“Kamu kira cuma kamu yang
pengin mimpi enak?!” ujarku. Aku bangkit, mengambil baju yang baru serta celana
panjang dari lemari pakaian, meletakkannya di samping tempat tidur kemudian
masuk lagi ke selimut. “Kali ini aku akan berhasil. Lihat saja!”
“Hei, bukan kamu saja, tahu!”
Sekali lagi kami saling
memunggungi dengan gusar dan berkonsentrasi agar kembali tidur. Lagi-lagi, aku
lekas terlelap. Aku pun mulai bermimpi lagi.
“Baguuusss!!! Aku mimpi!”
Aku cepat-cepat bangun dan terburu-buru mengenakan baju serta celana panjang yang aku letakkan di tepi ranjang. Sandalku juga ketinggalan di hotel tadi, sehingga aku menyelipkan kaki telanjangku ke dalam sepatu. Lantas aku berlari ke luar rumah. Kalau aku gagal melakukannya bersama gadis cantik itu kali ini, tamatlah dunia. Aku berlari melewati jalan raya hingga rambutku berantakan. Aku sampai menjatuhkan pejalan kaki, tetapi kali ini aku berusaha tetap berlari tanpa terintangi. Aku berbelok dari jalan raya ke jalan gelap menanjak yang mengarah ke hotel itu. Aku berpacu mendaki jalan itu sambil terengah-engah, sekujur tubuhku berlapis keringat. Aku melihat papan neon hotel itu yang berwarna ungu. Lututku nyaris copot rasanya.
“Ke mana saja kamu tadi?”
tanya si gadis saat aku bergegas masuk ke kamar. Berbalut jubah mandi, ia
sedang minum sebotol bir yang diambilnya dari kulkas. Kelihatannya ia
benar-benar sudah kebosanan menunggu.
“Maaf, ya. Ayo sekarang kita
ke ranjang!”
Baru aku mau merangkul dia,
gadis itu memalingkan wajahnya dengan jijik.
“Enggak mau! Kamu keringatan!
Mandi dulu sana!”
Baiklah. Aku mencopot pakaian
lalu masuk ke kamar mandi.
Saat aku keluar, gadis itu
sudah membuka botol bir yang kedua. Tiba-tiba saja aku ingat bahwa aku tidak
bawa uang. Aku tidak akan bisa membayar kamar hotel itu, apalagi birnya.
Bodo amatlah, pikirku. Kalau nanti waktunya membayar, aku teriak
yang kencang saja. Dengan begitu aku akan terbangun dan tak perlu membayar.
Tentunya, gadis itu tetap dalam mimpi. Ia bakal digiring polisi karena tidak
membayar minuman dan akomodasi. Agak menyedihkan, tetapi apa boleh buat. Kalau
aku kasih tahu dia soal itu, ia bakal menolakku lagi. Bagaimanapun, semestinya
ia punya uang sendiri, biarpun masih mahasiswi.
Pipinya menyala semerah mawar
karena alkohol, dan matanya pun mulai tampak sayu. Bagian depan jubahnya
terkulai membuka, menampakkan sekilas payudaranya yang putih montok.
“Ayo, ayo, kita naik ke
ranjang. Heheh, heheh, hehe-heheheh!”
Aku mengangkat gadis itu
dengan kedua lenganku dan merebahkan dia di ranjang, dan aku pun melucuti
pakaiannya.
Tubuhnya terasa terlalu
realistis untuk disebut mimpi. Kalau rasanya begini realistis, sebaiknya aku
minum bir juga, pikirku. Seketika saja aku merasa haus dan benar-benar
perlu minum. Namun sepertinya rasanya tidak akan begitu enak, karena ini cuma
mimpi. Maka kuputuskan tidak jadi minum. Lagi pula, masak aku turun dari
ranjang sekarang buat minum bir padahal lagi tanggung. Aku mulai saja beraksi.
Bel pintu berdering.
Bunyinya membangunkanku.
Aku sedang berada di ranjang,
terbujur di atas istriku dan bercinta dengan dia.
“Hah? Kamu??” aku mengerang.
“Orang terakhir yang ingin kubegitukan!!”
Istriku juga terbangun pada
saat yang bersamaan. “Ternyata mimpi kita saling terhubung!” sahutnya sama
sekali tidak senang.
Bel pintu berdering lagi.
Sekarang sudah pagi. Sinar matahari membanjir lewat celah gorden, menerangi
Pohon Dabba Dabba di kaki ranjang kami. Aku punya usaha sendiri sehingga tidak
perlu bangun pagi-pagi.
“Siapakah itu? Pagi-pagi
begini?”
“Kamu lihat sana,” kata
istriku.
“Kamu saja!”
“Aku enggak pakai baju!”
“Aku juga!”
“Kamu kan pakai bajunya lebih
cepat.”
Aku pun bangkit, mengenakan
baju dan celana panjangku kemudian pergi membukakan pintu depan.
Yang berdiri di serambi ialah
tetangga kami, Pak Miyamoto.
“Pak Miyamoto! ….” Tadinya
aku mau mengungkit pertemuan kami di hotel, tetapi aku berhasil menahan diri.
Lagi pula, itu cuma mimpi. “Ada apa, ya? Pagi-pagi begini?”
“Iya, maaf, ya, mengganggu
Anda pagi-pagi begini. Begini, saya baru dapat barang namanya ‘Pohon Dabba
Dabba’,” katanya. “Itu semacam pohon bonsai, dan kalau kita menaruhnya di kamar
tidur waktu malam—“
“Ya, ya, ya,” aku menyela.
“Saya tahu, saya juga punya.”
“Kalau begitu Anda tentu
mengerti maksud saya. Kebetulan, saya sedang bermimpi sekarang. Saya sedang
bicara sama Anda sekarang ini sebetulnya bagian dari mimpi saya. Nah, saya itu
sudah beberapa lama ini tertarik kepada istri Anda. Saya itu ingin, Anda
mengerti kan, berbuat itu kepada istri Anda, seandainya saya punya
kesempatan. Nah, berkat Pohon Dabba Dabba, kini saya dapat mewujudkan keinginan
saya, sekalipun hanya mimpi. Itu sebabnya saya kemari. Jadi tanpa buang waktu
lagi, apa istri Anda di rumah?”
“Sebenarnya dia masih di
ranjang.”
“Jauh lebih baik!” ucapnya,
dan berusaha menerobos masuk.
Aku mengalangi jalannya
dengan penuh kesangsian. “Hei tunggu dulu, ya! Ini mungkin mimpi bagi Anda,
tetapi bagi saya ini nyata. Saya tidak akan membiarkan Anda memaksa masuk dan
menodai istri saya sekadar untuk mewujudkan mimpi Anda!”
“Tapi saya benar-benar ingin
bercinta dengan dia! Kalau begitu, apa gunanya dong mimpi erotis?”
Selagi kami beradu mulut,
istri Miyamoto datang tergopoh-gopoh.
“Aduh! Maaf atas keegoisan
suami saya! Aku sudah bilang kamu jangan pergi, kan?! Lihat jadinya merepotkan
tetangga kita!”
“Bagaimana kalau begini,”
ujar Miyamoto, seraya beralih kepadaku. “Kamu bisa ngeseks sama istriku. Kalau
begitu adil, kan?”
“Oh!” istrinya terengah.
Wajahnya mendadak berubah merah gelap. Ia mendongak kepadaku dengan mata
berkedip-kedip dan mulai megal-megol penuh maksud. “Aku yakin dia tidak bakal
tertarik dengan wanita biasa-biasa saja seperti aku.”
Aku sulit mengiyakannya,
sembari mengamat-amatinya. Ia wanita ramping berparas rupawan dengan wajah oval
dan mata yang besar. Ya, sekarang setelah aku lihat lagi, sebenarnya dia cukup
menarik. Aku meneguk ludah.
“Tidak, tidak, tidak sama
sekali,” akhirnya aku menjawab. “Justru sebaliknya. Karena itu, kalau Anda
tidak berkeberatan ….”
Wanita itu menggeliang-geliut
kemalu-maluan. “Ah! Tak pernah aku bermimpi ini akan terjadi. Maksudnya, saya
tidak berkeberatan sama sekali, kalau Anda tidak berkeberatan ….”
“Benarkah? Eh, ka-ka-kalau
begitu … um …” aku beralih kepada Miyamoto, memastikan bahwa dia tidak
berkeberatan. Namun ia telah menyelinap ke kamar tidur. “Baiklah, kalau begitu,
mari kita … um ….”
“Baiklah, iya, mari, akankah
kita? Haha! Siapa yang bakal menyangka? Ho ho ho!” Nyonya Miyamoto mulai
melucuti baju garis-garis biru-putihnya, menampakkan celana dalam dan beha biru
tua di baliknya.
Aku merobek baju dan celana
panjangku, meletakkan lenganku di seputar bahunya dan membawa dia ke kamar
tidur. Sekujur tubuhnya gemetar oleh gairah. Suaminya dan istriku sudah duluan
melakukannya di ranjang ukuran dobel itu.
“Eh, permisi, bisa geser
sedikit?”
“Ya, tentu.”
Miyamoto bergeser ke tepi
ranjang sambil terus bercinta dengan istriku. Aku menggeletak ke sisi satunya
bersama Nyonya Miyamoto. Kami saling merangkul dan mulai melakukannya.
Kedua wanita itu mulai
megap-megap dan cungap-cangip, yang satu terpacu oleh yang lain. Lantas bel
pintu berdering.
“Giliran kamu,” kataku kepada
istriku.
“Enggak mau!” sahutnya di
sela engah-engahnya, sembari menggeleng-geleng hebat. “Kamu saja deh!!”
Enggan aku melepaskan diri
dari dekapan erat Nyonya Miyamoto, menyabet baju serta celana panjangku, dan
pergi membukakan pintu depan. Berdiri di serambi ialah seorang gadis sales Lola
Cosmetics. Nah, yang ini cantiknya spektakuler. Dari dulu aku diam-diam
berhasrat kepada dia.
“Er …. Selamat pagi! Apa
istri Anda di rumah?” tanya gadis itu.
“Oh, kamu rupanya!
Heheheheheh!” jawabku lambat-lambat. Aku menjilat bibirku dan memutar mataku ke
sekujur fisiknya yang menggiurkan, yang dipampatkan ke dalam setelan putih
bersih. “Ya. Tentu dia di rumah. Ah, kamu masuk saja!”
Ia menatapku ragu dan menyisi
masuk ke ruang depan, menjaga jaraknya sepanjang waktu, sebelum menutup pintu
di baliknya.
“Omong-omong, apa kamu pernah
dengar Pohon Dabba Dabba?” tanyaku, masih menatap tubuhnya dengan mesum.
“Belum. Apa itu?”
Ia tampaknya benar-benar
tidak tahu. Menyadari bahwa akan makan waktu untuk menjelaskannya, aku berpikir
keras sebelum menceritakan semuanya kepada gadis itu.
“Dengan kata lain, ini semua
bagian dari mimpi erotisnya Pak Miyamoto,” tambahku menyimpulkan. “Kita ini
cuma pemeran dalam mimpinya. Jadi bagaimana? Kalau kita cuma pemeran dalam
mimpi erotis seseorang, maka boleh dong kita berbuat erotis juga. Paling tidak
kita juga bisa nganu dan bersenang-senang!”
Ia memandangku seakan-akan
aku ini gila. “Aku belum pernah mendengar yang sekonyol itu seumur hidupku. Ini
mimpi orang lain!? Anda pasti sudah gila.”
“Tidak, kamu tidak mengerti
sih,” kataku berdesah. “Aku sama sekali waras kok. Tapi kita ini dalam mimpi
orang lain. Bisa enggak kamu lepas baju sekarang, yang cepat.”
Ia membelalakkan matanya
lebar-lebar. “Kebejatan yang tidak bisa dipercaya! Anda, yang kelihatannya
kepala rumah tangga yang terhormat ini—a-a-a anggota masyarakat yang
terhormat—“
Cukup sudah. Kuterkam dia.
“Kalau kita tidak buru-buru, Miyamoto keburu bangun!” Gadis sales ini
lebih muda dan lebih cantik daripada Nyonya Miyamoto. Sudah pasti dia partner
seks yang jauh lebih bagus.
Selagi aku merobek
pakaiannya, ia melawanku sekuat tenaganya. “Tapi buat kita, ini kan kenyataan!”
ia menangis selagi berusaha menahanku. “Hidup kita akan terus berlanjut, bahkan
setelah Pak Miyamoto itu bangun. Lalu apa yang mau kamu perbuat dengan
bekas-bekas di tubuhku ini?”
“Iya, kamu benar. Tapi begini
lo maksudnya. Begitu Miyamoto bangun, kita juga lenyap!”
Gadis itu mengenakan celana
dalam dan beha cokelat gelap. Ia berkeringat banyak karena upayanya melawanku,
tetapi saat aku menurunkan celananya, mendadak seluruh energinya tampak surut.
Ia mengempaskan dirinya kepadaku diiringi erangan. “Bangsat kau,” ucapnya, dan
mulai tersedu sedan.
Aku mengangkat dia dengan
kedua lenganku dan membawanya ke kamar tidur. “Anu, permisi, bisa geser
sedikit?” kataku kepada ketiga orang lainnya di ranjang.
Nyonya Miyamoto masih
terbaring di situ dalam keadaan telantar, sebagaimana waktu aku meninggalkan
dia. Saat ia melihat si gadis sales, ia menjerit patah hati, “Tidak!
Kamu tidak bisa membiarkanku seperti ini! Selesaikan aku dulu!”
Miyamoto separuh mengangkat
dirinya dari istriku dan membelalak kepadaku. “Betul itu. Mimpi bukan mimpi,
tidak akan kubiarkan kamu menghina istriku!”
Seketika itu, bel pintu
berdering lagi.
“Maaf. Permisi sebentar.”
Aku meletakkan si gadis sales
di sisi ranjang, kembali ke ruang depan dan membukakan pintu. Berdiri di
serambi seorang pria paruh baya yang lusuh, dengan sebuah benda yang menyerupai
pencacah Geiger menjuntai dari satu tangannya.
“Iya. Bisa saya bantu?”
“Saya dari Dinas Kebersihan
Kota. Benarkah kiranya Anda memiliki Pohon Dabba Dabba?”
“Ya, ada. Bagaimana Anda
tahu?”
“Sudah saya duga,” sahut si
Petugas Kebersihan. “Ini Sensor Mimpi Erotis. Alat ini tidak pernah gagal. Nah,
sekarang tolong serahkan pohon itu.” Ia pun melangkah masuk ke dalam rumah
tanpa sekalipun permisi.
“Tunggu dulu!” seruku. Namun
si Petugas Kebersihan mengeloyor saja ke dalam kamar tidur kami dan menuju ke
Pohon Dabba Dabba di kaki ranjang. “Mau diapakan pohon itu?” tanyaku.
“Anda belum baca koran pagi?
Baiklah, saya kasih tahu. Baru-baru ini, Pohon Dabba Dabba ini telah
mengakibatkan keresahan sosial yang serius. Karena pohon ini, orang tidak lagi
dapat membedakan mana mimpi mana kenyataan. Orang-orang pada ngeseks di jalan,
atau mengganggu pegawai bis di depan para penumpang. Para pria mendatangi
pramuniaga wanita di supermarket. Para wanita berkeliaran di jalan telanjang
bulat, merangsang para pemuda di siang bolong. Para gadis minta orang asing
meniduri mereka. Ini dunia kekerasan seksual dan kebejatan asusila. Maka pemerintah
mau menyita Pohon Dabba Dabba.”
“Waduh. Saya tidak tahu
ternyata pohonnya ada banyak,” kataku seraya mendesah. “Tapi kalau kata
pemerintah begitu, mau bagaimana lagi.”
“Ini tidak adil!” keluh istriku,
yang tengah duduk di ranjang mendengarkan percakapan kami. “Baru satu malam ini
kami punya pohon itu!”
“Tidak perlu khawatir,” kata
Miyamoto, sambil mengangkat kepalanya dari seprai dan membersut kepada si
Petugas Kebersihan. “Ini kan kejadiannya dalam mimpiku. Aku bisa berkehendak
agar pria ini tidak ada. Ia akan menghilang begitu saja!”
Si Petugas Kebersihan
memasang tampang masam. “Jadi ada orang gila lainnya di rumah ini?!”
“Tidak percaya?” sahut
Miyamoto, sembari berdiri di ranjang. “Akan kubuktikan kepadamu. Akan
kubuktikan bahwa ini mimpiku.” Lantas ia berteriak sekencang-kencangnya.
Miyamoto pun terbangun oleh
bunyi suaranya sendiri. Sekejap itu juga, semua orang lainnya lenyap.[]
Cerpen ini
diterjemahkan dari “The Dabba Dabba Tree” dalam Salmonella Men on Planet Porno: Stories oleh
Yasutaka Tsutsui. Terjemahan dari bahasa Jepang ke bahasa Inggris oleh Andrew
Driver, diterbitkan oleh Vintage Books, 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar