· “Keajaiban Agraria” Brasil tercapai berkat
industri agrobisnis yang telah mengeluarkan negara itu dari kemerosotan ekonomi
baru-baru ini, dan menyumbang 23,5 persen PDB pada 2017. Namun keajaiban
tersebut bertopang pada lahan bermain yang terjal, karena pemerintah lebih
mensubsidi para pengusaha elite.
· Akibatnya, para industrialis agraria
memiliki 800.000 pertanian yang menduduki 75,7 persen lahan pertanian negara,
dan secara total menghasilkan 62 persen produk pertanian. Lebih jauh lagi mengenai
kesenjangan ini, hanya 1,5 persen pemilik top lahan pedesaan yang menempati 53
persen dari seluruh lahan pertanian.
· Sebagai perbandingan, ada 4,4 juta pertanian
keluarga di Brasil yang mencapai 85 persen dari seluruh operasi pertanian di
negara itu. Sektor pertanian keluarga menghasilkan 70 persen pangan yang
dikonsumsi di negara itu, namun dengan menggunakan kurang dari 25 persen lahan
pertanian Brasil.
· Kesenjangan dalam subsidi pertanian yang
lebih mengutamakan industri agrobisnis berskala besar daripada pertanian
keluarga menjadi-jadi sejak 2016 di bawah pemerintahan Michel Temer, dan
diperkirakan semakin parah dalam pemerintahan Jair Bolsonaro. Para ahli
mengatakan bahwa kebijakan yang mengutamakan pertanian keluarga dapat menyokong
ketahanan pangan nasional.
Cerita ini merupakan yang kedelapan dan yang
terakhir dari seri oleh jurnalis Anna Sophie Gross yang berkeliling ke negara
bagian Tocantins dan Maranhão
di kawasan Amazon Legal, Brasil, untuk Mongabay dengan tujuan menilai dampak
agrobisnis terhadap lingkungan dan masyarakat di wilayah itu.
SERRA
DO CENTRO, negara bagian Tocantins, Brasil—Alzira Miranda de Oliveira
berayun-ayun di kursinya di rumah batu yang nyaman yang dibangun suaminya untuk
keluarga mereka beberapa dekade lalu. Ia menampakkan senyuman memikat namun
ganjil saat mengingat masa yang baru setahun lalu, ketika perkumpulan pengusaha
kedelai yang berkuasa di daerah tersebut berusaha mengusir keluarganya dari
tanah itu secara legal.
Diiringi
selera humor yang tinggi, ia menceritakan betapa dirinya masih mencari
perlindungan ketika mendengar pesawat melintas—karena mengira para calon
penjarah tanah hendak menyerang dari atas.
Alzira
dan suaminya tinggal di Serra do Centro, di wilayah Campos Lindos negara bagian
Tocantins, Brasil. Ladang mereka tidak seperti perkebunan monokultur kedelai
monoton yang biasa ada di wilayah itu, tetapi mencakup ketela, kacang-kacangan,
beras, melon, jeruk, limau, labu, ubi jalar, berbagai jenis kentang, berikut
banyak babi dan sedikit sapi. Ayam-ayam berjalan santai penuh percaya diri di
seputar pertanian keluarga itu, menyela dengan berisik sepanjang percakapan kami.
Alzira
mengeluarkan beberapa peles berisi kacang-kacangan—terdiri dari beberapa lapis
kacang kering berbeda jenis yang merupakan makanan pokok di Brasil, feijao. Persediaan kacang kering ini
membantu kebutuhan pangan keluarganya, termasuk lima anak dan dua anak angkat,
dan juga akan dijual di pasar setempat untuk memperoleh uang. Alzira hampir
sepenuhnya berswadaya, dengan menghasilkan semua buah dan sayuran yang dibutuhkan
untuk menghidupi diri serta orang-orang yang dikasihinya. Ia memperoleh produk
yang tidak bisa dihasilkannya sendiri melalui pertukaran dengan 59 keluarga
petani lainnya di wilayah itu.
Pemandangan
dari pesawat nirawak menampakkan beberapa hunian kecil kelompok pertanian
keluarga di lautan luas kedelai—pertanian-pertanian besar yang membentuk Proyek
Campos Lindos. Proyek yang merupakan gagasan mantan gubernur Siqueira Campos
ini bertujuan untuk mendatangkan para penguasa agrobisnis berskala besar ke
Tocantins, negara bagian Brasil yang paling muda (dibentuk pada 1988) dengan
menawarkan insentif keuangan untuk berinvestasi dalam tanaman monokultur.
Terpicu oleh tawaran ekonomis serta harga tanah yang murah, para petani kedelai
Brasil selatan—yang dikenal sebagai Gauchos—mulai
menjajah Tocantins pada tahun 1990-an.
Hunian
kecil Alzira yang terletak dalam bentangan kedelai yang seolah-olah tiada
ujungnya melukiskan secara kuat gambaran mengenai ketidakseimbangan agraria dan
lingkungan di wilayah itu begitu pula dunia modern. Kedelai yang tumbuh di
Campos Lindos ditujukan untuk ekspor ke China dan tempat lainnya—sering kali
sampai Inggris atau Uni Eropa sebagai pakan ayam (yang diklaim menggunakan cara
lestari, namun berhubungan dengan deforestasi Brasil), juga dijual ke McDonalds,
Tesco, serta pengusaha ritel besar lainnya. Sebagai perbandingan, buah dan
sayuran yang dihasilkan Alzira memberi makan penduduk Brasil dan vital bagi
ketahanan pangan nasional negara itu.
Selain
itu, konflik tanah yang terlihat di Campos Lindos merupakan simbol dari
merajalelanya konflik di seluruh Brasil utara, terutama di Cerrado serta bioma
Amazon, antara petani keluarga penghasil buah dan sayuran serta petani kedelai,
jagung, kopi, tebu, kapas, eukaliptus, daging sapi, babi, ayam, serta komoditas
ekspor lain yang berskala besar.
Argumen industrialis pertanian
Banyak
elite pengusaha agrobisnis Brasil berpegang pada narasi politis serupa ketika
membela model usaha ekspor komoditas mereka: mengadakan pertumbuhan,
kemakmuran, dan pangan bagi bangsa Brasil dan dunia.
Mereka
mengatakan populasi terus tumbuh, sehingga Brasil harus memberi makan
masyarakat!
Di
Balsas, jantung agrobisnis negara bagian Maranhao, saya mengobrol dengan Daniel
Groli, seorang sojeiro, atau petani
kedelai, serta anggota keluarga petani yang termasyhur.
Keluarga
Groli pindah kemari dari Brasil selatan pada tahun 1990-an sebagai bagan dari
yang digambarkan Daniel sebagai “invasi positif, yang sekarang jadi menarik
perhatian.” Ketika saya menyinggung masalah dampak lingkungan dari monokultur
berskala besar terhadap bioma savana Cerrado di Brasil, ia menangkis:
“Amerika
Serikat dan Eropa sendiri tidak khawatir akan deforestasi ratusan tahun yang
lalu. Mereka menebang hutan untuk menghidupi rakyat mereka dan mengatasi
kelaparan …. Sekarang ini, pelabuhan dibanjiri kedelai, kereta dibanjiri
kedelai, pertanian dibanjiri kedelai, dan apakah itu artinya? Artinya semua
penuh oleh makanan …. Semakin maju dan besar agroindustri berarti semakin
banyak makanan yang akan dihasilkan di dunia.”
José Antonio Gorgen, seorang pengusaha agrobisnis kaya di
Maranhao menyetujui. Zezao, nama panggilannya, berseru: “Ada kota-kota (di
seluruh dunia) berpenduduk jutaan orang. Mereka sarapan, makan siang, dan makan
malam setiap hari! Bayangkan kekacauan yang akan terjadi kalau kita kekurangan
pangan? Bisa-bisa kita saling bunuh supaya bisa makan.”
Argumen
ini sepintas meyakinkan. Dengan 7,6 miliar populasi dunia saat ini—yang akan
membumbung tinggi menjadi 9.8 miliar pada 2050, dan 11,2 miliar pada
2100—menurut taksiran PBB, komoditas Brasil saat ini menyediakan dan akan terus
memainkan peranan besar dalam mendukung ketahanan pangan global.
Yang
baik bagi dunia, baik pula bagi ekonomi daerah: “Agroindustri merupakan acuan
ekonomi yang mengadakan pembangunan di kotamadya Balsas,” Daniel Groli
menyatakan.
Bukan
hanya dirinya yang memiliki pertimbangan mencerahkan ini. Banyak orang,
termasuk Presiden Jair Bolsonaro yang baru terpilih, menganggap produsen
agrobisnis berskala besar sebagai penyelamat ekonomi Brasil, khususnya dalam
dua tahun belakangan ini ketika negara tersebut memanjat keluar dari resesi
ekonomi yang berat. Industri pertanian menyumbang 23,5 persen PDB pada 2017,
yang merupakan sumbangan terbesarnya dalam 13 tahun belakangan.
Akan
tetapi, argumen ini juga secara gamblang membiarkan para elite agrobisnis mapan
dan berduit yang memiliki kekuatan finansial dan politik untuk membentuk narasi
nasional dan bentang fisik Brasil. Gabungan produsen berskala besar dengan
perusahaan komoditas transnasional, berikut penguatan lobi agrobisnis bancada ruralista[1]
yang saksama di Kongres beserta pemerintahan negara bagian memberi para pengusaha
agroindustri pengaruh luar biasa.
Tinjauan
lebih jauh pada statistik pertanian menimbulkan pertanyaan mengenai apakah
kepentingan industri agrobisnis memang selalu bertalian dengan kepentingan yang
terbaik bagi masyarakat Brasil, dan apakah perbaikan dukungan federal bagi
pertanian keluarga tidak bisa sama-sama memenuhi ketahanan pangan nasional dan
internasional berikut tujuan-tujuan ekonomi Brasil.
Agroindustri
versus pertanian keluarga—membongkar angka
Di
Brasil, pertanian keluarga amat berbeda dan sering kali berkonflik dengan
agrobisnis. Pertanian-pertanian yang dimiliki dan dijalankan keluarga
mengerjakan keseluruhan proses dalam melayani pasar perkotaan dan pedesaan,
dengan sebagiannya berskala besar, sementara banyak selebihnya yang berskala
kecil, mengolah lahan miskin, dan sekadar untuk menyambung hidup serta
nonpasar.
Tidak
seperti model industri agrobisnis—yang didominasi oleh monokultur dan
keuntungan tinggi—pertanian keluarga di Brasil dicirikan oleh polikultur,
beberapa tumbuhan berbeda yang ditanam bersisian, dengan tiap-tiap ladang
biasanya menyatu dengan masyarakatnya. “Keluarga dan ladang bertalian,
berkembang bersama, dan mempersatukan fungsi-fungsi ekonomi, lingkungan, sosial
dan budaya,” tulis Organisasi Pangan dan Pertanian PBB.
Ada
4,4 juta pertanian keluarga di Brasil, yang mencapai 85 persen dari penegakan
agraria di negara itu. Walaupun statistiknya agak bervariasi, sektor pertanian
keluarga memberikan kontribusi penting bagi ketahanan pangan nasional Brasil,
menghasilkan sekitar 70 persen pangan yang dikonsumsi di negara itu. Akan
tetapi, pertanian keluarga mencapai prestasi ini dengan memanfaatkan tidak
sampai 25 persen dari lahan pertanian Brasil.
Sebagai
perbandingan, penanam komoditas berskala besar, berorientasi ekspor, dan
bermodal tinggi memegang bagian yang lebih besar dari lahan subur yang bisa
dirumputi. Para industrialis pertanian Brasil memiliki sekitar 800.000
pertanian yang menempati 75,7 persen lahan pertanian negara, yang secara total
menghasilkan 62 persen produk pertanian. Lebih jauh lagi mengenai kesenjangan
ini, hanya 1,5 persen pemilik top lahan pedesaan yang
menempati 53 persen dari seluruh lahan pertanian.
Kontras
yang tajam juga muncul pada jenis tanaman: kedelai, jagung, kopi, gula, sapi,
babi, dan ayam merupakan jantung pada rantai pasokan industri agrobisnis
Brasil. Lebih dari setengah kedelai, kopi, dan gula yang diproduksi di Brasil
diekspor ke Eropa, China, dan Amerika Serikat serta negara-negara lain.
Di
sisi lain, siapa saja yang telah menghabiskan banyak waktu di Brasil akan akrab
dengan kacang hitam, beras, dan farofa
(yang terbuat dari ketela)—yang sebagian besar merupakan pangan masyarakat
Brasil sehari-hari. Pertanian keluarga memproduksi 87 persen ketela, 70 persen
kacang, 34 persen beras, serta 21 persen gandum yang dikonsumsi di Brasil.
Pertanian keluarga juga menanggung 60 persen susu, 59 persen sapi, serta 50
persen unggas. Layak dipertimbangkan mengenai dampaknya terhadap lingkungan
maupun ketahanan pangan dunia, jika pola makan di Brasil yang terdiri dari
ketela dan kacang-kacangan diperkenalkan pada negara maju.
Sementara
petani seperti Daniel Groli dan Zezao mengaitkan pertumbuhan agraria di Brasil
yang melangit dengan agroindustri berskala besar dan berorientasi ekspor—seperti
yang mereka miliki—pertanian keluarga juga memainkan peran yang signifikan,
walaupun tidak disuarakan, dalam yang dikatakan sebagai “Keajaiban Agraria”
Brasil.
Pertanian
keluarga di Brasil mencapai lebih dari 80 persen unit produksi pertanian yang
menanggung 38 persen dari nilai bruto produksi pertanian, menurut Lembaga
Geografi dan Statistika Brasil (Brazilian
Institute of Geography and Statistics/IBGE)
Yang
tidak kalah penting, pertanian keluarga menciptakan lapangan kerja, sementara
industri agrobisnis sangat termekanisasi dan miskin lapangan kerja. Tujuh puluh
persen tenaga kerja pedesaan di negara itu dipekerjakan di pertanian keluarga.
Satu kajian akademis menemukan bahwa sektor ini menanggung sepuluh persen dari
1995 sampai 2005.
Bias dalam dukungan pemerintah
Sejak
lama kebijakan agraria Brasil memiliki dua arah yang berbeda, bersaing, namun
tidak selalu setara: agroindustri dan pertanian keluarga. Misalkan saja, pada
1970-an dan 1980-an, pemerintahan militer Brasil mendapat kritikan dari para
akademisi atas apa yang dinamakan sebagai “modernisasi konservatif”, suatu
proses yang mengistimewakan agrobisnis berskala besar, namun mengecualikan para
petani berskala kecil.
Setelah
demokratisasi ulang pada 1985, ada upaya kerja sama oleh pemerintah untuk
mengembangkan kebijakan pemerintahan yang lebih ramah terhadap pertanian
keluarga. Pada 1990-an, Presiden Fernando Henrique Cardoso mengajukan suku
bunga rendah serta program khusus, PRONAF, untuk memajukan pertanian keluarga.
Kesadaran pemerintah bahwa Kementerian Pertanian belum pernah menyediaakan
kondisi ekonomi yang baik bagi pertanian keluarga menyebabkan dibentuknya
Kementerian Pengembangan Pertanian, yang tujuannya semata-mata untuk memajukan
pertanian keluarga.
Pada
2000-an, dukungan terhadap pertanian keluarga diperkuat di bawah pemerintahan
Lula dan Dilma, yang menyediakan sumber daya lebih besar bagi sektor tersebut
berikut program-program baru, seperti Program Pendapatan Pangan, yang melalui
itu pemerintah membeli produk-produk pertanian keluarga untuk dimanfaatkan lembaga-lembaga
umum seperti rumah sakit dan sekolah.
2016
menghadapi pergeseran nyata dari kebijakan yang ramah pertanian keluarga menuju
agrobisnis. Presiden Michel Temer meniadakan Kementerian Pengembangan Pertanian
dan menjadikan lembaga itu kesekretariatan khusus, yang berhubungan dengan
kementerian Dalam Negeri yang sebagian besar dikuasai oleh pendukung agrobisnis
pedesaan.
“Ini
menurunkan status dan kepentingan pertanian keluarga,” jelas Antonino Rovaris
dari Konfederasi Nasional Petani Keluarga dan Pekerja Pertanian (National Confederation of Farm Workers and
Family Farmers/Contag). “Kelompok wakil pedesaan di Kongres mengatakan
bahwa mereka melindungi hak semua orang, tetapi kami tidak merasa terwakili.”
Ada
pula ketimpangan pendanaan yang besar. Pada 2017, Kementerian Pertanian Brasil mengumumkan
investasi sebesar 30 miliar real (8 miliar dolar Amerika Serikat) untuk
pertanian keluarga pada 2020, sebagai bagian dari Rencana Safra Pertanian
Keluarga, yang berarti 7,5 miliar real (2 miliar dolar Amerika Serikat) per
tahun. Jumlah ini terdengar signifikan, namun pada tahun itu juga 190 miliar
real (49 miliar dolar Amerika Serikat) dikucurkan untuk mendukung para petani
berskala besar. Sederhananya, pemerintah menginvestasikan dana rakyat untuk
industri agrobisnis lebih besar daripada untuk pertanian keluarga.
Graeub
et al merangkum situasi kebijakan agraria Brasil dalam artikel yang terbit pada
2016, Keadaan Pertanian Keluarga Dunia:
Terlepas
dari banyaknya jumlah petani keluarga, hasil kerja per hektar yang lebih
tinggi, serta bagian tanggung jawab yang lebih besar atas produksi bahan pangan
pokok yang dikonsumsi dalam negeri, dukungan yang tersedia bagi mereka tidak
cukup. Sumber daya (serta kekuatan) sektor agrobisnis yang lebih besar sudah
tentu mencerminkan setidaknya sebagian keuntungan sektor ekspor bagi negara itu.
Namun bukti empiris setidaknya membukakan kemungkinan bahwa fokus yang timpang
ini tidaklah mencerminkan metode paling efisien untuk menyokong produktivitas
dan ketahanan di Brasil.
Kementerian
Pertanian tidak menanggapi permintaan untuk memberikan komentar.
Penerapan hukum yang tidak
imbang
Ketika
berada di Tocantins, saya mengunjungi kawasan Gleba
Tauá,
yang telah dimukimi lebih dari setengah abad oleh orang-orang yang mengklaim “Tanah
Kesatuan”—properti milik pemerintah yang dapat ditempati dan diolah secara
legal oleh warga Brasil mana pun.
Selama
tiga tahun terakhir, Lembaga Nasional Reformasi Kolonisasi dan Agraria (National Institute of Colonization and
Agrarian Reform/INCRA) gagal mendapatkan sertifikat tanah untuk Gleba
Tauá—agar
dapat dimiliki seterusnya oleh petani keluarga yang tinggal di sana.
Upaya
tersebut beradu dengan lawan yang kuat. Pada 2015, seorang pengusaha agrobisnis
bernama Emilio Binotto berusaha mengusir para petani keluarga yang telah
menetap melalui perintah pengadilan. Sejak pindah ke Tocantins dari negara
bagian Santa Catarina di sebelah selatan pada 1990-an, ia telah mengklaim
beberapa bidang Tanah Kesatuan, dan membagi-bagikannya kepada keluarga dan
teman-temannya.
Hakim
memberi Binotto surat keputusan yang dimintanya pada 2016, namun kebrutalan
polisi dalam upaya menegakkan peraturan serta mengusir para pemukim yang berhak
mengakibatkan ingar-bingar sehingga tindakan legal selanjutnya ditangguhkan
dalam waktu tak terbatas.
Sejak
itu masyarakat hidup dalam keprihatinan berkepanjangan, seraya menanti langkah
Binotto selanjutnya. Pada Juli 2018, beberapa rumah mukim dirobohkan dengan
gergaji mesin oleh orang-orang bersenjata. Serangan itu difilmkan oleh penduduk
dan dilaporkan pada pers nasional. Polisi pamong praja dan Militer diutus ke
kawasan itu, namun tidak ada yang ditangkap dan tidak ada keterangan bahwa
peristiwa tersebut diselidiki lebih lanjut.
Cleodivan
Torres Coimbra pindah ke Gleba Tauá delapan tahun lalu ketika
mendengar tentang lahan subur yang tersedia di kawasan berkembang itu. Ia mendirikan
rumah besar, menanam kebun sayuran dan buah yang terus menghasilkan, serta
memelihara ayam dan babi. Akan tetapi mempertahankan bidang lahannya merupakan
perjuangan tiada henti.
“Penindasan
sudah terjadi sejak hari pertama saya dan istri pindah kemari,” kata dia. “Polisi
mengatakan kami tidak boleh menanam melon, tetapi ketika dia [Binotto] dibiarkan
menebang pohon untuk menanam tanaman panen. Tiap kali kami menanam apa pun,
mereka membawa polisi untuk mengatakan bahwa kami merusak hutan.”
Seperti
yang diutarakan oleh pembela umum yang mewakili masyarakat tersebut dalam
perkara legal: “Kekuasaan ekonomi memungkinkan Binotto dan pengacaranya melakukan
kekejaman ini. Hukum sama bagi petani besar atau kecil, namun penerapannya
berbeda.” Bias di antara pejabat setempat, penegakan hukum daerah dan
pengadilan melawan para petani keluarga, serta pengistimewaan agrobisnis skala
besar merupakan cerita sehari-hari di seluruh pedalaman Brasil.
Emilio
Binotto tidak dapat dihubungi Mongabay untuk dimintai komentar.
Model agrobisnis yang tidak lestari
Para
analis mengatakan bahwa pasar agrobisnis global telah membantu menciptakan lahan
bermain yang jauh dari keadilan. Janji keuntungan korporat yang luar biasa dari
ekspor komoditas terbukti sangat menggiurkan penanam berskala besar, sementara
lembaga pemerintahan terus lebih melayani para pengusaha agroindustri dengan
hak istimewa dan koneksi bagus daripada para pemilik pertanian desa berskala
kecil berikut tenaga kerja mereka.
Zezao
bertanya pada saya dengan meledek: “Menurut Anda cara yang benar itu hidup seperti
penduduk asli, di hutan, hidup ala kadarnya dari tanah? Bisakah Anda bayangkan aldeia [masyarakat pribumi] berpenduduk
200.000 orang?” Asumsinya masyarakat dunia akan kelaparan tanpa industri
agrobisnis, dan bahwa metode pertanian keluarga tidak dapat ditingkatkan untuk
memberi makan seisi planet.
Akan
tetapi, pandangan Zezao luput mempertimbangkan dampak lingkungan yang merusak
dari sebagian besar perkebunan monokultur—penggundulan hutan hujan dan savana,
pengosongan akuifer, keracunan dan pencemaran pestisida, pengangguran, serta
pergeseran populasi. Pengecilan pertanian Brasil serta model yang
menitikberatkan pada pertanian keluarga amat menarik banyak konservasionis,
namun pendekatan tersebut belum pernah dicoba.
Perubahan
iklim membayangi perdebatan mengenai pertanian. Para ilmuwan telah membunyikan
tanda bahaya. Melanjutkan cara yang menggunduli hutan besar-besaran secara tak
tertata serta meledakkan agrobisnis berskala besar memberikan ancaman kekacauan
iklim dan kekeringan yang semakin parah—potensi bencana bagi industri
agrobisnis, begitu pula pertanian keluarga serta jutaan orang yang bergantung
pada keduanya untuk pangan. Bagi banyak pakar, semakin jelas bahwa pertanian
keluarga polikultur berskala kecil bukanlah bagian dari masalah perubahan iklim
serta kelaparan dunia, melainkan pemecahan yang pokok.
[1] Kelompok pendukung agrobisnis di DPR Brasil
Teks ini diterjemahkan dari artikel Mongabay "As Brazilian agribusiness booms, family farms feed the nation" yang ditulis Anna Sophie Gross dan terbit 17 Januari 2019.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar