Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Andrew Driver (6) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (273) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yasutaka Tsutsui (6) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

The Moneyless Manifesto: Waktu bukanlah uang (Mark Boyle, 2012)

Manusia … mengorbankan kesehatannya demi uang. Kemudian ia mengorbankan uang demi memulihkan kesehatannya. Kemudian ia gelisah akan masa de...

20190227

Pertanian keluarga memberi makan negara seiring dengan meledaknya agrobisnis Brasil (Anna Sophie Gross, 2019)

·   “Keajaiban Agraria” Brasil tercapai berkat industri agrobisnis yang telah mengeluarkan negara itu dari kemerosotan ekonomi baru-baru ini, dan menyumbang 23,5 persen PDB pada 2017. Namun keajaiban tersebut bertopang pada lahan bermain yang terjal, karena pemerintah lebih mensubsidi para pengusaha elite.
·    Akibatnya, para industrialis agraria memiliki 800.000 pertanian yang menduduki 75,7 persen lahan pertanian negara, dan secara total menghasilkan 62 persen produk pertanian. Lebih jauh lagi mengenai kesenjangan ini, hanya 1,5 persen pemilik top lahan pedesaan yang menempati 53 persen dari seluruh lahan pertanian.
·    Sebagai perbandingan, ada 4,4 juta pertanian keluarga di Brasil yang mencapai 85 persen dari seluruh operasi pertanian di negara itu. Sektor pertanian keluarga menghasilkan 70 persen pangan yang dikonsumsi di negara itu, namun dengan menggunakan kurang dari 25 persen lahan pertanian Brasil.
·    Kesenjangan dalam subsidi pertanian yang lebih mengutamakan industri agrobisnis berskala besar daripada pertanian keluarga menjadi-jadi sejak 2016 di bawah pemerintahan Michel Temer, dan diperkirakan semakin parah dalam pemerintahan Jair Bolsonaro. Para ahli mengatakan bahwa kebijakan yang mengutamakan pertanian keluarga dapat menyokong ketahanan pangan nasional.

Cerita ini merupakan yang kedelapan dan yang terakhir dari seri oleh jurnalis Anna Sophie Gross yang berkeliling ke negara bagian Tocantins dan Maranhão di kawasan Amazon Legal, Brasil, untuk Mongabay dengan tujuan menilai dampak agrobisnis terhadap lingkungan dan masyarakat di wilayah itu.

SERRA DO CENTRO, negara bagian Tocantins, Brasil—Alzira Miranda de Oliveira berayun-ayun di kursinya di rumah batu yang nyaman yang dibangun suaminya untuk keluarga mereka beberapa dekade lalu. Ia menampakkan senyuman memikat namun ganjil saat mengingat masa yang baru setahun lalu, ketika perkumpulan pengusaha kedelai yang berkuasa di daerah tersebut berusaha mengusir keluarganya dari tanah itu secara legal.

Diiringi selera humor yang tinggi, ia menceritakan betapa dirinya masih mencari perlindungan ketika mendengar pesawat melintas—karena mengira para calon penjarah tanah hendak menyerang dari atas.

Alzira dan suaminya tinggal di Serra do Centro, di wilayah Campos Lindos negara bagian Tocantins, Brasil. Ladang mereka tidak seperti perkebunan monokultur kedelai monoton yang biasa ada di wilayah itu, tetapi mencakup ketela, kacang-kacangan, beras, melon, jeruk, limau, labu, ubi jalar, berbagai jenis kentang, berikut banyak babi dan sedikit sapi. Ayam-ayam berjalan santai penuh percaya diri di seputar pertanian keluarga itu, menyela dengan berisik sepanjang percakapan kami.

Alzira mengeluarkan beberapa peles berisi kacang-kacangan—terdiri dari beberapa lapis kacang kering berbeda jenis yang merupakan makanan pokok di Brasil, feijao. Persediaan kacang kering ini membantu kebutuhan pangan keluarganya, termasuk lima anak dan dua anak angkat, dan juga akan dijual di pasar setempat untuk memperoleh uang. Alzira hampir sepenuhnya berswadaya, dengan menghasilkan semua buah dan sayuran yang dibutuhkan untuk menghidupi diri serta orang-orang yang dikasihinya. Ia memperoleh produk yang tidak bisa dihasilkannya sendiri melalui pertukaran dengan 59 keluarga petani lainnya di wilayah itu.

Pemandangan dari pesawat nirawak menampakkan beberapa hunian kecil kelompok pertanian keluarga di lautan luas kedelai—pertanian-pertanian besar yang membentuk Proyek Campos Lindos. Proyek yang merupakan gagasan mantan gubernur Siqueira Campos ini bertujuan untuk mendatangkan para penguasa agrobisnis berskala besar ke Tocantins, negara bagian Brasil yang paling muda (dibentuk pada 1988) dengan menawarkan insentif keuangan untuk berinvestasi dalam tanaman monokultur. Terpicu oleh tawaran ekonomis serta harga tanah yang murah, para petani kedelai Brasil selatan—yang dikenal sebagai Gauchos—mulai menjajah Tocantins pada tahun 1990-an.

Hunian kecil Alzira yang terletak dalam bentangan kedelai yang seolah-olah tiada ujungnya melukiskan secara kuat gambaran mengenai ketidakseimbangan agraria dan lingkungan di wilayah itu begitu pula dunia modern. Kedelai yang tumbuh di Campos Lindos ditujukan untuk ekspor ke China dan tempat lainnya—sering kali sampai Inggris atau Uni Eropa sebagai pakan ayam (yang diklaim menggunakan cara lestari, namun berhubungan dengan deforestasi Brasil), juga dijual ke McDonalds, Tesco, serta pengusaha ritel besar lainnya. Sebagai perbandingan, buah dan sayuran yang dihasilkan Alzira memberi makan penduduk Brasil dan vital bagi ketahanan pangan nasional negara itu.

Selain itu, konflik tanah yang terlihat di Campos Lindos merupakan simbol dari merajalelanya konflik di seluruh Brasil utara, terutama di Cerrado serta bioma Amazon, antara petani keluarga penghasil buah dan sayuran serta petani kedelai, jagung, kopi, tebu, kapas, eukaliptus, daging sapi, babi, ayam, serta komoditas ekspor lain yang berskala besar.

Argumen industrialis pertanian

Banyak elite pengusaha agrobisnis Brasil berpegang pada narasi politis serupa ketika membela model usaha ekspor komoditas mereka: mengadakan pertumbuhan, kemakmuran, dan pangan bagi bangsa Brasil dan dunia.

Mereka mengatakan populasi terus tumbuh, sehingga Brasil harus memberi makan masyarakat!

Di Balsas, jantung agrobisnis negara bagian Maranhao, saya mengobrol dengan Daniel Groli, seorang sojeiro, atau petani kedelai, serta anggota keluarga petani yang termasyhur.

Keluarga Groli pindah kemari dari Brasil selatan pada tahun 1990-an sebagai bagan dari yang digambarkan Daniel sebagai “invasi positif, yang sekarang jadi menarik perhatian.” Ketika saya menyinggung masalah dampak lingkungan dari monokultur berskala besar terhadap bioma savana Cerrado di Brasil, ia menangkis:

“Amerika Serikat dan Eropa sendiri tidak khawatir akan deforestasi ratusan tahun yang lalu. Mereka menebang hutan untuk menghidupi rakyat mereka dan mengatasi kelaparan …. Sekarang ini, pelabuhan dibanjiri kedelai, kereta dibanjiri kedelai, pertanian dibanjiri kedelai, dan apakah itu artinya? Artinya semua penuh oleh makanan …. Semakin maju dan besar agroindustri berarti semakin banyak makanan yang akan dihasilkan di dunia.”
Pengusaha Agrobisnis Daniel Groli menunjuk foto udara yang menampakkan pertanian besar kedelai miliknya. Keluarga Groli pindah dari Brasil selatan ke Maranhao sebagai bagian dari migrasi besar para pengusaha pertanian pada 1970-an dan 1980-an selama dan setelah kediktatoran milter Brasil. Gambar oleh Thomas Bauer / Mongabay.
José Antonio Gorgen, seorang pengusaha agrobisnis kaya di Maranhao menyetujui. Zezao, nama panggilannya, berseru: “Ada kota-kota (di seluruh dunia) berpenduduk jutaan orang. Mereka sarapan, makan siang, dan makan malam setiap hari! Bayangkan kekacauan yang akan terjadi kalau kita kekurangan pangan? Bisa-bisa kita saling bunuh supaya bisa makan.”

Argumen ini sepintas meyakinkan. Dengan 7,6 miliar populasi dunia saat ini—yang akan membumbung tinggi menjadi 9.8 miliar pada 2050, dan 11,2 miliar pada 2100—menurut taksiran PBB, komoditas Brasil saat ini menyediakan dan akan terus memainkan peranan besar dalam mendukung ketahanan pangan global.

Yang baik bagi dunia, baik pula bagi ekonomi daerah: “Agroindustri merupakan acuan ekonomi yang mengadakan pembangunan di kotamadya Balsas,” Daniel Groli menyatakan.

Bukan hanya dirinya yang memiliki pertimbangan mencerahkan ini. Banyak orang, termasuk Presiden Jair Bolsonaro yang baru terpilih, menganggap produsen agrobisnis berskala besar sebagai penyelamat ekonomi Brasil, khususnya dalam dua tahun belakangan ini ketika negara tersebut memanjat keluar dari resesi ekonomi yang berat. Industri pertanian menyumbang 23,5 persen PDB pada 2017, yang merupakan sumbangan terbesarnya dalam 13 tahun belakangan.

Akan tetapi, argumen ini juga secara gamblang membiarkan para elite agrobisnis mapan dan berduit yang memiliki kekuatan finansial dan politik untuk membentuk narasi nasional dan bentang fisik Brasil. Gabungan produsen berskala besar dengan perusahaan komoditas transnasional, berikut penguatan lobi agrobisnis bancada ruralista[1] yang saksama di Kongres beserta pemerintahan negara bagian memberi para pengusaha agroindustri pengaruh luar biasa.

Tinjauan lebih jauh pada statistik pertanian menimbulkan pertanyaan mengenai apakah kepentingan industri agrobisnis memang selalu bertalian dengan kepentingan yang terbaik bagi masyarakat Brasil, dan apakah perbaikan dukungan federal bagi pertanian keluarga tidak bisa sama-sama memenuhi ketahanan pangan nasional dan internasional berikut tujuan-tujuan ekonomi Brasil.

Agroindustri versus pertanian keluarga—membongkar angka

Di Brasil, pertanian keluarga amat berbeda dan sering kali berkonflik dengan agrobisnis. Pertanian-pertanian yang dimiliki dan dijalankan keluarga mengerjakan keseluruhan proses dalam melayani pasar perkotaan dan pedesaan, dengan sebagiannya berskala besar, sementara banyak selebihnya yang berskala kecil, mengolah lahan miskin, dan sekadar untuk menyambung hidup serta nonpasar.

Tidak seperti model industri agrobisnis—yang didominasi oleh monokultur dan keuntungan tinggi—pertanian keluarga di Brasil dicirikan oleh polikultur, beberapa tumbuhan berbeda yang ditanam bersisian, dengan tiap-tiap ladang biasanya menyatu dengan masyarakatnya. “Keluarga dan ladang bertalian, berkembang bersama, dan mempersatukan fungsi-fungsi ekonomi, lingkungan, sosial dan budaya,” tulis Organisasi Pangan dan Pertanian PBB.

Ada 4,4 juta pertanian keluarga di Brasil, yang mencapai 85 persen dari penegakan agraria di negara itu. Walaupun statistiknya agak bervariasi, sektor pertanian keluarga memberikan kontribusi penting bagi ketahanan pangan nasional Brasil, menghasilkan sekitar 70 persen pangan yang dikonsumsi di negara itu. Akan tetapi, pertanian keluarga mencapai prestasi ini dengan memanfaatkan tidak sampai 25 persen dari lahan pertanian Brasil.

Sebagai perbandingan, penanam komoditas berskala besar, berorientasi ekspor, dan bermodal tinggi memegang bagian yang lebih besar dari lahan subur yang bisa dirumputi. Para industrialis pertanian Brasil memiliki sekitar 800.000 pertanian yang menempati 75,7 persen lahan pertanian negara, yang secara total menghasilkan 62 persen produk pertanian. Lebih jauh lagi mengenai kesenjangan ini, hanya 1,5 persen pemilik top lahan pedesaan yang menempati 53 persen dari seluruh lahan pertanian.

Kontras yang tajam juga muncul pada jenis tanaman: kedelai, jagung, kopi, gula, sapi, babi, dan ayam merupakan jantung pada rantai pasokan industri agrobisnis Brasil. Lebih dari setengah kedelai, kopi, dan gula yang diproduksi di Brasil diekspor ke Eropa, China, dan Amerika Serikat serta negara-negara lain.

Di sisi lain, siapa saja yang telah menghabiskan banyak waktu di Brasil akan akrab dengan kacang hitam, beras, dan farofa (yang terbuat dari ketela)—yang sebagian besar merupakan pangan masyarakat Brasil sehari-hari. Pertanian keluarga memproduksi 87 persen ketela, 70 persen kacang, 34 persen beras, serta 21 persen gandum yang dikonsumsi di Brasil. Pertanian keluarga juga menanggung 60 persen susu, 59 persen sapi, serta 50 persen unggas. Layak dipertimbangkan mengenai dampaknya terhadap lingkungan maupun ketahanan pangan dunia, jika pola makan di Brasil yang terdiri dari ketela dan kacang-kacangan diperkenalkan pada negara maju.

Sementara petani seperti Daniel Groli dan Zezao mengaitkan pertumbuhan agraria di Brasil yang melangit dengan agroindustri berskala besar dan berorientasi ekspor—seperti yang mereka miliki—pertanian keluarga juga memainkan peran yang signifikan, walaupun tidak disuarakan, dalam yang dikatakan sebagai “Keajaiban Agraria” Brasil.

Pertanian keluarga di Brasil mencapai lebih dari 80 persen unit produksi pertanian yang menanggung 38 persen dari nilai bruto produksi pertanian, menurut Lembaga Geografi dan Statistika Brasil (Brazilian Institute of Geography and Statistics/IBGE)

Yang tidak kalah penting, pertanian keluarga menciptakan lapangan kerja, sementara industri agrobisnis sangat termekanisasi dan miskin lapangan kerja. Tujuh puluh persen tenaga kerja pedesaan di negara itu dipekerjakan di pertanian keluarga. Satu kajian akademis menemukan bahwa sektor ini menanggung sepuluh persen dari 1995 sampai 2005.

Bias dalam dukungan pemerintah

Sejak lama kebijakan agraria Brasil memiliki dua arah yang berbeda, bersaing, namun tidak selalu setara: agroindustri dan pertanian keluarga. Misalkan saja, pada 1970-an dan 1980-an, pemerintahan militer Brasil mendapat kritikan dari para akademisi atas apa yang dinamakan sebagai “modernisasi konservatif”, suatu proses yang mengistimewakan agrobisnis berskala besar, namun mengecualikan para petani berskala kecil.

Setelah demokratisasi ulang pada 1985, ada upaya kerja sama oleh pemerintah untuk mengembangkan kebijakan pemerintahan yang lebih ramah terhadap pertanian keluarga. Pada 1990-an, Presiden Fernando Henrique Cardoso mengajukan suku bunga rendah serta program khusus, PRONAF, untuk memajukan pertanian keluarga. Kesadaran pemerintah bahwa Kementerian Pertanian belum pernah menyediaakan kondisi ekonomi yang baik bagi pertanian keluarga menyebabkan dibentuknya Kementerian Pengembangan Pertanian, yang tujuannya semata-mata untuk memajukan pertanian keluarga.

Pada 2000-an, dukungan terhadap pertanian keluarga diperkuat di bawah pemerintahan Lula dan Dilma, yang menyediakan sumber daya lebih besar bagi sektor tersebut berikut program-program baru, seperti Program Pendapatan Pangan, yang melalui itu pemerintah membeli produk-produk pertanian keluarga untuk dimanfaatkan lembaga-lembaga umum seperti rumah sakit dan sekolah.

2016 menghadapi pergeseran nyata dari kebijakan yang ramah pertanian keluarga menuju agrobisnis. Presiden Michel Temer meniadakan Kementerian Pengembangan Pertanian dan menjadikan lembaga itu kesekretariatan khusus, yang berhubungan dengan kementerian Dalam Negeri yang sebagian besar dikuasai oleh pendukung agrobisnis pedesaan.

“Ini menurunkan status dan kepentingan pertanian keluarga,” jelas Antonino Rovaris dari Konfederasi Nasional Petani Keluarga dan Pekerja Pertanian (National Confederation of Farm Workers and Family Farmers/Contag). “Kelompok wakil pedesaan di Kongres mengatakan bahwa mereka melindungi hak semua orang, tetapi kami tidak merasa terwakili.”

Ada pula ketimpangan pendanaan yang besar. Pada 2017, Kementerian Pertanian Brasil mengumumkan investasi sebesar 30 miliar real (8 miliar dolar Amerika Serikat) untuk pertanian keluarga pada 2020, sebagai bagian dari Rencana Safra Pertanian Keluarga, yang berarti 7,5 miliar real (2 miliar dolar Amerika Serikat) per tahun. Jumlah ini terdengar signifikan, namun pada tahun itu juga 190 miliar real (49 miliar dolar Amerika Serikat) dikucurkan untuk mendukung para petani berskala besar. Sederhananya, pemerintah menginvestasikan dana rakyat untuk industri agrobisnis lebih besar daripada untuk pertanian keluarga.

Graeub et al merangkum situasi kebijakan agraria Brasil dalam artikel yang terbit pada 2016, Keadaan Pertanian Keluarga Dunia:

Terlepas dari banyaknya jumlah petani keluarga, hasil kerja per hektar yang lebih tinggi, serta bagian tanggung jawab yang lebih besar atas produksi bahan pangan pokok yang dikonsumsi dalam negeri, dukungan yang tersedia bagi mereka tidak cukup. Sumber daya (serta kekuatan) sektor agrobisnis yang lebih besar sudah tentu mencerminkan setidaknya sebagian keuntungan sektor ekspor bagi negara itu. Namun bukti empiris setidaknya membukakan kemungkinan bahwa fokus yang timpang ini tidaklah mencerminkan metode paling efisien untuk menyokong produktivitas dan ketahanan di Brasil.

Kementerian Pertanian tidak menanggapi permintaan untuk memberikan komentar.

Penerapan hukum yang tidak imbang

Ketika berada di Tocantins, saya mengunjungi kawasan Gleba Tauá, yang telah dimukimi lebih dari setengah abad oleh orang-orang yang mengklaim “Tanah Kesatuan”—properti milik pemerintah yang dapat ditempati dan diolah secara legal oleh warga Brasil mana pun.

Selama tiga tahun terakhir, Lembaga Nasional Reformasi Kolonisasi dan Agraria (National Institute of Colonization and Agrarian Reform/INCRA) gagal mendapatkan sertifikat tanah untuk Gleba Tauá—agar dapat dimiliki seterusnya oleh petani keluarga yang tinggal di sana.

Upaya tersebut beradu dengan lawan yang kuat. Pada 2015, seorang pengusaha agrobisnis bernama Emilio Binotto berusaha mengusir para petani keluarga yang telah menetap melalui perintah pengadilan. Sejak pindah ke Tocantins dari negara bagian Santa Catarina di sebelah selatan pada 1990-an, ia telah mengklaim beberapa bidang Tanah Kesatuan, dan membagi-bagikannya kepada keluarga dan teman-temannya.

Hakim memberi Binotto surat keputusan yang dimintanya pada 2016, namun kebrutalan polisi dalam upaya menegakkan peraturan serta mengusir para pemukim yang berhak mengakibatkan ingar-bingar sehingga tindakan legal selanjutnya ditangguhkan dalam waktu tak terbatas.

Sejak itu masyarakat hidup dalam keprihatinan berkepanjangan, seraya menanti langkah Binotto selanjutnya. Pada Juli 2018, beberapa rumah mukim dirobohkan dengan gergaji mesin oleh orang-orang bersenjata. Serangan itu difilmkan oleh penduduk dan dilaporkan pada pers nasional. Polisi pamong praja dan Militer diutus ke kawasan itu, namun tidak ada yang ditangkap dan tidak ada keterangan bahwa peristiwa tersebut diselidiki lebih lanjut.

Cleodivan Torres Coimbra pindah ke Gleba Tauá delapan tahun lalu ketika mendengar tentang lahan subur yang tersedia di kawasan berkembang itu. Ia mendirikan rumah besar, menanam kebun sayuran dan buah yang terus menghasilkan, serta memelihara ayam dan babi. Akan tetapi mempertahankan bidang lahannya merupakan perjuangan tiada henti.

“Penindasan sudah terjadi sejak hari pertama saya dan istri pindah kemari,” kata dia. “Polisi mengatakan kami tidak boleh menanam melon, tetapi ketika dia [Binotto] dibiarkan menebang pohon untuk menanam tanaman panen. Tiap kali kami menanam apa pun, mereka membawa polisi untuk mengatakan bahwa kami merusak hutan.”
Cleodivan Torres Coimbra pindah ke Gleba Tauá delapan tahun lalu. Akan tetapi mempertahankan bidang lahannya merupakan perjuangan, sebab pengusaha agrobisnis mendesak penghuni untuk meninggalkan pemukiman mereka. Gambar oleh Thomas Bauer/Mongabay.
Seperti yang diutarakan oleh pembela umum yang mewakili masyarakat tersebut dalam perkara legal: “Kekuasaan ekonomi memungkinkan Binotto dan pengacaranya melakukan kekejaman ini. Hukum sama bagi petani besar atau kecil, namun penerapannya berbeda.” Bias di antara pejabat setempat, penegakan hukum daerah dan pengadilan melawan para petani keluarga, serta pengistimewaan agrobisnis skala besar merupakan cerita sehari-hari di seluruh pedalaman Brasil.

Emilio Binotto tidak dapat dihubungi Mongabay untuk dimintai komentar.

Model agrobisnis yang tidak lestari

Para analis mengatakan bahwa pasar agrobisnis global telah membantu menciptakan lahan bermain yang jauh dari keadilan. Janji keuntungan korporat yang luar biasa dari ekspor komoditas terbukti sangat menggiurkan penanam berskala besar, sementara lembaga pemerintahan terus lebih melayani para pengusaha agroindustri dengan hak istimewa dan koneksi bagus daripada para pemilik pertanian desa berskala kecil berikut tenaga kerja mereka.

Zezao bertanya pada saya dengan meledek: “Menurut Anda cara yang benar itu hidup seperti penduduk asli, di hutan, hidup ala kadarnya dari tanah? Bisakah Anda bayangkan aldeia [masyarakat pribumi] berpenduduk 200.000 orang?” Asumsinya masyarakat dunia akan kelaparan tanpa industri agrobisnis, dan bahwa metode pertanian keluarga tidak dapat ditingkatkan untuk memberi makan seisi planet.

Akan tetapi, pandangan Zezao luput mempertimbangkan dampak lingkungan yang merusak dari sebagian besar perkebunan monokultur—penggundulan hutan hujan dan savana, pengosongan akuifer, keracunan dan pencemaran pestisida, pengangguran, serta pergeseran populasi. Pengecilan pertanian Brasil serta model yang menitikberatkan pada pertanian keluarga amat menarik banyak konservasionis, namun pendekatan tersebut belum pernah dicoba.

Perubahan iklim membayangi perdebatan mengenai pertanian. Para ilmuwan telah membunyikan tanda bahaya. Melanjutkan cara yang menggunduli hutan besar-besaran secara tak tertata serta meledakkan agrobisnis berskala besar memberikan ancaman kekacauan iklim dan kekeringan yang semakin parah—potensi bencana bagi industri agrobisnis, begitu pula pertanian keluarga serta jutaan orang yang bergantung pada keduanya untuk pangan. Bagi banyak pakar, semakin jelas bahwa pertanian keluarga polikultur berskala kecil bukanlah bagian dari masalah perubahan iklim serta kelaparan dunia, melainkan pemecahan yang pokok.




[1] Kelompok pendukung agrobisnis di DPR Brasil



Teks ini diterjemahkan dari artikel Mongabay "As Brazilian agribusiness booms, family farms feed the nation" yang ditulis Anna Sophie Gross dan terbit 17 Januari 2019.

Tidak ada komentar: