Si Hidung Merah memandangku
tajam. “Hei, kalau kamu mau kembali ke kantormu secepatnya, sebaiknya tidak
usah tanya yang begitu. Tidak perlu juga banyak bicara ke orang-orang soal itu.
Kamu bilang kamu ini penulis, dan tadinya aku tidak mau kasih tahu tentang
pesawat itu, karena kamu mungkin akan menuliskannya. Aku memberitahumu hanya
karena kamu tadi bilang kamu sudah putus asa.”
“Aku tidak akan memberi tahu
siapa-siapa,” aku menyatakannya keras-keras, mengkerut di bawah pelototan
mengerikan si Hidung Merah. “Aku tidak akan memberi tahu siapa-siapa, dan aku
tidak akan menulis tentang pesawat itu di majalah.” Tak ayal lagi—pesawat itu
milik pribadi, dan dijalankan tanpa izin.
“Tidak perlu khawatir,” si Mata Belekan memanggilku diiringi senyuman. “Gorohachi itu pilot yang cakap, dan dia punya izin terbang.”
Mungkinkah orang menerbangkan
pesawat tanpa izin?
“Baiklah, jadikah kita naik
pesawat itu?” Hatayama berbisik kepadaku disertai kecemasan.
“Tentu saja kita akan naik
pesawat itu!” jawabku. “Kita ini sedang terburu-buru. Ada kesempatan baik
begitu, bodoh kalau tidak kita ambil.”
Aku sedikit khawatir mengenai
jenis pesawat itu. Namun saat ini kemarahan Kepala Editor lah yang lebih
mengkhawatirkan. Aku tidak berhak pilih-pilih.
“Tapi bukankah Gorohachi baru
digigit ular berbisa,” lanjut si Mata Belekan.
“Hah? Katanya dia sudah
ditangani di RSU Shiokawa. Dia akan baik-baik saja,” kata si Hidung Merah. “Di
sana juga ada persediaan darah.”
Sekarang pakaian kami telah
kering. Aku dan Hatayama memakan salah satu bekal makan siang yang kami bawa.
Pesawat itu masih belum kunjung datang. Hujan telah sedikit mereda, tetapi
anginnya bertambah kencang saja.
“Pesawatnya tidak akan
datang,” ujar Hatayama. “Taruhan deh, enggak bakal datang.” Ia terlihat sedikit
lega dengan pemikiran itu. Aku bisa membaca isi benaknya. Tentu saja dia tidak
menghendaki amukan dari Kepala Editor. Namun itu masih lebih baik daripada
tewas karena kecelakaan pesawat.
Seketika itu, samar-samar
terdengar bunyi menderu di kejauhan, bercampur dengan suara angin.
“Itu dia orangnya.” Si Hidung
Merah dan si Mata Belekan bangkit.
Kami buru-buru keluar gubuk
mendahului mereka. Tidak tenteram rasanya hingga kami dapat melihat pesawat ini
dengan mata kepala kami sendiri.
Sebuah pesawat ringan, yang
terbang rendah dari arah Shiokawa, sedang membuat putaran menyapu di atas ladang
buncis. Aku tidak mengetahui jenis pesawat itu, tetapi badannya gemuk pendek
dengan baling-baling di tiap sayapnya.
“Kelihatannya pesawat itu
kurang lebihnya layak juga. Kita akan aman menaikinya. Ya kan. Eh.” Hatayama
berusaha meyakinkan dirinya sendiri.
“Apa lagi yang kamu harapkan,
kalau bukan pesawat yang layak?” balasku, seraya menatapnya. “Jangan bicara
yang tidak-tidak.”
Digocoh angin, pesawat itu
berguncang keras ketika berbalik dan bersiap untuk mendarat beberapa jauhnya
dari landasan. Lantas pesawat itu datang menuju kami, sembari mengepakkan
sayapnya naik turun. Sayapnya tidak mengepak secara bergantian, tetapi berbarengan.
“Memangnya sayap pesawat itu
bisa mengepak begitu ya?” cicit Hatayama ketakutan.
“Ya tidak bisalah,” tukasku
jengkel. “Itu karena angin.”
“Tunggu dulu! Landasannya
terlalu pendek!” Hatayama menjerit. Ia terpaku sementara pesawat itu mendekat,
dengan roda-rodanya masih masuk. Seberapa dekat pesawat itu akan berhenti?
Hatayama bersiap-siap lari.
Ketika roda akhirnya menyentuh
landasan, pesawat itu melonjak-lonjak. Aku memejamkan mata.
“Bukan. Itu bukan Gorohachi,”
teriak si Mata Belekan yang berdiri di belakang kami. “Gorohachi lebih pintar
mendaratnya.”
Siapa dong, kalau bukan
Gorohachi? Aku membuka mataku lagi untuk melihatnya. Pesawat itu bergemuruh saat
meluncur ke arah kami di atas landasan. Sudah pasti pesawat itu bakal meluku
kami.
“Tidaaak! Pesawatnya bakal
menabrak pondok!” Hatayama sudah dari tadi raib. Aku menyusul dia, terjun ke
ladang buncis di sebelah kami.
Pesawat itu membalikkan arah
gerakan baling-balingnya, kemudian berciut-ciut hingga berhenti beberapa inci
saja dari pondok.
Kami berpandang-pandangan di ladang buncis. “Kita nyaris tewas dalam kecelakaan pesawat padahal belum juga naik pesawatnya!” ujar Hatayama. Saking ngeri, pupil matanya mengkerut sampai seukuran otak udang.
Kami menunggu hingga
baling-balingnya berhenti sebelum merayap keluar dari ladang buncis. Ketika
kami mendekatinya, tampak betapa nyaris pesawat itu merusakkan pondok.
“Lihatlah! Sekitar lima
inci,” ucap Hatayama, seraya mengukur jarak dengan jemarinya. Ia beralih
kepadaku dan menambahkan dengan sarkastis, “Ini baru namanya servis!”
Aku memberengut. Ini bukan
bahan candaan, tahu.
Di belakang pesawat itu terbujur
jejak paralel bekas roda yang dalam, yang tebal dari roda utama pada kedua
belah sisi yang lebih tipis dari roda depan—serupa jalur tikus mondok raksasa.
Jejak itu pastilah dihasilkan saat pilot mengerem di landasan yang lembek oleh
hujan.
Pintu pesawat membuka dan
sebuah tangga kayu disorongkan keluar. Tak ada kemewahan seperti “tangga
pesawat” bagi para penumpang ini, berarti. Dan ke tangga kayu itu melangkah
seorang wanita paruh baya nan montok yang turun dengan goyahnya disertai
seorang bayi yang diikatkan pada punggungnya.
“Hai, Yoné,” si Mata Belekan memanggil wanita
itu. “Kupikir kemungkinan kamu yang datang. Bagaimana kabar Gorohachi?”
“Bah. Dia tidak
kenapa-kenapa. Cuma dokternya bilang dia jangan bergerak,” wanita itu tertawa,
menampakkan giginya yang menghitam. “Goro tahu kalian ada di sini, dan saking
khawatirnya, bilang akan datang dan menjemput kalian. Tapi karena dokter
menyuruhnya berbaring saja, akulah yang datang.”
“Wah, sudah lama kami tidak
terbang bersamamu, Yoné,” ujar si Hidung Merah
ceria. “Sepertinya kamu belum lupa caranya terbang, ya.”
“Yang benar saja!” sahut wanita itu, seraya
melontar pandangan genit kepada si Hidung Merah sembari tertawa. Wanita itu
jelas-jelas istrinya Gorohachi. “Begitu jalan, aku langsung tahu caranya.”
Hatayama menyodokku berkali-kali dari belakang.
“Hei! Hei!”
“Apa,” erangku. Aku tidak berbalik—aku tahu apa
yang mau dikatakannya.
“Eh, kamu enggak bakalan naik ke pesawat ini,
kan.”
Aku jadi berbalik. Aku menatap sengit ke mata
Hatayama, yang telah sepenuhnya diliputi ketakutan. “Memangnya kenapa?”
“Kamu benar-benar mau naik? Kamu mau naik pesawat
yang diterbangkan istri petani gendut yang bawa-bawa bayi dan hampir-hampir
tidak bisa membedakan antara sayap dan aileronnya? Pesawat yang naik turunnya
pakai tangga kayu?”
Namun ia jelas-jelas menyadari bahwa aku sama
sekali tidak ada niat untuk mengubah keputusan.
Wajahnya menyunggingkan senyum terpaksa yang
sinis saat ia melanjutkan. “Baiklah, ayo kita naik! Lagi pula, ini akan jadi
pengalaman langka, bukan, terbang dengan pesawat macam itu di tengah amukan
taifun!”
“Jangan sarkastis begitu dong. Kamu ini bikin
jengkel saja,” kataku seraya berpaling dari dia. Sebenarnya, aku cuma berlagak
kuat. Aku butuh dia naik pesawat itu bersamaku. Namun jauh di lubuk hati, aku
gemetar ketakutan.
Si Mata Belekan sedari tadi bicara dengan istri
Gorohachi sambil sesekali melirik kami. Lantas ia mengangguk dan memanggil kami
disertai tawa. “Hei, para pelancong! Kalian beruntung! Katanya dia bersedia
mengangkut kalian!”
“Benarkah?” aku mendekati istri Gorohachi dengan
sikap bersyukur yang selayaknya. Bagaimanapun juga, kami hendak mempercayakan
nyawa kami pada perhatiannya. Lebih baik ambil hatinya sekalian. “Terima kasih.
Terima kasih banyak!”
“Ada ongkosnya, tapi,” kata wanita itu. “Dua ribu
yen per orang.”
Si Mata Belekan menyela dari samping, agak
terburu-buru.
“Sebenarnya, Yoné, tadi aku sudah kasih tahu mereka ongkosnya
seribu lima ratus sekali jalan.”
“Oh. Ya sudah, seribu lima ratus,” ujar wanita
itu santai, sama sekali tak menampakkan rasa tak senang. “Kalau begitu, ayo.
Naiklah kalian.”
“Istri Gorohachi kelihatannya orang baik,” kataku
kepada Hatayama selagi kami berjalan dari pondok bersama tas kami.
Ia menggigil takut. “Bukan berarti dia pandai
menerbangkan pesawat, kan,” jawabnya.
Aku merengut. Namun ia terus saja, dengan wadah
kamera kedap air miliknya tersandang di bahu, “Baru saja mereka bilang
Gorohachi ini punya izin terbang yang layak. Aku dengar. Tapi mereka belum
bilang apa-apa soal istrinya. Memang dipikir-pikir, tak benar rasanya kita
tanya-tanya soal itu, ya kan.”
“Tepat sekali,” jawabku dengan kesetujuan yang
dilebih-lebihkan. “Makanya jangan.”
“Iya, tapi, kita pasti dapat kembali ke Shiokawa
dengan utuh, kan. Ya.” Hatayama tertawa gugup, sembari mengangguk-angguk
sendiri beberapa kali. “Lagi pula, dia sudah punya jam terbang, ya kan.
Sekalipun dia tidak memiliki izin. Dan sekalipun memang sudah lama sejak
terakhir kali ia menerbangkan pesawat. Ya. Dan kedua petani itu juga sama
sekali tidak gugup terbang bersama wanita itu, ya kan. Sekalipun mereka memang
tidak mengerti dan sama sekali tidak peka terhadap bahaya. Itu bukan apa-apa,
ya kan.”
Aku membisu. Kalau tidak, bisa-bisa dia mulai
menjerit histeris.
Kami menaiki tangga ke dalam pesawat itu. Di
dalamnya, ada sepuluh kursi yang sudah separuh bobrok, lima di tiap-tiap
sisinya mengapit gang yang dilapisi tikar jerami. Tidak ada partisi antara
penumpang dan pilot; alat pengendalinya terpampang sepenuhnya. Aku dan Hatayama
duduk di kursi depan, di tiap-tiap sisi gang.
Begitu kami duduk, Hatayama mulai lagi. Matanya
yang setajam penglihatan elang mendapati sesuatu di langit-langit kokpit, di
atas jendela depan.
“Lihat itu!” serunya. “Ada miniatur kuil!”
“Begitu, ya.”
“Sepertinya jimat keberuntungan.”
“Begitu, ya.”
“Maka dari itulah pesawat ini masih utuh sampai
sekarang. Sungguh keberuntungan!”
“Diamlah.” Kembali aku pelototi dia seraya
menyipitkan mata.
Hatayama menundukkan kepalanya penuh penyesalan.
“Apa kamu mesti marah sebegitunya dengan setiap perkataanku? Jangan
terus-terusan seperti itulah!”
Kedua petani telah selesai memuatkan keranjang
hasil panen beserta peralatan bercocok tanam mereka ke dalam pesawat. Lantas
istri Gorohachi mengangkat tangga lalu menutup pintu.
“Baiklah, mari berangkat!”
Ia menyugar ke belakang beberapa helai rambutnya yang terurai, lantas memarkirkan bokongnya yang berukuran lumayan ke kursi
pilot—sembari berusaha menenangkan bayi yang bergeliang-geliut di punggungnya.
Begitu berada di tempatnya, ia mulai mengutak-atik tombol, penarik handel,
serta pengendali lainnya, sentuhan tangannya tampak kaku dan canggung. Aku dan
Hatayama menahan napas sementara mengamati dengan sangsi. Adapun kedua petani
di belakang kami dengan antengnya membahas harga buncis.
Perlahan-lahan pesawat mulai bergerak, berputar
hingga ekornya menghadap pondok, lantas mulai berjalan menyusuri landasan.
Pesawat berguncang dan bekertak bising, sampai-sampai kami terlonjak dari kursi.
“Tahu begini kita duduk di belakang saja,” erang
Hatayama.
Tidak hanya karena tidak ada sabuk pengaman,
tetapi juga karena kami duduk di depan, tidak ada apa-apa untuk berpegangan.
“Diam! Atau kurobek lidahmu sampai putus!”
teriakku.
Pesawat melambung satu kali, kemudian menambah
kecepatan. Badannya berguncang demikian keras sehingga sepertinya bisa ambyar
sewaktu-waktu. Namun tetap saja pesawat ini terus berjalan pelan-pelan di
sepanjang landasan.
“Kita tidak bisa lepas landas,” ucap Hatayama,
gemetar ketakutan. “Oh tidak! Kita tidak akan selamat!”
Landasan berujung pada puncak tebing yang
menghadap lautan. Tepian tebing itu mendekat dengan cepatnya. Pesawat melambung
lagi, nyaris membenturkan kami ke langit-langit.
Begitu melayang dari ujung landasan, pesawat
dihantam bertubi-tubi oleh embusan angin hingga miring sebelah. Kami mulai
terjungkir-jungkir ke arah lautan, puncak putih gelombang menyerbu ke arah kami
melewati jendela depan. Hatayama memuntahkan tangisan sayup. “Habislah kita,”
dengkingnya. “Habislah kita. Sudah kuduga.”
“Ayolah, bajingan!” umpat istri Gorohachi seraya
menyentak tongkat pengendali ke atas. Si bayi menangis keras-keras.
Hidung pesawat terangkat, dan berangsur-angsur kami kembali ke sudut yang dapat lebih diterima. Lantas kami mulai meninggi, sembari terayun-ayun. Aku dan Hatayama sama-sama mengendurkan bahu sembari mengembuskan desah kelegaan sebesar-besarnya berbarengan.
“Oy, Yoné,” panggil si Mata Belekan. “Apa cuma perasaanku saja, atau memang tadi itu agak berbahaya, ya?”
(Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar