Parul menghitung sudah enam bulan sejak lelaki itu menghilang. Ada yang
bilang lelaki itu tenggelam di laut, ada yang bilang lelaki itu pergi mencari
kerja di Dhaka. Parul persetan dengan ke mana pun lelaki itu minggat, tetapi
kenapa lelaki itu pergi tanpa memberi tahu dia? Akankah Parul menghentikan
lelaki itu jika bilang padanya dulu? Akankah Parul menangis? Tidak, Parul tidak
akan melakukan apa-apa. Parul akan membiarkan siapa saja yang mau pergi,
pergilah. Kalaupun hatinya nyeri, itu masalah Parul sendiri. Lantas kenapa
lelaki itu pergi? Lelaki itu lari karena tidak dapat mengerti Parul, benarkah
begitu? Ataukah lelaki itu pikir sekiranya ia tidak kabur, akan terlalu sulit
untuk meninggalkan Parul?
Kepala Parul berpusing kapan pun memikirkan hal-hal begini. Ia tidak suka
diabaikan orang, apalagi dari orang yang begitu dekat—yang diakui orang-orang
sekitar sebagai suaminya. Nama lelaki itu Abbas Ali, dari desa Thanar Hat,
distrik Noakhali. Tidak banyak penghasilannya, ia seorang buruh harian, yang
menghabiskan hari-hari secara serabutan dengan apa pun yang dapat diperoleh.
Saat Parul memasuki rumah tangga Abbas Ali, kemiskinan lah yang terutama ia dapati di sekitarnya, sehingga ia
mengerahkan energinya untuk mencari nafkah, bekerja dari rumah ke rumah,
mengumpulkan beras, sayur, apa pun yang berhasil diperolehnya untuk makan. Ia
telah tahan oleh kemiskinan. Ia tidak mengeluhkan apa pun pada Abbas Ali.
Malah, ia sempat cukup menyukai pemuda yang tangguh itu. Ia baru tidur larut
malam setelah membicarakan tentang suka dukanya. Kenapa pria itu tidak betah di rumah ini? Kemarahan Parul
berpusat pada pertanyaan ini, namun tetap tak ada jawabnya. Ketika orang-orang
menanyainya, ia tidak pernah merasa malu. Malah darahnya akan mulai mendidih.
Kepala Parul berdenyut saat ia pulang dari kerja dan duduk di beranda pada siang bolong—nyanyian garau
orang-orang perahu di pantai Hatiya terapung-apung di rongga kepalanya.
Orang-orang perahu itu hendak ke Narayanganj membawa garam bumi yang telah
mereka kumpulkan. Garam itu akan diolah di pabrik Bhuiyan di Narayanganj.
Pada suatu waktu tangan orang-orang di suatu tempat terkikis akibat mencuci garam bumi
demi menghasilkan garam putih kristal. Mereka tak mengetahui bahwa Parul gadis
yang berasal dari pulau-pulau garam yang tengkorak kosongnya bicara, mengajukan
tanya, dan menjawabnya sendiri. Pertanyaan sulit bergema dalam rongga kepalanya
yang kosong: Kapankah kebutuhan seseorang akan orang lainnya berakhir? Mengapa
lelaki itu pergi? Mengapa ia pergi? Pertanyaan-pertanyaan mengapa ini mengitari
rongga kepalanya yang kosong bak jerat—jerat yang kuat, hingga mencetak
bilur-bilur pada kulit yang hitam atau putih. Pada suatu waktu, bilur-bilur itu
akan pecah, luka-lukanya menyemburkan darah. Ketika Parul merasa ingin mencakar
sesuatu, ia menyambar tiang bambu dan mengguncangnya. Atap gubuk reyot itu pun
bergetar. Parul memandang atap yang bergetar itu. Tanaman yang mengalasinya
telah bergeser, sehingga menampakkan celah-celah—daun-daun bambu itu hendak
jatuh, perlu dilakukan sesuatu sebelum musim hujan. Atapnya perlu diperbaiki.
Kebutuhan ini memiliki arti, tidak perlu mencari arti dari kebutuhan ini.
Lelaki itu mestilah pergi demi mencari kebutuhan yang lain—apakah itu artinya?
Lantas rongga kepala Parul yang kosong menanyakan: Kapankah seorang suami tidak
lagi membutuhkan istrinya?
Perutnya menjawab: Ketika istrinya
tidak bisa menghidangkan makanan.
Pertanyaan itu timbul lagi: Kapankah seorang suami tidak lagi membutuhkan
istrinya?
Pinggangnya menjawab: Ketika si istri
tidak dapat menyediakan dagingnya.
Seluruh tubuhnya menjerit, aku bisa melakukan segalanya. Mengapa ia lari?
Lantas terasa seolah-olah ia tak punya lapar, dahaga, ataupun syahwat.
Pantai Hatiya terbentang di seputarnya. Air pasang membawakan garam bumi. Tengkorak
kosongnya berkata, tak pernah perihnya lapar menggaung di horizon rumah
tangganya. Desakan untuk bercinta selalu sampai di padang-padang bercorak
pelangi. Lantas mengapa lelaki itu pergi? Mengapa rongga kepala Parul merana
hampa di antara kotoran, lumpur, rerumputan, dan sampah? Saat hati Parul lelah,
matanya menyala. Apakah menjalani hidup berarti penantian bagi orang itu? Orang dengan peranan yang disepakati secara
sosial dalam hidup Parul? Orang yang Parul temani di kasur, yang anaknya dapat dikandung Parul tanpa orang lain
bergunjing? Parul menggigil. Tubuhnya menegang. Ia terus berpikir, rongga
kepalanya terkuras oleh pikiran bahwa tanpa sesuatu alasan lelaki itu tak acuh
akan diri kewanitaannya. Hinaan ini membakar Parul dengan panas membara. Ia
rengkuh getaran dalam tubuhnya yang kejat dan mengutuk kehampaan itu dengan
suara keras.
Ia memprotes dengan suara dan isyarat. Ia tidak menghendaki kehidupan ini.
Ia menghendaki tawa, kesenangan, keputusasaan, suatu kehidupan yang dapat menggampar masyarakat. Ia
menyambar gamccha[1]
menyisip ke pagar dan berlari ke kolam, meloncat. Seraya berkecipakan di air,
bermain-main dalam air, ia berusaha membersihkan penghinaan itu. Namun perasaan
terhina itu tak hendak pergi.
Dua hari setelah itu Parul mulai bekerja di jalan. Jalan perlu ditambal. Upazila Parishad sedang menggarapnya—mereka akan
memperoleh gandum atas pekerjaan itu. Yang lain menyekop tanah ke keranjang,
Parul membawanya di atas kepala untuk ditaruh di jalan. Matahari yang terik
menggoreng daging dan tulangnya. Ia lelah dan berhenti sebentar untuk
beristirahat. Ibu Tara menghampiri dan mengulurkan bidi[2]
yang dipegang tangannya: Nih, isaplah.
Tetapi aku tidak merokok.
Bukan merokok, cobalah, nak. Biar
kamu kuat.
Parul ragu sebelum menerima bidi
itu. Ia mengisapnya lantas terbatuk. Setelah batuk beberapa kali, ia mulai
menyukainya. Hari itu sepulang kerja, begitu kembali dari kantor Upazila
membawa gandum, ia membeli sekotak bidi
dari toko Qashem. Setibanya di rumah, setelah mandi, ia menggoreng sebagian
gandum di wajan lempung. Hari itu ia mengunyah gandum goreng hingga larut
malam, sambil terus-terusan mengisap bidi
dan menyenandungkan beragam lagu. Setelah sekian lama, segalanya terasa begitu baik-baik saja.
Beberapa hari kemudian Alam Chacha desa itu memberi Parul berita di depan
kantor Upazila Parishad, Katanya: “Suamimu menyiangi padi di Monpura Char. Dia
sudah menikah juga.”
“Menikah!”
Awalnya mata Parul membeliak. Kemudian ia mulai terkikih dan berkata,
“Benar juga.”
Namun batinnya terbakar oleh penghinaan atas kewanitaannya. Menyala-nyala,
terang bak kerlip sebatang bidi dalam
gelap.
Alam Chacha yang terusik berkata, “Kenapa kau ketawa-tawa, heh? Apanya yang lucu?”
Tetap Parul mencoba berkata diiringi seulas senyum cerah, “Menikah itu
berita bagus. Kenapa aku tak boleh ketawa?”
Begitu Alam Chacha pergi disertai “Gadis bodoh,” Parul menyadari bahwa ada
nyeri dalam tawanya itu—kepedihan yang tak selalu berarti airmata. Rongga
kepalanya yang kosong mulai berkata—ia ingin melupakan kepedihannya. Saat
rongga kepalanya yang kosong mulai berkata ia menjadi yakin akan yang mesti
diperbuatnya. Tak dirasakannya kegoyahan dalam benaknya. Ia menyadari bahwa
yang paling sulit ialah untuk menentukan targetnya. Ketidakmampuan untuk
memutuskan merupakan persoalan terbesar dalam menjalani hidup. Begitu persoalan
sulit ini terpecahkan, maka waktu mengalir lancar, dan tidak menjadi beban
pikiran.
Dua bulan kemudian ia hamil. Ketika tiga bulan setelah itu kehamilannya
menjadi jelas, ia merasakan kebahagiaan. Aku akan menjadi seorang ibu? Ia
berputar-putar di dalam rumahnya seperti orang gila. Baru beberapa lama
kemudian ia tenang. Begitu tenang, batinnya terus dibanjiri oleh limpahan
kebahagiaan. Baik atau burukkah menjadi ibu tanpa suami tak terlintas dalam
kepalanya. Ia seorang ibu, perasaan ini mengubah dia menjadi seorang wanita
kaya. Ini menjadi satu-satunya hal terpenting bagi dia untuk mencengkam
perasaan ini.
Suatu hari, sembari berdiri di halamannya, Ibu Tara melontar tatap padanya dan berkata, “Hei Paruilla,
dapurmu berasapkah?”
Parul mengangguk disertai senyum malu.
“Apa! Kau kan tak ada suami.”
“Memangnya
harus ada suami untuk mengasapi dapur?”
Parul memandangi Ibu Tara dengan geli. Seolah-olah Ibu
Tara baru mengatakan hal yang teramat lucu. Tidak tampak jawaban begitu telah
siap di mulut Parul. Jawaban itu keluar secara spontan saja. Parul
mengibas-ngibaskan jarinya pada Ibu Tara dan mengulangi ucapannya.
Ibu Tara
membentaknya, “Dasar gadis tak tahu malu ….”
“Jangan
merutukku, nanti kau menyesal.”
“Bukannya
bayi itu butuh ayah?”
“Buat apa dia
butuh ayah? Aku ayahnya, aku ibunya.”
Ibu Tara menggerutu, “Gadis itu sudah gila.”
Kabar keanehan Parul merebak ke seluruh desa. Para wanita
mengerubungi rumah Parul mengajukan tanya keheranan. Kadang Parul menjawab
mereka, kadang pula tidak. Ia akan berpaling atau turun ke kolam. Ia akan
berenang di kolam selama yang ia suka. Bukan berarti seolah-olah semua pria di
desa itu telah mendatangi dia. Bukan berarti seolah-olah ia menyukai semua
pria. Ia mendorong siapa saja yang ia suka demi memuaskan desakan dagingnya.
Kegembiraannya ada pada siapa pun pasangan yang dinikmatinya. Ayah dari anaknya
tidaklah penting bagi dia. Ia bahkan tidak hendak memberi pria-pria itu hak
sebagai ayah. Ia mengatakannya secara terus terang, “Aku akan membesarkan anak
ini. Aku akan memberi dia makan, aku akan memberi dia pakaian, buat apa ada
ayah? Lihat Aiton, suaminya kabur meninggalkan dia dengan dua anak. Apa
bedanya? Bukankah anak-anak tanpa bapak jadinya tidak kenapa-kenapa?”
Sebagian orang mengiyakan pemikiran Paul yang tak
terbantahkan itu, sebagian melawannya. Parul lantas capek berbantahan dan
mengabaikannya. Tetapi ia tidak pernah mengalah. Capek berbantahan, ia diam.
Gadis-gadis yang ditelantarkan suaminya dengan dua-tiga anak memuji dia secara
sembunyi-sembunyi. Mereka memberi tahu dia, “Kau melakukan hal yang benar,
Parul. Sekarang babi-babi itu tidak dapat melawan kami.”
Ketika mendengar ini, pertanyaan “Mengapa” dari Parul
tetap bergeming dalam rongga kepalanya yang kosong. Salep simpati memuluskan
luka-luka terbakar akibat penghinaan. Suatu kekuatan yang bergerak dalam
dirinya mengatakan bahwa ia tak akan pernah kalah.
Parul suka duduk di beranda, menjahit linen untuk bayinya
dari pakaian bekas. Beberapa gadis diam-diam menghampiri untuk memberikan sari
bekas mereka. Kadang ada yang memberi dia makanan. Sesungguhnya Parul tidak
membutuhkan barang-barang ini, namun pemberian kecil menyenangkan dia. Sekarang
ia terbenam dalam angan-angan keibuan, tubuhnya tak merasakan dorongan seksual.
Ia seorang wanita. Sekarang ia berlutut di hadapan alam. Alam semesta telah
memenuhi dirinya, identitasnya dengan harga diri dan kemuliaan—ia akan menuai
hasilnya.
Kadang kala ada suara-suara meraba-raba pada pagar di
kegelapan. Ada yang memanggil dia sembari berbisik, Paru, oh Paruilla …. Ia
tidak menjawab. Tidak bangkit. Ia tidak membutuhkan siapa-siapa. Tentu pintu
akan dibukanya jika ia ada butuh.
Suatu hari, menjelang sore. Parul baru selesai mandi dan
sedang berdiri di tengah-tengah halamannya. Pria hari pertama datang. Dengan
langkah terburu-buru, takut ada yang melihat dia. Pria itu meletakkan sebelah
tangan pada dadanya dan bertanya segera, “Apakah aku ayah anakmu?”
Parul mengacaukan rambutnya dengan gamccha seraya menjawab dengan datar, “Bukan.”
“Lalu
siapakah orang itu?”
“Kenapa kau
ingin tahu? Buat apa kau tahu?”
Suara pria
itu memohon. “Ayolah Parul, kasih tahu.”
“Kasih tahu
apa? Kubilang, bukan kau.”
Parul membentangkan gamccha
pada tali jemuran lalu masuk ke rumah. Malamnya datang pria lain. “Parul, kasih
tahu siapa ayah anakmu itu. Apakah aku?”
“Bukan,” suram suara Parul. “Buat apa kau tahu? Apa
artinya bagimu?”
“Congkak
begitu tak baik, Parul.”
Pecahlah tawa Parul yang tanpa daya. Azan mengambang di
udara malam. Pria itu tak berlama-lama menunggu. Larut malam datang lagi yang
lain. Diam-diam. Berbisik, “Parul.”
“Kenapa kau di sini? Mau jadi ayah anakku? Kau bukan ayah
anakku. Pergilah.”
Pada akhirnya, Parul jengkel. Pria-pria itu cuma ingin
wibawa sebagai ayah. Tidak lebih. Mereka tidak hendak merawat anak itu, tidak
akan membawa pulang anak itu, tidak mau pula mengakuinya di depan umum. Yang
mereka inginkan hanyalah perasaan puas karena berpikir bahwa yang di rahim
Parul itu anak mereka. Ah lelaki! Lantas rongga kepala Parul yang kosong
bicara, aku bukan penjual daging. Aku tidak minta uang dari siapa-siapa, ini
bukan daganganku. Aku menikmatinya untuk senang-senang saja—siapa pun yang aku
inginkan, kapan pun aku menginginkannya.
Parul menata tempat tidurnya lalu hendak tidur. Bahkan
sebelum kepalanya menyentuh bantal, ia mendengar langkah kaki di luar. Ia duduk
lagi. Memangnya siapa mereka ini sampai menginginkan hak atas anaknya? Siapa
mereka? Mereka itu sejenis. Demikianlah tabiat mereka tetapi tidak seorang pun
akan tahu anak siapakah yang kuindungi ini—hanya aku, hanya akulah Tuhan.
Lalu
terdengar suara panggilan keras dari balik pintu, “Paru, Paruilla ….”
Parul terkekeh keras dan berkata, “Kau bukan ayah bayiku.”
Pecahlah gelap oleh suara tawa itu.
Cerpen ini diterjemahkan dari versi bahasa Inggris ShabnamNadiya, “Parul’s Motherhood”, dalam Words Without Borders edisi Maret 2005.
Selina Hossain lahir pada 14
Juni 1947. Ia dianggap sebagai salah satu pengarang terkemuka dalam
kesusastraan modern Bengali. Ia telah menerbitkan dua puluh satu novel, tujuh
kumpulan cerpen, empat kumpulan esai, serta empat kumpulan cerita anak. Karya-karyanya
merupakan laporan menyentuh atas konflik dan krisis sosial politik kontemporer
sekaligus kurun kehidupan perjuangan massa yang berulang. Cukup banyak novelnya
yang telah diterjemahkan ke bahasa-bahasa daerah India serta Perancis, Rusia,
dan Inggris. Novelnya Hangor Nadi Grenade
(Hiu, Sungai, Granat) dianggap sebagai novel seminal tentang Perang Kemerdekaan
Bangladesh pada 1971. Hingga baru-baru ini ia menjabat sebagai pemimpin wanita
pertama di Bangla Academy, lembaga otonom milik negara. Ia telah menerima
sejumlah penghargaan sastra, termasuk Bangla Academy Literary Award (1980) yang
prestisius. Pada 1994-95 ia memenangi Ford Foundation Fellowship untuk novelnya
Gayatri Sandhya!. Ia tinggal di
Dhaka, Bangladesh.
Shabnam Nadiya tumbuh di
Jahangirnagar, sebuah kampus kecil di Bangladesh. Ia memperoleh gelar MFA dari
dan merupakan penerima Schulze Fellow pada 2013-2014 di Iowa Writers’ Workshop.
Saat ini ia mengerjakan kumpulan cerpen yang berhubungan berjudul Pariah Dog and Others.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar