Antara mengulang doktrin konvensional yang sama seperti yang dikatakan
semua orang, atau menyampaikan kebenaran yang kedengarannya seolah-olah berasal
dari Planet Neptunus.
– Noam Chomsky
Belum lama ini di suatu acara makan malam saya menemukan serbet kertas
yang dicetak dengan gambar uang sepuluh paun. Wajah sang Ratu yang tenang namun
janggal, ramah namun mengusik, menatap balik pada kami semua, menantang untuk
menyeka wajah kotor kami dengan apa yang telah menjadi simbol paling keramat.
Tidak ada seorang pun yang berani melakukannya. Semua serbet tergeletak mulus
tidak tersentuh sebagaimana sewaktu ditata. Rasanya sangat keliru menggunakan
uang sepuluh paun, sekalipun hanya gambarnya, untuk menyeka glasir di mulut.
Pikirkan sejenak paragraf itu, dan Anda akan mulai menyadari
betapa konsep uang telah sangat memengaruhi kita. Seandainya serbet itu
berwarna putih polos yang biasa kita cekoki dengan tumpahan kopi, burger,
koktail, dan irisan lemon di acara penggalangan dana, melayang-layang di latar
belakang pada setiap pengalaman kuliner luaruang, saya berani bertaruh bahwa
kita tidak akan pikir panjang untuk menggunakannya sekali saja, lantas
membuangnya. Kita senang-senang saja memorakmorandakan pepohonan yang tidak
terbilang jumlahnya melalui sektor pangan kita yang nyaman, namun kita ragu
menyeka wajah kita dengan sesuatu yang sekadar citra dari uang sepuluh paun.
Uang—konsep yang sewenang-wenang, hampa, dan nirjiwa, tunduk
pada inflasi serta tabiat pasar yang berubah-ubah, dan dengan sendirinya tidak
mampu memberi makan, perlindungan, ataupun cinta kepada kita—telah menjadi
lebih berarti, lebih dihargai, dan lebih dikeramatkan dalam hidup kita
ketimbang pepohonan—penyedia oksigen, air, makanan, naungan, lindungan, dan
struktur tanah. Kita berada di negeri ajaib Elisa, tempat tidak ada yang
seperti kelihatannya, dan tidak ada yang sebagaimana semestinya. Kita
benar-benar mengalami delusi akan apa yang kita butuhkan demi kehidupan yang
bermakna dan terpelihara, dan delusi kita tidak saja melemahkan kemampuan kita
untuk mewujudkannya, tetapi juga kemampuan semua spesies lain di planet ini
dalam hal itu.
Dengan memikirkan kuasa uang atas kita, Anda mungkin heran
mengapa pada 2008 saya memutuskan untuk meninggalkan jalan hidup tersebut dan
mencoba hal yang berbeda. Pada awal saya memutuskan untuk memulai hidup tanpa
uang—atau, saya lebih suka menganggapnya, memulai hidup dengan berbagai bentuk
ekonomi kasih berbasis lokalisasi yang akan dijelaskan di bab dua—saya
melakukannya berdasarkan kesadaran yang kuat: banyak penderitaan dan kerusakan
di dunia—pabrikasi pertanian, pabrik rodi, penebangan hutan, kepunahan spesies,
pengurasan sumber daya, kemusnahan penduduk pribumi beserta
kebudayaannya—merupakan gejala dari persoalan yang lebih mendalam. Dalam
pengamatan saya, hanya masyarakat yang tidak acuh akan pertalian intim mereka
dengan kehidupan lain di planet ini yang dapat berlaku seperti kita, dan hanya
masyarakat yang terkepung oleh godaan-godaan kuat yang tidak mampu merasakan
luka mendalam akibat perilaku ini. Uang tidak saja memungkinkan kita untuk
tetap terlindung dari kengerian yang menjadi akibat langsung dari kebiasaan
konsumsi kita, tetapi juga merupakan godaan yang paling kuat.
Seiring dengan waktu yang memberi saya lebih banyak lagi
pengalaman dan pelajaran dalam hidup tanpa uang, alasan untuk melakukannya
mencapai skala yang hampir tak terhingga. Tidak terbayang oleh saya rintangan
dan kesenjangan yang timbul akibat terjerat dalam penggunaan uang. Daftarnya
tidak habis-habis, dan saya tidak bisa menyertakan semuanya di sini. Di
halaman-halaman berikut, saya telah memilih beberapa poin yang saya rasa paling
penting, dengan menilik akibat yang ditimbulkan uang pada diri kita secara
fisik, mental, emosional, dan spiritual, serta dampak lanjutannya pada keadaan masyarakat
dan planet kita. Meski begitu, semua itu kiranya mengerucut pada satu pokok
yang sederhana saja: hidup tanpa uang mengubah jalan hidup saya. Berada di luar
ekonomi moneter memungkinkan saya untuk berdiam dalam daur hidup organik dan
menghargai keutuhannya yang saling berhubungan, serta memperoleh sudut pandang
baru dalam memaknai diri.
Kita berada di sini supaya terbangun
dari ilusi kita akan kesendirian.
– Thich Nhat Hanh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar