Tiap kali aku duduk minum-minum
di bar seperti ini, aku merasa betapa kudusnya profesi melayani bar. Dilatari
rak kaca kotor berisi botol berwarna-warni, si pelayan bar bergerak ke sana
kemari secara cermat di ruangan depan yang bercahaya kristal, bak pendeta
memimpin ritual. Seraya menuangkan cairan suci ke dalam gelas, ia mendengarkan
diiringi senyum takzim lagi simpatik sementara para pelanggan mendeklamasikan
duka mereka.
Di ujung bar ada sepasang
madam-madam jelek dengan kulit kasar dan riasan tebal. Dengan menjijikkannya
mereka mabuk—atau mungkin cuma pura-pura. Percakapan mereka berganti-ganti
antara bisik dan pekik. Pesan sesuatu? lantun si pelayan bar, seraya
membinarkan senyumnya ke arah mereka.
Di samping kedua madam-madam
itu ada pasangan yang terlihat jelas baru menikah. Sepertinya mereka baru
menyelenggarakan pesta pernikahan di hotel ini, dan sekarang mereka hendak
menghabiskan semalam di sini sebelum pergi berbulan madu. Mereka sama-sama tidak
banyak bicara. Si pengantin pria menyesap sedikit gelasnya yang berisi campuran
wiski dan air, sedangkan si pengantin wanita mengamati sekitarnya sementara es
dalam mai tai miliknya meleleh,
sehingga warnanya menjadi oranye keruh. Anda mau camilan? tanya si pelayan bar,
seraya menyapukan senyumnya kepada mereka.
Di samping pasutri baru itu ada
seorang pria Amerika bersetelan gelap tengah meminum Schlitz. Orang asing
selalu memesan bir. Mereka diberi tahu buku panduan bahwa hotel-hotel di Jepang
biasa memberikan harga biadab, sehingga jangan pesan selain bir ketika minum di
bar. Di samping orang Amerika itu ada wanita muda beserta pria tua yang meminum
koktail sampanye dan seperti yang sedang main cupang. Di sebelah mereka ada
sepasang pria kaya tapi tanggung yang biasa ada di bar hotel mana pun. Di
samping mereka ada aku. Tetapi, ada bangku yang kosong di antara aku dan
mereka. Ia telat. Aku minum sendiri, tak bicara pada siapa pun, dan entah sudah
seberapa mabuknya aku. Entah sudah berapa gelas yang kuminum. Mau saya buatkan
sesuatu? tanya si pelayan bar diiringi senyum, dan aku mengangguk. Bourbon
memercik ke dalam gelas. Sibuk? ucap si pelayan bar seraya menuangkan minuman.
Yah, setidaknya kerja lapangan sudah usai, kataku padanya. Sekarang tinggal
mengedit film.
Aku sutradara yang bekerja di perusahaan
produksi untuk televisi, dan kami berspesialisasi di dokumentasi luar negeri. Dua
tahun lalu aku masih terlibat dalam pertunjukan selingan musikal.
Si pelayan bar tidak pernah
beristirahat. Ia menjejerkan gelas, mendinginkan sampanye dan anggur putih,
memecahkan balok es menjadi batu-batu, mengganti asbak, serta menghidangkan
sepiring besar sosis atau tiram mentah. Tak ayal lagi kesembilan orang yang
duduk di bar ini tengah menanti kesempatan untuk berdosa malam ini. Situasinya
tentu berbeda-beda bagi setiap orang, namun semua memendam tujuan yang sama.
Mana ada orang mabuk untuk meningkatkan standar moralnya. Sudah pasti si
pelayan bar yang menjadi padrinya.
Mungkin sebaiknya aku
menceritakan satu atau dua guyonan dan tertawa selagi sempat. Malam ini ada
tugas tak mengenakkan yang menantiku. Mungkin aku akan berbagi sedikit guyonan
dengan si pelayan bar yang baik hati ini. Selama sekitar enam bulan terakhir
aku mendokumentasikan perkampungan kumuh. Kolkata, Manila, Rio de Janeiro,
Montevideo, Bogota …. Ketika berada di perkampungan kumuh kita jadi
bertanya-tanya apakah seluruh dunia bukanlah perkampungan kumuh, untuk merasakan
seolah-olah perkampungan kumuh merupakan hal yang normal. Aku mendengar banyak
guyonan menarik di tempat-tempat itu. Ada mayat bayi mengambang di comberan di
Kolkata, dan seorang kenalan orang India mengatakan sesuatu yang benar-benar
lucu. Tentang apa tadi? Oh, iya, soal mayat bayi. Aku harus menceritakannya
dengan baik-baik atau kelucuannya tidak akan mengena.
“Maaf!”
Ini dia orangnya. Sudah lama
aku tidak bertemu wanita ini, gundikku. Ia terlihat cantik sekali. Tetapi ia
bukan lagi gundikku. Kenapa, ya, ketika kita berhenti menggauli seorang
perempuan, setelah kita sudah menjarakkan diri, ia mulai terlihat semakin
cantik daripada sebelumnya?
“Jalanannya macet sekali!”
Macet? Coba dulu pasar di
Kolkata kalau ingin tahu yang namanya macet, hampir saja aku memberi tahu dia.
Gagasan yang aneh timbul pada saat seperti ini. Mungkin memang aku sudah mabuk.
“Sudah lama, ya, kuharap aku
punya banyak waktu malam ini tetapi aku harus cepat pulang karena ibuku datang,
kau kelihatan wah.”
Aku tidak merasa wah. Dan
sekarang aku semakin merasa tidak demikian. Aku tidak berharap terlalu banyak,
tetapi aku agak penasaran apakah mungkin tidak aku dan dia menyalakan kembali
api yang dulu pernah ada malam ini. Aku bisa memberikan sedikit kehangatan.
Tetapi, begitulah hidup. Kita tak harus tinggal di perkampungan kumuh untuk
menyadari bahwa kenyataan tidak selalu berjalan sesuai dengan keinginan.
“Bisakah kau menjelaskannya
lagi padaku? Aku tidak begitu menangkapnya sewaktu di telepon.”
Ia bekerja di salah satu butik
yang ada di jalan-jalan kecil di Aoyama. Tipe wanita yang bisa kita temui
hampir di mana saja dewasa ini, tipe yang menganggap bahwa dengan bertubuh
jangkung dan berwajah cantik mereka punya hak istimewa. Namanya Kiyomi.
Orang-orang memanggil dia Kimi, dan begitu pula aku menyebut dia di ranjang. Ia
menolak segelas Wild Turkey milikku lalu memesan Brandy Alexander seperti
biasanya.
“Jadi?”
Aku tidak begitu ingin
membahasnya. Inginku mengocehkan guyonan-guyonan tentang perkampungan kumuh,
tertawa histeris, minum-minum sampai lidah kebas, mandi bareng, lalu
bermain-main dengan sebotol minyak nabati.
“Yah, persoalannya, ada
perempuan yang mengajukanku ke pengadilan.”
“Begitu, ya, menurutmu.
Istrimu?”
“Bukan. Kemungkinan istriku sendiri
bakal mengajukanku ke pengadilan dalam waktu dekat ini, tetapi ia harus
mengantre.”
“Lagian, banyak sekali wanitamu.”
“Bukan begitu maksudku.”
“Enggak pentinglah itu. Sekarang.”
“Nah, wanita yang satu ini, ia mau menuntutku atas
kerugian.”
“Kerugian? Maksudnya apa tuh? Ia masih muda?”
“Enggak. Rata-rata.”
“Dua tiga?”
“Dua lima.”
“Oh. Rata-rata.”
“Rata-rata, kan? Selain itu,
pengacaranya bilang hubungan kami ini pernikahan di bawah tangan.”
“Apa itu artinya?”
“Ia mengklaim aku mengikat dia, membatasi kebebasannya.”
“Aku enggak begitu mengerti.
Maksudku, ia yang memilih untuk terlibat dengan dirimu, kan? Tahu kau ini punya
istri dan anak.”
“Nalar begitu enggak sampai ke dia.”
“Ada yakuza yang terlibat?”
“Tidak, tidak, ia sama sekali
lurus dan bersih. Rata-rata lah. Jadi, pengacaraku bilang—begini, aku dan dia
kan selalu bertemu di sini, di hotel ini—jadi katanya kalau ia satu-satunya
orang yang aku temui di sini selama waktu itu, maka itu bakal menguatkan
klaimnya bahwa kami punya hubungan eksklusif yang mengikat.”
“Aku enggak begitu mengerti.”
“Jadi pengacaraku bilang kalau
ada wanita lain yang intim denganku, di hotel ini, sekalipun ia wanita bayaran
atau semacam itu, maka aku bisa mengklaim bahwa segala kencanku di sini
hanyalah, mengerti kan, untuk rekreasi.”
“Lupakan sajalah!”
Bisa kurasakan wajahku memucat. Kenapa tiba-tiba otaknya
jadi encer?
“Tunggu. Setidaknya dengar dulu perkataanku.”
“Kau ingin aku memberikan kesaksian untukmu, kan! Bajingan
kau!”
“Iya, tetapi, begini, ada satu hal yang perlu kusampaikan
padamu di muka. Ini kan persidangan hukum. Aku tidak bisa memberimu imbalan.”
“Bajingan kau! Imbalan! Pikir
dong permintaanmu itu! Aku bahkan belum menikah! Aku …. Harus bilang apa aku
pada ibuku? Ibuku masih ada! Ia masih memasakkan kami makan malam, setiap
malam! Kau anggap aku ini apa? Kau cuma peduli pada dirimu sendiri!”
Celakalah aku kalau dia sampai
menangis. Maskaranya mengalir di pipi dan air mata hitam berjatuhan di
permukaan meja marmer. Si Amerika bersetelan gelap melepaskan tatapan penuh
cela padaku, sementara pria-pria kaya tanggung tengah membicarakan keanggotaan
Klub Janapada Yomiuri dan berpura-pura tidak mengindahkan kami. Pepatah lama
mengatakan dua hal yang tidak bisa ditaklukkan adalah bayi yang menangis serta
entahlah yang satu lagi, tetapi aku bertaruh keduanya tidak seburuk wanita yang
berurai air mata. Picasso punya karya yang dinamai Wanita Menangis, namun tidak ada Bayi Menangis …. Picasso? Apa hubungannya dengan Picasso? Kalau aku
tidak meyakinkan Kiyomi untuk membantuku, aku harus membaktikan empat puluhan
tahun sisa hidupku untuk melunasi utang. Di Kolkata ada pria tua yang cuma
duduk diam di pinggir jalan. Mendadak aku iri padanya. Aku iri pada setiap
orang yang bukan diriku saat ini.
“Jangan menangis. Dengar, aku
tahu ini permintaan yang berlebihan, tetapi, begini, sekarang ini aku ….”
“Berlebihan? Itu sih bukannya
berlebihan, tetapi, tetapi itu mustahil, itu dia. Mana ada hal begitu?”
Entah sudah berapa sering aku
melihat perempuan ini menangis. Ia menangis ketika aku mengakhiri hubungan
dengan dia. Saat itu kami sedang berada di restoran Perancis di Roppongi. Di
sela sedu sedan, ia berteriak kepadaku—Kau pria paling bejat di muka bumi!
Begitu mati kau langsung ke neraka!—saking kerasnya sampai ada pelayan yang
nyaris menjatuhkan baki. Biar begitu, ia menyantap makan malamnya, sekalipun
air mata tengah menuruni pipinya. Begitu hidangan burung dara tiba, ia menjeda
rutukannya sekadar untuk memekik, “Ini enak!” Wanita-wanita jangkung dan cantik
memang setangguh baja, dan mereka tahu cara menggoyahkanmu. Aku mesti apa lagi?
Mungkin aku sendiri perlu mencoba meledakkan tangis.
“Kiyomi, kau …. Kau satu-satunya yang dapat menolongku.”
Ia berhenti menangis. Entahlah
apakah kalimat terakhirku ini ampuh atau ia cuma capek menangis, tetapi boleh
jadi aku berhasil. Aku mesti membuka hatinya pelan-pelan.
“Aku sadar betapa egoisnya
aku,” kataku padanya. “Aku tahu aku tidak sempurna. Tetapi sekarang ini aku
benar-benar sedang mengalami masa yang sulit. Di rumah ayahku lumpuh gara-gara
rematik, dan dengan begitu di samping adikku yang keguguran ibuku yang malang
bakal senewen pada kami, dan—“
“Apa? Adikmu keguguran?”
Biasanya ia suka ketika aku
bilang padanya betapa ia mengingatkanku pada adikku.
“Yeah. Setelah enam tahun menikah, akhirnya ia hamil, dan
….”
Adikku punya dua anak dan
tengah mengandung lagi. Rahasia dalam berdusta ialah meyakinkan dirimu sendiri
bahwa perkataanmu itu nyata. Kalau tidak bisa memperdaya diri sendiri, mana
bisa memperdaya orang lain. Sama halnya dengan membuat program televisi.
“Kasihan! Ia pasti terpuruk.
“Ah, ia baik-baik saja kok.
Kemarin aku bertelepon dengan dia. Ia kuat kok, anak itu.”
“Ia cuma berlagak. Pasti
rasanya bikin terpuruk. Istri kakakku keguguran, dan aku tahu betapa beratnya
itu bagi dia.”
“Waktu itu kami mengobrol
tentang perkampungan kumuh di Kolkata. Apa aku sudah menceritakannya kepadamu?”
“Belum.”
“Yah, benar-benar neraka bumi.
Penduduk Kolkata hampir sepuluh juta, dan separuhnya tinggal di perkampungan
kumuh. Keadaannya seolah-olah kemanusiaan mereka telah diingkari. Mereka mengubrak-abrik
pembuangan sampah seperti hewan saja, cuma ada satu toilet buat seratus orang,
dan jalannya becek oleh kotoran yang meluap, ada mayat bayi mengambang di
got-got ….”
“Ya tuhan.”
“Jepang itu tempat yang
istimewa, mengerti kan. Hiduplah tidaklah sedemikian mudah bagi penduduk di
negara lain.”
Ini benar. Tiap kali aku pergi
ke luar negeri, aku teringatkan bahwa keadaan di Jepang itu istimewa.
Orang-orang Jepang itu kelewat manja. Kemakmuran negara ini sebagian besar
disebabkan oleh adanya faktor-faktor geopolitis, namun rakyatnya mengira bahwa
itu karena mereka bekerja sangat keras …. Memang itu semua tidak ada
hubungannya dengan ini. Tujuan diriku saat ini dalam daftarku berada pada
posisi yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan membereskan perkampungan kumuh
di Kolkata.
“Aku menceritai adikku tentang
satu keluarga di sana yang kuwawancarai. Keluarga yang terdiri dari enam orang
itu tinggal di satu ruangan berukuran sekitar sepuluh meter persegi. Mereka
cuma punya satu tempat tidur—tempat tidurnya berupa tripleks yang dilapisi
beberapa selimut gombal tua—dan mereka bergiliran tidur di situ. Tiap hari
semua anak keluar untuk mengemis, sementara ayahnya bekerja di tempat
konstruksi sekitar dua kali seminggu, dengan penghasilan sekitar dua dolar
sehari, sekadar cukup buat makan. Meskipun begitu, mereka bahagia. Ceria.”
“Mereka ceria?”
“Ceria. Wajah anak-anaknya
bercahaya. Mereka terlihat begitu bahagia dibandingkan dengan anak-anak Jepang
yang tiap malam kita lihat bersusah payah pulang pergi ke bimbingan belajar.”
Pipinya coreng-moreng oleh
jejak maskara, namun tidak ada upaya dari si pelayan bar untuk menawari dia
handuk basah. Si pelayan bar ramah dan simpatik, tanpa menerobos ke wilayah
terlarang. Ia merupakan simbol, dan menghindari keterlibatan pribadi. Pendeta
sejati.
“Kau telah banyak berbuat untukku, iya kan.”
Ia mengenang. Ia memesan lagi
segelas koktail nostalgia.
“Kalau dipikir-pikir lagi, aku
menyadari waktu yang kuhabiskan dengan kau merupakan kesempatan paling dekat
bagiku untuk merasakan kehidupan glamor.”
“Jangan konyol ah.”
“Begitulah yang kurasakan akhir-akhir ini.”
“Masak begitu.”
“Sebenarnya aku tidak mampu
melakukan apa-apa. Aku tidak punya keterampilan. Bisa apa aku selain menikah?”
“Nanti kau bisa menikahi pria kaya raya.”
“Tidak. Aku sudah tahu.”
“Tahu apa?”
“Status, kelas—bukan berarti
hal-hal itu sudah tidak berarti. Ada pria-pria yang selain kaya juga
menawan—kau salah satunya—”
“Ayolah.”
“—tetapi pria-pria seperti itu
tidak memilih perempuan seperti aku. Mereka mendapatkan gadis-gadis cantik yang
menjanjikan dari keluarga-keluarga kaya. Sekarang aku sudah tahu.”
“Enggak mesti begitu ah.”
“Aku takutnya begitu. Lihat
saja kau. Kau tidak pernah berpikiran untuk menceraikan istrimu dan menikahiku,
kan? Tidak apa-apa sih, maksudku bukan berarti itu lagi berarti, tetapi,
maksudku tuh, ketika aku bersama kau, makananku dan segalanya, aku yakin tidak
akan pernah makan makanan yang semewah itu lagi seumur hidupku—kaviar, thermidor lobster, ikan buntal—maksudku,
ayah ibuku tidak pernah makan yang seperti itu, dan kau membawaku ke Singapura
serta Pulau Cebu dan segala tempat-tempat itu, dan, yeah, aku merasa cukup
pahit saat kita putus, tetapi … sepertinya aku tidak akan bisa bersenang-senang
seperti itu lagi.”
“Dengar, selama kau jaga
kesehatan, kau masih bisa mengharapkan segala macam hal.”
“Kalau bagi orang seperti kau sih aku yakin.”
“Bagi setiap orang.”
“Omong kosong. Kau sendiri yang
suka bilang dewasa ini sembilan puluh sembilan persen manusia adalah budak.”
Kena deh. Dulu sewaktu
pernikahanku masih berjalan mulus, aku biasa membawa putriku yang masih berusia
lima tahun beserta putraku yang tiga tahun ke taman hiburan di dekat rumah
kami. Ketika mengamati orang-orang di sana, aku terkesima betapa budak mau tak
mau berakhir dengan sesama budak. Wajah budak, pakaian budak, mobil budak,
omongan budak, dan sikap budak terus bereplikasi dengan sendirinya, tanpa
henti. Di Jepang tidak ada orang yang menyadari dirinya budak. Setidaknya di
tempat seperti Kolkata saking total dan mencoloknya diskriminasi sehingga
status asli seseorang secara konstan berada di wajahnya.
“Baiklah. Kau menang,” ucapnya,
seraya menopang pipi dengan tangannya. “Kau sudah putus asa, iya kan. Tetapi,
bisakah kau menjamin privasiku dalam perkara ini? Ini enggak bakal muncul di Focus atau sesuatunya?”
“Tidak mungkin. Aku tidak
sebegitunya terkenal. Tetapi, begini, aku sangat menghargai ini.”
“Tetapi, aku ingin imbalan.”
“Apa? Kan sudah kubilang tidak boleh ada im—“
“Bukan uang. Kau tahu kan aku
ini penggemar berat Yoshihiko Takahashi? Penjaga base kedua tim Carp? Mimpi terbesarku sekarang ini adalah bertemu
dengan dia. Aku akan memberikan kesaksian dengan syarat kau memperkenalkanku
pada Yoshihiko.”
Siapalah aku menolak persyaratan ini?
Pergilah aku menemui kolega di
bagian olahraga radio setempat.
“Dengar, kau kenal Yoshihiko Takahashi, yang pemain
bisbol?”
Demi apa aku berbuat ini? Tiap
malam aku mendapat telepon, antara memohon dan mengancam, dari wanita yang
membawaku ke pengadilan. Satu-satunya perkataan yang kuterima dari istriku
hanya perintah singkat untk membawakan anak-anakku ini, itu, dan anu ke rumah
keluarganya. Ada film sepanjang satu setengah kilometer menunggu untuk kuedit.
Dan di sini aku tengah berusaha untuk mengadakan pertemuan dengan pemain
bisbol. Betapa irinya aku pada pengemis di Kolkata itu, yang tinggal duduk di
jalan sembari menjulurkan tangan untuk hidup! Yang perlu dia lakukan cuma
bertahan.
“Tidak secara pribadi. Orang
cabang Hiroshima yang meliput tim Carp. Kenapa?”
“Ceritanya panjang. Bisakah kau
memperkenalkanku pada orang radio Hiroshima?”
“Lumayan gampang, tetapi ada
apa sih? Kau mau minta tanda tangan Yoshihiko dan menggunakannya untuk merayu
wanita muda yang menggemari dia, ya? Nanti kau kecele.”
“Kalau saja ceritanya memang
semanis madu begitu. Kenyataannya, ini perkara setajam sembilu.”
“Kau pernah punya sigaret
Italia yang jarang-jarang ada itu, ingat? Aku ingin itu sebagai imbalan.”
“Tunggu dulu. Sigaret begitu
tidak bisa dibeli—di toko bebas cukai luar negeri saja belum tentu ada!”
“Kau tahu kan aku ini penggila
nonfilter. Seluruh kampanye antimerokok sekarang ini—semua ini skema perusahaan
obat internasional serta agensi periklanan, dan aku—“
“Ada pianis yang memberiku sigaret
itu sewaktu aku sedang mengambil gambar di Italia. Ia cuma kasih satu pak!”
“Sigaret yang bagus.”
“Aku bisa membayarmu. Bagaimana kalau, dua puluh dolar
yen?”
“Aku perlu rokok.”
Siapalah aku menolak
persyaratan ini?
Selagi jeda pengisian suara,
alih-alih makan malam aku pergi ke Biro Wisata Pemerintah Italia. Aku kemari
untuk bertemu petugas hubungan masyarakat bernama Carla. Ia pernah membantuku
sewaktu aku membuat film dokumenter tentang sejarah lagu populer.
“Ini kedengarannya konyol,
tetapi aku ingin meminta petunjukmu tentang sigaret.”
Carla itu putri dari keluarga
yang saking kayanya sampai-sampai memiliki tim sepak bola sendiri. Ayahnya
mengangkat dia ke biro wisata ini sebagian untuk mengungsikan dia dari negeri
sarat penculikan politis ke Tokyo, kota paling aman di dunia.
“Kebetulan sekali. Tadinya aku
hendak meneleponmu.”
Aroma parfumnya menyesakkan.
Tak ayal lagi bau tubuhnya juga. Aku cuma kenal dua perempuan Italia. Mereka
berdua punya kulit yang lembut. Vagina Latin itu mirip benar dengan punya
Jepang. Yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan persoalan ini.
“Sigaret yang diisap si pianis
itu, Massimo. Di mana aku bisa memperolehnya?”
“Apa nama sigaretnya?”
“Aku tidak ingat. Tetapi, aku
ingat kemasannya. Bukan dari kertas, melainkan berupa wadah timah, seperti
cerutu yang kadang-kadang masuk ke sini, dan logonya gajah bermisai—atau kerbau,
ya?”
“Aku belum pernah melihat sigaret seperti itu.”
“Aku perlu nih.”
“Katamu Massimo merokok itu?”
“Iya.”
“Kalau begitu boleh jadi itu
dibuat khusus. Massimo itu dari Perugia, apalagi itu distrik yang terpencil,
bahkan di Italia. Kalau diingat-ingat, memang orang sana punya produk tembakau
yang sangat baik. Hari ini jam kerja sudah selesai, tetapi aku bisa mengirim
teleks besok pagi.”
“Apa kau bisa memperoleh sigaret itu?”
“Kalau soal Italia tidak ada
yang mustahil bagiku. Kecuali mungkin mewawancarai Brigade Merah.” Carla
tertawa, sampai teteknya yang sangat gede itu berayun-ayun. Aku pernah berdansa
pelan dengan dia, wajahku tenggelam di antara teteknya itu dan hampir kehabisan
napas.
“Aku ada permintaan juga
untukmu. Kau ingat sewaktu kita makan hidangan telur salmon istimewa di Tsukiji
itu?”
“Yang di belakang mabes di Dentsu itu?”
“Betul. Mereka menghidangkan
impun kering untuk makanan pembuka. Aku ingin menyajikan itu di pestaku
berikutnya.”
“Eh, tetapi itu kan ikan yang
rada langka. Seingatku ikannya dari daerah pedalaman di pesisir Laut Jepang,
atau—“
“Tadinya aku mau meneleponmu.
Aku harus mendapatkan ikan itu, secepatnya. Aku akan mengurus soal sigaret
itu.”
Siapalah aku menolak, atau berusaha menegosiasikan,
persyaratan apa pun?
Penyuntingan berlangsung.
Setiap orang yang terlibat mondar-mandir dengan mata merah, akibat bekerja
sampai larut tiap malam. Pada monitor terdapat pembuangan sampah yang luas di
Kolkata. Anjing, kucing, babi, kerbau, burung, dan manusia mengubrak-abrik
sampah. Dua wanita sembari mendekap bayi tengah memperebutkan kulit semangka
yang separuh busuk. “Bagaimana bisa manusia hidup seperti itu?” teknisi rekaman
berkomat-kamit. “Harga diri pun tidak terjangkau oleh mereka,” si teknisi
berkata seraya mengetuk papan tombol. Aku mengarahkan pengisian suara, serta
melakukan perbaikan kecil pada skrip selagi dibacakan, namun di kepalaku cuma
ada impun kering.
“Kat-chan. Ini aku.”
Kat-chan dulu bekerja di
Dentsu. Ia bertugas di paviliun Sumitomo di Expo tersebut. Ia berhenti bekerja
enam tahun lalu dan membuka restoran di Tsukiji, tepat di belakang Dentsu.
Tidak ada yang tahu pasti sebabnya ia berhenti dari pekerjaannya sebagai
perancang acara. Ada yang bilang ia dipaksa mengundurkan diri karena homo. Ia
sendiri bilang alasannya sekadar karena ia suka masak, tetapi memang masakannya
sangat menakjubkan. Kerang laut dan selada kiwi buatannya, sebagai contoh,
tiada taranya di dunia ini.
“Hei! Halo, sudah lama, ya!”
“Aku ada permintaan.”
“Jangan di telepon dong.
Datanglah kemari setor wajah.”
“Tahun lalu, saat musim semi,
kau menyajikan impun kering yang sangat lezat, ingat kan? Yang kecil-kecil
banget itu lo.”
“Tentu. Dari Wakasa.”
“Baik. Kau lagi ada stoknya?”
“Tidak ada.”
“Tidak ada?”
“Cuma ada satu kakek-kakek yang
menangkap dan menyiapkan ikan itu—ia legenda di Wakasa—dan ikan itu susah
dicari. Rasanya luar biasa, ya? Bisa kau bayangkan banyak yang minta.”
“Sial.”
“Kau mau ikan itu?”
“Yeah.”
“Kalau begitu nanti kucarikan.”
“Sungguh?”
“Tetapi ada imbalannya.”
“Wah, wah, tunggu dulu. Aku tidak, aku bukan ….”
“Aku bukan mau bokongmu, tolol.
Dengarkan, kau masih bersua Ken-bo, dari Agensi Arikawa?”
“Aku sudah tidak mengurus program musik.”
“Jadi sekarang kau sudah tidak ada pengaruh dengan agensi
itu?”
“Hah, agensi receh macam Arikawa? Bukan soal. Kau mau
apa?”
“Cari Ken-bo lalu suruh dia
kembalikan raketku. Aku meminjami dia raket Dunlop Max 2000 milikku, dan ia
tidak mau mengembalikannya. Lusa aku akan ke Dataran Tinggi Izu, dan ingin
membawa raket itu.”
Banyak nian materi. Sigaret
dari daerah Perugia di Italia, impun dari Wakas, serta raket Dunlop—Jepang
sedang menuju kehancuran. Lihatlah Kolkata. Wanita pengemis, dengan sekujur
kedua lengannya berbalutkan luka dari suatu penyakit kulit, berdiri di bawah
terik matahari selama sepuluh jam demi memperoleh sekeping biskuit basi.
Aku menyelinap keluar dari
ruang pemotongan film dan berderap menaiki tangga ke Studio 3 di lantai empat.
Ken-bo itu manajer muda homo dari Agensi Pencari Bakat Arikawa. Ia suka datang
ke latihan-latihan untuk menjilat produser sekalipun penyanyinya sedang tidak tampil.
“Ketemu kau,” aku menggeram. “Belum berubah sedikit pun,
ya, kau.”
“Ya ampun! Ketemu lagi, ya, kita?”
“Dengar, kodok kecil, aku ada
pesan buat kau. Kat-chan di Tsukiji ingin raketnya balik. Malam ini.
“Oh ya tuhan, masak sih.”
“Peduli setan, pokoknya kembalikan. Kalau tidak aku bisa
susah.”
“Tunggu sebentar. Aku sudah
menjelaskan ini berkali-kali: Ia memberiku
raket itu. Cih.”
“Aku bilang kembalikan. Kau
ingin aku mengejanya?”
“Kenapa sih kau begitu amat? Ada apa sih?”
“Dengar, ya, kau tahu kan aku
dekat dengan produser acara ini? Kau tahu aku kenapa. Enggak usah tanya-tanya.”
“Ah astaga. Baiklah.
Tetapi aku ingin ada imbalannya.”
“Enggak usah coba-coba, kodok.”
“Kalau begitu, ya tidak
apa-apa, terserah padamu. Lagian sekarang tidak ada penyanyi yang bagus. Kau
tidak bisa memperburuknya lagi.”
“Hei.”
“Dan bilang sama Kat-chan kalau
sudah kasih hadiah ke orang jangan diminta lagi.”
“Tunggu. Oke. Baiklah. Kau mau apa?”
“Di Ginza ada klub kecil
bernama Bizarre. Tahu enggak?”
“Tahu. Utangmu berapa?”
“Bukan, bukan, astaga, bukan
begitu. Di sana ada hostes namanya Saki ….”
“Sejak kapan kau suka perempuan?”
“Di bisnis ini orang harus
pakai topeng. Kau tahu lah biarpun aku seperti itu—“
“Baiklah, baiklah. Jadi?”
“Jadi aku ingin kau bilang pada dia besok aku tidak bisa.”
“Oke.”
“Dan maksudku jangan lewat telepon. Olala, tidak bisa.”
“Jangan?”
“Datangi klubnya. Bawakan, apa,
ya, kira-kira buket mawar seharga tujuh ribu yen, lalu bisikkan di telinganya.
Bilang: 'Ken-bo mengutusku. Ia tidak bisa datang besok, dan ia mengirimkan mawar
ini sebagai permintaan maaf.'”
Akankah ini berakhir? Apa lagi
yang bakal diminta si hostes ini, Saki? Dan apa pula tujuanku di awal tadi?
Aku membeli mawar dari penjaja
di pinggir jalan. Saat itu sudah larut malam, sehingga harganya paling tidak
tiga kali harga di pasar bunga Hibiya. Aku menangguhkan proses pengisian suara
selama sejam. Hujan di Ginza. Cahaya neon berkabut dan aroma kue beras gosong
melayang-layang di udara. Aku belum makan apa-apa selain semangkuk mi saat
siang, dan aku merasa pusing lagi loyo. Mataku sakit akibat menyunting film.
Aku merasa seperti pengemis di Kolkata. Memang aku lebih gembil daripada dia. Tetapi
seperti dia aku menjulurkan tanganku putus asa. Aku berkelana di jalan dengan kalut
lagi karut-marut. Ketika si pengemis tak berhasil memperoleh uang atau makanan,
ia tinggal menarik kembali tangannya. Teranglah mana di antara kami yang
sungguh punya martabat.
“Ken-bo takut padaku. Kau lihat
kan, aku tuh cantik, dan ketika ada wanita cantik yang marah, orang jadi takut.
Kalau wanita jelek yang marah kan jadinya lucu, ya enggak sih? Suruh dia supaya
jangan jadi pengecut dan telepon aku.”
Aku menyerahkan buket itu pada
Saki si hostes, memakan kudapan mungil dari akar talas muda, serta meminum
segelas Chiva campur air, dan begitu api mulai menyebar di perutku, kudengar
suara, “Yoshihiko! Bisa-bisanya kau berkata begitu?” Yoshihiko? Kok pernah
dengar, ya?
“Ada yang menyebut ‘Yoshihiko’?”
Saki membenamkan wajahnya pada
kumpulan mawar.
“Mm-hm.”
“Yoshihiko Takahashi? Pemain tim Carp itu?”
“Yeah.”
“Ia di sini?”
“Tepat di belakangmu.”
“Hah? Ia suka kemari?”
“Sesekali, ketika ia sedang
berada di Tokyo. Anak-anak di sini suka padanya. Ia tidak pernah terlalu mabuk,
atau berkata vulgar dan sebagainya.”
“Kenalkan aku padanya dong. Tolong.”
“Oh, kau penggemar?”
“Aku bisa memberimu sigaret
Italia, atau impun dari Wakasa, atau raket tenis, apa pun deh, tetapi tolong kenalkan aku padanya.”
“Ia pasti senang. Ia sangat
mementingkan penggemarnya.”
Aku berdiri seraya memegangi
dadaku yang berdebar-debar lalu mengikuti Saki ke seberang ruangan.
Yoshihiko Takahashi adalah
Dewa.
Aku menyerahkan kartu namaku
padanya lalu memperkenalkan diri dan mengatakan bahwa temanku ada yang
penggemar berat dan aku menyadari ini permintaan yang sungguh lancang tetapi
apakah dia berkeberatan untuk berbicara pada temanku itu di telepon? Senyumnya
menyejukkan dan menyetujui. Tanpa persyaratan.
“Kiyomi, kau tahu kan siapa
tadi itu? Tadi itu Yoshihiko Takahashi, Kiyomi. Latihan musim semi akan segera dimulai,
sejauh ini sementara bertemu dia langsung, aku khawatir ini rada sulit, tetapi ….
Halo? Kau masih di situ?”
“Sebentar, aku masih deg-degan.
Ya tuhan, tadi aku merasa mau pingsan.”
“Kiyomi, kau tidak tahu apa yang sudah kulalui …. Aku ….
Aku ….”
Air mata menggenang di pelupuk mataku.
“Bisa kubayangkan. Tadinya
kukira kau mafhum aku cuma bercanda. Biar begitu, terima kasih lo, sungguh.”
“Bercanda?”
“Yah, iyalah! Dengar, tadi aku gugup
sekali sampai-sampai tidak sanggup bicara. Bisakah kau sampaikan padanya untuk
menjadi juara curi base tahun ini?
Bisakah kau sampaikan padanya demi aku?”
“Tentu, akan kusampaikan padanya, tetapi …. Kau cuma
bercanda?”
“Untuk memperkenalkan aku, iya.
Tetapi jangan khawatir. Aku masih berniat menjadi saksi untukmu.”
Yoshihiko Takahashi tengah
duduk bersama para pemain bisbol lain beserta serombongan hostes, mengobrol dan
tertawa, sebagaimana sebelum aku mencampurinya tadi.
Sekitar sebulan kemudian, setelah
sumber malapetakaku menarik gugatannya dan tepat ketika sidang perceraianku
akan dimulai, aku menerima paket berisi gula muscovado dari Okinawa. Pengirimnya Tuan Yoshihiko Takahashi. Aku dan
Kiyomi telah memutuskan untuk datang ke pertandingan bisbol ketika musimnya
dimulai. Aku sudah mendengar kami serempak menyemangati:
“Larilah, Takahashi!”
Cerpen ini terdapat dalam
kumpulan cerpen Ryu Murakami Hashire! Takahashi! (1986). Terjemahan ini bersumber dari
versi bahasa Inggris Ralph McCarthy yang terdapat dalam Words Without
Borders edisi Agustus 2004 dengan judul “Whenever I Sit at a Bar Drinking Like This, I Always Think What a Sacred Profession Bartending Is.”
Ryu Murakami pengarang
terlaris yang telah menghasilkan selusin novel. Ia pemenang penghargaan sastra
paling bergengsi di Jepang, Penghargaan Akutagawa. Banyak di antara novelnya telah
difilmkan, termasuk Audition.
Novelnya Populer Hits of the Showa Era
yang diterjemahkan ke bahasa Inggris Ralph McCarthy telah diterbitkan oleh W.
W. Norton. Ia tinggal di Jepang.
Ralph
McCarthy penerjemah dua kumpulan cerpen Osamu Dazai—Self Portraits dan Blue
Bamboo—serta Fairy-Tale Book of Dazai
Osamu. Terjemahan lainnya meliputi In
the Miso Soup, Piercing, Sixty-Nine, serta From the Fatherland, With Love, semua dari Ryu Murakami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar