Sekarang Minggu
di Friedrichshain, Berlin, Jerman. Lautan manusia terapung-apung dalam flat
seluas 52 meter persegi. Sekitar tiga puluh mulut yang lapar berliur saat para
tamu menanti-nanti makanan gratis yang kami janjikan pada mereka.
Toko bahan makanan hanya berjarak 200 meter dan tempat sampahnya diluapi
oleh makanan kemasan, sayuran bersih, buah-buahan, makanan yang tinggal
dipanaskan, daging, roti, dan produk susu-susuan—setiap hari. Malah tamu harian
kami, sekitar 10 sampai 15 musafir, tidak cukup untuk menghabiskan semua yang
kami temukan secara cuma-cuma. Inilah sebabnya kami mengundang sekelompok orang
dari komunitas Couchsurfing untuk berbagi cinta.
Walaupun sebagian besar orang asing dengan satu
sama lain, obrolan riang bersemangat hadir di sekitar. Dapur dikabuti aroma
yang memikat. Lima pemuda tengah menyiapkan pesta malam ini. Kami mengenal
sebagian dari mereka. Sebagian lagi baru mampir. Tidak ada pembagian tugas di
sini. Yang bisa masak, masak. Yang ingin bantu-bantu, membersihkan.
Setiap orang mendapatkan jatahnya: pilihan
sehat bagi para vegetarian dan juga bagi mereka yang menggemari santapan Jerman
yang lebih tradisional. Tumpukan roti, pastri, irisan daging beku, dan aneka
keju dibawa ke ruang tamu. Dua kulkas disarati makanan dan ada lebih banyak
lagi yang bertumpuk dalam kardus-kardus di lantai. Bahkan para perokok di
balkon perlu berhati-hati supaya tidak menginjak makanan beku. Blender yang
sudah kepanasan tidak mendapat istirahat dari tugasnya membuat jus.
Piring-piring penuh makanan akhirnya disajikan kepada orang-orang yang
kelaparan. Mereka makan dengan lahap. Kami sebagai tuan rumah mengamati
kerakusan ini dengan geli dan gembira. Tujuan kami malam ini jelas: Mari kita habiskan
semua makanan ini sebelum busuk, sehingga kami bisa memulung dari bak sampah
lagi.
Belum lama
lalu, ada masa ketika semua makanan yang dikonsumsi rumah tangga ditanam
sendiri, diperoleh dari pemberian, atau dikumpulkan dari alam sekitar. Akan
tetapi, manusia modern agaknya mengira bahwa tidak ada cara selain membeli
makanan. Ada hubungan yang putus antara apa yang kita masukkan ke mulut dan
asal muasal makanan. Tidak ada hubungan, tidak ada penghormatan.
Bangsa
saya, orang-orang Finlandia, tidak terkecuali. Namun kami masih menjaga
sebagian tradisi lama yang baik serta menghormati alam hingga taraf tertentu.
Hutan kami yang tidak habis-habis sarat akan beri-berian dan aneka jamur yang
lezat dan bergizi. Mengambili beri dan jamur bisa dibilang merupakan Hak Setiap Orang (Everyman's Right)—seperangkat hak tradisional, yang pada kenyataannya bebas hukum, untuk
melindungi akses setiap orang pada alam. Untuk hidup di dalamnya dan hidup dari
padanya, tanpa perlu meminta izin pemilik lahan.
Ada sekitar 200 jamur yang bisa dimakan di hutan
Finlandia—saking banyaknya sampai-sampai sebagian besar membusuk di tanah.
Mantan pacar saya dari Polandia senang pergi ke Finlandia untuk memetik jamur
sebab mereka punya tradisi yang sama. Setelah itu ia mengatakan: “Tapi ada yang
berbeda. Di Finlandia kita tidak usah berpindah tempat supaya keranjang penuh.
Kita tinggal datang, ambil, dan pergi.”
Ada lagi perbedaan budaya yang lain. Jamur yang lezat di
Italia boleh jadi tidak diacuhkan oleh orang Finlandia. Demikian juga, jamur
yang di negara-negara lain dianggap beracun dan sama sekali dihindari,
merupakan kelezatan yang terbaik di Bulgaria dan Finlandia[1]
(setelah direbus sebentar kemudian dibilas tiga kali sebelum disiapkan).
Tentu saja bukan hanya beri dan jamur bentuk gizi yang
tersedia cuma-cuma di alam. Sayuran liar merupakan tanaman yang bisa dimakan.
Sayuran liar mengandung rasa dan gizi paling banyak ketika masih muda. Karena
itu, kalau mungkin baik juga untuk mengeringkan sebagian dan menyimpannya untuk
dimakan nanti.
Sayuran liar berbeda-beda di tiap daerah sehingga dibutuhkan
kearifan lokal sebelum mengumpulkan makanan dari alam liar. Ada ribuan sayuran
liar yang dapat dimakan—di antaranya jelatang, gobo, terang bulan, ekor kucing,
semanggi, dandelion, chamerion,
rumput laut hijau, ganggang laut cokelat, aneka kacang, bahkan kaktus pir berduri.
Internet, buku, dan kursus merupakan sumber yang baik untuk memperoleh
pengetahuan purba yang telah hilang dari kebanyakan manusia ini.
Boleh jadi Anda juga ingin menggunakan internet untuk mencari
tempat umum atau kebun pribadi yang dapat dikunjungi dan dipanen oleh siapa
saja. Di Finlandia orang telah membuat peta sendiri untuk berbagi informasi ini[2].
Di Portugal ada tanggal tertentu ketika jeruk-jeruk yang masih berada di
pepohonan boleh diambil siapa saja.
Di Meksiko kami belajar
untuk mengumpulkan sebagian besar makanan kami dari mana-mana. Ketika musim
mangga kami mengumpulkan buah surgawi ini dari tanah tempatnya dibiarkan
membusuk, dalam jumlah gila-gilaan. Kami dapat mengenali delapan dari enam
belas varietas mangga Meksiko, yang tiap-tiapnya memiliki rasa memikat yang
berlainan.
Kami bahkan belajar cara memancing seperti penduduk setempat. Sebuah toko
khusus memberi kami benang pancing, kait, dan pemberat secara cuma-cuma yang
kami gabungkan dengan botol plastik kosong yang berfungsi sebagai gelendong
swakriya.
Kami mengikis umpan dengan pisau—sejenis siput
laut yang melekat pada bebatuan pantai. Malah sebagian umpan tidak kami bagi
pada ikan tetapi ditelan sendiri dengan perasan limau. Pastinya, ini hidangan
laut yang segar!
Setelah mencamil kami mulai memancing. Segala
jenis makhluk berwarna-warni melahap umpan kami. Entahlah apakah semuanya dapat
dimakan. Tidak ada yang bisa kami mintai petunjuk sehingga kami hanya punya
satu cara untuk mencari tahu: dengan merasainya.
Kami membuat api unggun di pantai dan membakar
tangkapan kami, sembari duduk di bawah tetumbuhan palem, memandangi matahari
terbenam, dan menghirup angin laut yang sepoi-sepoi. Surga!
Tiap daerah punya kebiasaan dan peraturan masing-masing. Cara
paling mudah untuk mengetahuinya adalah dengan menanyai penduduk setempat.
Kalau Anda melihat ada orang berada di kebun penuh buah dan sayur, tidak
apa-apa bertanya kalau-kalau Anda boleh memintanya. Biasanya orang senang saja
menyingkirkan sesuatu yang terlalu banyak mereka miliki.
Selama beberapa tahun belakangan ini media barat mulai
memberi perhatian pada penghamburan makanan. Bisa dibilang karena ini juga
organisasi-organisasi masyarakat dan nirlaba mulai bangkit ke arah ekonomi
berbagi. Tetapi sering kali masyarakat sendiri yang bergerak. Sebagian
lingkungan perumahan serta kompleks apartemen mengadakan titik pembagian
makanan tempat orang dapat meninggalkan kelebihan makanan dan siapa saja dapat
mengambil seperlunya. Beberapa distrik membuat grup Facebook yang didedikasikan
untuk jaringan berbagi makanan. Kalau yang seperti ini belum ada di tempat
tinggal Anda, jangan ragu untuk membuatnya, secara cuma-cuma!
Aku dan temanku
berada di belakang supermarket, sedang mengintip isi bak sampah. Kami siap akan
harta karun. Ransel kami masih kosong. Teman sesama pemulung bak sampah tiba-tiba
muncul. Ia menyarankan kami untuk beralih dari bak sampah itu dan datang ke
tempatnya saja, yang tepat berada di sebelah. Dengan bingung, kami
mengikutinya.
Ia telah membuat titik pembagian makanan di koridor gedung apartemennya.
Bentuknya berupa kotak kardus cokelat sederhana yang tiap hari diisinya dengan
hasil bumi yang segar. “Datanglah ke sini kapan saja, kalau tidak menemukan
apa-apa di tempat sampah,” ia bertitah dan memberi kami kode pintunya.
Kali berikutnya ia mengundang kami ke
apartemennya di lantai atas. Permukaan meja tertutup oleh buah, sayur, roti,
dan permen. Ia mengosongkan isi kulkas langsung ke ranselku: daging pinggang
babi, keju biru, sosis, irisan daging beku, daging babi asap …. “Sudah cukup,”
kataku untuk menghentikan dia. Aku hampir tidak bisa menutup ranselku saking
penuhnya.
Kenalan baru ini tinggal bersama ibunya dan mereka berdua tidak mungkin
menghabiskan semua yang diambilnya dari tempat sampah. Ia ingin berbagi.
Bagi
orang-orang yang terbiasa dengan kekurangan yang dibuat-buat, budaya berbagi
itu asing. Artinya bahwa meskipun alam menyediakan segala hal berlimpah-limpah,
label harga yang dibuat-buat meniadakan akses ke sumber daya ini bagi mereka
yang tidak memiliki cukup uang.
Di Jerman berbagi makanan itu sangatlah populer. Di
tempat-tempat umum ada titik pembagian makanan yang dikelola, dijaga, dan
ditata. Situs foodsharing.de dibuat agar menjadi saluran jaringan penyebaran
makanan yang efisien begitu pula sebagai sarana bagi pemilik toko untuk berbagi
kelebihan[3].
Puluhan ribu kilo makanan yang masih layak dikonsumsi bergerak pada mereka yang
membutuhkan. Hidup bukan lagi sekadar sesuap nasi. Alih-alih, berbagi dengan
menyuapi.
Banyak organisasi nirlaba dan gereja yang mengadakan “antrean
makanan” setiap minggu—titik-titik pembagian kelebihan makanan yang dikumpulkan
dari toko-toko roti dan warung-warung bahan pangan. Kegiatan ini masih
mengandung stigma memalukan. Sebagian orang menganggap bahwa hanya orang miskin
yang menerima makanan gratis. Kenyataannya lain. Mulai dari mahasiswa,
pensiunan, orang tua tunggal, sampai penganggur mengantre demi makanan.
Biasanya, orang tidak perlu memberikan bukti ketidakmampuan finansial dirinya
untuk memanfaatkan layanan ini.
Saya sendiri tidak pernah ikut mengantre makanan sebab saya
punya cara lain untuk mengisi perut. Kebalikannya, sering kali saya menerima
begitu banyak makanan sehingga akhirnya saya bagi-bagikan. Ternyata mengadakan
titik pembagian makanan dadakan itu cukup makan waktu dan energi. Orang-orang
mencurigai makanan gratis. Cara terbaik untuk mengubah keingintahuan yang
berhati-hati menjadi penerimaan ialah dengan mengonsumsi sendiri makanan
itu—untuk menunjukkan bahwa tidak ada masalah.
Kalau Anda berminat melakukan ini dengan cara yang sedikit
lebih terorganisasi dan dengan lebih banyak orang Anda dapat berpartisipasi
dalam Food Not Bombs[4].
Gerakan mendunia ini membagi-bagikan lagi makanan gratis bagi yang membutuhkan.
Saya pernah ikut memprakarsai Food Not Bombs di Polandia dan Meksiko. Di
Guatemala kami tidak dapat menemukan kelompok semacam ini, sehingga kami
sendiri yang memprakarsai dan mengelola acara itu.
Prakarsa akar rumput ini berasal dari
tahun 1970-an untuk menunjukkan bahwa memberi makan orang secara cuma-cuma
merupakan cara yang lebih baik untuk menciptakan perdamaian daripada
menghabiskan sejumlah besar uang untuk menyokong adu senjata. Saat
berpartisipasi saya tidak memiliki agenda politis. Bagi saya acara seperti ini
merupakan pengisi waktu yang baik dengan menyelamatkan makanan dan mengejutkan
orang secara positif.
[3] Platform ini telah memungkinkan 13.000 pemulung makanan
menyelamatkan lebih dari 30.000 kg makanan. Keberhasilan proyek ini kini telah
berkembang menjadi jaringan seluruh dunia: https://project.yunity.org/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar