilah, dan pilihannya antara dia atau ampas-ampas itu, maka aku mulai menanyai dia pertanyaan-pertanyaan selazimnya. Namanya Mariana, atau Marina, aku tidak dapat mendengarnya dengan jelas, dan ia tinggal di Caballito. Aku menanyai dia apakah ini pertama kali ia ke sini.

“Pertama dan terakhir,” katanya, dan kuduga ia salah tempat karena kecele juga, seperti aku, tetapi rupanya tidak.

“Aku ke sini menemani temanku,” kata dia. “Ia di sebelah sana, yang baju merah. “Aku berpaling, tetapi yang dapat kulihat cuma punggung yang dicengkeram oleh sepasang tangan amat besar. “Ia lebih tua daripada aku, dan, yah, ia ingin ke sini …. Tapi jangan lagi deh,” kata dia, seakan-akan terganggu. “Lihat itu,” imbuhnya, seraya mematai seorang wanita tua sangat gemuk yang sedang berdansa dengan seorang lelaki seusiaku. Anak itu berusaha mencium si wanita, tetapi si badan lebar, yang mata kecil sipitnya bagai terpejam, antara ya dan tidak; wanita itu mengelakkan si lelaki dengan menggerak-gerakkan kepalanya seiring dengan irama musik, dan wanita itu tersenyum, tetapi bibirnya tertutup rapat, hingga akhirnya ia menyerah sedikit.

“Bisa saja kubawa nenekku; ia sedang di rumah merajutkan sweter buatku,” kataku, tetapi gadis itu tidak tertawa, seolah-olah tak mendengarkanku. Namun entah bagaimana aku mulai menyukai si pendek mungil ini, serta caranya merapatkan diri ke dadaku yang—yang, ketika lampu kembali menyala dan musik berhenti supaya orkes tangonya dapat bersiap-siap lagi, aku menawarkan untuk membelikan dia Coca Cola. Selagi kami melangkah ke bar, aku memandang lagi kepadanya: ia betul-betul cantik, dengan mata yang berwarna terang serta rambut panjang, dan semua perangkat tubuhnya juga, segalanya berupa miniatur tapi tersusun sempurna.

“Ini temanku,” kata dia segera begitu kami duduk. Aku menoleh untuk melihat kepada yang dimaksudkannya: tiga puluh lima tahun, tebakku, tapi dia seksi; khususnya sepasang teteknya yang fantastis itu. Aku menghitung, Tak cukup uang untuk membeli tiga Coca Cola.

“Kalian berdansa rapat sekali. Bercumbu, ya?” kata si pendek kepadanya, dan wanita lainnya itu memberiku senyum jalang ala wanita-wanita lebih tua manakala mereka berusaha menyamakan diri dengan remaja. Aku mengambil kesempatan itu untuk lebih dekat mengamati payudaranya.

“Oh, Sayang, siapa yang bercumbu; di sini kan berjubel sekali,” kata wanita itu diiringi kikih lacung. “Tebak dengan siapa aku berdansa?” kata dia. “Seorang Juara Rock. Ingat kan waktu kubilang tiap Minggu mereka mengadakan kontes rock di sini? Nah, dia juaranya. Tapi dia juga main tango.”

Si Juara Rock wajahnya seperti sopir truk dan di kedua lengannya ada banyak tato. Lelaki itu memberikan syarat kepada teman si pendek dan wanita itu pun tersenyum kepada kami minta diri, lalu bersama lelaki itu kembali ke lantai dansa.

“Temanmu menyenangkan,” kataku. “Matanya bagus.”

Gadis itu tak berucap apa pun.

“Matamu juga indah,” kataku, seraya bergerak lebih dekat. “Warnanya hijau atau biru?”

“Berubah-ubah tergantung pencahayaan,” katanya, seraya kembali memandang ke lantai dansa.

Tak akan pernah kita berpisah,

Kau tertancap di hatiku,

Bagai belati menembus kulitku ….

Si pianis menjadi berapi-api seraya membungkuk di atas kibornya, dan tampak dada si penyanyi seolah-olah mau meledak. Pangeran Valiant beserta wanita yang betisnya awet muda itu telah kembali ke lantai dansa.

“Kedua orang itu,” kata si gadis kepadaku, “mereka sudah kemari sejak berpacaran semasa SMA. Pacar SMA,” ulangnya, seakan-akan ia tidak dapat memercayai. “Temanku bilang tiap Sabtu mereka selalu kemari tanpa pernah terlewat.”

“Jadi temanmu juga selalu datang?” tanyaku.

“Tidak, tidak selalu,” katanya, sambil sepintas lalu memandangi pasangan-pasangan sampai menemukan temannya itu. Si Juara Rock sedang memutar wanita itu perlahan-lahan melintang di atas kakinya.

“Tango itu jorok, ya?” ucap gadis itu tiba-tiba.

“Jorok? Bagaimana maksudnya?”

Tampakmenjerumuskan,” katanya, seraya mengerutkan hidung. “Entahlah; jorok saja.”

“Berapa usiamu?” tanyaku.

“Aku? Tujuh belas,” katanya.

“Kayak yang empat belas.”

Ia merona, tertawa, dan berkata ya. Empat belas tahun, batinku, sesat dah sesat. Aku memeriksa jam: sudah hampir pukul dua pagi. Dan aku juga bokek. Aku sudah menghabiskan uang yang tersisa untuk membeli Coca Cola.

“Kamu pendiam, ya,” kata dia. “Pendiam, tapi cerdas. Aku bisa lihat: wajahmu itu cerdas. Aku juga pendiam, tapi, yah, harus ada yang mengisi pembicaraan, bukan?”

Aku tertawa sebab aku mulai semakin menyukai gadis kecil itu, tetapi kiranya ia menyangka aku sedang menertawainya.

“Apa aku betul-betul bodoh? Menurutmu aku bodoh?”

Aku katakan tidak dan menyelipkan rambutnya ke balik telinganya. Ini tidak pernah gagal: bukan berarti belaian, melainkan lebih daripada sekadar kata-kata. Ia meneguk sedikit Coca Cola-nya dan membiarkanku memegang tangannya. Dan saat itulah aku mulai membicarakan hal remeh-temeh; aku menciptakan sebuah teori amat rumit mengenai kebetulan dan takdir serta kesempatan pertemuan-pertemuan yang tak pernah terjadi—omong kosong menyembur keluar dari diriku. Lantas, ketika aku telah sampai pada bagian terbaik dari pidatoku, aku melihat seorang wanita yang baru saja datang; aku melihat dia dari belakang, ketika dia berjalan ke ruang penitipan jaket, dan aku pikir aku kenal bokong itu. Cukup yakin, itu si sundal berambut gelap. Ia menitipkan jaketnya di ruangan tersebut kemudian langsung ke bar. Aku memandanginya lekat-lekat sampai kehilangan alur perkataanku, tetapi lantas aku menyadari si Pendek juga tidak mendengarkanku; sepertinya ia sedang memikirkan suatu hal lain. Sesegera ia menandaskan Coca Cola-nya, ia memintaku agar menunggu sebentar, ia harus mengatakan sesuatu kepada temannya, maka ia menghampiri meja tempat temannya itu sedang minum bir bersama si Juara Rock. Ketika aku melihat kedua perempuan itu menuju ke kamar kecil, aku beranjak ke ujung bar dan duduk di samping si rambut gelap.

“Hei, lama tak jumpa,” kataku.

“Sayang, kejutan yang menyenangkan,” sambutnya tersenyum lebar. Sundal memang menakjubkan.

“Sedang apa di sini?” tanyaku, seraya berusaha mengintip ke balik blus di antara kancing-kancingnya. Ia tidak mengenakan bra.

“Penasaran, kan?” ujarnya, seraya mereguk Coca Cola-ku. “Aku mulai kerja jam lima, dan karena aku lelah sekali, rasanya aku tak hendak balik ke rumah. Takutnya nanti aku tertidur, mengerti kan? Jadi aku ke sini buang waktu.”

“Apa pekerjaanmu?” tanyaku padanya. Aku melihat jam tanganku. Sudah pukul dua-tiga puluh. Siapa tahu, masih ada waktu, pikirku.

“Oh, Sayang, melit banget, ya, kamu?” katanya, tetapi ia buka dompetnya dan menyerahkan kepadaku selembar kartu kecil: RELAX & COMPANY, tertulis di situ. HARGA MIRING, dengan alamat dekat sini, di Pueyrredón. Seketika aku merasakan sentuhan di betisku.

“Kamu tidak menraktirku minuman?” katanya. “Mulutku kering sekali. Aku haus,” seraya menyapukan lidahnya lambat-lambat ke atas bibirnya.

“Nanti,” kataku, karena ingat aku tak punya uang lagi. Di samping itu, kulihat gadis itu, yang barus saja keluar dari kamar kecil dan mencari-cariku. Aku tinggalkan gelasku di bar. Aku tidak tahu persisnya mau berbuat apa. “Tunggu sebentar,” kataku pada si rambut gelap. “Nanti aku kembali.”

Di panggung “Los Internacionales” sedang kembali dipersiapkan. Mereka langsung meluncur ke bolero, dan cahaya pun mulai pada meredup hingga lantai dansa dalam kegelapan pekat. Selagi aku melintas, aku memerhatikan si Tuan Rambut Belah Tengah sedang menjulurkan lidahnya ke dalam telinga si rambut pirang; sekarang, ke mana pun memandang, orang pada bercumbu dengan gilanya.

“Ayo dansa,” kataku kepada si Pendek, dan lagi-lagi dia berkata tentu, baik, tetapi ingin berada di dekat temannya.

Temannya, temannya, aku membatin seiring kami menghampiri lantai dansa, dan ketika ia mengalungkan kedua lengannya yang kecil di leherku, aku berpikir bahwa si sundal itu tak akan menungguiku sepanjang malam. Aku memandu si Pendek lambat-lambat menuju ke tangah lantai dansa, di antara pasangan-pasangan yang berangkulan, yang sekarang bahkan sudah tidak pada berdansa lagi. Lantas aku melihat mereka: pertama aku melihat si Juara Rock, tangannya melangkah pelan-pelan menuruni punggung teman si Pendek.

“Tuh temanmu,” kataku. Gadis itu lekas melepaskanku dan kami berdua terdiam memerhatikan tangan itu menyambar bokong si wanita, sementara si bokong menyesuaikan dengan cengkaman itu.

Si gadis membeku, seakan-akan tak dapat berhenti menatap.

“Aku tak mau berdansa lagi,” ceplosnya lantas hampir-hampir berlari meninggalkan lantai dansa.

Tentu saja, mengapa aku tidak memerhatikannya sedari tadi? batinku. Mata mereka sama, mulut sama; tetapi, hei, mungkin inilah yang terbaik: toh si rambut gelap masih ada di bar. Segera aku kembali padanya.

“Bolehkah saya mendapat kehormatan untuk berdansa, Señorita?” tanyaku. Ia tersenyum kepadaku, dan ketika aku membungkuk, ia merapikan blusnya dan berdiri. Tidak semua orang bisa berdansa dengan seorang pelacur, batinku, kembali bergembira.

Selagi aku mengikuti si sundal ke lantai dansa, aku melihat gadis itu untuk terakhir kali, sedang bersandar pada jendela, memandang ke luar. Tampak dirinya dari satu sisi. Bila ia tumbuh besar sedikit, pikirku, payudaranya akan serupa milik mamanya.

 

Terjemahan ini berdasarkan versi bahasa Inggris Andrea G. Labinger dalam Words without Borders edisi Februari 2011 “Three Anti-Valentines, dengan judul asli “Baile en Marcone” karya Guillermo Martínez (1989).

 

Guillermo Martínez

Guillermo Martínez lahir di Bahía Blanca, Argentina, pada 1962. Dalam kurang dari satu dekade, ia telah menjadi salah satu penulis paling penting dari generasinya. Bukunya Los crimenes de Oxford telah diterjemahkan ke dalam tiga puluh tujuh bahasa dan difilmkan; karyanya La muerta lenta de Luciana B diterjemahkan ke dalam sembilan belas bahasa dan sedang difilmkan. Ia penulis Argentina kedua (setelah Borges) yang telah dipublikasikan di The New Yorker (“Vast Hell”, 29 April 2009).

Andrea G. Labinger

Andrea Graubart Labinger memperoleh gelar BA dalam Bahasa Spanyol dari Hunter College, serta MA dan PhD dalam Kesusasteraan Amerika Latin dari Harvard University. Ia Profesor Emerita Bahasa Spanyol di University of La Verne, California, dan menjabat sebagai Direktur Pendiri Program Kehormatan Universitas. Labinger mengkhususkan diri dalam penerjemahan fiksi prosa Amerika Latin. Pengarang yang telah diterjemahkannya di antaranya adalah Sabina Berman, Carlos Cerda, Daína Chaviano, Mempo Giardinelli, Ana María Shua, Alicia Steimberg, dan Luisa Valenzuela. Call Me Magdalena, terjemahan Labinger atas karya Steimberg Cuando digo Magdalena (University of Nebraska Press, 2001) memperoleh Gelar Kehormatan dalam kompetisi PEN International-California. The Rainforest, terjemahannya atas karya Steimberg La selva, serta Casablanca and Other Stories, antologi cerita pendek Edgar Brau yang diterjemahkannya bersama Donald dan Joanne Yates, menjadi finalis kompetisi PEN-USA pada 2007. Terjemahan terbaru Labinger, Death as a Side Effect karya Ana María Shua, diterbitkan oleh University of Nebraska Press pada 2010. Situs webnya Trans/Latino Trans/Lation.


[1] Alat musik asal Jerman yang populer di Argentina dan Uruguay untuk mengiringi tango.

[2] Komik setrip yang sangat populer di Amerika, pertama terbit pada 1937.

[3] Kata panggilan yang umum digunakan di negara-negara Amerika Latin.

[4] Musik dansa yang berasal dari Kolombia, mirip dengan salsa.

Tidak ada komentar: