Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Andrew Driver (6) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (273) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yasutaka Tsutsui (6) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

The Moneyless Manifesto: Waktu bukanlah uang (Mark Boyle, 2012)

Manusia … mengorbankan kesehatannya demi uang. Kemudian ia mengorbankan uang demi memulihkan kesehatannya. Kemudian ia gelisah akan masa de...

20191106

Esok Terlalu Jauh (Chimamanda Ngozi Adichie, 2009)

Saat itu musim panas terakhir yang kau lalui di Nigeria, musim panas sebelum perceraian kedua orang tuamu, sebelum ibumu bersumpah kau tidak akan pernah kembali menginjakkan kaki di Nigeria untuk menjumpai keluarga ayahmu, terutama Nenek. Kau ingat dengan jelas panasnya musim itu, hingga sekarang, delapan belas tahun kemudian—betapa pekarangan Nenek terasa hangat lagi lembap, pekarangan dengan begitu banyak pohon hingga kabel telepon berjalinan pada dedaunannya dan cabangnya saling bersentuhan dan kadang terlihat ada mangga pada pohon jambu monyet dan jambu biji pada pohon mangga. Permadani tebal dari remukan daun basah terinjak oleh kaki telanjangmu. Saat sore, kawanan lebah berperut kuning berdengung di seputar kepalamu serta kepala abangmu Nonso dan kepala sepupumu Dozie, dan saat senja Nenek hanya membolehkan abangmu Nonso yang memanjat pohon untuk mengguncangkan dahan yang memuat banyak buah, padahal kau lebih pandai memanjat dari padanya. Buah pun berjatuhan, alpukat, jambu monyet, dan jambu biji, lalu kau serta sepupumu Dozie memasukkannya ke ember bekas.

Saat itu musim panas ketika Nenek mengajari Nonso cara memetik kelapa. Batang kelapa sulit dipanjat, jangkung dan tanpa dahan, dan Nenek memberi Nonso galah serta menunjukkan pada dia cara mendorong pelepah yang terisi ke arah bawah. Nenek tidak menunjukkannya padamu, sebab ia bilang tidak ada gadis yang memetik kelapa. Secara hati-hati, Nenek memecah kelapa pada batu, supaya airnya tetap berada di bagian bawah, pada mangkuknya yang gempil. Setiap orang boleh minum air kelapa yang sejuk oleh angin, termasuk anak-anak dari ujung jalan yang datang bermain, dan Nenek yang memimpin ritual minum air kelapa ini supaya Nonso mendapat giliran pertama.

Saat itu musim panas ketika kau menanyai Nenek sebabnya Nonso yang minum pertama padahal Dozie berusia tiga belas tahun, satu tahun lebih tua daripada Nonso, lalu Nenek mengatakan Nonso adalah putra semata wayang anak laki-lakinya, yang akan melanjutkan nama Nnabuisi, sementara Dozie hanyalah nwadiana, putra dari anak perempuannya. Saat itu musim panas ketika kau menemukan kulit ular di halaman, utuh-utuh dan nyaris transparan seperti stocking yang tipis, lalu Nenek memberitahumu ular itu disebut echi eteka, : “Esok Terlalu Jauh.” Satu gigitan saja, ucapnya, dan dalam sepuluh menit berakhirlah hidupmu.

Saat itu bukan musim panas ketika kau jatuh cinta pada sepupumu Dozie karena kejadian pada beberapa musim panas sebelumnya, saat ia sepuluh tahun sedang kau tujuh tahun dan kalian menggeliang dalam ruang sempit di belakang garasi Nenek dan ia mencoba untuk memasukkan benda yang kalian sebut “pisang” miliknya ke benda yang kalian sebut “tomat” milikmu tetapi kalian sama-sama tidak tahu mana lubang yang benar. Akan tetapi, pada musim panas itu juga kau kejangkitan kutu, lalu kau dan sepupumu Dozie mengeduk rambutmu yang tebal untuk menemukan serangga hitam mungil itu dan melumatkannya dengan kuku jari lalu tertawa karena bunyi keras letusan perut serangga itu yang penuh darah; musim panas ketika kebencianmu pada abangmu Nonso mengembang sedemikian sehingga terasa menyesakkan lubang hidungmu sementara kecintaanmu pada sepupumu Dozie menggelembung dan membungkus kulitmu.

Saat itu musim panas ketika kau melihat pohon mangga terbelah menjadi dua bagian yang nyaris sama persis saat ada hujan badai, saat halilintar menorehkan garis-garis berapi pada langit.

Saat itu musim panas ketika Nonso mati.



Nenek tidak menyebut saat itu musim panas. Tidak seorang yang menyebut demikian di Nigeria. Saat itu Agustus, terapit di antara musim hujan dan musim angin debu. Hujan perak dapat tercurah seharian, bertempias ke beranda tempat kau, Nonso, dan Dozie mengibas nyamuk sambil makan jagung bakar; atau mataharinya membutakan dan kau terapung-apung di bak air yang digergaji Nenek menjadi dua, kolam sementara. Pada hari kematian Nonso cuaca sejuk; gerimis saat pagi, matahari suam-suam kuku saat sore, dan, senjanya, kematian Nonso. Nenek menjerit pada Nonso—pada tubuhnya yang lunglai—seraya mengatakan i laputago m, bahwa Nonso telah mengkhianatinya, menanyai cucunya itu siapa yang akan melanjutkan nama Nnabuisi sekarang, siapa yang akan menjaga silsilah keluarga.

Para tetangga berdatangan ketika mendengar Nenek. Wanita yang rumahnya di seberang jalan—yang anjingnya mengubrak-abrik tong sampah Nenek tiap pagi—yang membujuk keluar nomor telepon Amerika dari bibirmu yang kaku lalu menelepon ibumu. Tetangga itu juga yang melepaskan kedua tanganmu juga kedua tangan Dozie, mendudukkan kalian, dan memberi kalian air. Tetangga itu juga yang berusaha untuk menahan kalian supaya tidak mendengar perkataan Nenek pada ibu kalian di telepon, namun kau menjauhi wanita itu, mendekati telepon. Nenek dan ibumu sedang membicarakan jasad Nonso, alih-alih kematiannya. Ibumu berkeras jenazah Nonso langsung diterbangkan ke Amerika sedang Nenek mengulang perkataan ibumu sambil menggeleng-geleng. Kegusaran mengendap di matanya.

Kau tahu Nenek tidak pernah menyukai ibumu. (Beberapa musim panas sebelum ini kau pernah mendengar Nenek mengatakan pada temannya—Wanita Amerika kulit hitam itu menambat putraku dan menguasainya.) Namun saat melihat Nenek berbicara di telepon, kau maklum bahwa ia dan ibumu satu. Kau yakin ada kegusaran serupa di mata ibumu saat itu.

Ketika kau bicara pada ibumu, suaranya bergema sepanjang sambungan padahal itu tidak pernah terjadi bertahun-tahun sebelum ini ketika kau dan Nonso menghabiskan musim panas dengan Nenek. Apa kau baik-baik saja? ibu terus menanyaimu. Apa kau baik-baik saja? Ibu terdengar takut, walaupun menduga kau memang baik-baik saja, walaupun Nonso mati. Kau memainkan kabel telepon dan berkata sedikit. Ibu bilang ia akan mengirimkan pesan pada ayah, walaupun ayah entah di hutan mana menghadiri festival Seni Kulit Hitam dan di sana tidak ada telepon atapun radio. Akhirnya ibu terisak keras, isakan yang seperti salakan anjing, lalu mengatakan padamu segalanya akan baik-baik saja dan ia akan mengatur penerbangan jenazah Nonso. Kau jadi teringat pada tawa ibu, tawa ho-ho-ho yang berasal dari lubuk perutnya dan bukannya memelan saat keluar dan sama sekali tidak cocok dengan perawakannya yang ramping. Saat ibu ke kamar Nonso untuk mengucapkan selamat malam, ia selalu keluar dengan tawa itu. Sering kali, kau menekankan kedua telapak tangan ke telingamu supaya tawa itu tidak terdengar, dan bahkan menungkupkan kedua telapak tanganmu ke mata ketika ibu mendatangi kamarmu untuk mengucapkan Selamat malam, sayang, tidur yang nyenyak. Ibu tidak pernah keluar dari kamarmu dengan tawa seperti itu.

Setelah telepon itu, Nenek berbaring telentang di lantai, tanpa mengedipkan mata, berguling ke sana kemari, seakan-akan sedang melakukan suatu permainan konyol. Nenek bilang jenazah Nonso tidak boleh dikirim ke Amerika, bahwa jiwanya akan selalu melayang-layang di sini. Ia milik bumi yang keras ini yang gagal menyerap getaran dari jatuhnya. Ia milik pepohonan di sini, yang salah satunya telah melepaskan dirinya. Kau duduk dan memandangi Nenek dan awalnya kau berharap ia akan bangkit dan merengkuhmu, lalu kau berharap sebaliknya.



Sudah delapan belas tahun dan pepohonan di pekarangan Nenek tampak tak berubah. Cabang-cabangnya masih terulur dan merengkuh satu sama lain, masih menjatuhkan bayangan ke halaman. Namun segala yang lainnya terasa lebih kecil: rumah, kebun belakang, tangki air yang berwarna tembaga akibat karat. Bahkan kuburan Nenek di pekarangan belakang terlihat mungil, dan kau membayangkan tubuhnya dijejalkan supaya muat dalam peti yang kecil. Kuburannya dilapisi semen tipis. Tanah di sekitarnya baru digali dan kau berdiri di samping kuburan itu lalu membayangkannya sepuluh tahun lagi, tidak terurus, rumput liar berjalinan menutupi semennya, mencekik kuburan itu.

Dozie sedang memandangimu. Di bandara tadi, ia memelukmu secara berhati-hati, mengucapkan sambutan dan betapa mengejutkannya kau datang kembali, lalu kau menatap wajahnya lama di ruang duduk yang sibuk, campur aduk hingga ia memalingkan wajah, matanya cokelat dan sayu seperti pudel milik temanmu. Walau begitu, kau tidak perlu tatapan itu, untuk mengetahui bahwa rahasia kematian Nonso aman bersama Dozie, selalu aman bersama Dozie. Selagi mengemudi ke rumah Nenek, Dozie menanyakan ibumu dan kau pun memberi tahu dia bahwa sekarang ibumu tinggal di Kalifornia. Kau tidak menyebutkan bahwa tempat tinggal ibumu berupa komune yang orang-orangnya menggunduli kepala serta menindik payudara dan bahwa ketika ibumu menelepon, kau selalu menutupnya sementara ia masih berbicara.

Kau melangkah ke arah pohon alpukat. Dozie masih mengamatimu dan kau menatap dia serta berusaha mengingat cinta yang begitu memberati dirimu pada musim panas ketika kau berusia sepuluh tahun, yang membuatmu memegang erat-erat tangan Dozie setelah Nonso meninggal, ketika ibu Dozi, bibimu Mgbechibelije, datang untuk membawanya pergi. Ada duka halus pada garis-garis di dahinya, melankolia pada caranya berdiri dengan kedua lengan di sisinya. Kau tiba-tiba ingin tahu apakah ia juga rindu, seperti dirimu. Kau tidak pernah tahu apa yang ada di balik senyumnya yang kalem, di balik saat-saat ketika dirinya duduk begitu tenang hingga lalat buah hinggap di lengannya, di balik gambar-gambar yang dulu ia berikan padamu serta burung-burung yang ditaruhnya dalam kandang kardus, yang dipeliharanya hingga mereka mati. Kau ingin tahu apa, kalau-kalau saja, dia merasa menjadi cucu yang salah, cucu yang tidak menyandang nama Nnabuisi.

Kau menjulurkan tangan untuk menyentuh batang pohon alpukat, tepat ketika Dozie mulai mengatakan sesuatu hal, yang mengagetkanmu karena kau mengira ia hendak membicarakan tentang kematian Nonso, namun ia memberitahumu bahwa ia tidak pernah membayangkan kau akan kembali untuk menyampaikan perpisahan pada Nenek sebab ia tahu betapa bencinya kau pada Nenek. Kata itu—“benci”—menggantung di udara di antara kalian berdua bagai suatu tuduhan. Kau ingin mengatakan bahwa saat ia meneleponmu di New York, kali pertama kau mendengar suaranya dalam delapan belas tahun ini, untuk memberitahumu bahwa Nenek telah mati—kurasa kau ingin mengetahuinya, itu yang dia katakan—kau bersandar pada meja kantormu, kakimu meleleh, kebungkaman seumur hidup pun runtuh, dan bukan Nenek yang kau pikirkan, melainkan Nonso, dan memang dia, Dozie, serta pohon alpukat dan musim panas yang lembap di kerajaan kanak-kanakmu yang amoral dan segala hal yang tidak kau biarkan masuk dalam benakmu, yang kau ratakan ke selembar kain tipis lalu kau lahap.

Namun alih-alih kau tidak mengatakan apa pun dan menekankan kedua telapak tanganmu dalam-dalam ke batang kasar pohon alpukat. Sakitnya terasa menenangkan dirimu. Kau ingat memakan alpukat dari pohon itu. Kau suka alpukatmu digarami sedang Nonso tidak suka dan Nenek selalu mendecak dan mengatakan kau tidak tahu makanan enak saat kau mengatakan alpukat yang tidak digarami membuatmu mual.

. . .

Saat Nonso dikuburkan di suatu pemakaman dingin di Virginia dengan batu-batu nisan yang bertonjolan tak senonoh, ibumu berpakaian serba hitam pudar dari kepala sampai ujung kaki, bahkan kerudungnya pula, sehingga kulitnya yang sewarna kayu manis tampak bersinar. Ayahmu berdiri jauh dari kalian berdua, mengenakan kaus dashiki yang biasa dipakainya, kalung kerang berwarna susu melingkari lehernya. Ia terlihat seolah-olah bukan keluarga, seakan-akan ia salah seorang tamu yang tersedu kencang dan kemudian menanyai ibumu degan nada yang dipelankan bagaimana persisnya Nonso mati, bagaimana persisnya ia jatuh dari salah satu pohon yang sudah dipanjatnya sejak masih balita.

Ibumu tidak mengatakan apa-apa pada mereka, pada orang-orang yang mengajukan pertanyaan itu. Ia juga tidak mengatakan apa-apa padamu, bahkan ketika ia membersihkan kamarnya dan mengemasi barang-barangnya. Ia tidak menanyaimu kalau-kalau ada barang yang ingin kau simpan, dan kau lega. Kau tidak ingin memiliki satu pun buku Nonso dengan tulisan tangannya yang kata ibumu lebih rapi daripada ketikan mesin. Kau tidak ingin foto merpati yang diambilnya di taman yang kata ayahmu untuk ukuran seorang anak kecil menunjukkan harapan. Kau tidak ingin lukisannya, yang hanyalah tiruan dari lukisan ayahmu hanya beda warna. Atau pakaiannya. Atau koleksi perangkonya.

Ibumu baru membicarakan Nonso tiga bulan setelah ia dimakamkan, saat ibumu memberitahumu tentang perceraian. Ia bilang perceraian itu bukan karena Nonso, bahwa sejak lama ia dan ayahmu telah berpisah. (Ayahmu saat itu berada di Zanzibar; ia pergi begitu Nonso dimakamkan.) Lalu ibumu bertanya: Bagaimana Nonso mati?

Kau masih heran bagaimana perkataan itu bergulir dari mulutmu. Kau masih tidak mengenali si anak bermata jernih yang merupakan dirimu. Mungkin itu karena cara ibumu mengatakan perceraian itu bukan karena Nonso—seakan-akan Nonso lah satu-satunya yang dapat menjadi alasan, seakan-akan kau tidak punya kesempatan itu. Atau mungkin itu sekadar karena kau merasakan hasrat membara yang kadang masih kau rasakan, kebutuhan untuk menghaluskan yang kerut-merut, meratakan berbagai hal yang menurutmu terlalu jendol. Kau memberi tahu ibumu, dengan nada enggan yang sudah sepantasnya, bahwa Nenek meminta Nonso memanjat dahan tertinggi pohon alpukat untuk menunjukkan padanya betapa dia pria sejati. Lalu Nenek menakuti Nonso—itu cuma gurauan, kau meyakinkan ibumu—dengan memberi tahu Nonso bahwa ada ular, echi eteka, di dahan dekat dirinya. Nenek meminta Nonso supaya tidak bergerak. Tentu saja Nonso bergerak dan tergelincir dari dahan, dan saat mendarat, suaranya seperti ada banyak buah berjatuhan sekaligus. Gedebuk tumpul, penghabisan. Nenek berdiri dan memandang Nonso dan mulai meneriakinya tentang betapa ia putra satu-satunya, betapa ia telah mengkhanati garis keturunan keluarga dengan kematian, betapa nenek moyang tak akan senang. Nonso masih bernapas, katamu pada ibumu. Ia masih bernapas ketika jatuh namun Nenek cuma berdiri dan meneriaki tubuhnya yang retak hingga ia mati.

Ibumu mulai menjerit. Dan kau pun bertanya-tanya apakah orang menjerit keedanan seperti itu ketika mereka memilih untuk menolak kenyataan. Ibumu tahu bahwa kepala Nonso membentur batu dan mati di tempat kejadian—ibumu telah melihad jasadnya, kepalanya yang pecah. Namun ia memilih untuk menyakini Nonso masih hidup setelah jatuh. Ibumu menangis, meraung, dan merutuki ketika ia pertama kali melihat ayahmu pada pameran lukisannya yang pertama. Lalu ibumu menelepon ayahmu, kau mendengarnya berteriak di telepon: Ibumu yang bertanggung jawab! Ibumu membuatnya panik dan jatuh! Ibumu bisa saja berbuat sesuatu tapi dia malah berdiri saja seperti wanita Afrika bodoh pemuja takhayul sebagaimana dirinya dan membiarkan Nonso mati!

Ayahnya berbicara padamu setelah itu, dan berkata ia mengerti betapa sulitnya keadaan ini bagimu namun kau harus berhati-hati dengan perkataanmu supaya tidak ada yang tambah tersakiti. Dan kau pun memikirkan kata-katanya—Berhati-hatilah dengan perkatanmu—dan bertanya-tanya apakah ia tahu kau berdusta.



Musim panas itu, delapan belas tahun lalu, merupakan musim panas pertama kau memiliki kesadaran diri. Musim panas ketika kau tahu harus ada yang terjadi pada Nonso, supaya kau bisa bertahan. Bahkan pada usia sepuluh tahun kau menyadari bahwa sebagian orang dapat memakan terlalu banyak tempat hanya dengan hidup, bahwa dengan mengada, sebagian orang dapat mencekik yang lainnya. Gagasan menakuti Nonso dengan echi eteka merupakan gagasanmu sendiri. Namun kau menjelaskannya pada Dozie, bahwa kalian sama-sama butuh Nonso terluka—mungkin dengan membuntungkan dia, mungkin dengan memelintir kakinya. Kau ingin merusak kesempurnaan tubuhnya yang lentur, menjadikan dirinya kurang dicintai, kurang mampu untuk melakukan segala yang dia mampu. Kurang mampu untuk memakan tempatmu. Dozie tidak mengatakan apa-apa dan malah menggambar dirimu dengan mata berbentuk bintang.

Nenek sedang memasak di dalam rumah sementara Dozie berdiri diam di dekatmu, pundak kalian bersentuhan, saat kau mengusulkan pada Nonso untuk memanjat ke puncak pohon alpukat. Nonso mudah diusik. Kau tinggal mengingatkan dia bahwa kau lebih pandai memanjat. Dan memang kau lebih pandai memanjat, kau bisa mendaki pohon, pohon mana pun, dalam hitungan detik—kau lebih pandai dalam berbagai hal yang tidak perlu diajari, berbagai hal yang tidak dapat diajarkan Nenek pada Nonso. Kau meminta Nonso untuk memanjat lebih dulu, untuk mengetahui apakah ia bisa mencapai dahan tertinggi pohon alpukat itu sebelum kau menyusul. Dahan yang kau maksud tidak kokoh, sedang Nonso lebih berat dari padamu. Berat karena segala makanan yang dicekokkan Nenek padanya. Tambah lagi makannya, Nenek sering bilang begitu. Memangnya Nenek masak ini buat siapa? Seakan-akan kau tidak ada di sana. Kadang Nenek menepuk bahumu dan berkata dalam bahasa Igbo, Bagus kau pelajari ini, nne, beginilah cara kau mengurus suamimu kelak.

Nonso memanjat pohon itu. Lebih tinggi dan semakin tinggi. Kau menunggu hingga ia hampir berada di atas, sampai kakinya ragu-ragu sebelum naik seinci lebih tinggi. Kau menunggu jeda di antara pergerakannya. Jeda terbuka, jeda kala kau melihat biru pada segala hal, pada hidup itu sendiri—biru murni yang ada pada salah satu lukisan ayahmu, pada kesempatan, pada langit yang terbasuh bersih oleh hujan sebentar saat pagi. Lalu kau menjerit. “Ular! Ada echi eteka! Ular!” Kau tidak yakin hendak mengatakan apakah ular itu berada pada dahan di dekat Nonso, atau sedang meluncur di batang pohon. Namun itu tidak penting sebab, dalam beberapa detik, Nonso menatap ke arahmu di bawah dan terlepas, kakinya tergelincir, lengannya terlepas dengan sendirinya. Atau barangkali pohonnya yang berguncang sehingga Nonso jatuh.

Sekarang kau tidak ingat berapa lama kau diam memandangi Nonso sebelum kau masuk untuk memanggil Nenek, sementara sepanjang waktu Dozie bungkam di sisimu.



Perkataan Dozie—“benci”—melayang-layang di seputar kepalamu kini. Benci. Benci. Benci. Kata itu membuat sulit bernapas, sama halnya dengan bernapas ketika kau menunggu, berbulan-bulan setelah kematian Nonso, agar ibumu memerhatikan bahwa kau punya suara sebening air dan kaki bak karet gelang, agar ibumu menyudahi kunjungan malamnya ke kamarmu dengan tawa ho-ho-ho yang nyaring. Alih-alih ibumu memegangmu dengan berhati-hati sekali kala mengucapkan selamat malam, selalu berbicara sambil berbisik, dan kau pun mulai menghindari kecupannya dengan pura-pura batuk atau bersin. Tahun demi tahun seiring dengan pindahnya ibumu dari satu negara bagian ke negara bagian lain, dengan menyalakan lilin-lilin merah di kamarnya, melarang segala pembicaraan tentang Nigeria atau Nenek, tidak membolehkanmu menemui ayahmu, ia tidak pernah lagi tertawa seperti itu.

Sekarang Dozie bersuara, memberitahumu bahwa ia mulai memimpikan Nonso beberapa tahun lalu, memimpikan Nonso yang lebih tua dan lebih jangkung daripada dirinya, dan kau mendengar ada buah jatuh dari pohon di dekatmu, dan kau menanyai Dozie tanpa berpaling, Apa yang kau inginkan, pada musim panas itu, apa yang kau inginkan?

Kau tidak menyadari saat Dozie beringsut, saat ia berada di belakangmu, begitu dekat hingga kau menghirup aroma jeruk pada dirinya, mungkin ia baru mengupas jeruk dan tidak mencuci tangannya setelah itu. Ia membalikkan badanmu dan menatapmu dan kau menatap dia dan ada kerut halus pada dahinya serta kegarangan baru pada matanya. Ia memberi tahumu bahwa tidak terlintas padanya untuk menginginkan suatu hal sebab yang penting ialah keinginanmu. Ada kesunyian panjang selagi kau memandangi barisan semut hitam pada batang pohon, setiap semut membawa secuil bulu, sehingga menampakkan pola hitam-putih. Dozie menanyaimu apakah kau memimpikan yang dimimpikannya dan kau bilang tidak, matamu menghindari dirinya, dan ia pun berpaling dari dirimu. Kau ingin memberi tahu Dozie tentang nyeri di dadamu serta kehampaan di telingamu serta hawa yang bergolak setelah ia menelepon, tentang pintu-pintu yang terempas membuka, tentang berbagai hal yang telah diluruskan yang tahu-tahu menyembul, namun ia berjalan menjauh. Dan kau pun menangis, berdiri sendirian di bawah pohon alpukat.[]



Cerpen ini diterjemahkan dari “Tomorrow is Too Far” dalam kumpulan cerpen Chimamanda Ngozi Adichie, The Thing Around Your Neck (2009)