Bukan umat manusia yang menganyam jaring kehidupan. Kita menganyam satu
benang saja di dalamnya. Apa pun yang kita lakukan pada jaring itu adalah demi
diri kita sendiri. Semuanya terikat pada satu sama lain. Segalanya berhubungan.
– Chief Seattle
Terlepas dari apakah Anda meyakini dongengan bahwa uang itu baik atau
tidak bagi kita—apakah Anda kapitalis atau sosialis, hippie atau yuppie,
penganut Kristen atau Buddha—Anda mungkin sering kali menginginkannya lebih
banyak. Anggaplah semua orang setuju pada pepatah lama bahwa uang tidak
memberikan kebahagiaan, dan bahwa uang tidak sepenuhnya baik bagi kepribadian
mereka yang berusaha memperolehnya lebih banyak, maka Anda pun heran mengapa
semua orang sangat terpikat pada uang. Tetapi seperti itulah kita. Kita
mencintai uang, dan mencemburui mereka yang punya banyak uang. Kita bahkan
merelakan waktu kita—saat-saat berharga dan terbatas yang membentuk keutuhan
hidup kita—untuk memperolehnya kembali, tanpa mengindahkan betapa banyak yang
telah kita miliki, dan betapa merusak serta memuakkannya perbuatan itu. Semua
orang, tampaknya, menginginkan lebih banyak uang. Kita semua tidak ubahnya
Spike Milligan, saat ia menyentil “yang kuminta hanyalah kesempatan untuk
membuktikan bahwa uang tidak dapat membahagiakanku.”
Apa yang membuat uang begitu memikat? Karena menjanjikan
kemudahan hidup, barangkali—rumah yang bagus, mobil, sekolah yang baik untuk
anak-anak; pakaian yang bagus, liburan, makan di luar sekali atau dua kali
seminggu. Semua keinginan ini dapat dimengerti, namun tidak membuat Buddha
menyadari bahwa cuma hal ini saja yang dapat menjadi perolehan kita. Uang memang memainkan peranan penting dalam
mengubah dunia materiil di sekitar kita, namun benarkah itu dapat mengubah eksistensi kita? Apakah uang yang
menjadi tujuan kita?
Tidak ada cara yang “alami” untuk menjadi manusia. Pada
hakikatnya kita tidaklah rakus, tidak juga selalu merusak. Dengan melihat
sekilas kebudayaan-kebudayaan yang telah punah di pinggiran dunia, kita akan
segera menyadari bahwa ada cara yang tidak terbatas untuk hidup sebagai
manusia, dan cara hidup kita memengaruhi perilaku kita.
Siapakah Anda? Barangkali Anda seorang ibu, guru, atau
pengacara. Anda adalah diri Anda, ingatan Anda, dan imajinasi Anda. Anda adalah
apa yang Anda ingini, takuti, atau senangi. Anda adalah rentang ekspresi dari
waktu ke waktu. Simpati. Cinta. Kreativitas. Kepedulian. Duri dalam daging.
Spontanitas. Kejujuran, ketulusan, kebenaran. Jiwa manusia memiliki pengaruh
yang kuat.
Namun apakah hanya itu? Di mana ujung kesadaran diri Anda?
Apakah kesadaran itu berbataskan jiwa manusia, atau raganya? Anda mungkin
mengiyakan bahwa kaki Anda merupakan bagian dari diri Anda. Namun bagaimana
dengan bakteri di usus atau kolon Anda, yang bentuk kehidupannya seolah tidak
ada sangkut-pautnya dengan diri Anda, tetapi sekaligus merupakan bagian yang
amat penting dan saling bergantung dengan tubuh Anda? Tidak langsung terpikir,
kan? Pikirkan air yang Anda minum dari sungai (atau dewasa ini dari
keran)—percayakah Anda itu merupakan bagian dari diri Anda? Air menyusun 30-90%
tubuh Anda, jadi Anda mungkin sebaiknya percaya. Namun bagaimana dengan momen
ketika Anda menangkupkannya ke tangan dan meminumnya, saat namanya masih berupa
air sungai—apakah lantas air tersebut masih terpisah dari Anda? Atau bagaimana
ketika Anda menggelontorkannya ke mulut? Atau ketika air tersebut tergenang di
usus sebelum diserap ke aliran darah Anda? Bagaimana jika Anda meludahkannya ke
segelas air—akankah Anda lantas ragu meminumnya, karena ludah itu tidak lagi
merupakan bagian dari diri Anda, meskipun pastinya Anda meneguk saliva yang itu
juga tiap kali Anda minum?
Maksud saya adalah batas pemaknaan kita akan diri sendiri
tampaknya kabur dan tidak jelas. Kita mungkin menganggap diri kita sebagai
“objek” yang tersendiri, dibatasi oleh kulit kita (yang digambarkan Alan Watts
dengan “ego yang terbungkus-oleh-kulit”[1]), namun
sulit untuk membenarkan anggapan tersebut bilamana kulit sendiri pun terus
bertukar atom dan energi dengan lingkungan yang lebih luas. Tidak ada orang
yang dapat hidup sendirian, malah kita merupakan bagian dari suatu aliran
energi, makanan, air, mineral, radiasi, dan seterusnya, yang terus menerus
keluar masuk melalui kita, banyak di antaranya yang sama sekali tidak
mengindahkan batasan kulit. Kita sama-sama “objek” yang terikat sebagaimana
ombak di lautan. Seperti ombak, kita merupakan suatu bentuk yang dilalui oleh
banyak objek (dalam hal ini, molekul air). Mengidentifikasi diri dengan
molekul-molekul yang ada di balik kulit Anda saat ini sama wajarnya dengan
mengidentifikasi lautan dengan molekul-molekul yang ada dalam sifatnya pada
saat kapan pun.
Akan tetapi yang sebenarnya ialah kesalingtergantungan. Jika
sungai tempat saya mengambil air tercemar, maka sudah jelas saya akan mati.
Jika tanah yang saya pijak gundul tidak tergarap, maka pada akhirnya saya akan
kelaparan. Maka secara praktis, jelas, dan riilnya, saya menyatu dengan sungai
maupun tanah—seperti bakteri di usus besar saya, keduanya merupakan bagian dari
kebutuhan entitas saya sebagai manusia yang bernyawa untuk melanjutkan hidup.
Para dukun dan penganut kebatinan, maupun kaum ateis dan
masyarakat adat telah sering kali berbicara mengenai “keutuhan” sejak
bangkitnya kemanusiaan, namun baru mulai 1960-an, berkat teori Gaia yang
diajukan Lovelock, gagasan tersebut diterima dunia modern. Kita bukanlah
makhluk mulia yang terpisah dari buasnya Alam, sebagaimana yang dicekokkan
budaya kontemporer pada kita. Malah, kita makhluk mulia pada hakikatnya bagian
dari Alam mulia, dan dengan kesalingterhubungan itu sungai pun kurang lebihnya
bagian dari diri Anda sebagaimana daging, darah, dan tulang menyusun tubuh Anda
pada saat ini juga. Pada tingkatan partikel dan fundamental kita semua
sama—campuran yang beragam dari unsur-unsur dasar yang sama (seperti oksigen,
karbon, dan nitrogen). Tidakkah sebaiknya pemaknaan diri kita merentang hingga
mencakup seluruh kehidupan? Albert Einstein menyatakannya dengan indah,
… manusia merupakan bagian dari kesatuan yang kita sebut alam
semesta, suatu bagian yang dibatasi oleh ruang dan waktu. Kita mengalami diri
kita, pikiran serta perasaan kita sebagai sesuatu yang terpisah dari selainnya.
Semacam delusi optis terhadap kesadaran. Delusi ini semacam penjara bagi kita,
berbataskan hasrat pribadi dan kasih sayang pada beberapa orang terdekat. Tugas
kita mestilah membebaskan diri kita dari penjara tersebut dengan memperluas
lingkaran simpati kita agar mencakup semua makhluk hidup dan seluruh keindahan
alam. Harkat sejati manusia ditentukan oleh tindakan dan perasaan mereka saat
telah memperoleh kebebasan dari dirinya tersebut. Kita perlu menetapkan cara
berpikir baru yang hakiki jika kemanusiaan hendak bertahan.
Pemaknaan diri yang manusiawi diperlukan untuk menyempurnakan
perilaku kita, serta cara yang kita ambil untuk membangun kehidupan. Pemaknaan
itu terefleksikan pada adat kebiasaan, nilai-nilai sosial, serta struktur
kekuasaan kita. Jika kita tidak melihat diri kita terhubung dengan, atau
bergantung pada, lingkungan kita, mengapa kita mesti repot-repot memeliharanya?
Jika kita tidak melihat diri kita terhubung dengan, atau bergantung pada Alam,
mengapa kita mesti menjaga keindahan dan karunianya? Kebudayaan modern telah
memajukan dan mendesakkan pemaknaan diri yang diam-diam mengingkari hubungan dan
ketergantungan yang integral ini—diam-diam mengingkari keutuhan—dan hasilnya
sudah jelas: penggundulan hutan, penggurunan, kepunahan spesies, pencemaran air
dan udara; naiknya laju kanker, asma, diabetes, penyakit jantung, dan obesitas;
meningkatkan kejadian bunuh diri, depresi, obat-obatan, dan kekerasan; pemujaan
selebriti, obsesi terhadap keindahan lahiriah, serta ketakutan akan kematian.
Semua ini sangat tidak sehat, dan, bisa saya buktikan, secara langsung
berpangkal dari suatu masyarakat buta-alam yang gagal memahami dirinya,
terputus dari gudang ilmu pengetahuan serta lingkungannya, dan salah paham akan
posisinya di dunia ini.
Ini bukan buku mengenai diri, melainkan tentang uang, namun
mempertanyakan letak batasan diri merupakan landasan yang penting sekali dalam
memahami seruan untuk melangkahi ekonomi moneter. Orang mengira saya setuju
dengan pepatah lama yang salah kutip, uang adalah akar dari segala kejahatan.
Saya tidak setuju. Malah saya mengajukan bahwa silap pemaknaan akan dirilah
yang merupakan akar dari banyaknya krisis pribadi, sosial, dan ekologis yang
kita hadapi sekarang ini. Uang merupakan alat untuk mempertahankan dan
menguatkan delusi ini.
Uang merupakan ayam sekaligus telur sehubungan dengan
pemaknaan diri yang delusif ini. Meskipun uang berawal sebagai satu-satunya
gejala itu sendiri dari ilusi terpisahnya diri kita dengan segala kehidupan
lain, serta kesadaran akan konsep seperti utang piutang yang berasal dari
padanya, keberadaan uang kemudian menjadi langgeng dan memperluas jangkauannya
hingga kita merasa terputus dari kehidupan lain dengan meningkatkan taraf
keterpisahan kita dari apa yang kita konsumsi. Ini menciptakan delusi yang
lebih kuat dan kukuh serta gejala-gejala yang semakin parah. Oleh karena itu,
uang memainkan peranan utama dalam memperbesar tindak perusakan yang kita
lakukan saat kita lebih mementingkan ego sendiri yang terbungkus oleh kulit itu
ketimbang perhatian terhadap alam semesta, diri kita yang holistis.
Mengapa ini penting? Posisi tempat kita menarik batasan
antara diri kita dan yang lain memiliki implikasi sangat besar terhadap
permasalahan pribadi, sosial, dan ekologis yang kita hadapi. Model ekonomi
moneter kita saat ini secara parsial bekerja dengan landasan bahwa kita
bertindak menurut apa yang Ayn Rand[2], dan
orang-orang sebelumnya seperti Adam Smith, gambarkan sebagai kepentingan-diri
rasional. Tetapi bagaimana jika batasan diri tersebut tidak sejelas yang Rand
dan sebagian dari kita asumsikan pada awalnya? Dengan kesadaran diri yang lebih
luas dan holistis, istilah kepentingan diri-rasional dan egoisme menjadi jauh
berbeda pengertiannya. Jika seseorang menghayati dirinya sebagai seluruh alam
semesta, maka bertindak menurut kepentingan-diri sendiri akan mencakup
pengambilan keputusan di mana memelihara diri sendiri berarti melindungi
sungai, atmosfer, tanah, berikut hutan yang menyediakan hidrogen, oksigen,
serta mineral penyusun unsur-unsur fisik dari apa yang sekarang ini Anda
definisikan sebagai “aku”. Mendefinisikan ulang serta memperluas batasan diri
juga akan menjadikan meminta bayaran pada manusia lainnya untuk pemberian Anda
pada dunia, yang mana Anda sendiri memperolehnya dari pemberian, tidak kalah
konyol daripada penis atau klitoris Anda meminta bayaran pada lutut Anda atas
pengalaman orgasme.
Bisakah Anda
membayangkan dunia yang seperti itu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar