Kakak Beradik Cilik di
Pantai yang Tersapu Ombak (2/2)
“Wah!” si adik bersorak. Ini
bukan pertama kalinya ia datang kemari, namun waktu itu ia masih sangat kecil,
sehingga mungkin tidak banyak yang membekas di ingatannya.
“Besar sekali, ya!?”
“Iya, awas mobil.”
“Oke!”
Di sisi tanggul bobrok yang
bertatokan grafiti, ada tetrapod-tetrapod yang diplesteri cangkang kering dan
rumput laut bertumpuk-tumpuk mengesankan.
“Wah, kecoaknya banyak
banget!”
“Di mana? Ah, itu bukan kecoak
biasa, tapi kecoak dermaga.”
“Kecoak dermaga?”
“Iya … yah, kayak kecoak
laut.
“Jijik, ya? Wah, ada di sana
juga!”
“Mereka ada di
mana-mana. Hei! Awas mobil!”
“Oke.”
Mereka mengayuh menyusuri
jalan tanpa jalur pejalan kaki itu selama beberapa waktu. Kemudian, setelah
memarkir sepeda di salah satu sisi tempat parkir pemandian tepi laut, mereka mengambil
botol minum serta kantung plastik dari keranjang sepeda lalu menuju ke pantai.
Selagi jalan, si adik bertanya, “Boleh pipis?”
“Ayo, aku juga mau.” Mereka
membuat dua noda serupa ubur-ubur besar bersisian di dinding tanggul.
Pantai itu jarang
pengunjungnya. Ada beberapa keluarga dengan anak-anak sedang makan atau tidur
di bawah payung. Di sebelah mereka ada lubang-lubang serta bukit-bukit pasir
dengan terowongan yang dibuat anak-anak. Sesekali ada pasangan juga. Tidak ada
yang berenang.
“Airnya dingin?”
“Enggak, tapi ada ubur-ubur,
jadi enggak boleh ada yang renang.”
“Sakit ya kalau disengat?”
“Pasti lah. Bengkaknya gede
banget.”
“Masak! Abang pernah disengat?”
“Enggak, tapi …” si abang
terhenti karena melihat sesuatu. “Oh!” ucapnya, lalu berlari seraya menarik
tangan adiknya: “Ayo!” Sampai di tujuan, tergeletak bangkai ubur-ubur besar selebar
30 sentimeter yang terdampar. Di kepalanya yang keputih-putihan hampir bening,
menancap sebatang kembang api dengan hiasan emas melekat pada pegangannya yang
merah.
“Wah, tebal banget!”
Si adik memandangi ubur-ubur
itu seraya mengejap-ngejap.
“Lihat! Kepalanya kebakar
semuanya.” Ia terkikih-kikih.
“Yeah, jahat tuh.”
“Sama geng motor, ya?”
“Mungkin.”
“Jahat, ya?”
“Bukannya tadi kamu ketawa?”
“Iya, tapi … kepalanya
kebakar semua.”
Si adik tertawa riang lalu
menyodok pegangan kembang api yang menancap tegak dari ubur-ubur itu. Dua tiga
lalat terusik akibat getarannya, tapi dengan segera kembali ke tempat. “Wah,
kepalanya goyang-goyang! Jijik!”
Dua tahun lalu, saat si abang
kemari bersama teman-teman sekelasnya, ia menyodok ubur-ubur mati terdampar
yang serupa dengan jarinya, namun ia tidak lagi tertarik.
“Yuk.”
Ia mendorong adiknya lalu
mulai berjalan ke arah singkapan yang berbatu-batu. Seraya menoleh ke belakang
dengan sesal, si adik mengikuti supaya tidak tertinggal.
Awan kumulonimbus yang
besar-besar berdesakan di atas laut bak sekawanan raksasa yang berkacau. Akan tetapi,
anehnya mereka anteng serupa potret yang menangkap momen tertentu. Ombak di
kejauhan pun tenang; ombak yang melejit di kedekatan lah yang menderu; ombak
menyebar tipis pada batasnya di sepanjang pantai, menyerakkan banyak gelembung
yang terlalu halus untuk terlihat lalu mundur. Pantai itu dikotori sekam
kembang api, sisa bakar-bakaran, botol plastik, serta puntung rokok.
Dengan sepatu yang tak nyaman
karena kemasukan pasir, mereka akhirnya berhasil sampai ke singkapan itu,
sewaktu-waktu berhenti untuk mengumpulkan cangkang yang tidak biasa atau
meloncati batu-batu kecil yang melintasi permukaan laut. Saat menoleh ke
belakang, mereka melihat jejak kaki—yang sebagian besarnya tampak menyerupai
satu garis panjang yang renggang—membuntuti mereka; telah jauh jarak di antara
mereka dan orang-orang di pantai. Nelayan terakhir yang berpapasan dengan
mereka bertanya, “Kalian anak-anak mau ke mana pergi sendirian?”
Si abang cepat-cepat mencari
alasan untuk menghindari masalah, dengan menjawab, “Ayah kami di sana.”
Singkapan itu membentang
sampai jauh; air laut tergenang di cekungan-cekungan yang ukurannya beragam.
Ada juga beberapa orang lainnya yang terlihat di sana sini.
“Jangan sampai kepeleset kena
teritip. Kalau sampai kegesek tangan, nanti luka.”
“Oke.”
Si adik mengindahkan
peringatan abangnya dan berhati-hati mengawasi permukaan yang dipijaknya.
“Wah! Ikan!” ucapnya, seraya
berjongkok di samping genangan pasang yang terbesar dekat situ.
“Mana?”
Si abang berbalik lalu
memandang genangan itu. Ada garis-garis pendek tipis yang memelesat lincah di
sekitar rumpun ganggang laut dan anemon.
“Oke. Sini kantung
plastiknya.”
“Abang bisa tangkap?”
“Bisa dong!”
Si abang menyerahkan kepada
si adik botol minum yang tadi diselempangkannya, mencondongkan badan sembari mendekatkan
tangannya ke dekat air, kemudian memasukkannya. Si ikan kabur dengan gesit.
“Oh!” seru si adik mewakili
abangnya. Si abang lanjut membidik ikan lain dekat kakinya dan kembali
mencipratkan air. Ikan yang ini juga lagi-lagi mengelak.
“Mereka main-main denganku.”
Ia berdiri seraya mendecakkan
lidah.
Si adik berkata, “Kita
semestinya bawa jaring, ya?”
“Enggak usah pakai jaring!”
sergah si abang, tidak senang atas saran adiknya.
Mereka lanjut menyusuri
singkapan itu lebih jauh. Si adik mengumpulkan kelomang serta kerang sepanjang jalan,
sehingga kantung plastiknya yang gembung oleh air laut dan tangkapannya itu
berputar-putar saat menabrak pahanya.
Beberapa lama kemudian, si
abang merangkak ke genangan pasang lainnya seakan-akan ada yang menarik perhatiannya.
Berhati-hati ia berjongkok dan menjangkau ke dalam air. Mangsanya meleset dari
tangannya. Ia tidak menyerah—ia mencoba lagi dan lagi. Air genangan itu menjadi
hitam pekat sementara ia mencari-cari secara serampangan saja. Sesaat
berikutnya, ia menjerit kesakitan. Darah menetes menuruni punggung tangannya
yang menghitam saat ia menariknya dari air.
Terkejut, si adik berkata:
“Ah, abang berdarah!”
Si abang menjilati lukanya
dan menyeringai karena rasa darahnya—asin, hangat, seperti besi.
“Aduh ….”
Si adik memerhatikan abangnya
dengan prihatin.
“Enggak apa-apa kok,” kata si
abang, mulutnya menghitam karena tinta. Tampaknya tangannya terluka karena
anemon. “Ada gurita.”
“Gurita!”
“Yeah. Tapi guritanya kecil.”
“Masak! Mana? Mana?”
Tatapan si adik mencari-cari
ke dalam air penuh semangat, namun seluruh tempat itu keruh oleh tinta yang
dilepaskan si gurita saat melarikan diri.
“Masak … gurita … duh, aku
pengin lihat juga.”
Sungguh kecewa, ia berpaling
ke arah abangnya dengan agak mencela.
“Nanti aku yang coba, ya?”
Si abang mengamati darahnya
yang mengalir melewati garis-garis pada kulitnya, membentuk berlian yang tidak
terhitung jumlahnya melintasi tangannya.
“Iya … sana.”
“Yes! Biar dia tahu
rasa!” si adik berkata gagah berani. Ia melangkah di depan abangnya berfokus
pada bebatuan, konsentrasi tergurat pada wajahnya.
“Hati-hati jangan sampai
tersandung,” si abang memperingatkan sembari mengikuti adiknya, namun anak itu
sudah larut dalam khayalan.
Ternyata kejayaan tidak mudah
diperoleh. Sudah berhenti di sana sini, berkali-kali mereka memasukkan kedua
tangan ke dalam air, namun tidak mampu menangkap apa pun yang mengesankan. Tiap
kali gagal, mereka bergerak sedikit lebih mendekati laut. Si abang sesekali
menoleh ke belakang, namun mereka belum seberapa jauh sehingga tidak dapat
kembali. “Oh!” seru si adik, sembari berjongkok di tengah-tengah batu yang agak
menonjol di antara yang lain-lainnya. Ia mengulurkan tangannya namun tiba-tiba
berhenti lalu melambai kepada abangnya.
Saat abangnya mendekat, si
adik menunjuk lubang kecil pada batu itu dan berkata, “Ada kepiting merah.
Masuk ke situ.”
“Kepiting?”
“Iya!”
“Kamu enggak tangkap?”
“Eh heh.”
Dari tanggapannya, si abang
maklum sebabnya si adik membiarkan kepiting itu lepas.
“Kamu takut sama capitnya?”
“Enggak! Aku enggak takut!”
si adik cepat-cepat menukas. Ia begitu menginginkan kepiting dalam lubang itu
sehingga akhirnya bertanya, “Abang bisa tangkap?”
“Bisa dong!”
Si abang menggantikan tempat
adiknya kemudian berjongkok di depan lubang itu. Dengan percaya diri si adik
mengamati upaya si abang dari samping, dadanya gembung oleh pengharapan.
Lubang itu di atas permukaan
air namun ternyata dalam. Saat mengintip ke dalamnya, si abang dapat melihat
kepiting merah kecil itu di belakang, capitnya bertahan kokoh di depan
perutnya. Si abang berpikiran bahwa mungkin mereka akan pulang bersama kepiting
itu sebagai buah dari jerih payah mereka. Memang kepiting itu tidak besar
ataupun luar biasa, tapi karena adiknya bilang ingin, kepiting itu istimewa.
Pertama-tama, si abang
mencoba menjangkau langsung dengan jemarinya untuk mengeluarkan kepiting itu,
namun dengan kuku saja hampir-hampir tidak tersentuh, malah membuat kepiting
itu melindungi diri. Kemungkinan kepiting itu mundur semakin jauh ke dalam
lubang. Maka selanjutnya si abang berusaha menggaruknya dengan sebatang sumpit
kayu yang dia ambil dari sampah kotak makan siang di jalan tadi. Dengan
berhati-hati supaya tidak melukai si kepiting, ia coba menyelipkan ujung sumpit
ke celah antara cangkang dan permukaan batu. Sesekali, ia sengaja menyodok
kepiting itu dan menunggu, mengira binatang itu bakal mencapit sumpitnya.
Kemudian, ia mengulangi cara itu.
Keringat mengucur dari kepala
ke matanya. Saat ia mengusap matanya dengan jemarinya yang basah oleh air laut,
rasanya semakin perih saja. Luka pada punggung tangannya juga terasa pedih. Ia
coba memercikkan air ke dalam lubang serta mengulurkan potongan rumput laut
pada kepiting itu seperti umpan di ujung sumpit, tapi sia-sia saja.
Si adik mulai bosan. Ialah
yang meminta kepiting itu, sehingga ia takut si abang bakal marah lagi kepada
dia kalau ia mengatakan tidak menginginkannya lagi. Tapi karena yang bisa
dilakukannya cuma bertanya, “Udah ketangkap?” ia menghibur diri dengan
melepaskan kelomangnya ke genangan dekat situ serta menempelkan jarinya pada
anemon.
Si abang habis kesabaran. Si
kepiting terus saja mengkeret mundur ke dalam lubang tanpa menunjukkan tanda
akan keluar. Kalau cuma sendirian, si abang sudah menyerah, tapi mana mungkin
ia begitu di hadapan adiknya. Keinginan untuk menyenangkan adiknya serta
ketakutan akan diolok anak itu berpadu menghalanginya pergi.
Matahari perlahan-lahan mulai
terbenam di balik pegunungan.
Sahutan si abang cuma berupa
gerundel dan ia bahkan tak menoleh, sehingga adiknya beringsut serta menyibukkan
diri dengan memasukkan kelomang ke dalam anemon. Berapa lama waktu yang telah
berlalu? Si adik berdiri untuk meregangkan kakinya yang nyeri akibat jongkok
begitu lama. Kebetulan saja ia melontarkan pandangan ke arah pantai. Pemandangannya
entah bagaimana sudah berbeda. Mereka telah berjalan melintasi singkapan
berbatu yang luas, tapi, pada suatu waktu, permukaannya tertutup oleh air laut
sehingga menyerupai puzzle yang bolong-bolong. Tidak kelihatan orang
lain.
Si adik menjadi cemas dan
memanggil kakaknya. Tidak ada sahutan. Ia coba memanggil kakaknya lagi. Kali
ketiga, si kakak tak dapat menahan marah dan tanpa menoleh ia berkata,
“Diamlah! Kalau mau pulang, pulang saja sendiri.”
Si adik melihat ke pantai
lagi. Sepertinya mereka tidak berada dalam bahaya. Ia menetapkan suatu penanda
dan memutuskan untuk memanggil abangnya lagi saat ombak menutupi tempat itu. Ia
pun kembali bermain air. Akan tetapi, pasang tidak naik seperti yang
diperkirakan si adik. Batu yang dipilihnya sebagai penanda masih di atas
permukaan air, namun karena laut merambah dari arah lain, pantai berbatu antara
si adik dan penanda itu terus-menerus tertelan. Ia tidak dapat memperkirakan
seberapa cepatnya pasang akan masuk.
Kali berikutnya ia mengangkat
kepala, singkapan berbatu itu telah terbelah. Bahkan sekalipun mereka kembali
lewat jalan itu, mereka mesti menyeberangi air sehingga sepatu mereka akan kebasahan.
Airnya dangkal, sehingga ia tidak merasa dalam bahaya, namun ia menjadi semakin
gelisah dan memanggil kakaknya lagi.
Si abang yang masih di depan
lubang saking frustrasinya sampai-sampai menangis dan mengabaikan suara
adiknya. Sebentar kemudian, ia mendengar si adik memanggilnya lagi. Ia tidak
menyahut. Mana mungkin ia pulang tanpa menangkap kepiting itu. Saat kembali
mengorek lubang itu, ia merasakan kehadiran si adik menangis di belakangnya.
Akhirnya ia mendengar adiknya bilang, di sela-sela isak kepiluan, “Aku takut
….”
Akhirnya menyadari ada
masalah, si abang menoleh. Ia berdiri dan tercengang memandang pantai berbatu yang
telah tertelan oleh pasang dan kini menyerupai laut terbuka. Jalannya tidak
dapat lagi dilewati dan yang tampak dari singkapan berbatu itu hanyalah
pulau-pulau yang sesekali mengapung. Suara ombak mendekat, dan laut menyembur
tersebar di seputar mereka.
Si adik menangis keras-keras
seraya mengusap matanya.
“Jangan menangis! Kita masih
bisa pulang!”
Si abang membuang sumpitnya
ke laut dan, tergerak oleh ketakutan yang memusingkan, menoleh ke belakang.
Ombak perlahan-lahan mengembang, dengan rakusnya menghirup matahari petang.
Sementara gigi-gigi taring putih yang beringas itu menerkam kedua anak
tersebut, si kepiting kecil merayap keluar dari lubang di batu, bagaikan darah
yang mengucur dari telinga seorang lelaki mati di jalan pada siang bolong, dan
menampakkan cangkangnya yang merah gelap.
“Hinshi no gogo to namiutsu iso no osanai kyōdai” pertama kali terbit dalam majalah sastra Gunzō pada edisi November 2003. Terjemahan ini berdasarkan pada versi bahasa Inggris Brandon Geist, “A Fatal Afternoon and Young Brothers on a Wave-Swept Shore”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar