Jika kita tidak berjuang cukup keras demi hal-hal yang
kita junjung, pada suatu saat kita mesti mengakui bahwa kita tidak
sungguh-sungguh menjunjungnya.
– Paul Wellstone
Kompromi merupakan bagian yang nyaris tidak dapat dielakkan dari kehidupan
kita. Banyak di antara kita yang merasa tidak jelas dengan cita-cita yang,
setidaknya, kita idamkan. Karena berbagai alasan—finansial, sosial, hukum,
emosional, fisiologis—sering kali kita jauh dari menjalaninya secara
sungguh-sungguh hingga taraf yang kita kehendaki, atau tidak sama sekali. Tidak
apa-apa. Tidak ada orang yang sempurna. Lagi pula budaya kita dewasa ini
berikut manifestasi politik dan ekonominya memang tidak mempermudah kita.
Kemungkinan yang lebih terjangkau daripada langsung menjalani
cita-cita puncak kita seratus persen dari mana pun posisi kita masing-masing
berada sekarang, ialah dengan mengadakan peralihan menurut serangkaian tahap
yang telah dipikirkan masak-masak yang logis bagi kehidupan kita. Kuncinya
ialah menjadikan langkah-langkah ini cukup realistis untuk dicapai dalam jangka
pendek, namun cukup menantang untuk dianggap sebagai respons yang tepat bagi
persoalan-persoalan pokok ekologi dan sosial pada zaman kita.
Buku ini tentang menciptakan masyarakat yang melangkahi
kebutuhan akan uang semata-mata karena, sebagaimana yang telah saya ajukan di
bab satu dan dua, kecuali demikian kita tidak akan dapat hidup menurut
kemampuan planet ini menjamu kita dalam jangka panjang. Walau demikian, dunia
yang kita ciptakan dewasa ini telah mendewakan uang hingga titik di mana kini
uang merupakan pemimpin agama terbesar di dunia, keyakinan yang tidak
menenggang kepercayaan keagamaan lainnya mengenai dunia ini. Ini cenderung
menjadikan hidup tanpa uang sama sekali agak menggentarkan.
Maka buku ini bukan saja tentang mempertahankan cara hidup
tanpa uang sebagai visi, benih yang mesti dijaga hingga masa ketika
mudah-mudahan faktor-faktor eksternal telah meninggalkan tanah dalam keadaan
yang cukup subur baginya untuk berkecambah dan bertumbuh, melainkan juga
dimaksudkan untuk berhadapan dengan kenyataan. Kenyataan hidup Anda,
bagaimanapun itu.
Bentuk ekonomi yang ideal menurut saya, sebagaimana yang
telah saya sampaikan, ialah ekonomi kasih yang sepenuhnya berbasis lokalisasi.
Namun bagi kebanyakan pembaca, boleh jadi itu mustahil untuk saat ini.
Barangkali bertahan hidup hingga akhir bulan tanpa menambah utang merupakan
tantangan yang lebih pas. Oleh karena itu, lewat ini saya hendak menawarkan
sehamparan cara yang dengannya Anda dapat mengurangi ketergantungan Anda pada
uang serta memperluas hubungan Anda dengan lingkungan dan masyarakat setempat.
Meskipun ide-idenya itu sendiri tanpa penggunaan uang (dan jika pun tidak
seluruhnya tanpa uang, saya akan mengualifikasikan sebabnya saya memutuskan
untuk menyertakannya), berapa banyak di antaranya yang bisa atau ingin Anda
padukan dalam kehidupan Anda sepenuhnya terserah pada Anda. Kebanyakan ide
tersebut dapat Anda terapkan sekarang juga bagaimanapun keadaan Anda, sementara
yang lain-lain barangkali Anda berkenan mengupayakannya. Berapa pun yang Anda
sertakan dalam kehidupan Ada, apa pun yang Anda lakukan akan membantu Anda
meragamkan cara memenuhi kebutuhan Anda, mengurangi ketergantungan Anda pada
uang, meningkatkan kemampuan Anda memulihkan diri, meringankan dampak ekologis
Anda, serta merekatkan pergaulan Anda dengan tetangga. Semakin jauh Anda mampu
menyusuri jalan ini semakin baik, demi kesejahteraan Anda mapun planet ini.
Menurut perjalanan pribadi saya sendiri menuju kehidupan
tanpa uang, saya merasa membutuhkan suatu kerangka, perencanaan mengenai arah
tujuan yang akan dijalani, yang tidak hanya memungkinkan saya untuk berangkat
dari A (keadaan saya pada 2008) ke B (yang menurut saya realistis dalam tahun
itu) dan seterusnya hingga Z (di mana saya ingin berada pada masa depan),
tetapi juga untuk benar-benar memahami sedari awal bagaimana keadaan pada
tiap-tiap titik tersebut. Bagaimana kehidupan saya sekarang? Bagaimana cara
hidup yang ingin saya jalani pada masa depan? Dari pembicaraan panjang dengan
salah seorang rekan dekat saya dalam eksperimen hidup tanpa uang yang terus
berkembang ini, Shaun Chamberlin[1] (penulis The Transition Timeline[2]), muncullah
model yang memungkinkan siapa saja—terlepas dari kepercayaan politik, religi,
ataupun filosofinya—untuk membayangkan keadaan pada tiap-tiap tahapan, dan
dengan sendirinya mendorong Anda untuk bergerak menaikinya, dengan cara yang
boleh jadi serupa dengan usaha Anda untuk mendaki Hierarki Kebutuhan Maslow[3] sepanjang
perjalanan hidup Anda. Ini merupakan cara sederhana untuk menanggulangi
berbagai persoalan filosofis maupun praktis yang timbul seiring dengan upaya
kita untuk menyejajarkan hidup kita dengan kesadaran kita akan nilai-nilai.
Kami menyebutnya model Progresivitas Prinsip (Progression of Principles/POP), dan ini
merupakan model yang dapat digunakan oleh siapa saja yang ingin lebih
mendekatkan hidupnya pada apa yang dicita-citakan, terlepas dari apakah Anda
hendak hidup tanpa uang, sebagai bagian dari komunitas religius atau spiritual,
atau dalam gerakan Transisi itu sendiri, sekadar contoh.
Karena fokus buku ini adalah meragamkan ekonomi Anda
perseorangan dan memerlukan sesedikit mungkin uang, saya akan menerapkan
kerangka model POP dalam konteks tersebut saja, namun saya berharap supaya
pembaca masih dapat memanfaatkannya untuk menambah kemajuan dalam apa pun cara
hidup yang searah dengan kepercayaan mereka. Yang menarik soal model POP ini
ialah ini dibuat khusus oleh Anda, bagi Anda.
CARA KERJA MODEL POP
Untuk menggambarkan cara kerja model POP marilah kita ambil beberapa
contoh, yang akan berupa milik saya sendiri. Biasanya model ini cenderung
memiliki tiga sampai delapan tingkatan, tergantung pada kepelikan dan perubahan
urutannya, namun bisa saja sepanjang ataupun sependek yang Anda hendaki.
Pertama-tama, mari kita lihat model POP saya untuk “sistem
ekonomi”.
Level 1 (ekonomi kasih lokal 100%): keswadayaan bersama sepenuhnya
berdasarkan ekonomi kasih.
Level 2 Keswadayaan bersama berdasarkan barter/mata uang lokal dalam
ekonomi yang sepenuhnya berbasis lokalisasi.
Level 3 Kehadiran ekonomi kasih dengan ketergantungan minimum pada
model ekonomi yang mendominasi.
Level 4 Kehadiran LETS, Timebank, dan mata uang lokal dengan
ketergantungan minimum pada model ekonomi yang mendominasi.
Level 5 Ekonomi moneter berbasis globalisasi yang “lebih hijau”.
Level 6 (ekonomi moneter global 100%): ekonomi moneter berbasis
globalisasi.
Kebanyakan model POP yang khas ini, mengingat komentar saya
di awal, tidak lagi memerlukan penjelasan. Untuk Level 1, Anda mungkin
bertanya-tanya kenapa “keswadayaan bersama” dan bukannya keswadayaan mandiri?
Jawabannya: sebab keswadayaan mandiri itu ilusi. Setidak-tidaknya kita saling
bergantung dengan lebah, bakteri, dan cacing tanah, dan nyatanya dengan
orang-orang dari lingkungan setempat kita, entahkah itu di jalan, desa, ataupun
masyarakat yang sengaja Anda masuki. Maka ketika saya mengatakan lingkungan,
saya mengartikan seluruh lingkungan kehidupan, bukan hanya manusia. Walaupun
kebudayaan kini memperdaya kita supaya memercayai bahwa ketergantungan pada
orang lain itu tanda kelemahan atau kegagalan, saya berpendapat sebaliknya.
Ketergantungan pada satu sama lain itu penting sekali bagi tatanan masyarakat
sejati, dan pada akhirnya bagi pengertian kita akan ruang, relasi, dan
kesejahteraan. Kenyataannya kini kita tidaklah semandiri yang kita kira. Kita
menyebut-nyebut “kemandirian finansial”, namun ini juga delusi. Kita sekadar
menggantikan ketergantungan pada orang-orang di sekitar kita, yang kita kenal
dan kasihi, dengan ketergantungan pada orang-orang asing yang tidak dikenal
lagi diakrabi yang tidak akan pernah dapat kita jumpai ataupun nyatakan terima
kasih atas apa yang telah mereka hasilkan untuk kita. Mengapa kita memilih yang
impersonal daripada personal? Apakah hidup dalam masyarakat yang bertalian erat
yang orang-orangnya sadar akan kesalingtergantungan sungguh tidak menarik
sehingga kita memilih mencari uang saja untuk menghindarinya?
Anda mungkin memerhatikan dari struktur model POP ini bahwa
saya menempatkan kepentingan yang agak lebih pribadi pada gaya hidup berbasis
lokalisasi 100% daripada semangat menerapkannya. Ini sebagian disebabkan oleh
adanya tuntutan ekologis pada masa kita. Selain itu, saya meyakini bahwa
seiring dengan terbentuknya hubungan pribadi melalui tukar-menukar mata uang
lokal ataupun bentuk pertukaran kredit lainnya, bagaimanapun juga akan terjadi
pemberian tanpa syarat untuk menggantikan unsur barter/pertukaran itu. Namun
sekali lagi, tergantung pada filosofi pribadi Anda sendiri, model POP Anda
dapat tampak jauh berbeda daripada model saya.
Contoh
lainnya, marilah kita lihat kategori yang disebut “Transportasi”.
Level 1 (ekonomi kasih lokal 100%): Berjalan tanpa alas kaki,
terhubung dengan bumi yang saya pijak.
Level 2 Berjalan dengan sepatu buatan sendiri (atau yang diberikan
secara cuma-cuma kepada saya) dari material lokal.
Level 3 Berjalan dengan sepatu hasil barter, yang terbuat dari
material lokal.
Level 4 Berjalan dengan sepatu kampas buatan pabrik Cina.
Level 5 Mengayuh sepeda standar industri
Level 6 (ekonomi moneter global 100%): Mengendarai mobil hibrid.
Saya akan menjelaskan contoh satu ini untuk menunjang
pemahaman teknis serta mengungkapkan sedikit lebih banyak tentang pandangan
pribadi saya mengenai peniadaan uang. Dalam skema ini, level puncaknya mestilah
tampak begitu ekstrem bagi kebanyakan orang dan tidak dihendaki pada level mana
pun. Di antaranya karena: tanah kita telah tertutup oleh perkotaan berikut
aspal, kerikil, dan betonnya. Kaki kita menjadi lunak dari generasi ke generasi
akibat mengenakan alas kaki yang semakin hangat dan nyaman saja. Lagi pula
mengapa menyusahkan diri padahal ada berton-ton sepatu bekas?
Tidak apa-apa merasa contoh ini terlalu ekstrem, toh ini
model POP saya untuk transportasi, bukan model Anda, dan itulah sebagian maksud
saya. Namun saya meyakini bahwa hingga kita kembali merasakan memijak bumi
lagi, kita tidak akan pernah belajar untuk berjalan dengan lembut di atasnya.
Kita akan gagal meningkatkan taraf kepedulian dalam kehidupan kita yang,
sayangnya, tampaknya hanya muncul bila perlu dan tidak terelakkan. Ketika Anda
berjalan tanpa alas kaki, Anda memerhatikan tumbuhan di area itu (atau
banyaknya sampah), kalau bukan karena Anda tidak ingin kaki Anda mengenai duri
(atau beling). Saya sering kali mendapati bahwa ketika saya berjalan tanpa alas
kaki, saya mengumpulkan sedikit lebih banyak makanan, karena saya menjadi
semakin memerhatikan sekitar saya.
Kendati sangat sering dilakukan dalam ekonomi lokal (meskipun
ada sedikit perubahan sejak kemunculan jaringan internet), barter masih
merupakan contoh dari gemarnya budaya manusia dewasa ini pada tukar-menukar.
Sering kali saya bertanya-tanya mengapa kita tidak bisa sekadar berbagi bakat
dan karunia yang kita miliki pada satu sama lain tanpa alasan apa pun selain
untuk menolong sesama. Itulah sebabnya sepatu hasil barter berada di tingkat
ketiga, sementara sepatu yang diberikan secara cuma-cuma pada saya menempati
Level 2. Bersepeda, simbol masyhur gaya hidup berkelanjutan, hanya menempati
Level 5. Saya bukannya hendak kelewat keras pada berkendara menggunakan sepeda
standar industri, karena manfaatnya banyak, dan saya setuju cara itu lebih
berkelanjutan. Saya hanya tidak meyakini bahwa cara itu sepenuhnya
berkelanjutan, mengingat produksinya memerlukan berbagai material yang diimpor
dari sekeliling dunia menggunakan infrastruktur berbasis globalisasi yang pada
hakikatnya destruktif dan mengeksploitasi Alam selebihnya. Jika sepeda skala
industri tidak berkelanjutan dalam jangka waktu yang tidak terbatas, mengapa
kita beranggapan dapat terus menggunakannya? Berkendara dengan sepeda macam apa
pun juga memutus hubungan kita dengan bumi lebih daripada berjalan, dan
menyebabkan kehidupan bergerak lebih cepat (yang dengan waktu luang yang
disediakannya kita jadi mengonsumsi lebih banyak barang), maka itulah posisinya
lebih rendah daripada “berjalan menggunakan sepatu kampas buatan pabrik Cina”
dalam model POP saya untuk transportasi. Walau demikian, bersepeda masih
memungkinkan Anda untuk beredar tanpa perlu mengeluarkan uang (apalagi jika
Anda dapat memulung suku cadang untuk mempertahankannya), yang boleh jadi
itulah yang sedang Anda upayakan—kalau demikian keadaannya, bersepeda bisa saja
berada di puncak model POP Anda.
Jangan khawatir jika Anda masih berada di tingkat bawah tanah
model Anda. Sekarang ini saya lebih sering menggunakan sepeda skala industri
daripada berjalan, walaupun model ini telah membantu saya memperjelas komitmen
supaya ke depannya lebih sering berjalan tanpa alas kaki.
Camkanlah juga bahwa “jarak” di antara tiap-tiap level itu
agak manasuka. Misalnya, pada model POP tertentu, “gap” di antara Level 4 dan 6
boleh jadi jauh lebih besar atau lebih kecil daripada gap di antara Level 1 dan
2. Ini juga memungkinkan Anda untuk “memusatkan perhatian”—jika Anda bertujuan
dalam setahun beralih dari mengemudikan mobil hibrid ke mengendarai sepeda
standar industri (Level 6 dan 5 dalam model versi saya), maka Anda mungkin
ingin menempatkan keduanya berturut-turut di Level 1 dan Level 6, maka
tambahkan beberapa tingkatan lagi di sela-selanya.
Sembari menguraikan banyaknya solusi yang tersedia pada
bab-bab berikut, saya akan merujuk sekilas pada konsep ini sewaktu-waktu untuk
menggambarkan betapa upaya menuju kehidupan tanpa uang tidak harus
sekalian-atau-tidak-sama-sekali sedari awal, atau senantiasa dilakukan,
melainkan sebagai suatu rencana bertahap menuju model ekonomi pribadi yang
lebih beragam, yang harapannya mengarahkan Anda untuk menciptakan ekonomi yang
lebih lentur bagi Anda sendiri, yang tidak begitu rentan terhadap sistem yang
lebih besar yang didasarkan pada konsep absurd mengenai pertumbuhan tidak
terbatas di atas planet yang terbatas. Walau demikian, maksud model ini
bukanlah sebagai latihan baru kecil-kecilan untuk membuat diri kita merasa
nyaman dan tenteram, walaupun itu bisa menjadi bonus yang sangat bagus.
Maksudnya ialah untuk membantu diri kita sendiri mencapai kedudukan di mana
kita hidup selaras dengan Bumi dan satu sama lain. Jika model ini tidak
diterapkan dengan cukup tekad dan keberanian, kita tidak akan pernah mencapai
dunia yang kita tahu sama tahu adalah mungkin.
[1] Keterangan lebih lanjut mengenai Shaun Chamberlin, pendiri
Dark Optimism, kunjungi www.darkoptimism.org
[2] Chamberlin, Shaun (2009). The Transition Timeline: for a local, resilient future. Green
Books.
[3] Abraham Maslow, dalam bukunya yang berjudul Motivation and Personality, mengajukan
teori yang dikenal sebagai “Hierarki Kebutuhan Maslow”. Hierarki yang biasanya
digambarkan berupa piramid ini menyatakan bahwa orang terdorong untuk memenuhi
kebutuhan dasar mereka lebih dulu dan baru menaiki tingkat kebutuhan
selanjutnya begitu tingkat kebutuhan yang sebelumnya telah cukup terpenuhi.
Bagian dasar piramid berupa kebutuhan fisiologis seperti makanan, air, dan
seks, lalu di atasnya berlapis-lapis ditandai dengan keamanan,
cinta/kepemilikan, penghargaan, dan (pada puncaknya) aktualisasi-diri, yang
meliputi elemen seperti moralitas, kreativitas, dan spontanitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar