Ayahku
datang dari desa membawa sebuah pohon bonsai yang bentuknya mengundang
penasaran.
“Ini
adalah Pohon Dabba Dabba,” ia menerangkan, seraya menunjukkan pohon tersebut
kepadaku dan istriku. “Lihat, ini jenis pohon aras yang istimewa.”
“Ih,
kelihatannya kok aneh begitu,” kata istriku, sementara meneliti pohon itu
dengan tatapan bingung.
Pohon
itu tingginya sekitar delapan inci. Bagian bawahnya tebal tetapi meruncing ke
arah puncaknya, di mana daunnya menjarang. Dalam posisi tegak lurus, batangnya
membentuk kerucut sempurna.
“Iya,
namanya juga aneh,” imbuhku, sambil memandangi ekspresi wajah ayahku.
Barangkali ada pencerahan akan alasan dia membawakan pohon ini.
“Bukan cuma namanya yang aneh,” katanya, sambil menyipitkan mata. “Kalau kamu menaruh Pohon Dabba Dabba ini di kamar tidurmu waktu malam, kamu akan mengalami mimpi aneh hingga pagi tiba!”
“Walah
walah, maksudnya apa, ya,” sahut istriku.
Aku
berbisik di telinga istriku. “Tentu saja mimpi erotis.”
“Oh!”
serunya dengan pipi merona.
Ayahku
melontar tatapan mesum kepada istriku dan melanjutkan. “Kalian sudah lima tahun
menikah tetapi masih belum punya anak. Itulah makanya aku membawakan kalian
pohon ini. Taruhlah di kamar kalian nanti malam—kalian pasti akan mendapatkan
mimpi yang sangat indah. Ayo, ambillah! Barang ini bukan untuk tua bangka
seperti aku! Kekekekekeh!” Ia terkekeh-kekeh seperti burung yang menyeramkan,
sebelum berangkat kembali ke desa.
Malam
itu, kami membawa Pohon Dabba Dabba ke kamar tidur kami dan meletakkannya di kaki ranjang ukuran dobel kami. Ya,
kami masih menggunakan ranjang ukuran dobel sekalipun sudah lima tahun menikah.
Yah, kamar tidur kami agak kecil. Tidak ada cukup ruang untuk dua ranjang.
“Selamat
tidur.”
“Ya,
selamat tidur.”
Kami
menyelam ke balik selimut, dengan bergairah memunggungi satu sama lain, dan
berkonsentrasi untuk tidur. Pada saat-saat seperti ini, kau ingin menjadi yang
pertama tertidur. Kalau tidak, suara napas pasanganmu akan menjengkelkan dan
membuatmu susah tidur. Apalagi kalau kau mendengar istrimu sedang bermimpi
erotis. Lebih buruk lagi kalau ia mulai mengigau.
Untungnya,
aku segera terlelap.
Aku
pun mulai bermimpi. Aku bermimpi aku sedang berada di kamarku, tidur di ranjang
ukuran dobel bersama istriku.
“Bagus!
Aku bermimpi!”
Aku
duduk. Istriku tertidur tenang di sampingku, sepenuhnya telanjang. Kalau tidak
begitu, ia tidak bisa tidur. Aku memalingkan kepalaku kebingungan.
“Hebat.
Apanya yang erotis?!”
Kalau
aku bercinta dengan dia setelah sekian lama, jadinya tidak akan erotis sama
sekali. Jadinya realita usang yang menjemukan—mau dia telanjang atau tidak.
“Yah,
kalau memang ini mimpi erotis, sebaiknya aku berbuat erotis!”
Aku
turun dari ranjang dan mengenakan baju serta celana panjang.
Kemudian aku memakai sandal dan pergi ke luar. Untuk menemukan wanita yang
layak berbagi mimpi erotis bersamaku, aku harus pergi ke area kehidupan malam.
Aku berjalan di sepanjang trotoar yang gelap, kemudian berbelok masuk ke jalan
besar. Jalan itu bersinar seterang siang, berkat bar dan restoran di kedua
sisinya. Ada orang di mana-mana.
“Mana
nih cewek-cewek yang sedap?” aku mengomel. Aku merasa agak capek setelah
berjalan dua atau tiga blok. Untuk mendapatkan mimpi erotis itu ternyata
menuntut cukup banyak kegigihan. Aku melihat seorang wanita yang terlihat
menjanjikan dari kejauhan tetapi, setelah diamati lebih dekat, rupanya wanita
buruk keriput. Atau ada gadis jangkung ramping dengan postur yang wah berjalan
di depanku. Aku buru-buru menyusul dia, hanya untuk mendapati bahwa ia sama
sekali tidak menarik. Aku tidak biasanya pilih-pilih soal perempuan. Namun
sekarang karena aku sedang mengalami mimpi erotis, percuma saja menggaet yang
tidak kusenangi. Aku pun terus berjalan.
Lantas
ada gadis melangkah keluar dari sebuah kafe. Ia mengenakan setelan cokelat tua
dan tampak menyerupai mahasiswi. Dengan sedikit riasan di samping lipstik, ia
berkulit pucat, bermata besar, dan berwajah cantik.
“BAGUS!!!”
seruku, seraya mengadang dia.
“Bisa saya bantu?” tanya gadis itu, sembari memandangiku dari
atas ke bawah.
“Anu,
sebenarnya …” aku menjawab terbata-bata, merasa ragu bagaimana mesti
menjelaskannya. “Sebenarnya, begini, saya mendapat Pohon Dabba Dabba, dan ….”
“Oh
tidak. Lagi-lagi!” ia terkikih. Lantas
raut wajahnya berubah jadi memberengut. “Kamu orang yang keempat malam ini.
Kamu mau bilang kamu sedang mengalami mimpi erotis karena ‘Pohon Dabba Dabba’,
dan kamu mau ngeseks sama aku. Benar, kan?”
“Hah? Maksudmu ada yang
lainnya juga?” sahutku, agak terkejut. Namun bagaimanapun juga, ini kan cuma
mimpi. Siapa peduli. “Maksud saya, eh, itu benar. Aku memang mau ngeseks sama
kamu.”
“Ngimpi!” katanya diiringi
senyum ironis, sambil menggeleng-geleng. “Aku bilang begitu juga sama yang
lainnya. Mungkin saja ini mimpi buat kamu, tetapi buatku, ini kenyataan! Lagi
pula, aku masih perawan. Aku menolak kehilangan keperawananku hanya untuk
mewujudkan mimpi orang lain!”
Ngomong apa dia? Ah, bodo
amatlah. Ini kan cuma mimpi.
“Ketiga orang lainnya itu mestilah
berkemauan lemah. Tulang lunak. Mungkin juga mereka tidak sungguh-sungguh
menghendaki kamu,” kataku. “Tapi aku tidak akan menyerah begitu saja, dengar?
Ini mungkin kenyataan bagi kamu, tapi bagiku ini mimpi belaka. Jadi aku tidak
peduli apa yang terjadi! Lagi pula, aku menyenangi kamu. Aku tergila-gila sama
kamu, jadi aku ingin bercinta dengan kamu. Kalau kamu menolaknya, aku akan
memaksakannya, di sini dan sekarang juga.”
“Hah, di jalan ini?”
“Benar. Aku tak peduli kalau
ada yang lihat, mau di mana pun kita. Aku akan menerkammu, dan merobek setelan
cokelat tuamu yang bagus dan bercita rasa itu, d-d-dan kemudian, dan kemudian
aku akan merenggut kutangmu, dan—dan—“
“Baiklah, tenangkan dirimu!
Kamu ngiler tuh.”
“Oh.” Cepat-cepat aku menyeka
mulutku dengan punggung tanganku. “Lantas, lantas, aku akan memelorotkan celana
dalammu—“
“Anu—aku pakai celana ketat.”
“Aku akan memelorotkan celana
dalammu sekalian celana ketatmu, kemudian aku akan mendekapmu, membantingmu ke
jalan dan mencabuli tubuhmu dengan paksa. Memang katamu kamu masih perawan,
sehingga agak sial bagimu. Tapi kan ini mimpi, jadi tidak apa-apa! Aku akan
mencabulimu, dan lalu—“
“Polisi mungkin melihat
kita.”
“Aku tak peduli. Kalau mereka
mau menahanku, aku akan berteriak sekeras-kerasnya. Kemudian aku akan bangun. Tapi
…. Ini kenyataan bagimu, kan. Pakaianmu pasti akan berantakan sedang kamu
telanjang bulat. Masak kamu pulangnya begitu. Kamu mau bagaimana?”
“Enggak tahu. Menurutmu
bagaimana?”
“Bagaimana kalau kita ke
hotel saja? Aku bukannya benar-benar mau memerkosamu di sini. Kalau ada polisi,
nanti jadi merusak suasana.”
Sesaat gadis itu ragu, seraya
mengamatiku dengan lirikan. “Baiklah,” kata dia akhirnya, dengan enggan. “Aku
ikut dengan kamu. Lagi pula, tampaknya aku ada cuma dalam mimpimu saja. Aku
tidak bisa mengabaikanmu begitu saja, kan.”
Maka kami pun berbelok ke
pinggir jalan dan berkeluyuran di seputar gang-gang mencari hotel yang
tersembunyi. Tidak satu pun ditemukan.
“Pada di mana sih hotel-hotel
itu?!”
Aku jadi jengkel. Kalau tidak
cepat-cepat, bisa-bisa aku keburu bangun.
“Mungkin ada kalau kita
menjauhi kota,” kata si gadis. “Ada hotel tepat di samping kampusku.”
Kami naik ke sebuah bukit dan
akhirnya menemukan sebuah hotel. Kami memasuki lobi dan berdiri di meja
resepsi. Seorang wanita paruh baya yang rambutnya telah menipis keluar.
“Sayangnya kami sudah penuh,” kata wanita itu. “Tapi kalau mau tunggu lima atau
sepuluh menit lagi, mestinya sudah ada yang kosong.”
Aku tidak mau repot-repot
jalan lagi mencari hotel lain, sehingga kami masuk ke ruang tunggu kecil di
samping lobi. Di situ kami duduk di sofa menanti ruangan kosong. Tidak ada
orang lainnya.
“Kamu sudah menikah?” tanya
si gadis kepadaku.
“Sudah.”
“Sungguh? Terus sekarang
istrimu sedang apa?”
“Sedang tidur di sampingku di
kamar tidur kami.”
“Maksudmu kamu bermimpi
seperti ini sementara istrimu sedang tidur di sampingmu? Suami macam apa
kamu?!”
“Mana aku tahu dia juga lagi
mimpi apa?!”
Senyampang aku berkata
begitu, ada pasangan lain masuk ke hotel. Aku bisa mendengar si resepsionis di
lobi mengulang perkataan yang tadi.
“Sayangnya kami sudah penuh.
Tapi kalau mau tunggu lima atau sepuluh menit lagi, mestinya sudah ada yang
kosong.”
Seiring dengan masuknya
pasangan tersebut ke dalam ruang tunggu, aku berteriak. Saat mereka melihatku,
mereka pun terhenti. Wanita itu istriku. Yang jadi pasangannya adalah tetangga
kami, Pak Miyamoto.
“Wah, wah,” ucap Miyamoto
seperti yang mau menjilat.
Mereka duduk di sofa seberang
kami. Miyamoto yang gembil itu menatap lantai dengan malu.
“Wah, lagi senang-senang,
ya!” kata istriku sarkastis.
“Iya, kamu juga, ya!”
sahutku. Aku mau tanya sudah berapa lama dia mengencani Miyamoto. Namun ini kan
hanya mimpi. Percuma saja tanya.
“Cantik juga dia,” kata
istriku, seraya menuding pasanganku dengan dagunya.
“Ini istrimu?!” seru si
gadis, sambil bergegas berdiri. “Senang bertemu dengan Anda. Saya, anu—“
“Jangan tolol ah. Enggak
perlu begitu-begitu.” Aku menarik-narik ujung rok gadis itu agar duduk kembali.
Si resepsionis masuk ke dalam
ruangan. “Sekarang ada kamar kosong,” kata wanita itu. “Mari, lewat sini.”
“Duluan, ya,” kataku kepada
Miyamoto dan istriku sembari beranjak pergi.
Si resepsionis mengarahkan
kami ke ruangan kami. Begitu ia pergi, aku melonjak pada gadis itu, dan
berteriak, “Ayo sekarang!”
“Jangan!” jeritnya. Ia
mengelak dari aku ke ujung tempat tidur. “Wanita tadi bakal balik sebentar lagi
membawakan teh.”
“Kok kayaknya kamu tahu
banyak sih!”
Ia merona.
“Aku tidak bisa tunggu
lama-lama. Biarlah kalau dia masuk!”
Si gadis lagi-lagi
menghindar.
Selagi kami main
kejar-kejaran, si resepsionis masuk membawakan teh. “Air mandinya semestinya
sudah panas sekarang, jadi silakan. Selamat malam.” Bersama itu, ia
meninggalkan ruangan.
“Aku mau mandi dulu,” kata si
gadis.
“Aku tidak bisa tunggu lagi,”
aku mengerang. “Nanti saja lah mandinya?”
“Tidak bisa! Aku berkeringat
karena jalan-jalan tadi. Kamu juga mesti mandi nanti sehabis aku. Lihat saja
wajahmu. Kucel begitu.”
“Tidak! Aku tidak bisa
menunggu lebih lama!” kataku, seraya menerjang kepadanya.
Ia meluncur ke dalam kamar
mandi dan menutup pintu.
“Baiklah, aku ikut mandi sama
kamu!” seruku sambil menggedor-gedor pintu.
“Enggak mau!” teriaknya. “Aku
malu.”
Apa boleh buat. Aku
melepaskan pakaianku lalu duduk di pinggir tempat tidur, telanjang, menanti
gadis itu muncul kembali. Semakin lama aku semakin jengkel. Mimpi ini rasanya
terlalu mirip dengan kenyataan. Malah aku mulai mengira bahwa mungkin saja ini memang
kenyataan. Maka, untuk mengujinya, aku menusukkan kuku jariku ke pipi kanan.
Kalau ini mimpi, tidak bakal terasa sakit.
Sakit.
Sakit sekali sampai-sampai
aku bangun. Dalam tidurku, aku menancapkan kukuku dalam-dalam ke pipiku.
“SIAL!!!”
Istriku masih tidur pulas,
dan puas, di sebelahku. Murka, aku melonjak dan menonjok lengannya.
“Aduh! ADUH!!! Apa-apaan sih
kamu?!” Ia memegas, kaget. “Baru saja aku mau ke bagian enaknya!”
“Heh! Kamu pikir aku bakal
membiarkanmu bersenang-senang sendiri? Aku mau tidur lagi dan menikmati
sepuas-puasnya!”
“Memangnya kamu saja yang
bisa? Lihat saja nanti!”
Kami memunggungi satu sama
lain sambil mendengus gusar, dan berkonsentrasi untuk kembali tidur. Dalam
sekejap aku terlelap. Aku mulai bermimpi. Aku bermimpi sedang tidur di ranjang
kami di rumah.
“Bagusss!!! Aku bermimpi!”
Aku menyelinap keluar dari
selimut. Istriku sedang tidur telanjang di ranjang.
“Baiklah! Kembali ke hotel
tadi!”
Aku mencari-cari pakaian di
sekitar ranjang. Namun baju dan celana panjangku tidak terlihat di mana pun.
Sudah tentu tidak ada. Aku kan sudah mencopotnya sewaktu di hotel tadi.
Cepat-cepat aku mencari
celana panjang yang lain. Namun aku sudah kebelet. Lagi pula, ini kan cuma
mimpi.
“Ya sudah deh! Begini saja
aku perginya!”
Aku berpacu keluar dari rumah
telanjang bulat, tanpa alas kaki pula.
Aku berlari di sepanjang
trotoar yang gelap dan tiba di jalan raya. Sebagaimana sebelumnya, jalan
tersebut seterang siang dan ramai orang. Para pelintas jalan membelalakkan mata
saat melihatku berlari di jalan mengenakan pakaianku saat dilahirkan. Beberapa
wanita menjerit.
“Hei, kamu! Berhenti!”
Dekat persimpangan, muncul
seorang polisi mengejarku. “Hentikan orang itu! Gila dia!”
Selalu saja ada orang yang
jadi penghalang, di dalam mimpi sekalipun. Seorang pejalan menjulurkan kakinya
sehingga menjegalku, dan aku pun lintang pukang. Si polisi melompat ke
punggungku sementara aku berjuang keras melawannya. “Ini kan mimpiku!” jeritku.
“Kenapa kamu tidak menghilang saja sih?!”
Si polisi bersusah payah
memborgolku. “Orang enggak waras ini! Tolong bantu tahan dia!” teriaknya kepada
para penonton.
Empat atau lima orang
melangkah maju dan berusaha mengendalikanku. Aku ditonjoknya keras-keras dua
atau tiga kali, tetapi hampir-hampir aku tak merasakan apa pun. Lagi pula, ini
kan mimpi. Biar begitu, aku tidak bisa membuang lebih banyak waktu lagi
bermain-main seperti ini. Kalau aku tidak cepat-cepat melepaskan diri, si gadis
itu nanti capek menunggu dan meninggalkan hotel. Maka, terpaksa kuputuskan
untuk bangun lagi. Sekalipun si polisi dan orang-orang lainnya sedang berupaya
mengendalikanku, aku berteriak sekencang-kencangnya.
Bunyi suaraku itu
membangunkanku.
“Apa lagi sekarang, ya
Tuhan?! Ngapain sih kamu teriak-teriak? Tadi kan kamu sudah pergi, eh, sekarang
membangunkan aku lagi! Sewaktu aku baru mau enak-enak pula!” Istriku yang juga
terbangun akibat bunyi suaraku itu melontarkan amuknya kepadaku.
(Bersambung)
Cerpen ini diterjemahkan dari “The Dabba Dabba Tree” dalam Salmonella Men on Planet Porno: Stories oleh Yasutaka Tsutsui. Terjemahan dari bahasa Jepang ke bahasa Inggris oleh Andrew Driver, diterbitkan oleh Vintage Books, 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar