Kakak Beradik Cilik di
Pantai yang Tersapu Ombak (1/2)
Anak itu memecah keheningan
setuntas ia dan abangnya menyeberangi jembatan.
“Ngeri, ya?”
Ia mengangkangi sepeda yang
roda bantunya baru saja dilepas, dan mengikuti abangnya sambil sesekali
terhuyung. Si abang tidak punya sepeda sejak melungsurkan miliknya yang lama,
namun pada musim panas ini, orang tuanya akhirnya membelikan dia sepeda gunung
dengan roda dua puluh inci sebagaimana yang ia idamkan. Dengan bangga ia
menginjak-injak pedal dan dengan ahli mengertakkan gigi-gigi sepedanya yang
memiliki enam tingkat kecepatan itu.
“Ngeri apanya! Kamu takut?”
Ditantang abangnya, anak itu
menggeleng: “Enggak takut kok! Cuma nanya.”
Mereka baru saja menyeberangi sungai yang memisahkan distrik sekolah. Pada hari upacara penutupan sekolah, mereka telah mendapat peringatan keras di kelas masing-masing bahwa tidak boleh menyeberangi batas distrik selama liburan musim panas tanpa ada yang mengawasi; mereka setidaknya pasti akan menerima tamparan di kedua belah pipi bila ketahuan.
Supaya tidak ketahuan, hari
ini mereka meninggalkan rumah dengan menyembunyikan niat mereka dari orang tua
dan teman-teman. Mereka berencana untuk menyelinap ke pantai secara diam-diam.
“Bohong! Kamu takut, ya?”
“Enggak, kok!”
Tersengat oleh ledekan
abangnya, si adik terlihat seakan-akan bakal mulai menangis sewaktu-waktu.
“Iya, iya. Jangan nangis
dong, gitu doang,” kata si abang, dongkol.
“Enggak nangis kok!” Anak itu
menggembungkan pipinya, hampir menangis. “Abang jahat sih.”
Beberapa lama mereka mengayuh
tanpa suara. Keringat bercucuran di wajah mereka yang berkulit gelap, dari
rambut mereka yang sama-sama dipangkas cepak oleh tukang cukur setempat.
Keringat memedihkan mata, sehingga mereka terus-terusan mengejap. Kaus lengan
pendek si abang dan singlet si adik basah kuyup sampai melekat ke punggung.
Pekikan jangkrik berdering melintasi langit biru yang cerah.
“Panas, ya?” si adik bertanya
ragu-ragu, masih tersinggung oleh percakapan yang sebelumnya.
Kali ini abangnya langsung
menyetujui: “Iya, panas.”
“Panas …. Capek …. Sudah
sampai belum sih?”
“Agak jauh lagi.”
Si abang sudah pernah melalui
jalan raya menuju laut ini bersama teman-teman sekolahnya. Mereka menemukan
mesin penjual otomatis di jalan, dan mesin itu menjual minuman ringan paling
enak yang pernah dirasainya; diam-diam ia menantikan untuk membeli minuman itu
lagi hari ini. Sejak sebelum mereka berangkat tadi, ia telah merencanakan untuk
beristirahat sejenak di tempat itu. Ia juga ingin supaya adiknya mencoba
minuman itu; anak itu bakal sangat terkejut! Sudah sedari tadi si abang
mencari-cari mesin penjual otomatis itu, namun entah mengapa ia tidak kunjung
menemukannya. Ia mengenali sekelilingnya, sehingga pikirnya ia tidak salah
ambil jalan. Mungkinkah mereka sudah melewatinya?
“Oh! Ada minimarket di sana!”
Si adik, dengan mata menyala,
menunjuk sehingga ia hilang keseimbangan, dan bisa-bisa menyimpang ke lalu
lintas.
“Awas!”
Seketika si abang berteriak,
sebuah mobil membunyikan klaksonnya di belakang mereka, namun si adik
menguatkan cengkeraman pada gagang sepedanya lalu memulihkan keseimbangannya
pada detik yang menentukan.
Si adik tertawa. “Wah, hampir
saja.”
“Hati-hati! Bagaimana kalau
sampai ketabrak mobil?”
“Maaf.”
Anak itu malu akibat nada
tajam abangnya. Setelah diam sejenak, si abang berkata pasrah, “Mau istirahat?”
Segera saja si adik kembali
tersenyum: “Iya, ayo! Aku mau es krim!”
Mereka memarkir sepeda di
pojok tempat parkir lalu masuk ke toko seraya mengelap keringat dari kening.
Toko itu memiliki mesin penyejuk udara; rasanya adem sekali. Si adik langsung
berlari ke peti es krim dan melekatkan wajahnya pada penutup kaca sorong. Si
abang memilih minuman ringan bersoda lalu menyusul adiknya.
“Aku mau yang itu!” kata si
adik seraya menunjuk.
“Kamu mau jus atau es krim?
Cuma boleh salah satu. Kamu yakin mau es krim?” tanya kakaknya, memastikan
pilihan si adik seolah-olah dia lah orang tuanya.
“Iya, aku mau yang dingin-dingin.
Ayo, beli!”
Anak itu tak sabar membuka
penutup peti lalu tangannya menggerisik pada es krim itu, menyambar rasa krim
soda paling dingin dari dasar peti. Gumpalan putih udara dingin serta bunyi
embun beku yang terkikis terasa menyegarkan.
Si abang mengambil beberapa
keping receh dari dompet nilon Velcro miliknya, dan setelah membayar belanjaan,
mereka keluar lalu duduk di bawah naungan bangunan itu. Sambil menyeka keringat,
kedua anak itu minum minuman ringan serta makan es krim.
“Apa sungainya sampai ke laut
juga?”
“Hah? Iya, mungkin.”
“Masak? Pengin lihat!”
“Iya ….”
Si abang masih memikirkan
mesin penjual otomatis yang tidak kunjung ketemu itu, sehingga menyahut acuh
tak acuh.
Sebentar kemudian, perkiraan
si abang menjadi nyata. Si adik cukup cepat menghabiskan es krimnya sampai
kepalanya sakit, dan setelah mengisap cairan yang tersisa dari batang kayunya,
ia minta minum jus: “Boleh minta seteguk aja?”
Tanpa sepatah kata pun si
kakak menyerahkan kaleng minumannya.
Si adik minum dengan rakus, kemudian,
sembari memandangi kaleng itu penuh harap, ia mengembalikannya sambil berkata,
“Enak! Minumannya enak, ya?”
Lalu, sebentar kemudian:
“Boleh minta seteguk lagi aja?”
Si kakak membelalak kepada
adiknya. “Makanya tadi aku tanya kamu mau pilih yang mana!”
“Tapi …. Aku haus ….”
“Kalau gitu, minum aja teh
yang di botol.”
Si adik bangkit untuk
membuang bungkus es krimnya kemudian dengan enggan mengambil botol minum dari
keranjang sepeda kemudian meletakkan mulutnya di sedotan. Botol itu berisi teh
barli yang dibuat ibu mereka; si abang mengambilnya dari kulkas sebelum
berangkat pagi itu.
Si adik minum sedikit lalu
mendongak. “Tehnya udah enggak dingin.”
Abangnya mengabaikan dia dan
memandang mobil balap merah terang yang melintas.
Anak itu memanggil lagi, “Hei,”
tapi tak dijawab. “Hei. Boleh enggak aku minta duit buat minuman yang nanti?
Pulangnya aku enggak akan beli apa-apa.”
Si abang akhirnya menoleh dan
berseru, “Palingan nanti kamu minta punyaku lagi! Pulang nanti udaranya lebih
panas! Memangnya kamu kuat?”
Si adik mulai menangis karena
hardikan itu. “Tapi ….”
Si abang berlagak cuek dan
kembali memandang jalan. Beberapa mobil besar yang biasa saja—sama sekali tidak
ada keren-kerennya—lewat. Si adik sepertinya tidak hendak berhenti menangis.
Akhirnya, si abang mengecap
tegukan terakhir lalu dengan pasrah menyerahkan kalengnya yang masih terisi
seperempat kepada si adik: “Buat kamu, jangan nangis terus.”
Si adik menyeka air matanya
dan walaupun bahunya tersentak-sentak akibat sengguk yang tak henti-henti, ia
mengambil kaleng itu dari abangnya. Suaranya tersendat-sendat saat ia berkata,
“Makasih.”
“Udah-udah, tapi nanti bagi
minumanmu waktu pulang.”
Si adik menanggapinya dengan
anggukan pelan.
Mereka meninggalkan
minimarket itu dan berangkat lagi menyusuri jalan menuju laut.
Belum jauh mereka mengayuh
saat si abang menemukan mesin penjual otomatis yang dicari-carinya di sisi
jalan. Ketika mereka hendak melewatinya, ia melihat kaleng minuman jeruk langka
yang diingatnya itu berada di sisi ujung displai. Sempat ia kira rencananya
telah hancur. Mereka akan berhenti di mesin itu. Apa pun hal lain yang mereka
lakukan, pokoknya harus. Ia menginginkan minuman itu, dan ia ingin si adik
mencobanya. Tapi, untuk mengejutkan anak itu, ia harus merahasiakan rencananya
dari si adik.
Kedua anak itu belum ke
mana-mana selama liburan musim panas itu. Kedua orang tua mereka bekerja,
sehingga mereka biasa tak terurus dan tak mengeluh, namun mereka secara
berhati-hati berharap bakal diajak jalan-jalan ke suatu tempat. Mereka bahkan
tidak mengunjungi rumah kakek-nenek mereka saat liburan Obon; orang tua mereka
cuma bersantai-santai di rumah. Kapan pun mereka hendak mengangkat pembicaraan
soal itu, orang tua mereka akan mengeluh, sambil nyaris terengah saking
letihnya, bahwa mereka capek. Anak-anak itu tidak tahu mau berbuat apa selain
menghabiskan setiap harinya, dari pagi sampai malam, di taman menendangi bola.
Pada hari terakhir sekolah
sebelum Obon, si abang dibuat nelangsa oleh bualan teman-teman sekelasnya
mengenai liburan musim panas mereka sehingga ia pulang dengan suasana hati yang
buruk. Beberapa teman sekelasnya yang cermat malah membelikan oleh-oleh untuk
dia. Di antara oleh-oleh itu ada foto pemain bisbol terkenal yang
ditandatangani, yang dengan bangganya dibagi-bagikan oleh seorang murid yang
telah pergi ke pertandingan. Si abang tidak menginginkannya, maka ia
merenyukkan foto itu lalu membuangnya di suatu tanah lapang dalam perjalanan
pulang. Saat ia pulang, adiknya berseri-seri dan menunjukkan padanya beberapa
kartu pos bergambar dari Australia yang diperolehnya dari seorang teman.
Semuanya menampakkan pemandangan indah yang belum pernah ia saksikan, namun
justru aroma kertas yang asing lagi membangkitkan rasa penasaran itulah yang
serta-merta mencetuskan imajinasi si abang akan negara luar yang belum pernah
dia kunjungi. Liburan musim panas akan segera berakhir. Sebelum itu, ia ingin
mengajak adiknya ke suatu tempat. Mereka bisa menggunakan sepeda. Mereka akan
pergi, berdua saja, dan mereka tidak akan memberi tahu orang tua mereka ataupun
sekolah! Yang terpikirkan olehnya adalah laut itu. Mereka akan menyodokkan
sumpit kayu ke kepala anemon laut, menghiasi ubur-ubur yang terdampar dengan
rumput laut, membuat kelinci laut mengeluarkan cairan ungunya yang menjijikkan,
serta menariki gurita keluar dari persembunyiannya di antara bebatuan. Mereka
akan menangkap segunung kepiting dan kelomang, menempatkannya di akuarium
rumah, lalu membanggakannya kepada beberapa teman pilihan. Mereka akan
memeliharanya secara rahasia, membesarkannya sendiri diam-diam, supaya tidak
ketahuan orang tua. Barangkali bila kepitingnya bertambah besar, mereka akan
memanggangnya dan berbagi dengan siapa saja.
Saat mereka mendekati jalan
yang terentang panjang mendaki, mereka mengayuh sambil berdiri, sehingga sepeda
mereka berbelok-belok dan bergoyang-goyang. Si abang sesekali memanggil
adiknya, “Bisa enggak?”
“Eh-heh,” sahut si adik. Saat
akhirnya mencapai puncak, mereka bisa melihat laut yang memancarkan cahaya biru
jernih, seperti cermin yang memantulkan langit.
“Wah! Laut!”
“Yeah! Tinggal sedikit lagi.
Ayo jalan terus!”
“Iya! Bagus ya! Bagus
banget!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar