Uang bukan sekadar alat tukar. Di antara berbagai fungsinya yang lain,
bentuknya yang mutakhir juga merupakan alat penyimpan nilai. Perkawinannya
dengan model ekonomi seperti kapitalisme hanya menggiring pada ketimpangan
bruto. Saya rasa ini tidak memerlukan banyak pembatasan. Kita semua tahu
ungkapan “yang kaya jadi kaya, yang miskin tambah miskin” merupakan kebenaran
yang tidak dapat disangkal lagi. Anda hanya perlu melihat laporan lembaga PBB
untuk kajian ekonomi pembangunan (World
Institute for Development Economics Research) pada 2006, yang menyatakan
bahwa sekarang ini 1% penduduk dewasa memiliki 40% kekayaan dunia.
Sebagian orang akan menyatakan bahwa berkat sistem kapitalis
moneter, semua orang jadi terangkat, sekalipun sedikit saja yang terangkat jauh
lebih tinggi daripada yang lain. Pernyataan ini tidak pernah berasal dari mulut
tiga juta orang yang hidup dalam kemiskinan mutlak, ataupun 25.000-50.000 orang
tua yang setiap harinya kehilangan anak akibat mati kelaparan. Di samping
kemiskinan absolut, banyak persoalan sosial dapat berakar dari kemiskinan
relatif, yang memahamkan ketidakadilan yang dirasakan orang-orang yang berjuang
menjalani hidup dari hari ke hari pada “kaum elite”, yaitu mereka yang menimbun
kekayaan yang diciptakan oleh kelas pekerja, dan yang kemudian menggunakan
kekayaan tersebut untuk mengetatkan cengkeraman kekuasaan pada kaum di
bawahnya. Laporan surat kabar Guardian dan London School of Economics (LSE)[1] menyoroti
bahwa ketimpangan yang dirasakan ini merupakan alasan utama di balik kerusuhan
di Tottenham dan Kerajaan Britania selebihnya pada 2011.
Yang paling menarik bagi saya mengenai aksi keji main hakim
sendiri setelah kerusuhan dan penjarahan di Tottenham adalah kenyataan bahwa
mereka yang menyuarakan kemuakan itu menjalani kehidupan yang hanya
dimungkinkan oleh penjarahan pemerintahan kita atas negeri-negeri asing, serta
penjarahan perusahaan-perusahaan kita atas samudra, hutan hujan, dan bebukitan
yang menampung mineral yang kita butuhkan untuk memproduksi timbunan barang
yang kita jadikan dasar kehidupan sehari-hari kita. Tentu saja kemunafikan dan
keabsurdan ini tidak terpahami oleh kita semua, hanya karena penjarahan Bumi
menurut budaya telah menjadi normal, sementara penjarahan JJB Sports dan Top Man
menurut budaya dianggap kejahatan.
Tanpa uang sebagai alat penyimpan kekayaan—dan yang saya
maksudkan di sini adalah segala bentuk uang, entahkah itu properti pribadi,
emas, dolar, ataupun paun Bristol—ketimpangan-ketimpangan yang tidak semestinya
ada ini tidak akan terjadi hingga sedemikian, sehingga permasalahan sosial yang
menyertai pun akan lebih sedikit. Beberapa ekonom terkemuka, dari Gesell hingga
Keynes, menjadi bingung tak keruan saat membahas bentuk bunga negatif uang,
contohnya saja pembebanan biaya atas kepemilikan atau penyimpanan uang dalam
jangka waktu tertentu, yang menurut mereka memungkinkan agar uang tetap menjadi
alat tukar serta menetralkan fungsinya sebagai alat penyimpan kekayaan. Namun
sistem moneter seperti itu, kalaupun dapat berhasil (dan saya tidak yakin
demikian), hanya diperlukan jika kita menghendaki teknologi tinggi. Dan
sebagaimana yang telah saya ajukan, teknologi macam itulah yang menjadikan
planet ini tidak layak huni.
Tidak pernah terdengar adanya pencurian dalam masyarakat
kecil pada masa lampau, ketika semua orang memiliki akses ke semua yang
diperuntukkan bagi kemaslahatan bersama. Jika Anda memiliki akses ke seluruh
kekayaan khalayak, buat apa lagi Anda merampok?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar