Vladimiro Pérez sebenarnya bukan pakar dunia Islam, walau ia suka
menganggap dirinya demikian. Pada dasarnya ia bukan orang yang banyak bergerak
dan tidak memiliki ambisi besar. Sudah lama ia tinggal bersama istri dan anak
perempuannya di apartemen sederhana yang bukan milik sendiri. Apartemen yang terdiri dari beberapa ruangan
kumuh itu ia sewa dengan separuh gajinya.
Walaupun istrinya penyabar, wanita itu lelah mendengar suaminya mengutarakan
pendapat pada isu yang sangat sedikit kaitannya dengan peri kehidupan keluarga
Meksiko.
“Kita tidak
akan pernah meninggalkan negara ini seumur hidup pun. Mengapa kita harus
merisaukan masalah negara lain?”
“Jika ini
persoalan kemanusiaan, maka ini persoalan kita juga,” sahut Vladimiro. Ia
menanggapi komentar istrinya dengan raut datar. “Memangnya gringo[1] akan menolong
kita bila kita diusir? Atau jangan-jangan kau tidak menganggap kita sebagai
bagian dari kemanusiaan?” Vladimiro jengkel dengan celaan tak berotak itu. Ia
tidak mengerti betapa mungkin orang memiliki pandangan dunia yang begitu
sempit. Kenyataan bahwa orang menghabiskan berjam-jam setiap hari untuk
memeriksa bon di kantor yang sederhana atau memasak untuk anak-anak tidaklah
mengecualikan orang itu dari peristiwa yang terjadi di
Kashmir atau Afganistan. Demikianlah menurut Vladimiro Pérez. “Kita ini seperti tikus yang moncongnya tersangkut di lubang
sarang yang kecil.”
Setelah dua
pesawat komersial menghancurkan Menara Kembar di New York, hidup Vladimiro
berubah. Sejak hari itu, setiap hari ia membeli koran untuk mengikuti perincian
penyelidikan intelijen Amerika terhadap akar persoalan. Melampaui pendidikannya
yang tidak sampai SMA, dengan rakus ia melahap artikel yang ditulis para ahli
dalam berbagai majalah yang menyediakan sebagian besar halaman untuk membahas
serangan itu. Ia semakin dihargai oleh yang lain-lain di kantornya di
perusahaan kecil Ventilasi Monte Blanco. Vladimiro tidak menyebut berbagai sumber
informasinya, sehingga para rekan kerjanya menganggap pengetahuannya itu
sebagai kearifan yang sudah ada padanya sejak dalam buaian.
“Apakah
menurutmu akan terjadi perang dunia, Vladimiro?” Ini salah satu pertanyaan yang
paling sering diajukan padanya di kantor kecil mereka di Colonia Narvarte.
Vladimiro tidak lagi rendah hati seperti biasa, nada suaranya yang tenang
berubah, dan khotbah pun dimulai.
“Perangnya
sudah dimulai sejak lama, ketika gringo
berupaya menyambar minyak yang bukan miliknya.”
“Itu bukan
alasan untuk membunuh rakyat yang tidak bersalah,” ujar Argudín, lulusan sekolah vokasi yang tidak mempercayai pendapat
karyawan rendahan. Sudah cukup mereka mengalihkan diri dengan membahas soal di
luar pekerjaan, tak perlulah ditambah dengan berlagak menjadi pakar.
“Tidak ada
alasan membunuhi rakyat Afganistan yang tidak bersalah,” sahut Vladimiro. Ia
tidak mau diintimidasi atasan. Apalagi sekarang saat para rekan kerjanya tengah
menyimak perbantahan yang tak terduga ini.
“Itu beda. Di
Afganistan, mereka melatih teroris yang suatu saat akan menimbulkan teror di
seluruh dunia.”
“Menurut
saya, itu tidak benar, bos. Kalau begitu, akan lebih baik mengebom Florida
saja. Bukankah di sana orang-orang ini merencanakan serangan ke Menara Kembar?”
Para rekan kerja Vladimiro mendukung pemikirannya. Bukan hanya karena mereka menganggap
dia meyakinkan, tetapi juga karena mereka merasa Vladimiro berbicara atas
mereka kala berbantah dengan Argudín, yang lulusan perguruan
tinggi, manajer sekaligus pemegang saham perusahan Ventilasi Monte Blanco
(Perlengkapan dan Perbaikan).
“Baru tahu
saya kau cenderung pada Komunis, Pak Pérez,” tukas Argudín. Ia bertubuh kurus dan berkumis tipis. Ia tidak pernah
tersenyum.
“Komunis itu tidak beragama,
pak.”
“Arab atau
Komunis itu sama saja. Di Meksiko, kita tidak perlu membaca Alquran untuk maju.
Bakat dan kerja saja sudah cukup.”
“Bagaimana
dengan kami, bos?” serta-merta Vladimiro mengucap ‘kami’. “Sepanjang hari kami
bekerja menghasilkan uang yang sedikit saja. Apakah maksudmu kami tidak
memiliki bakat?”
“Aku meyakini
Tuhan, tetapi aku tidak akan membunuh atas namanya,” ujar Argudín. Ia mengabaikan hasutan Vladimiro. Sejak kapan karyawan botak paruh baya tak berpendidikan ini menganggap
dirinya orang penting?
“Kau tidak
bisa menyangkal, bos, bahwa ini tamparan telak bagi mereka. Dengan pesawat
mereka sendiri!” sela Artemio, kurir perusahaan itu. Argudín memandangnya penuh penghinaan. Perlukah aku menjelaskan pada orang ini juga?
“Semua itu
sangat primitif. Yang dilihat kok malah orang Arab yang mencoba meledakkan
sepatu di pesawat. Ha, ha. Aksi primitif begitu tidak bisa dibandingkan dengan
misil nuklir dengan kendali laser yang digunakan kekuatan kelas dunia.”
“Itu karena
bukan kita yang kena,” Artemio bergumam pelan. Ia tidak pernah berani membantah
bosnya.
Namun
Vladimiro memulai lagi. “Pak Argudín, kurasa orang Arab lah yang
menang. Anda tahu bahwa di masjid orang harus melepas sepatu? Berkat teroris,
sekarang kita harus melepas sepatu di bandara untuk membuktikan kita tidak
menyembunyikan peledak. Orang Arab telah berhasil mengubah semua bandara dunia
menjadi masjid.”
Argudín memutuskan untuk tidak
menuruti perbincangan itu lebih jauh. Dengan pedas ia mengarahkan para
karyawannya supaya kembali bekerja. Diam-diam ia memutuskan untuk tidak pernah
lagi ikut campur dalam pembicaraan sulit begitu. Ia menyalakan cerutu yang
sudah dihabiskannya sebagian kemarin malam, sebatang Hoyo de Monterrey yang
dibelinya seharga beberapa peso dari pedagang kaki lima. Bagaimana tanggapan para pelanggannya jika mereka tahu
bahwa pendingin udara mereka disediakan oleh para simpatisan Arab yang bekerja
di perusahaan itu? Bukankah ini salah satu cara
yang hendak digunakan teroris untuk menyebarkan Antraks? Argudín tidak menyukai sikap murung seorang guru yang ditampakkan
Vladimiro Pérez. Mungkin inilah kesempatan untuk memberi tahu Vladimiro
bahwa jasanya tidak lagi diperlukan. Demikianlah dalam benak Argudín, lulusan sekolah vokasi, saat mengamati gerak lesu para
karyawan administrasi lewat partisi kaca. Sebaliknya, Vladimiro berseri-seri. Tidak pernah
terbayangkan olehnya bahwa ia dapat mencetak keberhasilan dalam perdebatan. Kalau saja dulu ia menyelesaikan studinya—ia
membatin—pastilah ia telah menjadi pengacara ulung.
Malam itu,
pada waktu makan malam, Vladimiro menceritakan konfrontasi pagi itu secara
terperinci kepada keluarganya.
“Kau ini
mencincang air saja!” seru istrinya jelas-jelas mengajak berkelahi. “Lihat saja
nanti apa orang Arab bakal kasih kita makan setelah kau didepak ke jalanan.”
“Ayah, Ibu
benar. Kenapa Ayah memperdebatkan soal beginian dengan bos Argudín?” tanya Rosalía, putrinya semata wayang.
“Rosalía, cobalah mengerti. Kau masih muda ….”
“Dan kau
terlalu tua untuk mengacau seperti siswa berandal,” sahut istrinya, yang
serta-merta bangkit dari meja untuk membawa piringnya ke dapur.
Malam itu,
Vladimiro mengalami mimpi yang akan mewarnai hari-hari esoknya. Ia bermimpi
mendatangi kantor bosnya untuk membahas soal politik. Saat Argudín menyuruhnya kembali bekerja, Vladimiro merampas cerutu
yang tengah diisap bosnya itu dan menggunakannya untuk menyalakan peledak yang
ia ikatkan di seputar dadanya, yang tersembunyi di balik jasnya. Benarkah yang
diimpikannya itu? Begitulah yang diingat si pembantu administrasi paling rendah
hati ini. Pagi setelah mimpinya itu ia duduk di ujung meja makan, sembari
memandangi anggota keluarganya. Bisakah mereka berdua mengerti pentingnya
wangsit ini? Saking gembira ia sampai melakukan hal yang sama sekali tidak
biasa: Ia minta daging babi asap ditambahkan pada telurnya ….[]
Guillermo Fadanelli lahir di Mexico City. Bukunya
yang telah diterbitkan meliputi novel Clarisa
ya tiene un muerto (Mondadori, 2000), novel Lodo (Debate, 2002), novel La
otra cara de Rock Hudson (Anagrama, 2004), serta kumpulan cerpen Compraré un rifle
(Anagrama, 2004). Ia memenangkan Penghargaan Nasional untuk Novel yang
Diterbitkan pada 1997 dan 2002. Ia menulis untuk beberapa majalah dan
suratkabar di Meksiko, Spanyol, dan Cile. Karyanya telah diterjemahkan ke
bahasa Jerman dan Prancis. Ia merupakan pendiri dan pemimpin majalah MOHO,
serta pembuat film.
Marina Harss penerjemah dan penulis seni
tari di New York City. Tulisannya telah terbit di The Nation, The Forward, The New York Sun, dan The New Yorker. Terjemahannya baru-baru ini meliputi Week in October karya Elizabeth
Subercaseaux, Conjugal Love karya
Alberto Moravia, dan Stories From the City
of God karya Pier Paolo Pasolini. Terjemahannya atas Mille Annie Che Sto Qui (Been
Here a Thousand Years) karya Mariolina Venezia akan diterbitkan FSG pada
2009, begitu juga dengan terjemahannya atas Poema
a Fumetti karya Dino Buzzati, dalam waktu dekat ini dari New York Review of
Books Classics. Ia bisa dihubungi di marina_harss@earthlink.net.
Cerpen ini diterjemahkan dari versi bahasa Inggris Marina Harss dalam Words without Borders edisi Februari 2006: "A River Runs Through Us: Mexican Literature Now".
[1] Sebutan bagi orang asing (terutama dari Amerika
Serikat dan Inggris) di Amerika Latin