Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Andrew Driver (6) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (274) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yasutaka Tsutsui (6) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

The Moneyless Manifesto: Budaya Uang (Mark Boyle, 2012)

Berlawanan dengan kerangka waktu linear yang dicekokkan narasi kebudayaan kini pada kita, hidup adalah serangkaian siklus. Terlebih lagi, s...

20231006

The Big Sleep - 2 (Raymond Chandler, 1939)

Melalui pintu berdaun ganda itu kami keluar dan menyusuri jalan halus berbendera merah mulai dari garasi, melewati tukang kebun di kejauhan. Si sopir bertampang awet muda kini telah mengeluarkan sedan krom hitam besar dan tengah membersihkannya. Jalan itu membawa kami ke samping rumah kaca. Si pelayan membukakan pintu untukku dan berdiri menyisi. Pintunya terbuka ke semacam ruang depan yang hampir sehangat oven lambat. Si pelayan masuk kemudian, menutup pintu sebelah luar, membuka pintu sebelah dalam dan kami pun melewatinya. Lalu hawanya menjadi benar-benar panas. Udaranya berat, lembap, dan beruap, ditambah aroma anggrek tropis mekar yang menusuk. Atap dan dinding kacanya berkabut sementara bulir-bulir besar uap lembap berjatuhan ke tanaman. Cahayanya kehijauan bagai buatan, seolah disaring melalui tangki akuarium. Tanaman memenuhi tempat itu, begitu rimbunnya, dengan daun-daun gemuk jelek dan batangnya seperti jari-jari mayat yang baru dibasuh. Aromanya memualkan seperti gelegak alkohol di balik selimut.

Si pelayan berusaha sebaik-baiknya membukakan jalan untukku supaya tidak terhantam oleh daun-daun yang kuyup, dan sesaat kemudian tibalah kami di lahan terbuka di tengah-tengah hutan rimba itu, di bawah atap kubah. Di sinilah, dalam ruang yang dilapisi batu lemping heksagon, terhampar karpet Turki merah usang dan di atasnya terdapat kursi roda, dan pada kursi roda itu duduk pria tua yang jelas-jelas tengah sekarat. Ia mengawasi kedatangan kami lewat sepasang mata sehitam batu bara yang sinarnya telah padam sejak lama sekali, namun masih mengandung ketajaman seperti mata dalam lukisan yang tergantung di atas rak perapian di ruang depan. Raut mukanya lesu, dengan bibir pucat, hidung mancung, pelipis cekung, serta cuping telinga yang mengarah ke luar hampir putus. Dalam hawa sepanas itu, tubuhnya yang tipis jenjang terbungkus oleh selimut serta jubah mandi merah kusam. Tangannya yang kurus serupa cakar terlipat lunglai di atas selimut, dilekati kuku berwarna ungu. Ikal rambutnya yang putih kaku menempel di kulit kepala, bagaikan bunga liar yang tengah berjuang hidup di atas batu gundul.


Si pelayan berdiri di hadapannya dan berkata: Ini Mr. Marlowe, Jenderal.”


Pria tua itu tidak bergerak ataupun berbicara, atau bahkan mengangguk. Ia hanya bergeming menatapku. Si pelayan menyorongkan kursi anyaman yang agak basah ke belakang kakiku dan aku pun duduk. Ia mengambil topiku dengan cekatan.


Lantas pria tua itu menimba suaranya dari dasar sumur dan berkata: “Brendi, Norris. Anda ingin brendinya disajikan bagaimana, sir?”


“Bagaimana pun boleh,” ucapku.


Si pelayan berlalu di antara tanaman yang jelek. Si Jenderal berbicara lagi lambat-lambat, mengerahkan kekuatannya dengan berhati-hati seperti gadis panggung pengangguran menggunakan satu-satunya kaus kaki miliknya yang masih bagus.


“Biasanya saya suka brendi saya ditambah sampanye. Sampanye sedingin Valley Forge[1] dengan takaran sekitar sepertiga gelas di bagian bawahnya. Anda boleh mencopot jas Anda, sir. Di sini udaranya gerah sekali bagi orang hidup.”


Aku pun bangkit, melucuti jasku, mengeluarkan saputangan, dan mengelap wajah, leher, serta bagian belakang pergelangan tanganku. St. Louis[2] pada Agustus tidak ada apa-apanya dibandingkan tempat ini. Aku duduk lagi dan sekonyong-konyong merasa ingin merokok namun tidak jadi. Pria tua itu melihat gerak tubuhku dan tersenyum samar.


“Anda boleh merokok, sir. Saya suka aroma tembakau.”


Aku menyalakan rokok dan mengembuskan asapnya pada pria tua itu. Ia menghirupnya bagai anjing terrier membaui lubang tikus. Senyumannya tertarik hingga sudut mulutnya yang gelap.


“Betapa menyenangkan bisa mengerjakan perbuatan buruk melalui perantaraan orang lain,” ucapnya hambar. “Anda tengah melihat keberlangsungan hidup ala kampung yang sangat membosankan, manusia cacat yang lumpuh kedua kakinya serta sebagian perut bagian bawahnya. Sangat sedikit yang boleh dimakan oleh saya dan tidur saya hampir tak ubahnya dengan terjaga sehingga hampir bukan tidur namanya. Sebagian besar hidup saya tampaknya bergantung pada panas, seperti bayi laba-laba saja, dan anggrek-anggrek itu dijadikan alasan untuk hawa sepanas ini. Anda suka anggrek?”


“Tidak secara khusus,” sahutku.


Si Jenderal memicingkan separuh matanya. “Mereka itu menjijikkan. Kelopaknya terlalu menyerupai daging manusia. Harumnya yang busuk beraroma pelacur.”


Aku melongo menatapnya. Hawa panas yang lembap tapi lembut ini bagaikan kabut menyelubungi kami. Pria tua itu mengangguk, seakan-akan lehernya cemas akan bobot kepalanya. Kemudian si pelayan datang kembali mendesak menembus rimba sambil membawa kereta minuman. Ia meracik brendi dan soda untukku, menyeka ember tembaga untuk es dengan serbet lembap, lantas berlalu perlahan di sela-sela anggrek. Kemudian terdengar pintu dibuka dan ditutup dari balik rimba.


Kusesap minuman itu. Pria itu itu menjilati bibirnya seraya memandangiku, berkali-kali, sambil perlahan-lahan menggesekkan kedua belahannya diiringi isapan menyedihkan, bagaikan pengurus pemakaman yang sedang menyeka kedua tangannya.


“Ceritakan tentang dirimu, Mr. Marlowe. Saya rasa saya berhak bertanya?”


“Tentu, tetapi sangat sedikit yang bisa diceritakan. Saya berusia 33 tahun, pernah kuliah dan masih mampu berbicara bahasa Inggris secara baik dan benar bila ada yang memintanya. Pengalamanku tidak banyak. Saya pernah bekerja untuk Mr. Wilde, Jaksa Wilayah, sebagai penyidik. Kepala penyidiknya, orang bernama Berni Ohls, meneleponku dan memberi tahu bahwa Anda ingin menemuiku. Saya tidak kawin sebab saya tidak menyenangi istri polisi.”


“Agak sinis pula,” pria tua itu tersenyum. “Anda tidak senang bekerja pada Wilde?”


“Saya dipecat. Karena membangkang. Saya pandai sekali membangkang, Jenderal."


“Saya sendiri selalu demikian, sir. Saya senang mendengarnya. Apa yang Anda ketahui tentang keluargaku?”


“Saya diberi tahu Anda ini duda dan memiliki dua putri, keduanya sama-sama cantik dan nakal. Yang satu sudah tiga kali menikah, pernikahan yang terakhir dengan bekas penyelundup minuman keras yang berbisnis atas nama Rusty Regan. Itu saja yang kuketahui, Jenderal.”


“Apakah menurutmu ada yang ganjil?”


“Bagian tentang Rusty Regan, barangkali. Tetapi saya sendiri suka bergaul dengan penyelundup minuman keras.”


Ia menyungging senyum samarnya yang irit. “Agaknya saya pun demikian. Saya sangat menyukai Rusty. Orang Irlandia bongsor berambut keriting dari Clonmel, dengan mata sendu dan senyum selebar Bulevar Wilshire[3]. Pertama kali melihatnya, saya mengira dia itu barangkali seperti yang boleh jadi Anda pikirkan sekarang, petualang yang secara tidak sengaja membungkus dirinya dalam beledu.”


“Anda pasti sangat menyayanginya,” ucapku. “Anda belajar berbicara dalam bahasanya.”


Ia menurunkan kedua tangannya yang kurus pucat ke bawah tepian selimut. Aku memadamkan puntung rokok dan menghabiskan minumanku.


“Ia napas kehidupanku--sewaktu ia masih ada. Ia menghabiskan waktu berjam-jam bersamaku, berkeringat seperti babi, sambil minum brendi banyak-banyak dan bercerita padaku tentang revolusi Irlandia. Dulunya ia tentara IRA[4]. Keberadaannya di Amerika Serikat bahkan tidak sah. Sudah tentu pernikahannya itu konyol, dan barangkali tidak bertahan sampai sebulan, sebagai pernikahan. Yang saya ceritakan ini rahasia keluarga, Mr. Marlowe.”


“Itu tetap rahasia,” kataku. “Apa yang terjadi padanya?”


Pria tua itu menatapku kaku. “Ia pergi, sebulan lalu. Tiba-tiba saja, tanpa memberi tahu siapa-siapa. Tanpa mengucap selamat tinggal padaku. Agak menyakitkan rasanya, namun ia dibesarkan di sekolah yang keras. Saya akan memperoleh kabar dari padanya dalam waktu dekat ini. Dalam pada itu lagi-lagi ada yang mau memerasku.”


Sahutku: “Lagi-lagi?”


Ia mengeluarkan kedua tangannya dari balik selimut bersama sepucuk amplop cokelat. “Semestinya saya merasa sangat menyesal terhadap siapa pun yang mencoba memerasku selagi Rusty ada. Bebeberapa bulan sebelum kedatangannya--kira-kira sembilan atau sepuluh bulan lalu--saya membayar pria bernama Joe Brody lima ribu dolar supaya berhenti mengganggu putri bungsuku, Carmen.”


“Ah,” sahutku.


Alisnya yang putih tipis bergerak. “Apa maksudnya itu?”


“Bukan apa-apa,” sahutku.


Ia terus menatapku, separuh mengernyit. Lalu ucapnya: “Ambillah amplop ini dan periksalah. Silakan diminum brendinya.”


Aku mengambil amplop itu dari lututnya dan duduk kembali. Kuseka kedua belah telapak tanganku dan membalik amplop itu. Alamatnya tertuju pada Jenderal Guy Sternwood, 3765 Alta Brea Crescent, Hollywood Barat, California. Alamat itu ditulis dengan tinta, dalam gaya miring serupa tulisan tangan insinyur. Amplop itu sudah dibelah. Aku membukanya dan mengeluarkan selembar kartu cokelat serta tiga helai kertas kaku kecil. Kartunya berbahan linen cokelat tipis, dengan tulisan berwarna emas: “Mr. Arthur Gwynn Geiger.” Tidak ada alamat. Di pojok kiri bawah tertera kecil sekali: “Buku-buku Langka dan Edisi Mewah.” Aku membalikkan kartu itu. Di belakangnya ada tulisan miring yang lebih panjang. “Tuan yang terhormat: Terlepas dari tidak tertagihnya hal terlampir, yang dengan terang mewakili utang perjudian, diharapkan kesudian Anda agar mengindahkannya. Dengan hormat, A. G. Geiger.”


Kutatap helaian kertas putih kaku itu. Ketiganya merupakan nota perjanjian yang telah diisi dengan tinta, bertanggal beberapa hari pada awal bulan lalu, September. “Atas Permintaan Saya berjanji untuk membayar Arthur Gwynn Geiger atau Menyediakan sejumlah Seribu Dolar ($1000,00) tanpa bunga. Nilai Diterima. Carmen Sternwood.”


Bagian yang ditulis tangan tampak lintang pukang dengan banyak lengkungan gendut serta titik yang dibikin berupa lingkaran. Aku mencampur sendiri minumanku, menyesapnya, dan menepikan ekshibisi tersebut.


“Kesimpulanmu?” tanya Jenderal.


“Belum ada. Siapa Arthur Gwynn Geiger ini?”


“Saya tidak tahu sama sekali.”


“Bagaimana menurut Carmen?”


“Saya belum menanyainya. Saya tidak hendak. Kalaupun saya tanyakan, ia akan mengisap jempolnya dan berlagak malu-malu kucing.”


Kataku: “Saya berjumpa dengannya di ruang depan. Itulah yang diperbuatnya padaku. Lalu ia mencoba-coba duduk di pangkuanku.”


Air mukanya tidak berubah. Kedua belah tangannya yang terkunci rebah dengan tenangnya di tepi selimut, sementara hawa panas, yang membuatku merasa bagaikan hidangan makan malam rebus ala New England[5], tampaknya tidak juga menghangatkannya.


“Haruskah saya bersikap sopan?” tanyaku. “Atau bolehkah saya bersikap apa adanya?”


“Kelihatannya Anda bukan orang yang suka menahan diri, Mr. Marlowe.”


“Apa kedua gadis ini suka bercengkerama bersama?"


“Saya rasa tidak. Saya rasa mereka pergi sendiri-sendiri melalui jalan yang berlainan ke neraka. Vivian manja, rewel, cerdas, dan cukup bengis. Carmen anak yang gemar mencabuti sayap lalat. Keduanya sama-sama tidak lebih bermoral daripada kucing. Begitu pula saya. Tidak ada seorang pun anggota keluarga Sternwood yang bermoral. Lanjut.”


“Keduanya berpendidikan, sepertinya. Mereka tahu yang mereka lakukan.”


“Vivian bersekolah di tempat yang bagus di lingkungan yang angkuh dan melanjutkan ke perguruan tinggi. Carmen bersekolah di separuh lusin tempat yang semakin toleran dari waktu ke waktu, dan ujung-ujungnya kembali ke semula. Sepertinya hingga kini mereka masih memiliki sifat buruk tersebut. Jika sebagai orang tua saya terdengar agak kejam, Mr. Marlowe, itu karena pegangan hidupku terlalu sempit untuk menyertakan kemunafikan masa Victoria.” Ia kembali menyandarkan kepala dan memejamkan mata, lalu membukanya lagi sekonyong-konyong. “Tidak perlu kutambahkan bahwa pria yang baru menjadi orang tua pada usia 54 pantas mendapat segala yang dimilikinya.”


Aku menyesap minuman dan mengangguk. Nadi di batang lehernya yang kurus kelabu tampak jelas berdebar, namun dengan lambat sehingga nyaris tidak menyerupai denyut sama sekali. Pria tua yang sudah dua per tiga mati namun masih terus percaya dirinya sanggup minum.


“Kesimpulanmu?” sentaknya tiba-tiba.


“Saya akan membayarnya.”


“Mengapa?"


“Jumlah itu kecil dibandingkan banyaknya gangguan yang mungkin terjadi. Mestilah ada apa-apanya di balik itu. Toh Anda tidak akan rugi apa-apa, jika uangnya belum dibayarkan. Lagi pula diperlukan banyak penipu dalam waktu lama untuk merampok Anda hingga Anda menyadarinya.”


“Saya punya harga diri, sir,” sahutnya dingin.


“Ada yang sudah memperhitungkan itu. Itu cara termudah untuk mengelabui mereka. Itu atau polisi. Geiger bisa saja menagih nota ini, kecuali Anda bisa menunjukkan adanya penipuan. Alih-alih, ia memberikan nota ini dan mengakuinya sebagai utang judi, sehingga Anda mempertahankan diri, sekalipun jika nota ini tidak diberikannya. Jika ia bajingan, ia sangat mengenali sasarannya, dan jika pun ia pria jujur yang menjalankan usaha kredit kecil-kecilan sebagai sampingan, ia mesti memperoleh uangnya. Siapa Joe Brody ini yang Anda beri lima ribu dolar?”


“Semacam penjudi. Saya tidak begitu ingat. Norris yang tahu. Pelayanku.”


“Kedua putri Anda pegang uang sendiri, Jenderal?”


“Vivian pegang, tapi tidak banyak. Carmen masih di bawah umur menurut surat wasiat ibunya. Keduanya saya beri tunjangan yang besar sekali.”


Ujarku: “Saya bisa menyingkirkan si Geiger ini, Jenderal, jika Anda menghendakinya. Siapa pun ia dan apa pun yang dimilikinya. Biayanya mungkin kecil saja, di samping yang Anda bayarkan padaku. Tentu saja Anda tidak akan rugi. Tidak akan pernah rugi menguangkan nota itu. Anda sudah terdaftar sebagai dermawan.”


“Saya mengerti.” Ia mengangkat bahunya yang tirus dan lebar di balik jubah mandi yang merah kusam. “Sebentar lalu Anda katakan untuk membayarnya. Sekarang Anda bilang saya tidak akan rugi.”


“Maksud saya boleh jadi akan lebih mudah dan gampang untuk menyanggupi saja pemerasan itu. Itu saja.”


“Sepertinya saya kurang begitu penyabar, Mr. Marlowe. Berapa tarifmu?”


“Perolehan saya 25 sehari ditambah pengeluaran--bila saya beruntung.”


“Saya mengerti. Tampaknya cukup masuk akal untuk mengangkat kutil yang tidak wajar dari punggung orang. Operasi yang sangat halus. Kuharap Anda berhasil. Anda akan menjalankan operasi dengan sesedikit mungkin kejutan bagi si pasien? Itu mungkin saja terjadi, Mr. Marlowe.”


Aku menandaskan gelas kedua lalu menyeka bibir serta wajahku. Hawa panasnya tidak juga berkurang setelah aku minum brendi. Si Jenderal mengejap padaku dan menariki tepian selimutnya.


“Bisakah saya membuat kesepakatan dengan orang ini, jika saya merasa ia bukan orang yang jujur?”


“Ya. Sekarang Anda yang mengurus persoalannya. Saya tidak suka berbuat setengah-setengah.”


“Saya akan mengenyahkan dia,” ujarku. “Ia akan mengira ada jembatan runtuh menimpanya.”


“Saya yakin Anda bisa. Sekarang saya mesti permisi. Saya lelah.” Ia menggapai dan menyentuh bel di lengan kursinya. Kawatnya dicolokkan ke dalam kabel hitam yang memuntir di sepanjang sisi kotak-kotak hijau gelap pekat berisi tumbuhan anggrek yang membusuk. Ia memejamkan mata, membukanya lagi sekejap dengan tatapan cerah, lalu rebah di antara bantal. Pelupuk matanya turun kembali dan ia tidak lagi mengacuhkanku.


Aku pun bangkit dan mencomot mantelku dari punggung kursi anyaman yang basah itu, dan berlalu di antara anggrek-anggrek. Aku membuka kedua pintu dan berdiri di luar mencari oksigen dalam udara Oktober yang dingin. Si sopir di dekat garasi telah pergi. Si pelayan muncul melewati jalur berhiaskan bendera merah dengan langkah ringan dan halus. Punggungnya setegak papan setrika. Kuangkat bahu untuk mengenakan mantel dan mengawasi kedatangannya.


Ia berhenti sekitar setengah meter di hadapanku dan berucap khidmat: “Mrs. Regan ingin bertemu sebelum Anda pergi, sir. Berkenaan dengan uang, Jenderal telah menyuruh saya memberikan Anda tanda terima untuk apa pun yang dirasa perlu.”


“Menyuruhmu bagaimana?”


Ia tampak bingung, lantas tersenyum. “Ah, saya mengerti, sir. Anda, tentunya, detektif. Omong-omong beliau tadi membunyikan bel.”


“Kau yang menulis tanda terimanya?”


“Saya punya hak untuk itu.”


“Semestinya itu dapat menghindarkanmu dari pemakaman orang miskin. Uangnya tidak sekarang, teirma kasih. Ada soal apa Mrs. Regan hendak menemuiku?”


Mata birunya menatapku lembut lagi kokoh. “Beliau salah paham mengenai tujuan kunjungan Anda, sir.”


“Siapa yang memberitahunya mengenai kunjunganku?”


“Jendela ruangannya mengarah ke rumah kaca. Beliau melihat kita masuk. Saya berkewajiban untuk memberitahunya tentang Anda.”


“Saya tidak suka itu,” sahutku.


Mata birunya membeku. “Apa Anda mencoba untuk memberi tahu tugas saya, sir?”


”Tidak. Namun saya senang sekali menebak-nebaknya.”


Sesaat kami bertatapan. Mata birunya menyorotku lantas berpaling.



[1] Kamp militer di tenggara Pennsylvania, sekitar 30 km barat laut Philadelphia, tempat Pasukan Kontinental melewatkan musim dingin 1777-78 selama Perang Revolusi Amerika Serikat

[2] Kota pelabuhan di negara bagian Missouri, Amerika Serikat. Saat musim panas hawanya panas dan lembap, bersuhu rata-rata 26,7C dan pernah mencapai 46C.

[3] Salah satu jalan arteri utama di Los Angeles, California

[4] Irish Republican Army, atau Tentara Republik Irlandia

[5] Makanan tradisional New England (kawasan timur laut Amerika Serikat), terdiri dari daging asap dan sayur-sayuran

Tidak ada komentar: