Taifun mulai berembus begitu
kami meninggalkan ibu kota. Semua kereta dan kapal ditunda, terpaksa kami
terhenti di luar jadwal. Saat itu pagi hari ketiga—pagi terakhir dari tiga hari
perjalanan—ketika kami akhirnya melayangkan pandang pada tujuan kami: Pulau
Tetek.
“Ah. Pantas saja dinamakan
begitu.” Fotograferku Hatayama menunjuk ke seberang laut. Pulau itu memiliki
satu gunung bundar di tengah-tengahnya. Tepatnya, gunung itulah
pulaunya.
Kami menyeberang dengan
perahu nelayan, terhuyung-huyung ke segala arah menuruti gerakan ombak.
“Adakah legenda tentang pulau
itu?” tanyaku kepada si nelayan yang sedang mendayung.
“Apa jadinya kalau ada,” jawabnya diiringi raut masam. “Lihat saja bentuknya. Pastilah ada satu-dua cerita. Sama saja seperti pulau lainnya. Tapi itu rahasia kami. Kalau sampai legenda kami tersebar, turis bakal berdatangan. Tempat ini akan rusak.”
Jadi aku tidak bisa menulis
tentang itu. Betapa mengecewakan.
“Kebijakan yang baik sekali!”
ujar Hatayama jelas-jelas sarkastis. Si nelayan meringis dan mendengus
keras-keras. Sedari awal dia sangat enggan mengeluarkan perahunya, katanya
taifun akan datang lagi. Namun kami berhasil menyogoknya sampai
menyembah-nyembah. Tetap saja dia keras kepala, seketika tidak suka pada kami
yang orang kota ini.
“Lihat! Terasering!” seru
Hatayama takjub. Matanya membelalak ke kaki gunung. “Kukira pulau ini tidak
berpenghuni!”
“Oh ya! Wow!”
Semangatku telah surut karena
berbagai alasan. Majalah kami telah memulai seri “Pulau-pulau Tak Berpenghuni”
di edisi bulan sebelumnya. Kalau ada orang yang tinggal di pulau itu, aku jadi
tidak ada bahan tulisan.
“Ah, tidak! Tidak ada yang
tinggal di situ,” kata si nelayan. “Orang dari Shiokawa naik sampan ke sana
buat menanam buncis dan kentang.”
Wah, leganya.
Shiokawa adalah desa
nelayan-petani kecil di daratan utama. Kami menginap di sana kemarin malam, di
sebuah penginapan kecil yang jorok.
Pagi itu aku membuat
panggilan jarak jauh dari penginapan ke Kepala Editor kami di Tokyo. Aku
memberi tahu dia kami akan terlambat mencapai pulau itu karena taifun, juga
kepulangan kami bakal tertunda beberapa hari. Entah kenapa dia jadi berang,
menuduhku bersantai-santai sementara orang lain pada bekerja keras,
memperingatkanku bahwa “Pulau-pulau Tak Berpenghuni” adalah ideku sendiri, dan
mengatakan bahwa aku mengajukannya hanya karena aku mau mangkir kerja. Ia
memerintahkanku supaya kembali ke kantor paling lambat besok pagi. Kalau aku
tidak mengindahkannya, gajiku bakal dipotong dan seri “Pulau-pulau Tak
Berpenghuni” itu bakal ditarik. Aku jadi terpuruk. Aku penasaran apakah kami
betul-betul dapat kembali keesokan pagi. Kalau nanti ada taifun lagi, tidak
mungkin kami kembali tepat waktu. Aku berdesah murung saat menyadari betapa
celakanya gagasan ini sedari mula.
“Kepala Editor itu kurang
ambisinya,” kata Hatayama, memafhumi sebabnya aku berdesah. “Kalau kamu tidak
muncul di depan hidungnya, pikirnya kamu sedang merencanakan hal buruk.”
“Ya, tapi itu bisa dimaklumi
karena perusahaan kita kecil,” bantahku.
Hatayama ini malah lebih
tidak bertanggung jawab daripada aku. Dia itu sukanya mengeluh ke sana kemari
seakan-akan yang disampaikannya itu keluhan orang lain. Kebetulan, Kepala
Editor cukup sensitif terhadap orang yang suka menjelek-jelekkan dia. Dan dia
sudah cukup tidak menyukaiku.
Aku berusaha keras membela
Kepala Editor. “Jadi kepala itu tidak mudah, tahu. Kalau kelima stafnya pada
pergi, dia sendiri yang harus menangani telepon dan menerima tamu.”
Hatayama menoleh ke arah
buritan. “Anda pasti menjemput kami tengah hari nanti, kan?” ujarnya cemas.
Si nelayan tua memandang ke
langit berawan. “Katanya nanti ada taifun.”
Aku jadi kalap. “Ayolah! Mau
apa kami di pulau tak berpenghuni di tengah-tengah taifun?! Anda harus
menjemput kami. Kalau tidak, kami dalam masalah besar. Katakan Anda akan
kembali, ya ampun!”
“Aaah, kalian tidak akan
kenapa-kenapa. Ada pondok di sana buat berteduh dari hujan. Di samping itu, kan
kalian sudah bawa bekal makan siang?”
“Itu kan buat jaga-jaga
saja!”
Aku dan Hatayama nyaris
menangis. Kami bersimpuh di hadapan si nelayan tua sampai dahi kami menggesek
dasar perahu yang terayun-ayun itu. “Tolonglah! Tolonglah!” pinta kami.
“Kalian suka menantang
bahaya, bukan,” ucapnya ogah-ogahan. Ia menatap kepada kami dengan suatu
ekspresi heran bercampur dengki. “Baiklah, aku akan kembali. Kecuali kalau ada
apa-apa, ya.”
Dan itu sebaik-sebaiknya yang
dapat kami usahakan dari dia.
Si nelayan menuju ke pantai
yang berseberangan dengan Shiokawa, dan menurunkan kami di sana. Lantas
pergilah dia mendayung cepat-cepat,kembali melintasi laut, di mana ombak mulai
membesar. Aku berdiri bersama Hatayama di tepi pantai, menatap muram pada
perahu itu seiring dengan surutnya di kejauhan.
“Baiklah. Mari kita
lihat-lihat tempat ini yang cepat saja,” kataku akhirnya. “Kita harus bisa
meliput pulau ini maksimal dalam dua jam.”
Makan tiga jam untuk meliput
pulau itu. Lain dengan kesan awal kami, pulau itu tidak sepenuhnya dikelilingi
oleh pantai berpasir. Di sisi seberang yang menghadap ke laut, garis pantainya
sebagian besar berupa tebing terjal. Parahnya lagi, angin menahan perjalanan
memutar kami dan hujan mulai turun.
“Aku tidak bisa mengambil
gambar lagi kalau begini,” kata Hatayama seraya mengemas kamera ke wadahnya
yang kedap air.
Kami kembali ke pantai
secepatnya setelah tengah hari, pada waktu yang ditentukan. Persis sebagaimana
yang kami takutkan, tidak ada tanda entahkah si nelayan ataupun perahunya.
Ombaknya bahkan lebih tinggi lagi kini. Di pantai seberang, ombak putih yang
menabrak bebatuan tampak menjangkau langit kelabu. Melihat dari cuaca nan keji
ini beserta nada suara si nelayan tadi, tampaknya kecil kemungkinan dia akan
kembali. Tidak, tidak mungkin dia bakal kembali. Dia pasti telah mendengar
ramalan cuaca, yang mengatakan taifunnya bakal ganas. Ketika situasi memburuk,
kemungkinannya bakal semakin buruk. Atau begitulah menurut kami, sementara kami
menimbang-nimbang situasi ini dengan raut menyedihkan.
“Bisa masuk angin nih,”
kataku, seraya mendongak ke terasering. “Katanya ada pondok di sana, bukan. Yuk
cari.”
“Aku sudah masuk angin nih,”
ujar Hatayama. Ia bersin hebat, sampai melontarkan isi hidungnya ke tanah.
Kami mendaki beberapa lama
mengarungi ladang-ladang yang ditanami buncis. Lantas, di tengah permukaan pulau
yang menyerupai gunung itu, kami menemukan sejalur kecil tanah yang telah
diratakan memanjang sejauh beberapa ratus meter. Buat apakah ini? Di ujungnya
berdiri sebuah pondok kecil. Menghampiri gubuk itu bak tikus-tikus berlumur
lumpur, kami membuka paksa pintunya yang terbuat dari batang-batang kayu yang
dijalin secara vertikal. Lantas kami terbirit-birit masuk.
Di sana, pada platform di
belakang, kami melihat dua petani sedang duduk berhadapan sambil minum-minum.
Salah seorang dari mereka, seorang pria empat puluhan tahun, matanya belekan
parah. Yang satunya berusia sekitar tiga puluh tahun. Pucuk hidungnya merah—mungkin
karena kebanyakan minum alkohol.
“Maaf mengganggu,” kataku.
“Apakah pondok ini milik Anda?”
“Ha! Pondok ini bukan punya
siapa-siapa,” jawab si pria bermata belekan. “Pondok ini untuk kami warga
Shiokawa yang bertani di ladang-ladang pulau ini.” Ia menatap kami dari atas ke
bawah. “Kalian kebasahan, ya? Ada kayu bakar di sebelah sana. Bikin saja api
unggun buat mengeringkan badan.”
“Kalian dari mana?” tanya si
pria berhidung merah sementara kami membuat api.
Aku dan Hatayama bergantian
menceritakan kisah kami—bahwa kami ini penulis dan fotografer dari majalah
bulanan pria yang tidak trendi, bahwa kami datang ke pulau ini untuk mencari
cerita tapi mendapat perintah untuk kembali ke kantor besok hari, bahwa kami
tertahan oleh taifun dan tidak tahu mesti berbuat apa, dan seterusnya dan
sebagainya. Sementara itu, kami mengeringkan pakaian kami yang basah kuyup
dekat api.
“Sepertinya akan ada taifun
lagi. Bagaimana kalian kembali ke Shiokawa?” tanyaku. “Kemungkinannya tidak
bakal ada perahu datang menjemput kan.”
“Ah. Anda datang dengan
perahunya Jimbei juga, ya?” kata si pria belekan. “Biasanya dengan itu juga
kami menyeberang. Tapi kadang-kadang, ketika laut sedang ganas seperti sekarang,
perahu tidak datang sehingga kami tidak dapat kembali. Kami kemari kemarin
siang, setelah taifun mereda. Kami memanen buncis dan menginap di sini semalam.
Kami melihat kalian datang sewaktu kami sedang di ladang tadi. Sebenarnya, kami
baru saja selesai bekerja.” Dengan dagunya, ia menunjuk empat keranjang besar
yang penuh buncis di pojok lantai tanah. “Dan sambil menunggu, kami minum-minum
ini.”
Jadi dia tidak mau menjawab
pertanyaanku, ya. Aku jadi jengkel. “Tapi pastinya, kalian tidak bermaksud menunggu
sampai taifunnya pergi, kan? Siapa yang tahu kapan taifunnya pergi?”
“Benar. Jimbei tidak akan
menjalankan perahunya kalau ombaknya naik, demi keamanan,” gumam si Mata
Belekan.
“Apa ada perahu lainnya?”
tanya Hatayama memendam harapan.
Si Mata Belekan mengangkat
wajahnya dan menatap kami berdua bergantian. “Kalian benar-benar mau cepat
kembali? Apa kalian begitu buru-buru?”
“Ya. Tentu saja!” jawabku
mantap.
Si Hidung Merah mengernyit
seakan-akan hendak menahan si Mata Belekan. Namun si Mata Belekan tidak
menyadarinya dan melanjutkan. “Sebenarnya ada pesawat.”
“Pesawat?!” Saking terkejut,
Hatayama melontarkan misil cairan hidungnya ke lantai tanah. “Pesawat dari sini
ke daratan utama?”
Si Mata Belekan menatap misil
dari hidung Hatayama diiringi minat mendalam. “Wah!” serunya. “Muslihat apa
itu! Orang ini bisa membersihkan hidung tanpa menggunakan tangannya.” Ia
menoleh pada Hatayama dan tertawa. “Bagaimana kamu melakukannya?”
“Saya tidak ingat ada pesawat
di daftar perjalanan,” kataku. “Dari perusahaan penerbangan yang mana, ya?”
“Perusahaannya bernama
Shiokawa Air,” jawab si Hidung Merah, sembari mengamat-amatiku. “Perusahaannya
tidak ada di daftar perjalanan karena penerbangannya tidak rutin. Pesawatnya
terbang cuma ketika cuaca lagi buruk sehingga perahu tidak dapat menyeberang,
atau sewaktu ada orang terjebak di pulau dan mau kembali ke Shiokawa.”
“Apa? Maksudmu ada
penerbangan langsung dari sini ke Shiokawa?” seru Hatayama. Ia menundukkan
kepalanya dalam-dalam. “Terima kasih banyak! Kapan dan di mana pesawatnya
tiba?”
Si Hidung Merah melihat jam
tangannya. “Kalau pesawatnya memang bakal datang, pesawatnya bisa datang kapan
saja. Kalian pasti sudah melihat landasan di luar itu kan. Di situlah
pesawatnya mendarat.”
Landasannya pendek juga,
ya, pikirku.
“Ya, tapi kita tidak bisa
memastikan pesawatnya bakal datang hari ini,” kata si Mata Belekan. Ia
menggeleng-geleng disertai senyuman, seakan-akan mau menggoda kami.
“Dengar-dengar Gorohachi digigit ular berbisa kemarin.”
“Gorohachi itu pilotnya?”
tanyaku, tesergap oleh suatu alamat. “Apa dia tidak punya pilot pembantu?”
Si Hidung Merah dan si Mata
Belekan memandang satu sama lain.
“Kalau ada, berarti itu si
Yoné.”
“Mana mungkin Yoné. Biasanya cuma Goro yang menerbangkan pesawat.”
“Berapa, ya, biayanya?” tanya Hatayama
berjaga-jaga. Dia itu orangnya memang pelit.
Si Mata Belekan menyahut seraya berpikir keras,
“Kami orang Shiokawa punya tiket musiman, jadi bagi kami harganya lebih murah.
Tapi kalau ada turis yang terpaksa ikut terbang, sepertinya mereka memungut
sekitar tiga ribu yen untuk perjalanan pulang pergi.”
“Seribu lima ratus yen sekali jalan? Mahal juga,
ya,” Hatayama tidak senang. “Padahal cuma sekitar sepuluh menit kan dari sini
ke Shiokawa.”
Aku menyodok rusuknya dan
cepat-cepat menyela. “Tidak apa-apa. Seribu lima ratus yen itu harga yang
pantas asal kita bisa menyeberang. Tapi, apa maksud Anda Shiokawa Air ini cuma
punya satu pesawat, dan orang yang bukan dari Shiokawa serta tidak memiliki
tiket musiman tidak boleh menumpang, kecuali terpaksa?”
Si Mata Belekan lagi-lagi
sungkan. “Yah, kira-kira begitulah.”
Lantaran cemas, tanpa sengaja aku meninggikan suara. “Dan apakah perusahaan penerbangan ini punya izin usaha yang layak?”
(Bersambung)
Cerpen ini diterjemahkan dari “Farmer Airlines” dalam Salmonella Men on Planet Porno: Stories oleh Yasutaka Tsutsui. Terjemahan dari bahasa Jepang ke bahasa Inggris oleh Andrew Driver, diterbitkan oleh Vintage Books, 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar