Aku berada di kota Lausanne, Swiss, yang permai—kota suci bagi para bankir
kapitalis. Aku memanjat bukit cepat-cepat. Kerongkonganku terasa kering
sementara botolku kosong.
Seperti biasanya, aku segera memasuki bar
terdekat—tanpa berharap bir gratis, melainkan cairan lain yang lebih penting.
Aku menghampiri pelayan bar, seorang pria muda yang sedang mengeringkan gelas
dengan selembar kain putih.
“Permisi, bolehkah saya minta sedikit air,”
tanyaku seraya mengilaskan senyum.
“Soda atau biasa?” tanyanya sembari hendak
membuka kulkas.
“Bukan, maksud saya air keran,” jelasku sambil
menunjukkan botolku yang kosong.
“Oh. Kenapa tidak? Di sini melimpah air terbaik
di seluruh Eropa, bukan?” ujarku, dengan tetap tersenyum sopan namun merasa
agak tidak enak.
“Tidak bisa. Harus bayar,” sergahnya.
Sesaat frustrasi. Ini jalan buntu. Tampaknya
tidak ada lagi yang bisa dirundingkan dengan pemuda ini.
Nyatanya, ini kejadian jarang. Ribuan kali aku meminta air dan ialah orang
pertama yang menghalangi aksesku pada eliksir kehidupan.
Aku mengharapkan yang terbaik untuk dia, keluar, lantas berderap beberapa
ratus meter menaiki bukit. Kugunakan keran di tempat umum untuk mengisi
botolku. Keran seperti ini tersebar di seluruh kota, yang paling tua boleh jadi
sudah berusia ratusan tahun.
Ini kebenaran: air itu sangat menyegarkan dan
banyak tersedia. Dan tidak, tidak harus bayar.
Biar saya
luruskan: Air bukan komoditas. Air merupakan kebutuhan bagi segenap kehidupan.
Kita terbiasa dengan kenyataan bahwa air keluar dari keran dan lenyap di
saluran. Padahal tidak seperti itu hingga baru-baru ini. Selama hampir seluruh
sejarah umat manusia air merupakan bagian dari alam. Begitu pula kita.
Industrialisasi
dan urbanisasi menjadikan kita lupa aliran alami air. Sekarang ini, kita bangsa
barat memiliki akses mudah terhadap air bersih secara cuma-cuma—sementara
industri kita mencemari sumber alami air, seakan-akan tiada hari esok. Entah
nyata atau khayalan, ketersediaan air yang tercemar merupakan bisnis subur bagi
industri minuman. Apakah tidak jelas-jelas salah bahwa di sebagian dunia
sebotol Coca Cola harganya lebih murah daripada segelas air? Yang benar saja!
Air botolan itu barang terlarang bagi musafir tanpa uang, kecuali
diberikan sebagai hadiah. Saya lebih suka berkelana dengan botol awet yang
dapat diisi ulang, entah dari keran atau dispenser di toko, kantor, atau pom
bensin. Saya ulangi: Air itu kebutuhan. Bukan aib meminta air dari orang yang
memilikinya.
Saya menuruti peribahasa “Lain ladang, lain belalang. Lain
lubuk, lain ikannya.” Ini berlaku juga bagi air minum. Saya bukannya
menganjurkan untuk membangun jaringan akuaduk. Mudahnya begini: Kalau penduduk
setempat minum dari keran, berarti airnya aman diminum. Kalau mereka tidak
menganjurkan, airnya bisa difilter atau dididihkan dulu.
Fasilitas umum di banyak tempat menyediakan keran. Namun ada
peringatan: Biarpun orang-orang Hungaria berkerumun untuk memenuhi wadah mereka
dengan air belerang alami yang menyehatkan, kita mungkin berpikir dua kali
sebelum mengisi botol di Szeged. Betapapun menyehatkan cairan ini kemungkinannya,
bagi saya kelihatannya seperti benda hangat menjijikkan yang berbau seperti
tahi. Tetapi, kalau Anda tidak berkeberatan dengan itu, silakan saja! Egészségedre! Tidak
heran itulah bahasa Hungaria untuk “Selamat minum”.
Air di kawasan pegunungan biasanya bermutu tinggi. Sewaktu di
Turki saya pernah mengisi botol saya dari mata air yang dibuka pada akhir abad
kelima belas. Tidak ada bandingannya! Ada pula negara-negara yang air sungainya
dapat langsung diminum, contohnya Finlandia. Tetapi jangan lakukan ini di
tengah kota. Sebagian warga kota yang modern takut dengan air keran sehingga
mereka memilih untuk berkendara ke mata air yang jauh, demi memenuhi
kendi-kendi mereka dengan kesegaran alami tanpa dicemari zat-zat kimia.
Saat melancong ke Meksiko dan Amerika Tengah kami membawa
serta beberapa tabung penyaring air Life
Straw. Bagaimana kami memperolehnya tanpa uang? Kami tinggal menanyai
pabriknya, Vestergaard, kalau-kalau kami dapat memamerkan produk mereka dalam
perjalanan kami. Betapapun terbatasnya jangkauan kami, mereka senang
memanfaatkan kami sebagai baliho berjalan. Kami juga senang sekali dapat
terlibat dalam bentuk pemasaran gerilya ini sebab produk ini luar biasa. Asal
tahu saja, saya tidak memperoleh uang dari menyampaikan ini. Tinggal masukkan Life Straw ke kubangan, cicipi, dan
yakinlah 99.99 persen Anda tidak bakal sakit. Tidak pakai zat kimia ataupun
prosedur rumit.
Tentu solusi paling sederhana merupakan yang terbaik. Begitu
pula dengan purifikasi air. Sebagian penghuni perkampungan kumuh tinggal
melempar botol air PET transparan ke atap pagi-pagi, membiarkan matahari
memainkan sulapnya sepanjang hari, dan sorenya mereka memperoleh air layak
minum. Cara sederhana ini punya sebutan khusus: desinfeksi air solar[1].
Rasanya mungkin tidak begitu enak, tetapi bintang di tengah-tengah sistem tata
surya kita dapat membunuh sebagian besar kontaminan.
Mungkin
sudah jelas: Air bukan hanya penting untuk memuaskan dahaga tetapi juga untuk
membersihkan. Sampai-sampai air disebut sebagai pelarut universal. Ada lebih banyak partikel yang larut di air
daripada di cairan lain. Ketika tangan kita sangat kotor atau perabot terlalu
berminyak, pasir dan abu dapat membantu. Aroma kuat dan tajam—seperti ikan
mentah—dapat diseka dengan bubuk kopi bekas pakai.
Jadi, apakah kita benar-benar membutuhkan banyak produk
kebersihan yang tersedia di rak-rak supermarket? Dalam bukunya, The Moneyless Manifesto, Mark Boyle mengambil
sikap yang amat kritis:
“Kita cenderung
mengaitkan ketiadaan uang dengan bau badan, napas busuk, pakaian dekil, pantat
kotor, dan sekujur badan lengket. Sejauh mana kita meyakininya sebagai
kebenaran secara langsung berkorelasi dengan sejauh mana pikiran kita telah
sepenuhnya dikuasai dan dimanipulasi yang seperti Johnson & Johnson,
Procter & Gamble, serta Unilever, yang semuanya tidak henti-henti
menyorongkan produk baru mereka pada kita yang mau tidak mau dianggap sebagai
upaya altruistis murni untuk menjadikan hidup kita agak sedikit lebih bersih.
Tampaknya, sebelum mereka muncul dengan merek-merek mereka yang sebersih
kristal—yang melihat dari iklan-iklan mereka paling-paling terbuat dari mawar,
debu emas, berlian, rambut kemaluan bidadari perawan, cinta, perasan limau
segar, serta natrium dodesil sulfat—aroma kita baunya sampai ke langit
ketujuh.”[2]
Ada yang mau pasta gigi dari tulang ikan? Buku Mark bacaan
sempurna bagi orang-orang yang ingin membuat sendiri produk alternatif secara
bebas dan alami. Karena kebiasaan serta pengondisian sosial, saya menggunakan
sabun dan sampo ketika ada namun tidak pernah membawanya di ransel. Di
tempat-tempat beriklim hangat dan dekat dengan sumber air alami—seperti danau,
sungai, dan laut—saya lebih suka mandi tanpa menggunakan sabun dan sampo.
Sampo berbahaya bagi kulit kepala dan menghalangi pembentukan
minyak alami yang melindungi rambut kita. Kalau kita berhenti menggunakan sampo,
selama dua atau enam minggu rambut kita akan terasa berminyak. Ini karena kulit
kepala kita jadi bekerja secara berlebihan setelah kebergantungan terhadap
sampo. Setelah masa penyesuaian, keadaan akan biasa lagi. Bukan berarti kita
tidak perlu keramas. Kita harus keramas! Hanya saja cairan pembersih yang
benar-benar kita butuhkan cuma air.
Aku sedang berada
di Panama. Akhirnya berlalu empat hari berpeluh mencari tebengan. Badanku bau
dan aku berusaha mencari tempat mandi. Setelah bersusah payah memohon-mohon dan
meyakinkan, aku diberi izin untuk mandi di salah satu bilik kotor di kantor
polisi setempat. Kamar mandi tersebut tidak lebih daripada sebuah pipa yang
menjulur dari dinding, bukan pancuran sebenarnya. Tetapi pada waktu itu rasanya
bagai kemewahan.
Tidak lama setelah itu kebetulan aku bertemu seorang aktivis Amerika, Rob[3],
yang belum mandi setahun. Anehnya ia tidak begitu bau. Kami punya satu
kesamaan: tidak pernah menggunakan deodoran, after-shave, ataupun perlengkapan mandi lainnya yang tidak penting.
Tetapi aku tidak pernah membayangkan kemungkinan menolak kesempatan untuk
mandi.
Sekarang saudara aktivis ini menceritakan padaku betapa ia selalu mencari
sumber air alami untuk mandi. Di kota cukuplah mandi dengan ember. Pada
kesempatan seperti itu, ia hanya menggunakan seember air sekali mandi.
Inspiratif.
Deodoran
merupakan produk kebudayaan barat lainnya. Ketika ketiak saya mulai ditumbuhi
rambut halus, saya diberi tahu untuk pakai deodoran. Karena itu, selama
bertahun-tahun saya menurut dan menerima begitu saja bahwa setiap orang
menggunakan benda lengket itu. Ketika saya memutus kebiasaan tersebut, saya
merasakan baunya sampai berminggu-minggu. Setelah itu aroma tubuh saya entah
bagaimana berubah atau saya terbiasa saja dengan aromanya. Saya berharap yang
lainnya juga melakukan ini. Setidaknya saya tidak menerima perkataan tidak
menyedapkan. Mungkin sudah dimaklumi penebeng itu biasanya agak bau. Meski
begitu, saya berpendapat cukuplah mandi dan ganti baju dua hari sekali. Ini
bukan sekadar polah seorang aktivis muda. Ketika saya memberi tahu ibu saya
bahwa sudah setahun saya tidak menggunakan deodoran, ia menjawab: “Terus
kenapa? Sudah dua puluh lima tahun aku tidak pakai.”
Perilaku
kita terhadap produk-produk kebersihan bergantung kepada budaya. Misalnya saja,
siapkah Anda berhenti menggunakan tisu toilet? Teman saya orang Sri Lanka
pernah menanyakan: “Kalau seluruh badanmu saja kamu mau membersihkannya, kenapa
tidak membersihkan bagian yang paling kotor?” Memang, itu masuk akal. Tetapi,
tidak memungkiri: saya budak dari pengondisian budaya. Kalau ada tisu toilet
tersedia, dengan senang hati saya memanfaatkannya, tanpa melupakan hutan yang
harus ditumbangkan demi melayani kecanduan saya.
Kadang-kadang saya mencuci pakaian menggunakan tangan dengan
sabun macam apa pun yang tersedia. Adakalanya saya biarkan laut yang mencucikan
lalu menggunakan pancuran di pantai yang diperuntukkan bagi turis untuk
membilas. Akan tetapi, sering kali, musafir tanpa uang ditawari akses gampang
ke mesin cuci di tempat kawan lama atau selagi menumpang tidur di tempat teman
baru. Bisa diperdebatkan apakah bentuk konsumsi bersama ini jatuh dalam
kategori hidup tanpa uang atau hanya memanfaatkan uang orang lain. Saya menghindari
perdebatan ini. Saya lebih mementingkan kepraktisan daripada taklid pada
prinsip-prinsip aneh saya.
Kalau Anda mencoba gaya hidup serupa, terserah di mana Anda
hendak menarik batasan. Selama Anda memutuskan untuk tinggal bersama orang
lain, akan ada saat ketika Anda mempertanyakan dedikasi Anda terhadap cara
hidup yang ganjil ini. Perlukah Anda sampai bau badan hanya untuk bersetia pada
aturan yang Anda buat sendiri? Atau malah, perlukah Anda pindah ke suatu
tempat, yang jauh dari peradaban, di mana Anda bisa betul-betul sendirian dan
bebas dari uang? Bagi saya, menjadi petapa tanpa uang bukan pilihan. Saya lebih
menikmati kehadiran saudara-saudari saya.
Namun alasan sebabnya bab ini tidak
lebih daripada “Secuil” itu penting: Anda boleh minum air, mandi, dan mencuci
pakaian kapan pun dan di mana pun ada kesempatan. Tidak ada keajaiban untuk
itu. Sama halnya dengan melepaskan produk-produk kebersihan yang tidak Anda
butuhkan. Mudah nian!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar