Siang Maut (2/2)
Wanita itu berpikir kesehatan
suaminya buruk akibat terlalu keras bekerja dan ia menyalahkannya pada keadaan
dunia ini. Satu hari putra mereka beserta istrinya datang menjenguk suami
wanita itu di rumah sakit namun segera pulang naik kereta cepat. Mereka tidak
meminta uang mereka kembali, namun mereka juga tidak menanyakan soal
perusahaan. Saat wanita itu dan suaminya meminjam uang, semua telah memutuskan
bahwa tidak akan ada pinjaman lagi.
Sementara suaminya di opname, wanita itu mempertimbangkan pilihan terakhir, yaitu surat sampah meragukan yang telah menumpuk beberapa hari ini. Slogan berloncatan dari tiap-tiap kartu pos yang telah dia lekatkan pada kulkas dengan magnet: “Transfer Hari Ini Juga”, “Tanpa Wawancara”, “Pinjam Sampai 300.000 Yen tanpa Jaminan atau Sponsor”. Tenggat pembayaran untuk tagihan-tagihannya merayap semakin dekat, wanita itu pun dengan gentar memanggil perusahaan yang kelihatannya paling terhormat. Si lelaki muda lah yang menangani panggilannya dan herannya teramat cermat. Pemuda itu menanyakan secara terperinci namanya, umurnya, alamatnya, nomor teleponnya, serta jumlah utangnya; dan setelah tiga puluh menit “penyaringan”, wanita itu ditelepon balik dan diberi tahu bahwa karena ia nasabah baru, mereka tidak mungkin memberikan pinjaman tanpa ia mendatangi kantor. Wanita itu setuju tanpa sangsi lagi. Kalau mereka memanggilnya agar datang, mereka pasti hendak memberikan pinjaman. Wanita itu gelisah mesti pergi sendirian, namun ia tidak mungkin menolak. Wanita itu pun meminta alamat kantornya, yang sekitar tiga puluh menit dengan kereta bawah tanah. Bagaimanapun juga, wanita itu harus melakukan apa pun semampunya.
Seraya memegang formulir
permohonan dengan informasi yang diperlukan, pemuda itu kembali ke belakang
namun sebentar kemudian ia kembali dan mengomeli wanita itu karena berbohong
mengenai jumlah utangnya sewaktu di telepon. Pemuda itu benar. Seandainya
wanita itu mengungkapkan total jumlah utangnya, kemungkinan ia akan ditolak sejak
awal. Wanita itu yakin demikian, sehingga serta-merta memberitahukan jumlah
yang kurang daripada sebenarnya. Pemuda itu menjelaskan dengan
bersungguh-sungguh bahwa pada zaman sekarang ini, infomasi apa pun dapat
diperoleh dengan komputer. Sembari meminta maaf sedalam-dalamnya bahwa telah
terjadi kesalahpahaman, wanita itu berulang-ulang memohon kepada si pemuda agar
meminjaminya uang, serta mengakui jumlah utang yang sebenarnya. Wanita itu
bahkan memberi tahu si pemuda mengenai suaminya yang di opname. Dari balik
sekat, bunyi remote AC terus-terusan terdengar. Setelah menyimak wanita
itu, si pemuda berdiri lalu berunding dengan pria di sofa sebelum kembali
dengan khidmat bersama uang tunai dan beberapa dokumen.
Saat wanita itu melihat uang
di tangan si pemuda, ia berterima kasih kepadanya penuh pemujaan. Wanita itu
telah diberikan pinjaman. Akan tetapi, persyaratannya sepenuhnya berbeda dari
yang tertera di kartu pos. Wanita itu menerima pinjaman 100.000 yen, tapi
jumlah itu telah dikurangi biaya administrasi 5.000 yen serta bunga lima puluh
persen untuk sepuluh hari, sehingga yang tersisa hanya 45.000 yen. Wanita itu
bersikeras bahwa hari ini ia mesti menyiapkan 100.000 yen, namun dengan
dinginnya ditolak. Wanita itu tidak memiliki “riwayat” pengembalian dan
dipersilakan pergi ke tempat lain jika tidak berkenan. Tentu saja, wanita itu
tidak tahu mesti ke mana lagi. Pada saat itu pula, ia tidak mampu menimbang
secara berhati-hati. Ia ketakutan dan tidak sabar. Tidak ada waktu lagi.
Perusahaannya akan bangkrut. Ia membutuhkan uang. Ia tidak tahu mesti ke mana
lagi untuk meminjam uang. Suaminya tidak ada. Terserah padanya untuk menemukan
pemecahan … benak wanita itu penuh oleh masalah yang bertumpuk-tumpuk. Satu hal
yang pasti: ia harus meminjam uang. Perlahan-lahan, optimisme yang tak masuk
akal membersihkan benaknya bak alat pengisap debu. Mula-mula, 45.000 yen ini
akan dipinjamnya. Pastinya, ia resah karena bunga lima puluh persen untuk
sepuluh hari itu, namun ketakutannya kalau tidak dipinjami uang lah yang
menang. Wanita itu harus mencoba ke tempat lain untuk kekurangannya. Supaya ada
waktu untuk itu, ia tidak bisa membuang lebih banyak waktu di tempat ini.
Setelah menandatangani
perjanjian pinjaman dan membubuhkan capnya, ia diminta untuk melakukan hal yang
sama pada “Perjanjian Ketidakterlibatan Pengacara” serta “Formulir
Pemberhentian Langganan Telepon”. Selain itu, ia harus menandatangani beberapa
lembar surat kuasa yang kosong. Kemudian, akhirnya uang itu diberikan padanya.
Setelah memastikan jumlah uang itu beberapa kali dengan tangan gemetar dan
menaruhnya hati-hati dalam tasnya, wanita itu berterima kasih sekali lagi
kepada pemuda itu, sembari membungkukkan kepalanya dalam-dalam. Saat wanita itu
mengangkat kepalanya, jejak senyum tertinggal di wajah pemuda itu. Wanita itu
jelas-jelas melihat tipu daya si pemuda yang bagai cerpelai namun segera saja
ia menunduk dan berpura-pura tak memerhatikan.
Saat menuruni tangga dan
menuju ke jalan, wanita itu agak kehabisan napas. Karena curiga pada orang lain
serta takut uangnya akan dicuri, ia berhati-hati meninjau sekitarnya,
mendesakkan tasnya rapat-rapat di bawah lengan kanannya, baru mulai menapaki
jalan aspal yang kotor—tertutupi oleh noda-noda getah hitam yang sudah lama
serta puntung-puntung putih rokok. Ketika baru tiba tadi, ia tengah
mencari-cari bangunan itu dan mendongak saja. Namun sekarang saat melihat jalan
itu lagi, ia mendapatinya sama sekali kotor berantakan. Kemasan tisu yang
mengiklankan saluran seks telepon tersebar di mana-mana basah oleh hujan.
Begitu pula selebaran konseling hidup yang meragukan serta daftar real estat
yang ditulis tangan. Di tiang telepon ada poster acara gulat profesional
setahun lalu yang sudah pudar. Pada dindingnya terdapat grafiti yang dilukis
dengan cat semprot serta banyak sekali pamflet band amatir.
Wanita itu memandangi iklan
yang si pemuda berikan padanya saat ia berdiri. Pemuda itu berkata bahwa ia
akan merujuk wanita itu kepada seorang kenalan jika ia benar-benar harus
memperoleh 50.000 yen. Tidak akan ada masalah, pemuda itu menjelaskan dalam
nada yang anehnya bersahabat. Pemuda itu tidak biasanya melakukan ini, tapi
karena merasa kasihan pada wanita itu, ia akan menelepon terlebih dahulu.
Pamflet seukuran kartu nama itu semacam yang sering terlihat di bilik-bilik
telepon dan menggunakan bahasa yang mirip dengan surat sampah yang wanita itu
terima akhir-akhir ini, namun satu frasa yang tidak biasa, “Anggota Daftar B
Dipersilakan,” menarik perhatiannya, dan sejenak ia pun bertanya-tanya apakah
itu artinya. Begitu menyadari bahwa itu merujuk pada orang-orang dalam “daftar
hitam” para peminjam uang, wanita itu terkejut karena menyadari bahwa pada
titik ini ia telah menjadi orang seperti itu. Seakan-akan baru pulih dari obat
bius, mendadak ia menjadi ketakutan lagi. Ia dapat mencapai alamat itu dalam
lima belas menit menggunakan kereta bawah tanah. Masih ada waktu. Akan tetapi,
ia takut akan terbebani lagi oleh tingkat bunga lima puluh persen dalam sepuluh
hari. Kemudian ada surat kuasa. Apa yang akan mereka perbuat dengan itu?
Saat meninggalkan kantor
tersebut, wanita itu kembali mendengar bunyi remote AC. Mengingat itu
anehnya terasa meresahkan. Seakan-akan bunyi itu menyampaikan selamat tinggal
padanya. Barangkali memang begitulah maksud mereka. Apakah hubungan di antara
kedua pria itu? Apakah mereka yakuza? … atau bukan yakuza, melainkan semacam preman?
Kalau ia tidak sanggup mengembalikan pinjaman itu, bagaimanakah mereka akan
menagihnya? Tidak mungkin ia dapat lepas dengan mudah. Ia juga telah memberi
mereka informasi kontak putranya. Kalau mereka sampai melakukan sesuatu pada
cucu-cucunya … mengerikan.
.
Setelah membuang puntung
rokok, pemuda itu menurunkan motor dari penyangganya. Ia memasang helm tanpa
menambatkan tali pengaman dagu lalu menjalankan mesin. Motor itu tentu saja
hasil curian. Ia telah menggunakan motor itu untuk aksi kriminalnya sejak
kemarin. Tapi barang itu benar-benar cantik—pembatas kecepatannya telah dicopot
dan lajunya mengerikan—maka ia menahan motor itu dan hanya mengubah plat
nomornya.
Wanita itu sebentar lagi
memasuki jalan raya. Seraya melamun, ia mengalihkan pandangannya ke arah
mobil-mobil yang sedang ngebut melewati ujung gang yang terang. Jika ia
berbelok ke sebelah kiri dan berjalan sebentar, ia akan mencapai stasiun kereta
bawah tanah. Jika ia menaiki kereta itu, mengunjungi satu kantor lagi, lalu
pergi ke bank, pabriknya akan terselamatkan. Setelah itu, suaminya akan
memikirkan jalan—ataukah semuanya sudah berakhir? Kekhawatiran yang ia
kesampingkan beberapa saat lalu mencengkam dadanya. Boleh jadi ia malah membuat
kesalahan yang tidak dapat mereka pulihkan. Apa yang semestinya ia lakukan? Ia
tidak bisa membuat keputusan sendiri. Kalau saja suaminya tidak sakit! Apakah
sudah terlambat untuk berbalik dan mengembalikan uang yang baru saja
dipinjamnya? Permohonannya hampir pasti tidak akan didengarkan.
Kelelahan dan kepanasan
melengahkan, agak melonggarkan lengan kanan wanita itu yang mengimpit tas.
Sederet sepeda berkelok-kelok diparkir sembarangan di sepanjang sisi kiri
jalan, dan begitu cengkeraman wanita itu melonggar, sepeda-sepeda itu riuh
bertumbangan bagai domino. Kaget, wanita itu pun serta-merta berbalik. Dua kali
bunyi klakson pendek meraung dari sebuah mobil seakan-akan pengemudinya
menyalahkan wanita itu karena menjatuhkan sepeda-sepeda itu. Wanita itu
berputar ke arah sisi seberang jalan, terkejut seolah-olah ada yang
memerintahkannya untuk berhenti. Seketika itu, ada yang menjangkau ke arahnya.
Sebuah tangan. Segera saja wanita itu merasakan bahaya dan menjerit, namun yang
tersambar oleh tangan itu, seakan-akan hendak merobek daging wanita itu bersama
dia, justru selempang tasnya. Wanita itu teringa-inga. Ia memegangi tasnya
serapat mungkin. Si pemuda tadinya mengira ini akan jadi “pekerjaan” yang
gampang, sehingga ia bingung oleh perlawanan yang tak terduga ini. Dengan
tangan kirinya, berulang-ulang ia merenggut jarahannya sekuat tenaga, dan
walaupun ia sudah hilang keseimbangan, tangan kanannya memutar akselerator
secara gegabah.
“Tolong! Jambret! Siapa saja!
Jambret!” wanita itu menjerit-jerit, sembari mengerahkan segenap tenaga pada
kedua lengannya seakan-akan merupakan tumpuan hidupnya. Pemuda itu juga
menggunakan kedua lengannya dengan garang. Sekejap kemudian, nada mesin motor
itu naik satu tingkat lagi, dan wanita itu tahu-tahu saja terenggut ke depan
sehingga kakinya terbelit dan terhantam ke jalan. Ia masih belum melepaskan
tasnya. Tanpa hirau, pemuda itu terus melajukan motor sehingga menyeret wanita
itu beberapa meter. Beberapa pelintas di ujung gang menuju jalan raya terhenti
dan menatap pemandangan itu, penasaran pada apa yang terjadi. Motor itu terhuyung-huyung,
dan walau pertarungan ini tak akan dimenangkannya, untuk terakhir kali si
pemuda nekat menyentak selempang tas itu. Salah satu pengancing yang menahan
selempang pada kedua sisi tas tercabik lepas; lingkaran selempang itu tertarik
lurus menjadi tali, menggandakan kekuatannya, dan robek dari kedua tangan
pemuda itu. Karena bebannya berkurang, motor itu pun melesat kencang. Si pemuda
mendecakkan lidah, dan saat memandang ke depan, ia terpental ke jalan raya dan
menabrak sisi sebuah mobil van. Helmnya terbang, dan ia pun terlontar ke
atas sebelum terbanting ke jalan dengan kepala terlebih dahulu.
Satu demi satu, dua mobil
bertubrukan dengan mobil van itu yang secepatnya mengerem. Tajam menusuk
decit ban serta bunyi kaca dan logam yang membentur bersamaan. Memekik klakson
mobil serta kegemparan pelintas jalan.
Baju biru tua wanita itu
robek parah, menampakkan celana dalamnya yang cokelat pucat, dan wajah, lengan,
bahu, serta lututnya meneteskan darah memerihkan akibat tergesek sepanjang
jalan tadi. Ia masih mendekap tasnya rapat-rapat ke dada.
Bukan hanya para pelintas,
melainkan juga orang-orang dari toko dan bangunan setempat berkumpul di sekitar
mereka, segera saja membentuk keramaian.
Sebagian orang menggunakan
ponsel mereka untuk memanggil polisi dan petugas damkar, sementara yang
lain-lainnya mengambil foto kejadian. Jendela-jendela dikerumuni orang, saling
berdesakan agar dapat melihat pemandangan di bawah. Beberapa orang menghampiri
wanita yang bertiarap itu. “Anda baik-baik saja?” mereka menanyainya, namun
wanita itu mengernyitkan wajahnya kesakitan dan menyesuaikan cengkaman pada
tasnya seolah-olah akan ada yang akan merampasnya lagi. Kemudian wanita itu
mengangguk pelan, susah payah bernapas, mendongak, dan menatap lengan kirinya.
Kaca pada jam tangannya pecah dan terang memantulkan cahaya matahari. Di bagian
bawah jam tangan, jarum pendek berdetak terus tanpa ampun memahatkan waktu.
Pemuda itu bahkan tidak
berkejang.
Para penonton membentuk
lingkaran lebar di seputarnya dan mengamati pemandangan itu; nurani mereka
terusik, dan mereka pun bicara pada orang-orang terdekat: “Tampaknya kepalanya
yang kena. Sebaiknya tidak usah dipindahkan, ya?” “Ah, dia sudah mati.” Mereka
semua bertanya-tanya apa gerangan yang telah terjadi.
Mesin motor itu masih
bergerak dan terus memuntahkan gas buang. Pengemudi mobil van yang
bagian belakangnya tertabrak itu keluar dari kendaraannya sembari memegangi
leher, dan, seiring dengan berjalannya ia ke arah pemuda itu, beberapa orang lainnya
menghampiri seakan-akan tertarik oleh dia. Pengemudi itu tergucang; yang
diucapkannya hanya, “Ini kecelakaan, kecelakaan ….” Beberapa orang, yang asing
bagi satu sama lainnya, berembuk, berkata mungkin sebaiknya tidak memindahkan
pemuda itu sampai ambulans tiba. Mereka semua menonton saat seorang pria paruh
baya berpakaian setelan berjongkok di samping pemuda itu dan mencoba berbicara
kepadanya. Gemuruh truk sampah di jalur lain melintasi aspal seumpama deru
laut. Pemuda itu tidak merespons. Tubuhnya terusik oleh getaran itu, dan saat
kepalanya bergerak, darah merah gelap tertumpah dari telinganya yang kotor,
seperti seekor kepiting kecil merayap dari bebatuan di pantai, lalu bercucuran
pelan-pelan ke permukaan jalan.
“Hinshi no gogo to namiutsu iso no osanai kyōdai” pertama kali terbit dalam majalah sastra Gunzō pada edisi November 2003. Terjemahan ini berdasarkan pada versi bahasa Inggris Brandon Geist, “A Fatal Afternoon and Young Brothers on a Wave-Swept Shore”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar