Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Andrew Driver (6) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (271) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yasutaka Tsutsui (6) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

The Moneyless Manifesto: Masyarakat sejati memerlukan kesalingbergantungan (Mark Boyle, 2012)

Belum lama ini saya menjaga anak teman saya. Teman saya sibuk sementara saya lowong, sehingga saya senang-senang saja mengasuh si kecil Eli...

20191027

Gua Angin (Haruki Murakami, 2018)

Sewaktu aku berusia lima belas tahun, adik perempuanku meninggal. Kejadiannya mendadak. Waktu itu usianya dua belas tahun. Ia baru tahun pertama di SMP. Ia lahir dengan penyakit jantung bawaan, tetapi sejak operasinya yang terakhir, di kelas-kelas atas SD, tidak ada gejala apa-apa, makanya keluarga kami merasa tenang sambil agak berharap bahwa hidupnya akan berlanjut tanpa masalah. Tetapi, pada Mei tahun itu, detak jantungnya menjadi semakin tidak teratur. Detak jantungnya memburuk terutama ketika ia rebah, dan sering kali ia tidak bisa tidur saat malam. Ia menjalani tes di rumah sakit universitas, tetapi betapa pun tesnya sangat mendetail para dokter tidak dapat menentukan perubahan pada kondisi fisiknya. Masalah pokoknya tampak sudah beres oleh operasi, makanya mereka bingung.
“Hindari olahraga berat dan jalani rutinitas yang teratur. Semestinya detak jantungnya akan segera membaik,” kata dokter. Barangkali hanya itu yang bisa ia katakan. Lalu ia menuliskan beberapa resep untuk adikku.
Tetapi aritmia adikku tidak membaik. Selagi aku duduk menghadap dia di meja makan, sering kali aku memandang dadanya dan membayangkan jantung di dalamnya. Payudaranya kelihatan jelas mulai tumbuh. Akan tetapi, di dalam dada itu, jantungnya rusak. Bahkan dokter spesialis pun tidak bisa menentukan kerusakannya. Kenyataan itu saja membikin otakku karut-marut. Masa remajaku habis oleh kecemasan dan ketakutan bahwa kapan pun aku bisa saja kehilangan adikku.
Orang tuaku menyuruhku untuk mengawasi dia karena tubuhnya yang amat rapuh. Sewaktu kami satu SD, mataku tidak pernah lepas dari dia. Kalau diperlukan, aku rela mempertaruhkan hidupku demi melindungi dia serta jantungnya yang mungil. Namun kesempatan itu tidak pernah datang dengan sendirinya.
Suatu hari ia pingsan dalam perjalanan pulang dari sekolah. Kesadarannya hilang selagi menaiki tangga di Stasiun Seibu Shinjuku sehingga dilarikan ambulans ke unit gawat darurat terdekat. Ketika mendengar itu, aku terburu-buru ke rumah sakit, tetapi begitu sampai di sana jantungnya sudah berhenti. Semua itu terjadi dalam sekejap mata. Padahal paginya kami masih sarapan bersama dan saling berpamitan di pintu depan. Aku berangkat ke SMA, ia ke SMP. Kali berikutnya aku bertemu dia, ia sudah tidak bernapas. Matanya yang besar menutup untuk selamanya, dengan mulut agak terbuka seolah-olah hendak menyampaikan sesuatu.
Kali berikutnya aku melihat dia, ia ada di peti mati. Ia mengenakan gaun beledu hitam kesukaannya, dengan sedikit riasan dan rambutnya disisir rapi. Ia memakai sepatu kulit paten hitam dan berbaring menghadap ke atas dalam peti mati berukuran sedang. Gaunnya berkerah renda putih, saking putihnya sehingga terlihat janggal.
Dalam keadaan berbaring begitu, ia seperti sedang tidur nyenyak. Seakan-akan bila diguncang pelan ia akan terbangun. Tetapi itu hanya khayalan. Guncangkan saja ia dengan cara apa pun—ia tidak akan pernah bangun lagi.
Aku tidak mau tubuh adikku yang kecil lagi rapuh itu dijejalkan ke dalam kotak yang sesak dan mengungkung. Aku merasa tubuhnya mesti dikuburkan di tempat yang jauh lebih luas. Di tengah-tengah padang rumput, misalnya. Kami akan mengunjungi dia dalam bisu dengan menembus lebatnya rerumputan hijau. Perlahan angin akan menggerisikkan rerumputan, dan burung-burung serta serangga-serangga berjeritan di seputar kuburnya. Aroma alami bunga-bunga liar akan semerbak di udara, dan serbuk sari beterbangan berputar-putar. Bila malam tiba, langit di atasnya akan berbintik-bintik oleh bintang keperakan yang tak terhitung jumlahnya. Kala pagi, matahari yang segar akan menjadikan embun pada bilah-bilah rumput berkilauan bak permata. Tetapi, kenyataannya, ia dikemas dalam peti mati yang konyol. Hiasan di seputar petinya hanya bunga-bunga putih jelek yang tadinya terpancang di vas lalu diguntingi. Ruangan yang sempit itu diterangi lampu neon dan minim warna. Dari pengeras suara yang ditanam di langit-langit terdengar alunan musik organ yang dibuat-buat.
Aku tidak tahan melihat adikku diperabukan. Begitu penutup peti mati diturunkan dan dikunci, aku meninggalkan ruangan. Aku tidak membantu keluargaku saat upacara meletakkan tulang-tulangnya ke dalam pasu. Aku pergi ke halaman krematorium dan menangis sendiri dalam bisu. Selama hidupnya yang terlalu singkat itu, tidak pernah sekali pun aku menolong adikku. Pikiran itu amat menyakitkanku.
Setelah kematian adikku, keluarga kami berubah. Ayahku menjadi semakin pendiam, ibuku semakin penggugup dan penggelisah. Pada dasarnya, hidupku sama saja. Aku mengikuti ekstrakurikuler pencinta alam sehingga aku sibuk, dan di luar itu aku mulai melukis dengan cat minyak. Guru seni rupa merekomendasikan supaya aku memiliki pengajar yang bagus serta sungguh-sungguh belajar melukis. Ketika akhirnya aku memasuki sekolah seni, minatku menjadi serius. Kurasa aku mencoba menyibukkan diri supaya tidak memikirkan adikku yang telah tiada.
Dalam waktu yang lama—entah berapa lama—orang tuaku membiarkan kamar adikku sebagaimana adanya. Buku pelajaran dan petunjuk belajar, alat tulis, penghapus, serta klip kertas menumpuk di mejanya, seprai, selimut, dan bantal di tempat tidurnya, piamanya yang sudah dicuci dan dilipat, seragam SMP-nya menggantung di lemari—semuanya tak tersentuh. Pada kalender di dinding tertera catatan jadwalnya dalam tulisan kecil-kecil. Kalendernya menunjukkan bulan ketika ia meninggal, seakan-akan waktu membeku pada saat itu. Rasanya seolah-olah pintu kamarnya dapat membuka kapan saja dan masuklah ia. Ketika tidak ada orang lain di rumah, kadang aku masuk ke kamarnya, duduk perlahan di tempat tidurnya yang tertata rapi, dan memandang sekelilingku. Tetapi aku tidak pernah menyentuh apa pun. Aku tidak ingin mengusik walaupun sedikit benda-benda sunyi yang ia tinggalkan, petunjuk bahwa adikku dulu juga pernah bernyawa.
Sering kali aku mencoba membayangkan bagaimana kehidupan adikku sekiranya ia tidak meninggal pada usia dua belas tahun. Walau begitu aku tidak mendapat gambaran apa pun. Aku bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupanku sendiri nantinya, maka aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada masa depannya. Tetapi aku tahu bahwa seandainya salah satu katup jantungnya tidak bermasalah, ia akan tumbuh menjadi orang dewasa yang cakap dan menarik. Aku yakin banyak lelaki akan mencintainya dan merangkul dia. Tetapi aku tidak bisa membayangkannya secara terperinci. Bagiku, selamanya ia adikku, yang tiga tahun lebih muda, dan membutuhkan perlindunganku.
Sementara waktu sepeninggal adikku, aku menggambar banyak sketsa dirinya. Aku mereproduksi ingatanku akan wajahnya dari berbagai sudut di buku sketsa supaya aku tidak lupa. Bukan berarti aku akan melupakan wajahnya. Wajahnya akan selalu tergurat dalam benakku hingga kematianku. Tujuanku yaitu supaya tidak melupakan wajah yang teringat olehku pada waktu itu. Oleh karena itu, aku harus memberinya wujud dengan menggambar. Waktu itu aku baru berusia lima belas tahun, dan tidak banyak yang keketahui mengenai memori, menggambar, dan aliran waktu. Tetapi aku tahu bahwa aku harus melakukan sesuatu untuk mencengkam rekaman yang akurat dari ingatanku itu. Kalau dibiarkan, ingatan itu akan menghilang entah ke mana. Betapa pun jelasnya suatu ingatan, kekuatan waktu lebih besar. Instingku yang memberi tahu.
Aku biasa duduk sendirian di tempat tidur kamar adikku dan menggambar dia. Aku berusaha untuk mereproduksi penampakannya dalam mata batinku pada kertas kosong. Waktu itu aku belum punya banyak pengalaman serta keterampilan teknis yang diperlukan, sehingga prosesnya tidaklah mudah. Aku menggambar lalu merobek hasilnya, menggambar dan merobek tiada habisnya. Tetapi sekarang ketika aku memandangi gambar-gambar yang kusimpan (aku masih menyayangi buku sketsaku pada masa itu), aku bisa melihat gambar-gambar itu disarati rasa dukacita yang nyata. Secara teknis gambar-gambar itu mungkin belum matang, akan tetapi mereka hasil dari upaya sepenuh hati, jiwaku yang berusaha membangkitkan adikku. Saat aku memandangi sketsa-sketsa itu, aku tidak bisa menahan tangis. Sejak waktu itu aku telah menyelesaikan banyak sekali gambar, tetapi tidak ada lagi yang dapat menerbitkan tangisku.

Kematian adikku membawa dampak lain bagiku, yaitu memicu pengalaman klaustrofobia yang sangat parah. Sejak melihat dirinya ditempatkan dalam peti mati kecil nan sesak, penutupnya diturunkan dan dikunci rapat, lalu dibawa ke krematorium, aku tidak sanggup memasuki tempat yang tertutup rapat. Dalam waktu yang lama, aku tidak bisa menaiki lift. Ketika aku berdiri di depan lift, yang terbayang olehku semata lift itu akan mati secara automatis saat terjadi gempa bumi, sementara aku terperangkap di dalam ruang yang terbatas. Membayangkan itu saja sudah cukup membangkitkan rasa panik yang mencekik.
Gejala ini tidak muncul seketika setelah kematian adikku, melainkan hampir tiga tahun sebelum timbul ke permukaan. Kali pertama aku mengalami serangan panik yaitu tidak lama setelah aku memasuki sekolah seni, ketika aku melakukan pekerjaan paruh waktu di perusahaan jasa pindahan. Waktu itu aku menjadi asisten sopir truk boks, memuatkan boks-boks dan mengeluarkannya. Suatu kali secara tidak sengaja aku terkunci di dalam kompartemen kargo yang kosong. Pekerjaan hari itu telah beres dan si sopir lupa memeriksa kalau-kalau masih ada orang yang berada di dalam truk. Ia mengunci pintu belakang dari sebelah luar.
Baru sekitar dua setengah jam kemudian pintu dibuka sehingga aku bisa merangkak keluar. Selama waktu itu aku terkunci di tempat tertutup yang gelap total. Kendaraan itu bukan truk pendingin atau semacamnya, sehingga ada celah tempat udara masuk. Sekiranya aku dapat berpikir dengan tenang, aku tahu aku tidak akan mati lemas.
Biarpun begitu, kepanikan yang teramat sangat mencengkeramku. Ada banyak oksigen, tetapi betapa pun aku menarik napas dalam-dalam aku tidak sanggup menghirupnya. Napasku semakin tidak keruan dan aku mulai terengah-engah. Aku merasa pusing. “Tidak apa-apa, tenanglah,” batinku. “Sebentar lagi kau bisa keluar. Tidak mungkin mati lemas di sini.” Tetapi logika tidak berhasil. Yang ada di benakku hanyalah adikku, yang dijejalkan ke dalam peti mungil lalu diseret keluar menuju krematorium. Karena ngeri, aku menggebuki dinding truk.
Truknya berada di lahan parkir perusahaan, dan karena hari kerja sudah berakhir, semua karyawan pada pulang. Tidak ada yang memerhatikan bahwa aku menghilang. Aku menggebuk gila-gilaan, tetapi tampaknya tidak seorang pun mendengar. Aku tahu bahwa sial-sialnya aku bisa terkunci di sini sampai pagi. Membayangkan itu, otot-ototku serasa luluh.
Akhirnya satpam jaga malamlah yang mendengar suara yang kubuat dan membukakan pintu. Saat itu ia sedang meronda di lahan parkir. Ketika melihat betapa resah dan lelahnya diriku, ia menyuruhku berbaring di tempat tidur ruang istirahat perusahaan lalu memberiku secangkir teh panas. Entah berapa lama aku berbaring. Tetapi akhirnya napasku menjadi biasa lagi. Subuh menjelang, maka aku berterima kasih pada satpam tersebut dan menaiki kereta pertama hari itu ke rumah. Aku menyisip ke tempat tidurku sendiri dan berbaring sembari menggigil habis-habisan sampai lama sekali.
Sejak saat itu, menaiki lift memicu kepanikan serupa. Peristiwa tersebut mestilah telah membangkitkan ketakutan yang terpendam di dalam diriku. Kemungkinan besar hal itu dipicu oleh kenangan akan adikku yang telah tiada. Selain itu, bukan hanya lift, melainkan tempat tertutup apa pun. Aku bahkan tidak sanggup menonton film dengan adegan di kapal selam atau tank. Sekadar membayangkan diriku terkurung dalam ruang yang terbatas begitu—hanya membayangkannya saja—membuatku gelagapan. Kerap kali aku mesti bangkit dan meninggalkan bioskop. Itu sebabnya aku jarang ke bioskop dengan orang lain.

Sewaktu usiaku tiga belas tahun sedang adikku sepuluh tahun, kami berdua melancong sendiri ke Prefektur Yamanashi pada liburan musim panas. Adik ibuku bekerja di lab penelitian sebuah universitas di Yamanashi dan kami menginap di tempatnya. Ini perjalanan pertama yang kami lakukan tanpa ditemani. Pada waktu itu kondisi adikku relatif baik, sehingga orang tua kami memberi izin untuk melancong sendiri.
Paman kami membujang (dan masih membujang sampai sekarang), dan saat itu kukira usianya baru tiga puluh tahun. Ia meneliti gen (dan masih sampai sekarang), sangat pendiam dan semacam kurang keduniawian, walaupun orangnya terbuka dan blakblakan. Ia senang membaca dan tahu segala hal tentang alam. Ia menikmati berjalan-jalan ke pegunungan lebih daripada apa pun, yang menurutnya merupakan alasan dia mengambil pekerjaan di universitas yang berada di pedalaman Yamanashi yang bergunung-gunung. Aku dan adikku sangat menyukai paman kami itu.
Dengan ransel di punggung, kami naik kereta ekspres tujuan Matsumoto dari Stasiun Shinjuku dan turun di Kofu. Paman menjemput kami di Stasiun Kofu. Ia luar biasa jangkung, sehingga di stasiun yang ramai kami langsung dapat melihat dia. Ia mengontrak rumah kecil di Kofu bersama temannya, tetapi temannya itu sedang di luar negeri sehingga kami mendapat kamar tidur sendiri. Kami tinggal di rumah itu selama seminggu. Hampir setiap hari kami berjalan-jalan bersama Paman ke pegunungan terdekat. Ia mengajari kami nama segala macam bunga dan serangga. Kenangan musim panas itu berharga bagi kami.
Suatu hari kami berjalan agak lebih jauh daripada biasanya dan mengunjungi sebuah gua angin di dekat Gunung Fuji. Di antara sekian banyaknya gua angin di sekitar Gunung Fuji, gua satu ini adalah yang terbesar. Paman memberi tahu kami mengenai proses terbentuknya gua angin. Gua terbuat dari basal, sehingga di dalamnya gema hampir tidak terdengar sama sekali, kata Paman. Bahkan saat musim panas suhunya tetap rendah. Pada zaman dulu, orang menyimpan es yang mereka potong pada musim dingin di dalam gua. Paman menjelaskan perbedaan di antara dua tipe gua: fuketsu, gua berukuran besar yang cukup untuk dimasuki orang, serta kaza-ana, gua berukuran kecil yang tidak bisa dimasuki orang. Kedua istilah tersebut sepadan dengan huruf Cina yang sama-sama berarti “angin” dan “lubang”. Paman kami tampaknya tahu segala hal.
Di gua angin yang besar itu, kami membayar biaya masuk untuk ke dalamnya. Paman kami tidak ikut serta. Ia sudah sering sekali ke sana, di samping ia sangat jangkung sementara atap gua begitu rendah sehingga membuatnya sakit punggung. “Guanya tidak berbahaya kok,” kata Paman, “jadi kalian masuk saja. Paman menunggu di luar sambil membaca buku.” Di jalan masuk petugas memberi kami masing-masing sebuah senter lalu memakaikan helm kuning pada kami. Ada lampu di atap gua, tetapi tetap saja cukup gelap di dalamnya. Semakin dalam kami memasuki gua, semakin rendah atapnya. Pantas saja paman kami yang semampai itu tidak ikut masuk.
Sembari berjalan aku dan adikku menyorotkan senter ke kaki kami. Saat itu pertengahan musim panas—di luar suhunya tiga puluh dua derajat Celcius—tetapi di dalam gua dingin, di bawah dua puluh. Menuruti nasihat Paman, kami sama-sama mengenakan jaket tebal yang kami bawa serta. Adikku menggenggam tanganku erat, entahkah ingin aku menjaga dia atau malah berharap dapat menjagaku (atau mungkin ia tidak hanya ingin terpisah). Sepanjang waktu kami berada di gua, tangannya yang kecil dan hangat berada dalam genggamanku. Pengunjung lainnya hanya pasangan setengah baya. Tetapi sebentar kemudian mereka berlalu, sehingga tinggal kami berdua.
Nama adikku Komichi, tetapi semua anggota keluarga memanggil dia Komi. Teman-temannya memanggil dia Micchi atau Micchan. Sepengetahuanku, tidak ada yang memanggil namanya secara lengkap, Komichi. Tubuhnya kecil dan ramping. Rambutnya hitam lurus, dipotong rapi tepat di atas pundaknya. Matanya besar untuk ukuran wajahnya (dengan pupil yang besar), sehingga ia menyerupai peri. Hari itu ia mengenakan kaus putih, jin belel, dan sepatu kets merah muda.
Semakin jauh berjalan ke dalam gua, adikku menemukan gua kecil di sisi jalan, agak keluar dari jalur yang ditentukan. Mulut gua itu tersembunyi dalam bayang bebatuan. Ia sangat tertarik pada gua kecil itu. “Mirip lubang kelinci Elisa, ya?” ia bertanya padaku.
Adikku penggemar berat Elisa di Negeri Ajaib karya Lewis Carroll. Entah sudah berapa kali ia memintaku membacakan buku itu untuknya. Mestilah paling sedikit seratus kali. Ia sudah bisa membaca sejak kecil, tetapi ia senang dibacakan keras-keras olehku. Meskipun ia sudah hafal ceritanya, tiap kali aku membacakan buku itu ia masih merasa asyik. Bagian favoritnya yaitu Tarian Lobster. Bahkan sekarang aku masih mengingat bagian itu kata demi kata.
“Tetapi enggak ada kelincinya,” kataku.
“Aku mau lihat,” ujarnya.
“Hati-hati,” ucapku.
Lubangnya sangat sempit (mendekati kaza-ana, menurut definisi Paman), tetapi adikku bisa menyusup ke dalamnya tanpa masalah. Sebagian besar tubuhnya telah berada di dalam, tinggal separuh kakinya menjulur keluar. Ia tampak menyorotkan senternya ke dalam lubang itu. Lalu perlahan ia mundur.
“Bagian belakangnya benar-benar dalam,” ia melaporkan. “Lantainya menurun tajam. Seperti lubang kelinci Elisa. Aku mau melihat ujungnya.”
“Jangan, jangan melakukan itu. Terlalu berbahaya,” kataku.
“Tidak apa-apa. Aku kan kecil dan aku bisa keluar dengan aman.”
Ia melepaskan jaketnya, sehingga tinggal mengenakan kaus, lalu menyerahkan jaket itu padaku beserta helmnya. Sebelum aku sempat mengutarakan protes, ia sudah merayap ke dalam gua itu sambil memegang senter. Dalam sekejap ia lenyap.
Lama waktu berlalu, tetapi ia tidak keluar juga. Aku tidak mendengar suara apa pun.
“Komi,” aku berteriak ke dalam lubang. “Komi! Kau baik-baik saja?”
Tidak ada sahutan. Karena tidak ada gema, suaraku langsung terisap ke dalam gelap. Aku mulai khawatir. Mungkin saja adikku terjebak di dalam lubang, tidak dapat bergerak maju ataupun mundur. Atau mungkin ia kena sawan dan pingsan. Kalau itu yang terjadi, aku tidak bisa menolong dia. Segala macam skenario buruk berkeliaran di kepalaku, dan aku merasa sesak oleh kegelapan yang mengepungku.
Kalau adikku benar-benar menghilang di dalam lubang itu dan tidak akan kembali lagi ke dunia ini, bagaimana aku menjelaskannya pada orang tuaku? Apakah sebaiknya aku lari dan memberi tahu Paman yang menunggu di depan? Ataukah sebaiknya aku diam saja dan menunggu adikku muncul? Aku merunduk dan mengamati lubang itu. Tetapi cahaya senterku tidak menjangkau sampai jauh. Lubang itu sangat kecil, dan kegelapannya memekatkan.
“Komi,” teriakku lagi. Tidak ada sahutan. “Komi,” teriakku lebih kencang. Masih tidak ada jawaban. Lambaian udara dingin menggigilkanku. Bisa-bisa aku kehilangan adikku selamanya. Mungkin ia terisap ke dalam lubang Elisa, ke dalam dunia Kura-kura Palsu, Kucing Cheshire, serta Ratu Hati. Tempat di mana logika tidak berjalan. Semestinya kami tidak usah ke sini tadi, batinku.
Tetapi akhirnya adikku kembali. Ia tidak merayap mundur untuk keluar seperti sebelumnya, tetapi dengan kepala terlebih dulu. Rambutnya yang hitam terlebih dulu menyembul dari lubang, kemudian pundak serta lengannya, dan akhirnya sepatu ketsnya yang merah muda. Ia berdiri di hadapanku. Tanpa berkata-kata, ia meregangkan diri, menarik napas perlahan-lahan dan mendalam, serta menyeka tanah dari jinnya.
Jantungku masih berdebar. Aku mengulurkan tangan dan merapikan rambutnya yang kusut. Aku tidak bisa melihat jelas dengan penerangan temaram di dalam gua, tetapi agaknya ada tanah, debu, serta puing melekat di kaus putihnya. Aku memakaikan jaket padanya lalu menyerahkan helm kuning padanya.
“Kukira kau tidak akan kembali,” kataku, seraya mendekapnya.
“Apakah Kakak cemas?”
“Cemas sekali.”
Ia menggamit tanganku erat. Lalu, dengan suara bersemangat, ia berkata, “Aku berhasil masuk ke bagian yang sempit, lalu, semakin ke dalam, tiba-tiba lantainya semakin rendah, dan di bawah sana ada semacam ruangan kecil. Ruangannya bundar, seperti bola. Langit-langitnya juga bundar, dindingnya bundar, dan lantainya juga. Di sana sangat sepi, seolah-olah di dunia ini tidak ada tempat yang sesepi itu. Aku merasa seperti berada di dasar laut, bahkan di kawah yang lebih dalam. Aku mematikan senter sehingga menjadi gelap gulita, tetapi aku tidak merasa takut atau sepi. Ruangan itu tempat istimewa yang hanya aku yang bisa memasukinya. Ruangan untukku seorang. Tidak ada orang lain yang bisa masuk ke sana. Kakak juga tidak bisa masuk ke sana.”
“Karena aku terlalu besar.”
Adikku menganggukkan kepala. “Benar. Kakak terlalu besar untuk masuk ke sana. Yang benar-benar menakjubkan dari tempat itu di sana lebih gelap daripada apa pun. Saking gelapnya sehingga ketika mematikan senter rasanya kegelapan itu bisa digenggam. Rasanya badan ini pelan-pelan terpisah-pisah dan menghilang. Tetapi karena gelap maka itu tidak terlihat. Entah badan ini masih ada atau tidak. Tetapi kalaupun, misalnya, badanku benar-benar menghilang, aku masih tetap ada di sana. Seperti si Kucing Cheshire masih kelihatan menyeringai walaupun ia menghilang. Aneh, kan? Tetapi ketika aku di sana, aku tidak merasa aneh. Aku ingin tetap di sana selamanya, tetapi kupikir Kakak akan khawatir, jadi aku keluar.”
“Mari keluar dari sini,” kataku. Ia sangat bersemangat hingga tampaknya seolah-olah akan mencerocos terus dan aku mesti menghentikannya. “Napasku sesak di sini.”
“Kakak baik-baik saja?” tanyanya, khawatir.
“Aku baik-baik saja. Aku cuma ingin keluar.”
Sambil berpegangan tangan, kami menuju jalan keluar.
“Kakak tahu tidak?” kata adikku dengan suara kecil selagi kami berjalan, supaya tidak terdengar oleh orang lain (walaupun tidak ada siapa-siapa juga di situ). “Elisa itu benar-benar ada. Ia bukan karangan. Ia nyata. Kelinci Maret, Pembuat Topi, Kucing Cheshire, Prajurit Kartu—mereka semua ada.”
“Mungkin saja,” sahutku.
Kami keluar dari gua angin, kembali ke dunia nyata yang cerah. Ada lapisan tipis awan di langit sore itu, tetapi aku ingat betapa cahaya matahari terasa begitu menyilaukan. Derik tenggeret memekakkan, laksana hujan badai yang turun mendadak dengan dahsyat menenggelamkan segalanya. Paman duduk di bangku dekat jalan masuk, asyik dengan bukunya. Ketika melihat kami, ia menyengir dan berdiri.

Dua tahun kemudian, adikku meninggal. Dan diletakkan di dalam peti mati kecil lalu dikremasi. Usiaku lima belas tahun, sedang ia dua belas tahun. Ketika ia sedang diperabukan, aku keluar. Aku memisahkan diri dari keluargaku dan duduk di bangku di halaman krematorium. Teringat olehku kejadian di gua angin: beratnya waktu sementara aku menunggu adikku keluar, tebalnya kegelapan yang membungkusku, serta merasuknya dingin yang kurasakan. Rambut hitamnya menyembul dari lubang, kemudian pundaknya. Segala kotoran dan debu terawur melekat di kaus putihnya.
Seketika itu, melintas di benakku: bahwa mungkin saja, sebelum dokter di rumah sakit menyatakan kematiannya secara resmi dua tahun kemudian, hidupnya telah direnggut dari dirinya sementara ia berada jauh di dalam gua itu. Dulu aku betul-betul meyakini itu. Ia telah menghilang ke dalam lubang itu dan meninggalkan dunia ini, tetapi aku salah mengira dirinya masih hidup. Kubawa ia naik kereta bersama diriku pulang ke Tokyo. Sembari menggenggam tangannya erat-erat. Kemudian kami hidup sebagai kakak dan adik selama dua tahun setelahnya. Tetapi masa itu tidak lebih daripada karunia yang lekas berlalu. Dua tahun kemudian, maut merangkak keluar dari gua itu merampas jiwa adikku. Seakan-akan ketika ajalnya tiba, harus ada tebusan atas apa yang telah dipinjamkannya kepada kami, dan si empunya pun datang untuk mengambil kembali miliknya.
Bertahun-tahun kemudian, setelah dewasa, aku menyadari bahwa yang dibeberkan adikku padaku secara diam-diam di gua angin itu memang nyata. Elisa benar-benar ada di dunia ini. Kelinci Maret, Pembuat Topi, Kucing Cheshire—mereka semua ada.



Karya ini diterjemahkan dari “The Wind Cave” karangan Haruki Murakami, versi bahasa Inggris dari bahasa Jepang oleh Philip Gabriel dalam The New Yorker edisi 3 September 2018.

Tidak ada komentar: