Berlari terhuyung-huyung menembus kegelapan kota yang seperti mimpi.
Aku sendirian.
Terengah-engah. Aku tidak mungkin pulang dengan seragam sekolahku kotor begini.
Aku basah kuyup sampai ke kulit, tubuhku kedinginan, tapi panas keringat yang
menguap samar-samar menggayut tidak nyaman di seputar leherku.
Saat itu sudah
akhir musim hujan, namun aku dicurahinya dengan pukulan bertalu-talu. Aku
mengusap wajah. Aku kembali menyeka rambutku ke belakang. Aku meradang seperti makhluk buas yang kakinya dihunjam
duri. Jantungku memperlihatkan sederet taring yang menggerogoti dadaku.
Menampakkan frustrasi tak terkendali dan cemas tak berbatas. Aku terbakar
hangus oleh gemparnya keputusasaan dan aku bertahan di tepi kejatuhan.
Aku tidak bisa mengibaskan
wajah mereka, yang membekas hitam dalam ingatanku.
Tak ada jalan untuk melarikan diri. Aku terpojok. Aku berharap hujan dapat mencuci bersih ingatanku.
Aku menyusuri tepi
sungai di mana mereka melemparkan buku-bukuku ke air lalu menendangiku sampai
aku muntah darah. Aku melewati toko buku bekas di mana aku menjual manga yang
kucuri untuk mendapatkan uang yang mesti diserahkan kepada mereka. Aku melalui
kegelapan di bawah viaduk di mana bayang-bayang para bangsat pencemooh itu telah
menantiku sepulang sekolah.
Dan hujannya, tidak
kunjung berhenti.
Aku berlari, sepatu
ketsku yang penuh air bagaikan belenggu besi. Bayangan orang-orang di sekitarku
mengabur. Kota kehilangan bentuknya bak cat air yang kebasahan.
Orang yang selalu
paling keras memukulku berada di depan arkade, dikelilingi oleh anak buahnya,
mengepak-ngepakkan mulutnya dengan tampang tolol.
Aku berhenti dan
mengamati dia dari jauh. Aku merasa mau muntah. Rasanya seolah-olah aku
kehilangan pegangan terhadap dunia nyata. Darah menderas melewati labirin
pembuluh darahku.
Sebuah sepeda motor
melaju kencang di samping kananku, bannya menyemburkan air.
Salah seorang di
lingkaran itu tahu-tahu berbalik, membelalak padaku, merutukiku, suaranya naik
satu oktaf.
Aku berusaha
mengubur kegugupanku. Aku memendam segala jejak emosi dari wajahku.
Aku menghela napas
dalam-dalam untuk menenangkan diri dan merogoh saku kananku. Kepalaku terasa
pusing dan tubuhku tidak mau berhenti gemetar. Aku menggigit bibir dan memaksa
diri menelan saliva untuk membasahi kerongkongan.
Payung mereka
berkerumun membentuk lingkaran, bagai kembang bokor hitam penyakitan yang dilihat
dari kaca pembesar.
Aku mendongak.
Tangan kananku mencengkeram pisau lipat seakan-akan benda itu kunci rumah yang
ibuku kerap kali mengingatkanku supaya tidak hilang.
Jantungku berdebar.
Lantas kakiku menyentak keras-keras kubangan di jalan, menyemburkan lumpur ke
aspal.
Kilat pendek di
kejauhan disusul gemuruh pelan guntur. Orang yang suka menyiksaku itu terkejut
membelalak, dan menatapku kebingungan.
Payungnya melayang
ke tanah bagai sehelai daun dan jeritan ngeri pun membahana. Kedengarannya
seperti suaraku sendiri saat aku disiksa, putus asa lagi tak berdaya.
“Tidak! Jangan!”
Aku menikam
tubuhnya yang kaku dilanda ketakutan, serangan kebencianku seketika menodai
bajunya dengan warna merah padam.
“Tidak! Jangan!”
Kedengarannya
seperti suaraku sendiri saat aku disiksa, putus asa lagi tak berdaya. Payungnya
melayang ke tanah bagai sehelai daun dan jeritan ngeri pun membahana. Orang
yang suka menyiksaku itu terkejut membelalak, dan menatapku kebingungan. Kilat
pendek di kejauhan disusul gemuruh pelan guntur.
Lantas kakiku
menyentak keras-keras kubangan di jalan, menyemburkan lumpur ke aspal.
Jantungku berdebar.
Tangan kananku
mencengkeram pisau lipat seakan-akan benda itu kunci rumah yang ibuku kerap
kali mengingatkanku supaya tidak hilang.
Aku mendongak.
Payung mereka berkerumun membentuk lingkaran, bagai kembang bokor hitam penyakitan
yang dilihat dari kaca pembesar.
Aku menggigit bibir
dan memaksa diri menelan saliva untuk membasahi kerongkongan.
Kepalaku terasa
pusing dan tubuhku tidak mau berhenti gemetar.
Aku menghela napas
dalam-dalam untuk menenangkan diri dan merogoh saku kananku.
Aku memendam segala
jejak emosi dari wajahku.
Aku berusaha
mengubur kegugupanku.
Salah seorang di
lingkaran itu tahu-tahu berbalik, membelalak padaku, merutukiku, suaranya naik
satu oktaf.
Sebuah sepeda motor
melaju kencang di samping kananku, bannya menyemburkan air.
Darah menderas
melewati labirin pembuluh darahku. Rasanya seolah-olah aku kehilangan pegangan
terhadap dunia nyata.
Aku merasa mau
muntah.
Aku berhenti dan
memandang dia dari jauh.
Orang yang selalu
paling keras memukulku berada di depan arkade, dikelilingi oleh anak buahnya,
mengepak-ngepakkan mulutnya dengan tampang tolol.
Kota kehilangan bentuknya
bak cat air yang kebasahan. Bayangan orang-orang di sekitarku mengabur. Aku
berlari, sepatu ketsku yang penuh air bagaikan belenggu besi.
Dan hujannya, tidak
kunjung berhenti.
Aku melalui kegelapan
di bawah viaduk di mana bayang-bayang para bangsat pencemooh itu telah
menantiku sepulang sekolah. Aku melewati toko buku bekas di mana aku menjual
manga yang kucuri untuk mendapatkan uang yang mesti diserahkan kepada mereka.
Aku menyusuri tepi sungai di mana mereka melemparkan buku-bukuku ke air lalu
menendangiku sampai aku muntah darah.
Aku berharap hujan
dapat mencuci bersih ingatanku.
Aku terpojok. Tak
ada jalan untuk melarikan diri. Aku tidak bisa mengibaskan wajah mereka, yang
membekas hitam dalam ingatanku.
Aku terbakar hangus
oleh gemparnya keputusasaan dan aku bertahan di tepi kejatuhan. Menampakkan
frustrasi tak terkendali dan cemas tak berbatas. Jantungku memperlihatkan
sederet taring yang menggerogoti dadaku. Aku meradang seperti makhluk buas yang kakinya dihunjam duri. Aku mengusap
wajah. Aku kembali menyeka rambutku ke belakang. Saat itu sudah akhir musim
hujan, namun aku dicurahinya dengan pukulan bertalu-talu. Aku basah kuyup
sampai ke kulit, tubuhku kedinginan, tapi panas keringat yang menguap samar-samar
menggayut tidak nyaman di seputar leherku. Aku tidak mungkin pulang dengan
seragam sekolahku kotor begini.
Terengah-engah.
Aku sendirian.
Berlari
terhuyung-huyung menembus kegelapan kota yang seperti mimpi.
Cerpen ini pertama kali diterbitkan dalam
majalah Gunzo edisi November
2003. Terjemahan ini berdasarkan pada versi bahasa Inggris David
Karashima, “The
Trapped Boy”, dalam Words Without Borders edisi Maret
2015, serta versi Brandon Geist, “Trapped”, dalam A
Translation and Study of Short Stories by Hirano Keiichiro (2012).
Keiichiro Hirano lahir di Prefektur Aichi pada 1975 dan dibesarkan di Kita-Kyushu, mengeluarkan debutnya pada 1999 dengan novel pertamanya, Nisshoku (L’Eclipse), yang dianugerahi Penghargaan Akutagawa. Karyanya yang lain meliputi Funeral, Ripples the Dripping Clocks Make, Collapse, Dawn, The Only Form of Love, Fill in the Blanks, dan yang terbaru The Invisible Labyrinth. Karyanya telah diterjemahkan ke beberapa bahasa.
David Karashima adalah lektor penulisan kreatif di School of
International Liberal Studies, Universitas Waseda. Ia menerjemahkan ke
bahasa Inggris karya-karya pengarang seperti Hitomi Kanehara, Yasutaka Tsutsui,
Taichi Yamada, Hisaki Matsuura, dan Shinji Ishii, ikut menyunting (bersama Elmer
Luke) antologi March Was Made of Yarn: Writers Respond to the Japanese
Earthquake, Tsunami, and Nuclear Meltdown, serta mengampu sebagai editor
internasional Granta Japan. Pada 2008 ia turut memprakarsai Read Japan
di Nippon Foundation, kemitraan antara pengarang, penerjemah, penyunting,
penerbit, dan universitas untuk memfasilitasi publikasi terjemahan karya sastra
Jepang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar