Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (4) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (4) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (230) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

Welcome to the N. H. K. Bab 02 Jihad Bagian 1 (Tatsuhiko Takimoto, 2007)

Beberapa bulan setelah malam aku memutuskan untuk melawan NHK, aku melongok lewat jendela apartemenku ke taman di seberang jalan. Pohon sak...

20140513

A & P (John Updike, 1961)

Melangkah tiga orang cewek yang tidak mengenakan apapun selain baju renang. Aku di kasir urutan ketiga, punggungku menghadap ke pintu, jadi aku tidak melihat mereka sampai mereka melewati rak roti. Yang menarik perhatianku mula-mula adalah cewek berbikini hijau kotak-kotak. Dia gemuk dan pendek, dengan kulit cokelat yang bagus, dan bokong lebar di puncak bagian belakang kakinya. Di bawah bokongnya terdapat sepasang bulan sabit yang tampak lembut dan indah, sepertinya tidak pernah kena sinar matahari. Aku mematung sementara tanganku memegang sekotak biskuit HiHo, mengingat-ingat apakah aku sudah membunyikannya atau belum. Aku membunyikannya lagi dan si pembeli mulai jengkel. Dia ini semacam pengamat mesin-kasir, seorang penyihir yang usianya sekitar lima puluhan tahun dengan pemerah di tulang pipinya dan tanpa alis. Aku mengerti kesenangannya adalah mencari-cari kesalahanku. Dia telah menjadi pengamat mesin-kasir selama setengah abad dan kemungkinan tidak pernah mendapati kesalahan sebelumnya. 

Kejengkelannya berkurang sementara kumasukkan barang-barangnya ke dalam kantong. Dia mendengus sedikit sembari berlalu. Jika saja dia lahir pada masa yang tepat, orang-orang akan membakarnya di Salem. Sementara itu, para cewek telah memutari rak roti dan kembali tanpa kereta dorong, memunggungiku selama di konter, di lorong antara kasir dan tempat penyimpanan barang curah. Mereka bahkan tidak memakai alas kaki. Ada si gemuk-pendek tadi dengan bikini hijau terang. Keliman kutangnya masih runcing. Perutnya tampak pucat jadi aku kira pakaiannya itu baru. Wajahnya semontok buah beri. Bibirnya terkatup rapat di bawah hidungnya. Yang jangkung, rambutnya hitam dan tidak begitu keriting; kulitnya terbakar matahari yang antara lain melintang tepat di bawah matanya; dan dagunya terlalu panjang—kau tahulah, jenis cewek yang cewek-cewek lain pikir terlalu “mencolok” dan “atraktif” tapi tidak benar-benar begitu, dan mereka sangat tahu itu, itu sebabnya mereka sangat menyukai cewek seperti itu. Dan yang ketiga, yang tidak begitu jangkung, dialah sang ratu. Dia seolah pemimpin mereka. Sementara dua yang lainnya mengerling ke sekitar dan memutar bahu mereka, dia tidak celingukan, si ratu ini. Dia melangkah lurus saja pelan-pelan, dengan kaki-kakinya yang putih panjang bak primadona. Dia menjatuhkan tumitnya dengan agak kaku, seolah dia tidak berjalan dengan kakinya yang telanjang itu. Dia meletakkan tumitnya lalu membiarkan bebannya berpindah ke jari kaki seolah dia sedang mencoba lantai dengan setiap langkahnya, sedikit berhati-hati. Kau tidak pernah tahu pasti bagaimana otak para cewek bekerja (apa kau benar-benar berpikir ada otak di sana atau sekadar dengungan kecil bagaikan lebah di toples kaca?) tapi kau menyangka bahwa dialah yang mengajak dua lainnya agar datang kemari bersamanya. Sekarang dia sedang menunjukkan pada mereka bagaimana cara melakukannya, melangkahlah pelan-pelan dan buat dirimu tegak.

Baju renang yang dia kenakan berwarna merah muda-keruh—cokelat kekuningan mungkin, entahlah—dengan gelembung-gelembung kecil di sekujurnya dan, yang menarik perhatianku, talinya turun. Sepasang tali itu lolos dari bahunya, melingkar longgar di puncak lengannya, dan kukira itu membuat bajunya agak lepas, sehingga keseluruhan bagian atasnya bak bingkai yang bersinar. Jika saja tidak seperti itu, kau tidak akan pernah tahu kalau mungkin saja ada yang lebih putih dari bahunya. Dengan tali yang lepas, tak tampak apapun antara bagian atas pakaiannya dan puncak kepalanya selain dirinya. Permukaan yang jernih polos di atas dadanya turun dari tulang bahunya seperti lekuk lembaran metal yang condong dalam cahaya. Maksudku, ini lebih dari sekadar indah.   

Rambutnya agak kaku, diputihkan garam dan mentari, dalam gelungan yang terurai. Wajahnya jernih. Memasuki swalayan A & P dengan tali yang turun, kukira memang seperti itulah adanya wajah itu. Dia mengangkat kepalanya tinggi-tinggi. Pun lehernya, tampak menjauh dari bahunya yang putih, seakan tegang, tapi bagiku tak mengapa. Semakin jenjang lehernya, semakin tampak dirinya.

Dia mestinya tahu dari sudut matanya, aku dan, di atas bahuku, Stokesie, di kasir nomor dua, mengamatinya, tapi dia tidak acuh. Bukan si ratu ini. Matanya berpindah-pindah melintasi rak demi rak, dan berhenti. Dia menoleh dengan pelan hingga perutku bergolak di balik celemekku. Dia mengatakan sesuatu pada dua lainnya, yang bersanding rapat dengannya bagaikan bala bantuan. Ketiganya menuju lorong makanan-kucing-dan-anjing-sarapan-sereal-makaroni-beras-kismis-bumbu-rempah-tepung-spageti-minuman-ringan-biskuit-dan-kue. Dari kasir ketiga pandanganku lurus pada lorong tersebut hingga konter daging, dan aku mengamati mereka sepenuhnya. Si gendut dengan kulit sawo matang sepertinya mencari-cari kue, tapi kemudian dia menaruhnya lagi. Para domba mendorong keranjang mereka menyusuri lorong—para cewek berjalan dari arah yang berlainan (bukan berarti kami punya petunjuk satu-arah atau semacamnya)—cukup menggelikan. Kau lihat mereka, ketika bahu putih Sang Ratu membuat mereka sadar, seperti orang tolol, berjingkrak, atau tersedak, tapi mata mereka segera kembali ke keranjang dan teruslah mereka mendorong. Aku bertaruh kau bisa meledakkan dinamit di suatu A & P, sementara orang-orang dengan penuh perhatian tetap saja meraih tepung gandum dan mencoretnya dari daftar belanjaan seraya bergumam, “Coba kuperiksa, barang ketiga, dimulai dengan A, asparagus, bukan, ah, ya, saus apel!” atau apapunlah yang benar-benar mereka gumamkan. Tapi tidak diragukan lagi, ini mengusik mereka. Beberapa budak rumahan dengan keriting rambut buatan bahkan celingukan setelah mendorong kereta mereka berlalu, untuk memastikan apa yang mereka lihat itu nyata.

Kau tahu, adalah hal berbeda ketika seorang cewek berbaju renang turun ke pantai, di mana tak seorangpun akan melihat pada yang lainnya dengan tatapan marah, dengan di dalam dinginnya A & P, di bawah lampu neon, menyentuh semua susunan barang, dengan kaki-kakinya yang telanjang menginjak lantai bertegel-hijau-yang-digosok-dengan-krim bagai papan permainan.
  
“Ya ampun,” Stokesie berucap di sampingku. “Aku merasa sangat lemas.”

“Sayang,” kataku. “Pegang aku erat-erat.” Stokesie telah menikah, dengan dua bayi yang berbahagia. Tapi sejauh yang bisa aku ceritakan hanya itulah perbedaannya. Dia dua-puluh-dua, aku sembilan belas April ini.

“Sudah selesai?” dia bertanya, pria menikah yang bertanggung jawab ini mendapatkan suaranya kembali. Aku lupa bilang, dia berpikir dia akan menjadi manager pada suatu hari yang cerahmungkin pada tahun 1990 ketika tempat ini disebut Perusahaan Teh Alexandrov Agung dan Petrooshki atau apalah[1].

Yang dia maksud, kota kami lima mil jauhnya dari pantai. Wilayah kalangan atas berada di pinggiran sebelah luar, sedang kami tepat berada di tengah kota. Para wanita umumnya mengenakan kaos, celana pendek atau apalah sebelum mereka keluar dari mobil menuju jalan. Bagaimanapun juga, biasanya ada wanita-wanita dengan enam anak serta urat-urat varises yang membentuk peta di kaki mereka, dan tidak seorangpun, termasuk mereka, yang bisa serampangan. Seperti yang aku bilang, kami tepat berada di tengah kota. Jika kau berdiri di pintu depan kami, kau dapat melihat dua bank dan gereja jemaat dan toko surat kabar dan tiga kantor properti dan sekitar dua-puluh-tujuh parasit tua membanjiri Jalan Utama karena gorong-gorongnya rusak lagi. Tidak seperti jika kita berada di tanjung; kami di utara Boston dan ada orang-orang di kota ini yang belum pernah melihat lautan selama dua puluh tahun. Para cewek telah sampai di konter daging dan menanyakan sesuatu pada McMahon. Dia menunjuk, mereka menunjuk, dan mereka bergeser hingga terhalang piramid persik kalengan. Yang terlihat oleh kami hanya si tua McMahon menepuk pelan mulutnya dan memperhatikan mereka. Anak-anak yang malang, aku mulai merasa kasihan pada mereka, mereka tidak bisa berbuat apa-apa.

Sekarang tibalah bagian yang menyedihkan dari cerita ini, setidaknya keluargaku yang bilang ini menyedihkan tapi buatku sendiri tidak begitu. Toko sedang cukup sepi, sekarang Kamis petang, jadi tidak banyak yang bisa dilakukan selain bersandar pada mesin kasir dan menunggu cewek-cewek itu muncul lagi. Keseluruhan toko seperti mesin pinbal. Entah dari terowongan sebelah mana mereka bakal keluar. Sebentar kemudian mereka muncul di lorong yang jauh dari tempatku, di sekitar bohlam-bohlam, diskon piringan hitam Caribbean Six, Tony Martin Sings, atau sampah yang sepertinya bekas lilin parafin, enam pak permen batangan, dan mainan-mainan plastik dalam bungkus kertas-kaca yang terjatuh ketika anak-anak melihatnya. Mereka mendekat. Sang Ratu masih memimpin jalan, dan memegang toples abu-abu kecil di tangannya. Kasir tiga sampai tujuh sedang kosong dan aku bisa melihat dia menimbang-nimbang antara Stokes dan aku. Tapi Stokesie, yang beruntung seperti biasa, menarik sekelompok lansia bercelana abu-abu kedodoran yang muncul secara tak terduga dengan empat kaleng raksasa jus nanas (apa yang para gelandangan ini lakukan dengan semua jus nanas itu? Aku sering bertanya-tanya sendiri) sehingga cewek-cewek itu menghampiriku. Sang Ratu menaruh toples tersebut dan aku mengambilnya dengan jemariku yang sedingin es. Snack Haring Spesial Kingfish dengan Krim Asam Murni: 49 sen. Sekarang kedua tangannya kosong, tanpa cincin ataupun gelang, polos sebagaimana Tuhan menciptakannya, dan aku ingin tahu dari mana uangnya bakal keluar. Masih dengan tampang yang jernih itu ia menarik lipatan dolar keluar dari ceruk di tengah atasan merah muda polkadotnya. Toplesnya jadi berat di tanganku. Benar-benar deh, aku pikir yang tadi itu manis banget.

Lalu keberuntungan semua orang mulai sirna. Lengel masuk, usai tawar-menawar dengan sebuah truk yang penuh kubis di parkiran, dan akan tenggelam ke dalam pintu bertulisan MANAGER di baliknyadi mana ia biasa bersembunyi sepanjang hariketika cewek-cewek itu menjamah pandangannya. Lengel agak pemuram, mengajar sekolah Minggu dan selebihnya, tapi dia tidak kekurangan apapun. Dia datang dan berkata, “Nona-nona, ini bukan pantai.”

Wajah Sang Ratu memerah, walau mungkin itu hanya akibat sengatan sinar matahari yang sudah aku perhatikan sedari tadi, tapi sekarang begitu jelas. “Ibuku menyuruhku untuk membeli snack haring.” Suaranya agak mengagetkanku. Suara yang keluar ketika kau menemui seseorang untuk pertama kali, begitu datar dan kelu tapi masih ada nadanya; juga, caranya beralih dari “membeli” ke “snack.” Seketika suaranya menggelincirkanku ke ruang tamunya. Ayahnya dan para pria lainnya mengenakan jas dan dasi kupu-kupu. Para wanita bersandal mengambili snack haring dengan tusuk gigi dari piring besar. Mereka semua memegang minuman berwarna dengan zaitun dan daun mint di dalamnya. Ketika orangtuaku kedatangan seseorang di atas kelas mereka, mereka menyajikan limun. Jika persoalannya menyangkut persaingan, Schlitz dalam gelas tinggi dengan cetakan kartun “They’ll Do It Every Time”.

“Tidak masalah,” Lengel berkata. “Tapi ini bukan pantai.” Pengulangannya membuatku geli, seolah kejadian ini baru saja dialaminya, dan dia telah berpikir bahwa selama bertahun-tahun ini A & P adalah sebuah bukit pasir yang sangat besar sedang dia adalah kepala penjaga pantainya. Dia tidak suka senyumku—seperti yang kubilang dia tidak kekurangan apapun—tetapi perhatiannya terpusat untuk memberi cewek-cewek itu tatapan menyedihkan ala pengurus-sekolah-Minggu.

Sekarang wajah merah Sang Ratu bukan lagi karena sengatan sinar matahari. Si montok dalam pola kotak-kotak, yang aku lebih suka bagian belakangnya—bokong yang sangat-sangat indah—menyela, “Kami tidak berbelanja. Kami kemari hanya untuk satu barang.”

“Tidak ada bedanya,” Lengel memberitahunya, dan aku bisa melihat dari pergerakan matanya kalau sebelumnya dia tidak sadar cewek itu memakai bikini. “Kami ingin kalian berpakaian yang sopan saat kalian di sini.”

“Kami sopan kok,” Sang Ratu berucap tiba-tiba, bibir bawahnya menyorong. Rasanya menyakitkan ketika dia menyadari posisinya, posisi yang membuat orang-orang yang menjalankan A & P ini mestinya terlihat cukup buruk. Snack Haring Spesial berkilat di matanya yang amat biru.

“Nona-nona, saya tidak ingin berdebat dengan kalian. Setelah ini datanglah kemari dengan bahu yang tertutup. Ini kebijakan kami.” Dia memutar punggungnya. Itulah kebijakan untukmu. Para petinggi menghendaki kebijakan. Yang lainnya menginginkan kenakalan remaja.

Sementara itu para pengunjung telah muncul dengan keranjang mereka. Mereka semua telah bergerombol di Stokesie, yang sedang mengguncang kantong kertas agar terbuka secara hati-hati bagai menguliti persik. Kau tahulah domba saat melihat kejadian, mereka tidak ingin melewatkan satu katapun. Aku bisa merasakan dalam hening setiap orang menjadi gugup. Lebih-lebih lagi Lengel, yang bertanya padaku, “Sammy, kau sudah membunyikan barang ini?”

Aku berpikir dan berkata, “Belum” tapi bukan itu yang aku pikirkan. Aku sodorkan barang itu, 4, 9, GROK, TOT—ini lebih rumit dari yang kau bayangkan, dan setelah kau cukup sering melakukannya, mulai menjadi sebuah lagu pendek, sehingga kata-kata terdengar seperti, misalnya “Halo (bing), apa (gung) ka-brr (crat)!”—cipratan itu menjelma tarikan laci. Aku meluruskan uangnya, selembut yang bisa kau bayangkan, yang baru saja datang dari celah di antara dua sekop vanila termulus yang pernah ada. Aku mengulurkan setengah dolar dan sesen ke telapak tangan merah mudanya yang mungil, membaringkan haring itu di dalam kantong, memutar bagian atasnya, dan menyerahkannya. Sepanjang waktu berpikir.

Cewek-cewek itu, dan yang telah mencela mereka, ingin buru-buru minggat. Jadi aku bilang “Aku berhenti” pada Lengel, cukup cepat agar mereka bisa dengar. Aku berharap mereka akan berhenti dan menyaksikan aku, pahlawan yang tak disangka-sangka. Mereka tetap berjalan, melewati detektor elektrik; pintu melayang terbuka, dan mereka berkerlip-kerlip menyeberangi parkiran menuju mobil mereka. Sang Ratu, si Kotak-kotak dan si Tolol Jangkung Besar (dia tidak seburuk itu juga sih), meninggalkanku dengan Lengel dan alisnya yang kusut.

“Kau tadi mengatakan sesuatu, Sammy?”

“Aku bilang aku berhenti.”

Kurasa kau memang mengatakannya.”

“Kau tidak seharusnya mempermalukan mereka.”

“Merekalah yang mempermalukan kita.”

Aku mulai mengatakan sesuatu yang kedengarannya seperti “Omong-kosong.” Itu kata-kata nenekku, dan aku tahu dia akan berkenan.

“Aku pikir kau tidak serius,” Lengel berkata.

“Begitulah,” kataku. “Tapi aku serius.” Aku menarik simpul di belakang celemekku dan meloloskannya dari bahuku. Sepasang pengunjung yang telah mengarah ke kasirku menubruk satu sama lain, bagai babi yang ketakutan di luncuran.

Lengel mendesah dan menjadi tampak sabar, tua, dan kelabu. Dia telah menjadi teman orangtuaku selama bertahun-tahun. “Sammy, kau tidak ingin mengecewakan Ibu dan Ayahmu,” dia memberitahuku. Benar, aku tidak ingin. Tapi menurutku, sekali kau menunjukkan suatu sikap, adalah fatal jika tidak menuntaskannya. Aku melipat celemek tersebut“Sammy” terjahit dengan benang merah di bagian sakudan meletakkannya di konter, lalu menjatuhkan dasi kupu-kupu di atasnya. Dasi kupu-kupu ini kepunyaan mereka, kalau kau ingin tahu. “Kau akan mengalami yang seperti ini sepanjang sisa hidupmu,” Lengel berkata. Aku tahu itu juga benar, tapi mengingat bagaimana dia mempermalukan cewek menawan itu membuatku merasa sangat brengsek. Aku menonjok label Tidak Dijual hingga mesin dan lacinya terciprat keluar. Satu keuntungan kejadian ini berlangsung pada musim panas, aku bisa langsung pergi, tanpa harus mencari-cari mantel dan sepatu bot. Aku tinggal berjalan santai melewati detektor elektrik, dengan kaos putih yang ibuku setrikakan semalam. Pintu dengan sendirinya terbuka. Di luar sinar matahari meluncur di seputaran aspal.

Aku mencari-cari para cewek itu, tapi mereka telah pergi, tentu saja. Tidak ada siapapun selain wanita muda dan anak-anaknya yang berteriak-teriak karena tidak mendapat permen, di dekat pintu sebuah sedan Falcon biru pucat. Menengok kembali jendela besar itu, di atas kantong-kantong humus dan furnitur dari aluminium yang menumpuk di aspal jalan, aku bisa melihat Lengel menggantikanku di kasir, selesai melayani dombanya. Wajahnya abu-abu gelap dan punggungnya kaku, seolah baru disetrika. Perutku seakan bergemuruh, seiring dengan perasaanku akan betapa sulitnya dunia bagiku setelah ini.[]



[1] Cerpen ini dibuat pada masa Perang Dingin (1947-1991), ketika terdapat ketegangan politik antara Amerika Serikat dengan Uni Soviet. Narator berkelakar Uni Soviet akan menginvasi Amerika Serikat pada tahun 1990.



Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...