Di dunia
ini kita menghabiskan makanan dalam jumlah gila-gilaan. Barangkali bak sampah
supermarket merupakan peti harta karun terbesar bagi orang yang berharap dapat
makan tanpa uang. Singkirkan bayangan bak sampah yang penuh tikus. Biasanya
yang disebut “makanan sampah” ini di dunia barat bersih dan dibungkus plastik.
Kalau di toko ada satu kantung berisi sepuluh jeruk yang
salah satunya telah jelek, mereka membuang seluruh kantung itu. Memulung bak
sampah merupakan cara bagus untuk mengurangi penghamburan makanan dan memberi
makan bukan hanya diri kita sendiri melainkan lebih banyak orang.
Temanku memarkir
mobilnya di halaman belakang supermarket. Kami duduk di mobil mengamati petugas
toko yang sedang bekerja keras: membawa keluar banyak makanan layak konsumsi
sampai berkeringat bak atlet.
Segera setelah ia menyudahi tugasnya kami
cepat-cepat berlari ke bak sampah itu membawa tiga kantung plastik. Pintu
masuknya terbuka sedikit. Akses mudah. Dalam tiga menit saja kantung kami telah
penuh sayur, buah, pastri, roti, jus—bahkan yang jarang-jarang seperti kopi dan
pasta. Kami hanya mengambil seperlunya dan meninggalkan entah berapa banyak
makanan layak konsumsi di bak sampah itu.
Sekarang
ini banyak bak sampah berada di tempat terkunci. Pemulung bak sampah perlu tahu
titik terbaik atau memeriksa tempat sampah selama jam buka sementara pintunya
masih terbuka. Kalau kebetulan Anda bertemu staf di halaman belakang Anda bisa
memberitahukan maksud Anda: menyelamatkan makanan.
Sebagian
karyawan mungkin setuju dengan Anda betapa gilanya membuang makanan yang masih
bagus. Mereka mungkin tidak akan menyambut Anda dengan karpet merah tetapi
paling tidak membiarkan Anda memulung. Sebagian akan mengusir Anda. Dalam
keadaan seperti itu yang sopan adalah menurutinya. Jangan sampai menimbulkan
masalah bagi mereka.
Saya belum pernah mendengar ada kejadian karyawan memanggil
polisi. Petugas toko tidak menghendaki publisitas demikian. Lebih baik
orang-orang tidak tahu tentang kebijakan yang tolol serta jumlah makanan yang
mereka buang.
Ada
beberapa grup Facebook yang berlokasi di kota tertentu di mana kita bisa
mempelajari titik-titik yang bagus dan malah mendapatkan teman. Para pemulung bak
sampah memiliki situs Trashwiki[1]
tersendiri. Situs tersebut mengandung aneka tip sesuai dengan lokasi serta
informasi umum. Sebagian pemulung lebih suka berbagi info hanya dengan
teman-teman terdekat. Ini biasanya karena sebelumnya ada pengalaman bak sampah
jadi digembok setelah diketahui oleh terlalu banyak orang.
Sumber buah dan sayur sisa lainnya yang bagus adalah pasar
rakyat. Dekatilah pedagang satu jam sebelum mereka tutup dan bisa jadi Anda
mendapat suguhan. Adakalanya orang-orang ini berupa tukang roti, petani, atau
nelayan—atau saudara mereka. Mereka sangat menghargai makanan dan lebih suka
melihatnya dimanfaatkan.
Selama
Anda punya akses ke dapur, dan tahu tata krama, saya menganjurkan Anda untuk
mencoba memulung bak sampah. Daripada pergi ke dalam toko, lihatlah yang ada di
belakangnya. Cara ini lebih ekologis, lebih cepat, dan menyenangkan daripada
membandingkan harga dari gang ke gang di supermarket. Selain itu, penemuan
membangkitkan kegembiraan.
Ada juga yang memperoleh makanan super mahal dari bak sampah,
toh tidak ada yang sanggup membayar harganya yang luar biasa. Walaupun sering
kali yang dibawa pulang itu roti, sayur, dan produk susu-susuan, adakanya lima
kilo keju Perancis kualitas papan atas dan seratus batang cokelat menyertai.
Setidak-tidaknya, kelimpahan tak terhingga merupakan bagian dari keseharian
pemulung bak sampah.
Kita telah terbiasa menjadi konsumen. Dengan label yang
dibuat-buat ini kita menjadi mampu untuk memilih dengan begitu saja. Kita
menganggap wajar—malah hak kita—untuk menentukan apa pun yang kebetulan kita
inginkan dari suatu pilihan dan ragam ribuan barang.
Bagi pemulung bak sampah menunya tidak direncanakan dari
seminggu sebelumnya. Makanan lezat disiapkan secara spontan menurut bahan yang
kebetulan ditemukan pada waktu kapan saja. Cara memasak seperti ini hampir
sebentuk seni. Walaupun barang temuan sekarang ini berupa bahan-bahan yang
tidak alami, produksi mesin yang dibungkus plastik, filosofi menggunakan yang
kebetulan ditemukan dekat dengan budaya purba pengumpul-pemburu.
Kalau sekarang Anda bersemangat untuk memulung dari bak
sampah, ingatlah untuk menjaga kebersihan. Jangan membuat kekacauan! Saya tidak
merekomendasikan memanjat pagar besar, memecahkan, membuka, atau mengisi gembok
dengan lem—sekalipun akan mudah untuk mengakses tempat itu lagi kali
berikutnya. Ingatlah bahwa Anda mewakili semua pemulung bak sampah saat Anda
turut serta dalam wujud perburuan makanan di era modern ini.
Memang memulung dari bak sampah bukanlah cara menyetok
makanan yang berkelanjutan atau berswadaya. Hobi ini dimungkinkan hanya karena
distribusi makanan yang tidak efisien dewasa ini. Kita menghasilkan makanan
untuk kebutuhan sepuluh miliar orang. Sebagiannya terbuang percuma.[2]
Selain itu, memulung dari bak sampah tidaklah ideal dalam
segala situasi. Ketika Anda berada dalam perjalanan, Anda mungkin tidak
memiliki sarana untuk mencuci, memasak, dan menyimpan makanan. Kalau Anda
sekadar ingin makan lalu pergi, maka memulung dari meja di tempat makan
merupakan opsi yang lebih baik. Pada dasarnya ini berarti memakan sisa orang
lain. Tempat terbaik untuk melakukan ini adalah pom bensin, pujasera, dan
restoran yang mana banyak orang datang dan pergi. Sebagian orang punya
kebiasaan aneh menyisakan makanan di piring, sering kali belum disentuh.
Cepatlah ambil sebelum ada yang mengumpulkan dan membuangnya!
Apalagi kalau Anda nomad modern, yang terus-terusan
bepergian, cara paling mudah untuk mendapatkan makanan adalah dengan
memintanya, misalnya dari restoran. Saya biasanya meminta sisa tetapi sering
kali menerima bagian yang masih segar. Entah mereka sudah membuang makanan sisa
atau menganggap bahwa tidak bermartabat memberikan “makanan sampah” untuk
dikonsumsi manusia.
Ada ironi
dalam hal ini: segera setelah saya melepaskan uang, saya mulai makan di luar
jauh lebih sering daripada sebelumnya. Sering kali pola makan saya lebih baik
daripada raja-raja abad pertengahan, begitu pula mereka yang bertahan hidup
dengan bahan-bahan pangan paling murah. Saya jijik dengan benda hambar tidak
sehat yang dianggap makanan oleh toko-toko. Barang seperti itu sama sekali
tidak ada nilai gizi yang sebenarnya.
Jangan
salah mengira tempat-tempat kelas atas tidak terjangkau oleh musafir tanpa
uang. Semakin mahal tempatnya, biasanya semakin banyak yang mereka buang. Yang
bekerja di sana manusia juga. Saya telah menerima makanan dari hotel-hotel
megah begitu pula warung-warung di jalan, juga tempat-tempat yang menjual
hamburger dan piza. Saya makan yang tersedia, baik dari orang-orang biasa
maupun dari tempat-tempat makan terbaik dengan taplak meja berwarna putih.
Saya mengangkat kepala dan melangkah untuk menyalami staf
dengan senyum lebar. Saya memperkenalkan diri dan menjabat tangan mereka,
mensyukuri waktu yang mereka berikan. Saya memberi tahu mereka saya berkelana
tanpa uang dan meminta makanan sisa—atau makanan apa pun yang dapat mereka
sisihkan secara cuma-cuma.
Sering kali mereka bingung sejenak kemudian memeriksa dapur.
Kadang saya diberi tahu bahwa manajernya sedang tida ada dan mereka tidak dapat
membuat keputusan. Sekiranya itu terjadi, saya berterima kasih pada mereka dan
pergi. Respons semacam ini biasanya berarti mereka takut kehilangan pekerjaan
jika memberikan makanan. Ini bisa dimaklumi. Seperti yang telah dikatakan,
mereka hanyalah manusia yang berusaha untuk mencari nafkah.
Kalau manajernya ada, saya mesti mengulangi cerita saya.
Sering kali si manajer meminta saya untuk duduk lalu membawakan sekotak makanan
untuk dibawa pergi. Yang terakhir ini mengandung makna tersembunyi: silakan
makan di luar.
Kalau Anda tidak mampu berkomunikasi dengan lancar dalam
bahasa setempat, Anda bisa meminta orang setempat yang mengerti bahasa Inggris
untuk menuliskan di selembar kertas ringkasan permintaan Anda berikut
alasannya. Bagi saya pendekatan ini
berhasil sehingga teman-teman seperjalanan saya menyebutnya “kertas ajaib”.
Bagi
kebanyakan orang, meminta bantuan itu berat. Pada waktu tertentu dalam hidup
telah tertanam dalam benak Anda bahwa Anda harus berupaya sendiri, bahwa Anda
tidak semestinya bergantung kepada orang lain. Akan tetapi, jika kita melihat
diri kita sebagai bagian dari alam, hal ini fantasi belaka. Di alam, segalanya
saling bergantung. Apalagi jika Anda senang membantu yang kesusahan, Anda juga
patut meminta bantuan.
Memang awalnya sulit. Perilaku yang telah dipelajari tidak
dapat berubah dengan sendirinya. Perilaku itu perlu ditinggalkan kemudian
diganti dengan perilaku baru. Saya masih ingat pertama kali saya meminta
makanan gratis:
Waktu itu awal perjalananku dari timur laut Finlandia ke Portugal. Aku
diturunkan di pom bensin. Aku lapar. Ada kedai hamburger. Aku mengambil
keputusan dan, setelah bimbang sejenak, aku mengumpulkan keberanian dan
berderap masuk. Aku bertanya apakah mereka menyediakan makanan bagi musafir
tanpa uang. Tidak, mereka tidak menyediakannya. Aku pun mundur keluar dari
pintu dan berpikir: Ya ampun, ini tidak akan berhasil.
Seandainya
saya berhenti di situ, setelah upaya pertama yang tak berhasil, saya tidak akan
mengalami segalanya yang sudah ditakdirkan untuk saya. Anda juga tidak akan
membaca buku ini sekarang.
Saya melanjutkan pencarian saya berbulan-bulan berikutnya.
Sering kali jawabannya masih negatif namun adakalanya mereka menjawab, “Tentu,
duduklah. Akan saya bawakan makanan.” Sedikit demi sedikit saya semakin percaya
diri. Saya memafhumi bahwa kontrak saya dengan alam semesta amat berbeda dengan
yang dimiliki orang lain—bahwa saya tidak bisa dan tidak sebaiknya mengusik
jawaban itu. Yang bisa saya lakukan hanya bertanya. Mereka yang berhadapan
dengan permintaan saya biasanya terkejut. Wajarlah, mereka harus bereaksi
terhadap situasi baru. Permintaan saya memberi mereka kesempatan untuk menolong
tetapi tentu saja mereka tidak berkewajiban memenuhinya. Saya semestinya
bersyukur atas mereka, terlepas dari hasilnya.
Biarpun
begitu, bagaimanapun tingginya filosofi Anda dalam berhubungan dengan orang
lain, sangatlah sulit untuk tetap positif ketika sedang kelaparan.
Kami baru saja
melewati malam yang agak sulit di pinggiran Oaxaca de Juárez, Meksiko. Naungan sementara kami berada di
suatu lokasi pembangunan tempat kami berbaring dengan bau kotoran manusia dan
tidak bisa tidur akibat lolongan anjing-anjing liar, badai petir, serta
kendaraan yang melintas.
Aku terjaga dengan gelisah. Tingkat gula
darahku rendah. Suara berdeguk dari perutku mendesak supaya aku lekas-lekas
sarapan.
Kami berkeliaran di jalanan dan meminta makanan, mendatangi restoran satu
demi satu. Tidak ada satu pun yang mau berbagi. Biasanya, ini karena aku tengah
memancarkan energi negatif. Apakah aku menyadarinya? Tidak. Aku cuma
menyalahkan yang lain, seraya merasa semakin jengkel. Aku gagal memaklumi
mereka tidak ada kewajiban untuk menolongku. Semakin banyak kami mendapatkan
jawaban “tidak”, semakin tumbuh rasa lapar dan frustrasi. Ini buah simalakama:
antara mengenyahkan gelembung kenegatifanku yang konyol atau terus kelaparan
dan merasa sengsara.
Baru setelah meluapkan beban kejiwaan dan
menarik beberapa napas dalam di pinggir jalan, kami dapat mengisi perut di
kedai piza setempat.
[2] Sebagai contoh, lihat http://www.huffingtonpost.com/eric-holt-gimenez/world-hunger_b_1463429.html
Teks asli dalam bahasa Inggris dapat diunduh di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar