Saat itu petang yang menyenangkan pada akhir musim gugur. Seperti biasa aku mengambil jalan pintas ke rumah lewat kampusku yang rindang oleh pohon zelkova dan ginkgo yang tinggi-tinggi. Selagi berjalan-jalan, sampailah aku di tempat yang dirembesi sinar matahari melalui dahan-dahan ginkgo, luar biasa indahnya pada waktu itu. Daun-daunnya yang kuning berkelap-kelip bagai simbal, tampak mengisi udara dengan musik keemasan mereka. Berlimpah-limpah mereka menari ke tanah, diiringi Two Sonata Scriabin dalam benakku, lagu yang belum lama ini aku pelajari bersama guru pianoku.
Tahu-tahu, sekilas cahaya pucat dekat kaki sebatang pohon menarik perhatianku. Saat melongok ke belukar, aku melihat ada nyala kebiru-biruan yang dilingkupi pancaran emas. Tanpa sadar, aku menyibak semak berduri itu hendak mengetahui asalnya. Di hadapanku tampaklah kepala seorang pemuda—atau barangkali lebih tepatnya seorang anak lelaki. Aku pastilah berbeda dari wanita-wanita lain, karena aku bukannya pingsan di tempat, atau menjerit dan kabur. Aku terpaku, tak sanggup melepaskan pandanganku dari kepala yang berpijar ganjil itu. Mungkin sebenarnya aku terpesona. Eloknya kepala itu tidak pernah kulihat sebelumnya kecuali pada patung dewa-dewa. Sejenak kupikir mestilah itu kepala boneka yang dibuat dari bahan khusus, namun segera kusadari bahwa itu kepala manusia betulan. Walau itu berarti kepala tersebut tidak bernyawa, kelihatannya tidak demikian.
Matanya terbuka.
Aku melihat manik matanya bergerak dan kelopak matanya mengejap. Namun mata itu
tidak berfokus padaku atau apa pun. Tatapannya kosong. Saat kepala itu
merundukkan pandangannya, bulu matanya yang panjang dan lebat seperti gadis
melontarkan bayang sendu ke seluruh wajah itu. Nekat aku menjangkau dan menahan
sejumput rambut dari dahinya. Walau rambut itu terasa dingin, daging di
baliknya hangat.
Akhirnya aku
tersadar juga dan dikuasai ketakutan, sewajarnya orang pada umumnya. Aku
berlari ke rumah, meninggalkan kepala itu begitu saja. Aku membatin bahwa benda
berhalo emas yang baru saja kusaksikan itu adalah halusinasi, atau bisa saja
hasil kejahatan keji. Pastilah ada yang membunuh anak malang itu, memenggal
kepalanya, lalu membuangnya ke hutan, pikirku. Sesederhana itu. Tidak ayal lagi
beritanya akan muncul di koran atau TV besok. Aku akan berpura-pura tidak
mengetahuinya.
Setelah
menenangkan hatiku dengan penjelasan yang absurd ini, aku naik ke tempat tidur.
Namun tidurku penuh mimpi buruk. Aku hampir tidak tertidur barang sekejap malam
itu. Aku tidak bisa mengenyahkan perasaan bahwa kepala itu hidup. Dalam
mimpiku, aku melihatnya terpasang kembali pada tubuhnya yang telanjang—tubuh
tanggung antara anak lelaki dan pemuda. Terlintas di benak patung Apollo yang
dipotong dari marmer Pentelikon atau Paros, perbedaannya hanya kulitnya tidak
keras seperti batu tapi putih dan lentur seperti anakan pohon. Aku bermimpi aku
juga telanjang, tubuhku membelit patung marmer yang menyerupai batang pohon
itu. Walau identitas ataupun kepribadiannya tidak jelas—atau mungkin karena
itulah—patung itu terasa sebagai kekasihku betulan. Sampai di sini mimpiku jadi
membingungkan. Selanjutnya yang kuingat aku menumbangkan Apollo dan
menungganginya, memancangkan dia ke tanah. Lalu dengan sekali sambar aku
memenggal kepalanya, seperti Kumagai Naozane menggorok batang leher pemuda
Taira Atsumori yang tampan di pantai pada pertempuran Ichi-no-tani. Kepala itu
terlepas dengan mudahnya, seakan-akan cuma kaktus.
Kekejian
apakah yang telah menggerakkanku berbuat itu? Sementara aku berbaring terjaga
memikirkannya, aku mengalami perasaan aneh bahwa entah bagaimana aku
benar-benar telah membunuh kekasihku. Saat ketegangan mental ini tidak
tertahankan lagi, aku mencapai keputusan: aku akan nekat mengambil kepala itu.
Fajar baru
bubar saat aku memasuki hutan itu sambil membawa tas besar. Kepala anak itu
menggeletak tepat di mana aku meninggalkan dia kemarin, tidak ada yang berbeda
kecuali daun-daun ginkgo terjerat di rambutnya.
“Selamat
pagi. Tidur nyenyak?”
Tentu saja,
kepala itu tidak menyahut. Setelah membersihkannya dari daun-daun, cepat-cepat
aku memasukkannya ke dalam tas. Selagi memasukkan dia, aku memerhatikan
beberapa pembuluh darah menyembul seperti kecambah dari tunggul lehernya, namun
aku tidak berjeda untuk memeriksanya dari dekat. Yang terutama adalah membawa
pulang kepala itu tanpa terlihat.
Keberhasilan
pada petualanganku pagi-pagi itu membuatku sangat bersemangat. Kepala itu tidak
lagi menakutiku. Mungkin nanti malam aku akan membawa dia tidur bersamaku,
pikirku. Tapi aku sadar itu cuma adrenalinku yang bicara—aku tidak berniat
melakukan hal begitu. Kenyataannya, terhadap binatang saja aku enggan dan
bahkan tidak pernah memelihara anjing atau kucing.
Untuk
sementara, aku menempatkan kepala itu dalam mangkuk porselen ceper yang biasa
digunakan untuk merangkai bunga. Aku mengisi mangkuk dengan air, begitu
terpikir bahwa kalau tidak kepala itu akan mengering. Namun kemudian aku
memerhatikan bahwa dia terlihat agak goyah, lalu serta-merta saja terlintas di
benakku bahwa aku dapat menempatkan dia pada pelat logam berpaku untuk menahan
tangkai bunga. Seperti yang diperkirakan, pelat itu dapat menahan kepala
tersebut. Aku tidak merasakannya sebagai tindakan kejam, sebab wajah itu tidak
memperlihatkan kesakitan. Pandangannya tetap saja kosong melalui matanya yang
separuh terbuka itu, seakan-akan dalam keadaan tak sadarkan diri. Ya, itulah
kata-kata yang tepat untuk menerangkan tabiat kepala itu. Aku menyadari bahwa
aku telah menganggap kepala itu sebagai tanaman saja. Mungkin nanti bagus juga
menaruh dia di pot, pikirku, tapi untuk sekarang aku mencoba cara hidroponik
saja dulu, seperti dengan umbi crocus dan hyacinth.
“Jadi
ini—kepala yang kamu bicarakan itu?”
Toru,
tunanganku, kedengarannya hampir kecewa. Sebetulnya, aku tidak mau memberi tahu
dia mengenai kepala itu. Tapi karena ia datang ke tempatku beberapa kali dalam
seminggu dan sesekali menginap, aku sadar tidak bisa merahasiakannya dari dia.
Saat aku
memberi tahu Toru dengan sesantai mungkin yang terjadi setelah aku menemukan
kepala itu, ia terlihat sangat ingin melihatnya. Kiranya, pikiran melihat
kepala hidup seorang pemuda tampan menimbulkan rasa penasaran akan hal
mengerikan pada dirinya. Namun sebenarnya kepala itu sama sekali tidak
menyeramkan. Kepala itu tidak membangkitkan ekstase, seperti kepala Yohanes
Pembaptis bagi Salomé, walau kuakui, seperti dia, aku suka bermain-main dengan
mencium bibir kepala itu beberapa kali. Aku senang karena mendapati ada
respons—bukan berarti ia menjulurkan lidahnya ke dalam mulutku, tapi bibirnya
itu bergerak sedikit saat mengenai bibirku. Aku merasa seperti sedang
memaksakan ciuman pada seorang bocah polos.
“Jadi ini
benda hidup, diam saja begini?” tanya Toru.
“Yah, airnya
diserap sama dia kok. Lihat kan urat di lehernya itu menyembul seperti akar?
Kalau begini, tidak heran bila nanti dia berbunga.”
“Aku
penasaran apa dia punya kesadaran manusia,” kata Toru. “Maksudku, dia melihat
kita, tapi apa menurutmu dia juga sedang berpikir?”
Sayangnya,
kepala itu sepertinya berada dalam keadaan vegetatif. Tidak seperti Apollo yang
sebenarnya, tidak ada percikan pada matanya. Matanya terbuka tapi tidak melihat
apa-apa. Setelah aku menerangkannya kepada Toru, kami luruh dalam peluk yang
bergairah, tanpa malu bercinta di depan kepala itu. Anak itu tetap elok dan
tenang bagai bunga, dengan elegan bertengger pada mangkuknya serupa lili air
yang tertidur kala tengah hari.
“Kamu benar,”
kata Toru, terdengar malas. “Benda itu memang bukan manusia.”
Tentu saja
dia benar. Tapi kalau boleh kukatakan, kepala itu lebih tampan daripada lelaki
mana pun. Keindahannya anggun dan lembut—bahkan semerbak. Sebaliknya, Toru
tunanganku adalah bangsat berbau busuk. Meski begitu, pada tahun berikutnya
begitu kami menikah, aku dan Toru dijadwalkan berangkat ke Eropa bersama.
Ketulusannya hanya ada pada bakat bermusiknya. Pada hari itu kami duduk di
piano masing-masing dan berlatih La valse Ravel serta Variations
Lutoslawski.
Pada
bulan-bulan musim dingin, kepala itu melalui perubahan dramatis. Ia mulai
terlihat semakin kurang menyerupai pemuda tampan, berubah jadi merah dan keras
seperti delima. Saat musim semi tiba, tahu-tahu ia membengkak seukuran semangka
dan warnanya menjadi hijau daun. Helai-helai rambut putih, atau duri-duri lembut,
bertunas di seluruh permukaannya sehingga hawanya seperti kaktus yang eksotis.
Kemudian bunga warna-warni, yang agak seperti hyacinth merah muda,
berkembang di mana tadinya berupa ikal-ikal rambut. Bunganya bertambah
banyak—amarilis dan anggrek ungu—semuanya mekar di luar musimnya. Dengan
mempertahankan bentuk aslinya yang seperti manusia, kepala besar serupa kaktus
itu menjelma keriuhan bunga-bunga, mengingatkanku pada lukisan Arcimboldo.
Begitu
bunga-bunganya luruh, kepala itu mulai menghasilkan buah dalam aneka bentuk,
warna, dan ukuran, sehingga penampilannya berbenjol-benjol ganjil. Aku mencoba
beberapa yang membangkitkan selera makanku. Tiap-tiap buah itu memiliki rasa
yang aneh, unik, tapi tidak satu pun yang membuatku menginginkannya lagi.
Setelah kupetiki semua buahnya, kepala itu mirip permukaan bulan yang
berlubang-lubang. Setelah beberapa lama, bopeng-bopeng tersebut lenyap dan
kepala itu pun menjadi mulus dan bundar,
tidak menyolok penampilannya sebagaimana buah beligo. Ternyata ini inkarnasi
terakhir kepala Apollo itu. Saat aku membelah dia dengan pisau dapur,
kemiripannya dengan beligo ternyata bukan hanya sepintas lalu—dagingnya putih
dan tanpa biji. Mau tak mau aku tersentuh akan kesederhanaannya yang tidak
menarik ini. Apa gerangan yang terjadi pada rumitnya massa jaringan otak,
syaraf, dan pembuluh darah yang dulu mestilah pernah mengisi kepala pemuda
rupawan itu?
Bagaimanapun
juga, aku sukses besar membiakkan buah yang kupetik, yang sebagaimana kepala
itu, aku tempatkan di air. Saat musim panas tiba, aku meletakkannya di tempat
yang banyak sinar mataharinya, dan mereka pun tumbuh pesat. Sekarang mereka
telah berubah menjadi kepala-kepala, masing-masing disertai wajah manusia yang
berbeda-beda. Pada musim gugur, aku memperkirakan ada puluhan kepala yang
tumbuh di ruanganku yang banyak sinar mataharinya itu. Omong-omong, sekiranya
kau penasaran, Toru membatalkan pertunangan kami dan berangkat sendiri ke
Eropa. Ia bilang ia tidak bisa hidup bersama perempuan yang terobsesi pada kepala tumbuhan.
“Apolon no Kubi” oleh Yumiko Kurahashi pertama kali diterbitkan di Jepang pada 1985 dalam Kurahashi Yumiko no Kaiki
shohen oleh Ushio Publishing Co., Ltd., Tokyo., kemudian diterbitkan ulang
dalam Otona no tame no kaiki shohen oleh Takarajimasha, Inc., Tokyo.
Cerpen ini
diterjemahkan dari versi bahasa Inggris Ian MacDonald, “Apollo’s Head” dalam Words without Borders
edisi Juli 2012.
Kurahashi
Yumiko (1935-2005) lulus dari Universitas Meiji dengan gelar dalam bidang
sastra. Ia dianugerahi Penghargaan Won Izumi Kyōka untuk Sastra atas “Perjalanan ke Amanon” (アマノン国往還記).
Ian MacDonald
meraih gelar PhD dalam bahasa Jepang dari Stanford University dan merupakan
penerima Hadiah Utama Kompetisi Terjemahan Internasional Shizuoka. Ia spesialis
dalam seni dan sastra periode Edo. Minat penerjemahannya mencakup nonfiksi dan
fiksi sejarah. Karya-karyanya yang telah diterbitkan meliputi The Curious
Casebook of Inspector Hanshichi oleh Okamoto Kido (University of Hawaii
Press) serta The Budding Tree oleh Kitahara Aiko (Dalkey Archive Press)
dan dua bukunya yang akan datang yaitu The Sharaku Murders oleh
Tahakashi Katsuhiko serta Tales of the Ghost Sword oleh Kikuchi
Hideyuki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar