Orang sering kali mengatakan pada saya betapa yakinnya mereka bahwa membayar sesuatu sekadar merupakan cara lain untuk memberi. Sedikitnya ini memang benar, apalagi karena kita semua hidup menurut ekonomi moneter dengan tagihan-tagihan yang mesti dibayar. Namun ada perbedaan yang penting sekali, dan itu berkenaan dengan semangat untuk berbuat tindakan tersebut. Ketika kita bebas berbagi semua yang kita sendiri memperolehnya dari pemberian—entahkah itu berupa materi, waktu, pengetahuan, ataupun keterampilan—tanpa alasan apa pun selain untuk menolong orang, perbedaan efeknya sangat besar sekaligus positif. Kebaikan tanpa syarat menggembirakan orang, menciptakan ikatan dan menceriakan dengan cara yang tidak pernah ada dalam transaksi moneter bersyarat. Tentu saja, orang yang diberi bisa langsung balas memberi dengan menggunakan uang, tepatnya melunasi utangnya, namun sebagaimana yang telah saya kemukakan dengan memakai contoh dari Graeber dan Atwood tadi, ini berkesan mengatakan saya tidak lagi ingin merasa bahwa saya mesti terus-terusan berhubungan dengan Anda. Akan jauh lebih bermaslahat bagi masyarakat jika Anda sekadar memberi apa pun yang Anda beri pada dunia ketika Anda sempat, tanpa syarat.
Saya meyakini bahwa menganggap membeli dan menjual sebagai memberi dan menerima sama saja dengan melacur. Pikirkan perbandingan antara bercinta dengan pasangan Anda—dan yang saya maksudkan benar-benar bercinta bukannya sekadar “bersanggama”—dan membayar pelacur untuk bersebadan. Perbedaannya jelas. Yang satu merupakan tindakan di mana dua orang yang kiranya makhluk terpisah berpadu melalui penyatuan paling gilang-gemilang, salah satu jalan yang tersisa untuk mengalami kemanunggalan dengan seluruh kehidupan. Yang lainnya merupakan orgasme, bagi pelanggan yang mengalami. Secara fisik, boleh jadi sedikit saja perbedaan di antara dua perbuatan tersebut, namun perasaan sehabis bersanggama di antara dua kekasih yang berangkulan erat dalam penyatuan yang membahagiakan bertentangan dengan pengalaman yang dirasakan si pembeli seks selagi berjalan ke luar menuju dinginnya malam, setelah mengubah kebersamaan cinta menjadi servis yang dikonsumsi, sama halnya dengan kita mengubah perawatan anak dan lansia menjadi servis. Jika Anda berhenti membayar pengasuh anak Anda, akankah kepeduliannya pada anak Anda berlanjut? Apakah pengasuhan yang bersyarat benar-benar pengasuhan? Saya kira, di lubuk hati yang terdalam, sadar tidak sadar kita tahu itu bukanlah pengasuhan, dan luka emosional serta psikologis yang ditimbulkan pengertian tersebut tak terkira.
Mesti saya tambahkan, ini bukanlah diskusi filsafat mengenai apakah melacur itu “baik” atau “buruk”. Kelihatannya melacur bukanlah cara yang sungguh-sungguh sehat ataupun memuaskan untuk hidup, namun apalah saya ini hendak menilai, walaupun bisa dikatakan demikian pula hampir semua mata pencaharian kini. Setiap hari kita menjual tubuh kita demi uang dengan berbagai cara. Kita minta dibayar untuk menyiapkan makanan orang-orang, untuk mengakomodasi mereka, untuk menyembuhkan mereka, untuk menjaga anak atau orang tua mereka yang sepuh—hal-hal yang bahkan tidak terbayang oleh masyarakat terdahulu untuk dimintai balasan. Berapa banyak di antara kita yang tetap pergi bekerja setiap hari jika bukan karena tuntutan finansial atau ekonomi? Tidak banyak. Tentu saja kita harus membayar tagihan, namun sekali lagi, demikian pulalah pelacur.
Barangkali cuma pelacur yang benar-benar jujur di antara kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar