(Catatan: Cerita ini berdasarkan pada
kehidupan Rizana Nafeek, gadis Sri Lanka yang dihukum dan setelahnya dieksekusi
di Arab Saudi atas tuduhan membunuh Naif al-Quthaibi, bayi berusia empat
bulan.)
“Bibi, kapan Rizana kembali? Adakah berita tentang dia?”
Raazik sepupu Rizana yang hendak
menikahi gadis itu. Ia bekerja di toko serbaada
dengan gaji kecil. Sebelumnya ia tidak mengetahui keberangkatan Rizana ke Arab
Saudi. Seandainya ia tahu sedari dulu, ia akan mencegah Rizana pergi. Namun ia
tidak tahu, segalanya terjadi secara sembunyi-sembunyi.
“Bibi, sekarang sudah hampir tujuh tahun.”
“Ya, ponakanku.”
“Segala usaha
telah dilakukan, kami mengerti. Semua orang berusaha supaya dia dibebaskan,
semua orang tanpa memandang perbedaan, agama, dan etnik kita. Para politikus
berkali-kali mengunjungi Arab dan bahkan berbicara dengan Raja. Organisasi-organisasi
HAM bekerja keras supaya dia dibebaskan. Rizana akan segera bebas. Janganlah khawatir, Bibi,” ujar si ponakan. “Serahkan
segalanya pada Allah.”
Raazik pun
pergi tetapi lalu kembali dengan tekad baru dalam benaknya.
“Aku akan
menikahi Rizana. Kalau kami menikah, mereka meski memulangkannya.”
Wajah bibinya
tidak menampakkan senyum. Wajahnya tetap kaku. Ia hanya mengatakan, “Nak,
biarlah Rizana kembali dulu.”
***
Rizana menulis: Umma aku ingin sekolah. Aku hendak menjadi
dokter, pengacara, atau guru, Bu. Aku keluar dari sekolah dan pergi ke Saudi
hanya untuk mengisi perut kita. Aku ingin mengganti pondok bambu kita dengan
rumah bata. Aku tidak mengira akan menderita bertahun-tahun di penjara, menanti
kematian.
Ibunya
menangis.
Rizana
menulis: Aku tidak melakukan dosa apa
pun, Bu. Aku juga seorang anak. Bagaimana aku tahu cara mengasuh bayi? Bayi itu
tersedak ketika minum susu. Pelan-pelan aku menepuk leher bayi itu. Begitulah
kejadiannya. Begitulah kenyataannya. Allah! Kukira anak itu tertidur, dan aku
pun tidur. Baru kemudian aku mengetahui bahwa bayi itu meninggal.
Timbul genangan yang berkobar di mata ibu Rizana.
Ia membayangkan
wanita Arab yang menyiksa putrinya, Rizana. Ia membayangkan wanita itu memukul Rizana dan membawanya ke
polisi. Ia membayangkan Rizana ditendangi dan dipukuli oleh orang-orang yang
tidak menyerupai dia, tidak berbicara seperti dia, di pos polisi. Berkomunikasi
tidaklah mungkin. Rizana menjeritkan kepolosannya, mereka meneriakkan tuduhan
mereka. Yang buta dan yang tuli saling berkata-kata. Ia membayangkan putrinya
mengakui kejahatan yang tidak dia lakukan. Ya, dia membunuh bayi itu, ya, dia
akan menandatangani pernyataan yang ditulis dalam bahasa yang tidak dapat
dibacanya bahwa dia melakukan perbuatan itu. Kalau saja mereka tidak sejauh
itu.
Ibu Rizana membayangkan hukuman yang dijatuhkan: mati.
Rizana terus memikirkan hal yang sama: Aku tidak pernah
melakukan kejahatan. Aku tidak bersalah. Aku akan dibebaskan. Aku akan bersama
Umma dan Waappa.
Ia seekor
burung, yang akrab dengan pondoknya yang bocor, sekolahnya di desa, dan di
tengah keduanya ada orang tuanya. Sekarang ia berada di jalanan, di gurun yang menghanguskan, kediaman
seorang nyonya, sebuah penjara di suatu negara Arab. Dulu ia burung yang
hinggap di tangan orang-orang yang menjaganya. Sekarang ia burung dalam
sangkar, sendirian di dalam dinding penjara.
Rizana menulis: Umma, mengapa mereka masih menahanku di
penjara? Aku tidak bersalah. Tidakkah mereka mengerti? Akankah kau kemari dan
membawaku pulang? Aku ingin bersama saudara-saudaraku. Aku ingin pulang.
Timbul genangan yang berkobar di mata ibu Rizana.
***
Raazik
memenungkan banyaknya perempuan seperti Rizana yang tengah menanti ajal di
penjara Saudi. Mereka seperti pasien pengidap kanker, membayangkan kematian. Di
antara mereka ada tahanan yang didakwa membunuh majikan. Raazik mengerti sebabnya.
Ada terlalu banyak perempuan yang telah pulang dan menceritakan betapa mereka
telah diperkosa dan dipaksa untuk menutup mulut. Raazik memenungkan pilihan
yang mereka punya: membuka mulut, diusir dari rumah, lalu ditahan karena tidak
memiliki dokumen, atau bertahan, tidak mengatakan apa-apa, dan berharap dapat
pulang dengan selamat. Raazik memenungkan para perempuan yang tengah
membayangkan seperti apakah rasanya dipenggal. Raazik terus bermenung.
Raazik
memenungkan: Kalau saja Rizana mengungkapkan usianya yang sebenarnya, tujuh
belas tahun, ia tidak akan pergi ke Arab Saudi. Kalau saja ia tidak pergi, ia
tidak akan berada di penjara menanti mati.
***
Ruangan pesta
pernikahan itu meriah. Ini pernikahan cucu Sharifdeen Haadjiar. Ada dekorasi
dengan lampu warna-warni, dan pelaminannya dihiasi bunga-bunga segar lagi
harum. Mempelai perempuan mengenakan riasan yang terlampau tebal dan ia duduk
bak boneka lilin. Ruangan itu dipenuhi milyarder, jutawan, taipan, politikus,
seniman, sastrawan, dan media.
Sharifdeen
Haadjiar bergerak ke sana kemari menyambut tamu, bertukar basa-basi, dan
menampakkan sopan santun. Kebanggaan tergurat
pada wajahnya. Kepalanya tegak mendongak selagi ia
berjalan.
Makanan belum disajikan. Para tamu
tengah bergosip dan menyesap minuman dingin yang disajikan di meja-meja.
“Adakah yang tahu berapa biaya ruangan ini?”
“Untuk ruangan ini dan lantai atas,
kelihatannya, tiga setengah lakh[1].”
“Kata siapa? Masak sebesar itu?”
“Apakah Sharifdeen Haadjiar yang mengatakannya?”
“Setiap hidangan berharga empat ribu
rupee. Empat ribu per kepala.”
“Betapa tidak adilnya! Agaknya
hidangan nasi ini terbuat dari emas!”
Seseorang berkata, “Tampaknya Rizana telah digantung.”
“Apa? Kapan kejadiannya?”
“Hari ini.”
“Oh ya Allah! Bagaimana bisa mereka
melakukan ini? Kasihan Rizana.”
“Bagaimana bisa ini terjadi? Para menteri
sering sekali mengunjungi Arab Saudi. Bahkan beberapa hari lalu ada berita
bahwa ia akan dibebaskan.”
“Semua itu omong kosong.”
Tercium aroma kuat nasi yang ditanak
dalam minyak samin.
Seseorang berkata, “Kudengar hati
wanita Arab terbuat dari batu, lebih keras daripada hati prianya. Bagaimana bisa
mereka memenggal gadis yang masih hijau ini?”
“Jangan berkata begitu, Haji. Mereka
semua tidaklah sama. Ibu si anaklah yang perilakunya seperti setan. Ia bisa
saja memaafkan Rizana. Ia memilih untuk tidak memaafkan gadis itu.”
Para tamu pada terdiam. Terbayang
oleh mereka kejadian itu. Kejadian dibunuhnya Rizana. Kepalanya dipisahkan dari
tubuhnya. Nafsu makan mereka lenyap.
Akhirnya salah seorang dari mereka
berkata, “Ini semua kehendak Allah. Mengapa mempersalahkan Saudi? Nabi kita
mengatakan, Bahkan jika Fathima Nayaki
mencuri aku akan menyuruh memotong tangannya. Di bawah Hukum Syariah, raja
dan orang miskin tidak ada bedanya.”
Yang lain berkata, “Tidak ada yang
menyalahkan Hukum Syariah. Itu hukum yang benar. Tetapi kita ingin mengetahui
apakah keputusan pengadilannya sudah benar. Apakah penyelidikannya sudah
dilakukan secara patut?”
“Mengapa kita menyalahkan mereka?
Mengapa kita menyalahkan orang-orang Arab? Mengapa bukan masyarakat kita
sendiri? Kita mengirim Rizana ke Arab Saudi. Mengapa kita melakukan itu? Ia
masih anak sekolah. Ia pergi ke sana karena ia miskin. Ia pergi untuk mencari
nafkah dan membantu keluarganya. Kitalah yang patut disalahkan.”
Seseorang yang bekerja untuk
suratkabar berkata, “Adakah yang peduli pada pondoknya yang bocor di penjuru
desa? Andai saja kita memerhatikan penderitaan keluarganya, kepalanya mungkin
masih utuh.”
Raazik hanya mendengarkan. Ia berlalu
tanpa memakan hidangan mahal itu, tanpa berkata-kata.
***
Raazik tidak dapat memercayai pendengarannya.
Ia membayangkan itu rumor belaka. Itu rumor, ucapnya keras-keras, dengan pijakan
yang goyah. Ia mendatangi masjid dan salat dua rakaat, serta memanjatkan doa
untuk Rizana. Ucapnya, “Allah Mahabesar, semoga ini berita bohong.”
Di pondok yang dulu ditinggali
Rizana, tempat Raazik pernah mengenal dan mengasihi gadis itu, orang
berkerumun. Tidak ada politikus yang hadir. Yang ada ratapan dan air mata.
Raazik berhenti dan mengamati. Ia melihat air mata orang-orang di antara
keluarga Rizana meninggi dan membanjir. Ia melihat pondok Rizana tenggelam.[]
Cerpen yang aslinya berbahasa Sinhala
ini diterjemahkan dari versi bahasa Inggris
K. S. Sivakumaran dalam Words without Borders edisi Juni 2013.
Kalaivaathy Kaleel menulis dan menerbitkan karya berbahasa Tamil di suratkabar mingguan Vidivelli. Ia berasal dari utara Sri
Lanka, di Mannar. Ia kritikus, pelukis, penyair, dan penulis senior di kalangan
sastra Tamil di Sri Lanka. Ia membawakan acara Muslim di SLBC (Sri Lanka
Broadcasting Corporation). Cerpennya, “Rizana”, yang dipublikasikan di Words without Borders, paling tepat
digambarkan sebagai nonfiksi kreatif. Cerpen ini merupakan tafsiran imajinatif
atas kisah nyata gadis Muslim Sri Lanka, Rizana, yang dihukum mati atas tuduhan
kejahatan di Arab Saudi. Kasus ini menyita perhatian dunia walau pada akhirnya
tidak banyak mengubah nasibnya. Kallel merupakan penulis senor di suratkabar
Tamil, Navamani.
K. S. Sivakumaran bekerja sebagai penerjemah untuk pemerintah, penyiar radio dalam bahasa
Inggris dan Tamil, guru bahasa Inggris di Sri Lanka dan luar negeri, editor
naskah, serta pengarang tiga puluh buku berbahasa Tamil dan dua dalam bahasa
Inggris. Pada 2007 ia mendapat kehormatan sebagai kolumnis berbahasa Inggris
terbaik dari Press Institute of Colombo dan College of Journalism. Setelah
mengampu sebagai staf di beberapa suratkabar terkemuka berbahasa Inggris (The Island, The Daily News) dan berbahasa Tamil (Virakesari dan Navamani),
kini ia menulis kolom kesusastraan di surat kabar berbahasa Inggris dan Tamil
secara lepas.