Ekonomi berbasis sumber daya (ESD)
Meskipun ekonomi berbasis sumber
daya sepintas berkenaan dengan ekonomi kasih berbasis lokalisasi yang saya
anjurkan, istilah tersebut umumnya dipahami sebagai ekonomi nonmoneter dalam
versi globalisasi yang berteknologi tinggi. Penganjur ekonomi tersebut meliputi
Peter Joseph dengan karyanya yang luar biasa populer The Zeitgeist Movement (TZM)[1] serta
Jacques Fresco dengan The Venus Project
(TVP)[2], dua proyek
yang hingga 2011 sering kali dikaitkan dengan satu sama lain.
Premis pokok keduanya ialah untuk menikmati apa yang menurut
mereka merupakan standar hidup yang tinggi, masyarakat tidak memerlukan uang,
tetapi sumber daya seperti makanan, air, mineral, dan berbagai material
lainnya. Bahkan, mereka mengklaim bahwa ekonomi moneter sebenarnya menghalangi
persebaran berbagai kebutuhan hidup tersebut secara adil. Para pendukung sistem
tersebut berpendapat bahwa dunia ini berkelimpahan, dan bahwa semua sumber daya
dapat digunakan secara jauh lebih bijaksana dan dibagi secara merata di antara
seluruh umat manusia, bukan hanya untuk mereka yang memiliki kemampuan
finansial. Fresco menganjurkan penggunaan teknologi bertaraf tinggi yang mampu
diciptakan manusia, namun dengan berfokus pada sumber daya, maka model ekonomi
dengan produksi yang dibatasi masa pakainya (built-in obsolescence)[3] tidak akan
berlaku lagi. Dalam model ekonomi ini, mesin melakukan pekerjaan apa pun yang
dapat diotomatisasi, dan tidak digunakan untuk menggantikan tenaga manusia
dengan cara yang mengakibatkan pengangguran dan segala implikasi sosial dari
padanya, tetapi untuk memperpendek waktu kerja semua orang, yang artinya lebih
banyak waktu luang serta akses penuh lagi cuma-cuma terhadap seluruh sumber daya
yang ada di Bumi berikut teknologi yang dihasilkan. Pada model ini kecerdasan
manusia dimanfaatkan untuk bersama-sama menciptakan teknologi paling efisien
dan berkelanjutan menurut setinggi-tingginya kualitas dan sebaik-baiknya
penerapan, dan bukannya dikecilkan oleh tekanan persaingan pasar yang tidak
lepas dari dan penuh dengan duplikasi serta penghamburan. Menurut mereka, dan
lagi-lagi saya setuju, ekonomi moneter didasarkan pada keadaan berkekurangan,
sebaliknya ekonomi berbasis sumber daya didasarkan pada kelimpahan bersama.
Saya merasa sebagian besar model ekonomi ini sangatlah bagus,
apalagi niat di baliknya. Peter Joseph[4], khususnya,
merupakan orang yang sangat menarik, yang memiliki analisis mendalam tentang
banyak persoalan penting yang kita alami kini dan keberanian serta dedikasinya
dalam membangkitkan kesadaran akan konsekuensi destruktif dari ekonomi moneter
patut diteladani. Namun saya merasa bahwa dengan menujukan pada versi ekonomi nonmoneter
yang sangat kompleks dengan teknologi tinggi, baik TZM maupun TVP menjadikan
visinya mustahil untuk diwujudkan.
Mengapa? Di samping kenyataan bahwa teknologi tinggi terbukti
sama sekali kontraproduktif terhadap rasa kebahagiaan dan keterkaitan kita
dengan masyarakat dan daerah setempat, pokok yang nanti akan saya uraikan
sedikit, untuk mewujudkannya dibutuhkan kesepakatan seluruh bangsa di dunia
sebelum kita dapat sama-sama memulai memikirkan realisasi rencana hebat itu,
karena banyak mineral dan material yang akan digunakan (untuk membuat segala
produk teknologi tinggi yang dikehendaki pendukung ESD) berasal dari segala
penjuru planet—minyak dari Timur Tengah, tembaga dari Cina, mineral dari
Afrika, karet dari Amerika Selatan. Kecuali semua wilayah dan negara yang
beraneka ini berhimpun demi sudut pandang filosofis dan model ekonomi serupa
itu, rencana ini tidak dapat dilaksanakan. Dengan mempertimbangkan kompleksitas
dunia ini berikut bangsanya, politiknya, budayanya, hukumnya, dan agamanya yang
saya ikhtisarkan di muka, ini sangatlah tidak realistis.
Dengan ekonomi yang dilokalisasi, siapa saja dapat memulai
menjalani ekonomi nonmoneter sesegera mungkin tanpa harus menunggu para
pemimpin politik maupun perusahaan dari Amerika Serikat, Iran, Namibia, dan
Meksiko untuk melepaskan kekuasaan mereka dan bersatu dengan seluruh populasi
negaranya di bawah aturan baru dunia tanpa uang. Bukannya saya menyiratkan
bahwa TZM atau TVP menganjurkan supaya kita meminta izin dari pemerintah untuk
mulai mengundangkan elemen dari visi mereka—tentu saja bukan itu maksud mereka,
dan sekali lagi saya setuju.
Sekalipun penyatuan ideologi dunia itu mungkin, dalam versi
ekonomi berbasis sumber daya ini agaknya ada asumsi bahwa teknologi “maju”
dapat membuat kita bahagia. Jika ini benar, mengapa dalam periode yang
jelas-jelas berteknologi paling maju dalam sejarah manusia ini, umat manusia
merasa lebih tertekan daripada sebelumnya? Saya tidak sangsi penganjur ekonomi
nonmoneter berbasis globalisasi akan mengajukan bahwa penyebab ketidakbahagiaan
kita dewasa ini jauh lebih kompleks daripada itu, dan memang, mereka bisa saja
benar. Sementara itu, sudah didokumentasikan secara luas bahwa mereka yang
hidup dalam masyarakat berteknologi rendah, dari dulu hingga kini, lebih kuat
memperlihatkan rasa kebahagiaan, kepuasan, dan keterkaitan dengan masyarakat dan
tempat tinggalnya daripada sebagian dari kita di belahan dunia Barat, yang
bertahan hidup dengan diet kolektif antidepresan yang khasiatnya cepat hilang,
guru-guru pengembangan diri, dan eskapisme.
Penelitian seperti The
Happy Planet Index[5] oleh New Economics Foundation (NEF)[6] menyokong
hal itu dengan banyak bukti anekdot. Saya beserta banyak kenalan saya telah
bepergian ke seluruh tempat di negara-negara “terbelakang” (satu-satunya yang
berkembang di negara-negara ini hanyalah utang mereka pada Dana Moneter
Internasional berikut kroni-kroninya) dan mendapati masyarakat di tiap-tiap
desa dan kota jauh lebih bahagia, serta lebih pemurah akan waktu, makanan, dan
barang-barang materia pribadi mereka, daripada kebanyakan orang yang saya temui
di negara “maju” tempat tinggal saya. Kajian yang dilakukan oleh Helena
Norberg-Hodge selama dua puluh tahun mengenai modernisasi masyarakat Ladakhi,
sebagaimana yang terdokumentasikan dalam filmnya Ancient Futures—Learning from Ladakh, menunjukkan dengan kuat
pengaruh teknologi berikut potensinya dalam menghancurkan setiap tatanan yang
mendasari masyarakat kita. Menurut pengalaman masyarakat Ladakhi, setelah
modernisasi mereka memiliki lebih banyak alat yang dapat menghemat waktu, akan
tetapi entah bagaimana mereka menjadi tidak memiliki banyak waktu. Kisah ini
serupa di mana saja, dan kita semua mengalaminya hingga taraf tertentu.
Setelah menjalani sendiri kehidupan baik dengan teknologi tinggi
maupun rendah, saya bisa secara tegas menyatakan bahwa kesehatan fisik, mental,
spiritual, dan emosional saya meningkat seiring dengan menyurutnya peranan
teknologi tinggi dan meningkatnya taraf lokalisasi dalam kehidupan saya. Saya
tidak mau meja saya dibuat dengan mesin. Saya ingin membuat meja dengan tangan
saya sendiri, atau paling tidak dengan tangan teman saya. Menggunakan tangan
sendiri itu penting sekali bagi kesehatan kita, kreativitas kita, begitu pula
hubungan kita dengan lingkungan masyarakat. Satu-satunya argumen untuk ekonomi
nonmoneter berteknologi tinggi ialah jika itu memungkinkan kita, dan kehidupan
selebihnya di Bumi, untuk menjalani hidup yang lebih membahagiakan, bermakna,
dan bebas. Saya belum melihat bukti apa pun yang membenarkan itu, sementara
sejarah kita tercemar oleh contoh-contoh yang menunjukkan sebaliknya.
Saya juga berpendapat bahwa pemisahan dari Alam selebihnya
yang mau tak mau menjadi dampak teknologi tinggi selanjutnya akan semakin
mengurangi pemahaman terhadap siklus alam dan ekologi, sekaligus menambah
trauma yang kita derita akibat tidak berinteraksi dengan Alam dalam kondisinya
yang terliar. Putusnya hubungan ini akan mengakibatkan masalah-masalah yang
tidak ubahnya dengan yang kita alami kini berikut silap pemaknaan diri yang
menimbulkannya. Jika umat manusia dalam kesehariannya tidak memiliki pertalian
serta perhubungan yang intim dengan Bumi, bagaimana mungkin rasa kesalingbergantungan
itu terbina, begitu pula perhatian dan rasa hormat pada planet ini?
Walau demikian, masih banyak yang bisa kita pelajari dari
kedua filosofi dan solusi praktis yang diajurkan pada penganjur ESD, dan
semuanya memberi tambahan ke dalam kuali pengaduk berisi cara-cara baru dalam
memandang ekonomi serta memenuhi kebutuhan kita dengan sikap yang lebih peduli,
berkelanjutan, serta menceriakan. Tentulah bukan maksud saya untuk mengkritik
teknologi tinggi ESD secara tidak adil (sebab apalah yang saya miliki selain
rasa hormat yang sebesar-besarnya terhadap banyaknya niat dan upaya atas model
ekonomi tersebut), melainkan untuk membantu memoles pemikiran kita bersama
serta mempersatukan kita untuk suatu misi yang sesungguhnya dapat kita capai
hingga taraf yang berarti selama masa hidup kita.
Balas-kepada-orang-lain
Balas-kepada-orang-lain (pay-it-forward)
merupakan gagasan yang indah, dipopulerkan oleh film Hollywood berjudul serupa.
Perspektifnya ialah ketika kita berbuat sesuatu untuk orang lain, kemudian
mereka menanyai kita apa yang dapat mereka perbuat untuk kita sebagai
balasannya, kita memberi tahu mereka supaya “tidak membalasnya kepada kita”,
tetapi sebagai gantinya mencari kesempatan untuk “meneruskan kebaikan tersebut”
dengan melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi orang yang lainnya, boleh jadi
orang yang belum pernah mereka jumpai sekali pun. Walaupun masih ada unsur
kepamrihan yang kecil sekali dalam gagasan ini (dengan kata lain masih ada
unsur permintaan), ini merupakan bentuk pamrih yang paling pemurah lagi
pengasih yang saya ketahui.
Terlepas dari apakah Anda hendak mulai menerapkan sebagian
dari gagasan-gagasan ini, hingga berbagai taraf, di tengah kota ataupun hutan,
akan ada tantangan dari luar maupun dalam yang mesti diatasi, dan saya akan
menelaahnya, sekalian mengajukan strategi peralihan untuk menjalaninya secara
sukses, di bab empat. Akan tetapi, perlu waktu untuk mengatasi
tantangan-tantangan ini, sekalipun jika Anda bersungguh-sungguh ingin hidup
tanpa uang sama sekali. Untuk membantu Anda mengadakan peralihan, ataupun
sekadar menyertakan berbagai tahapan peniadaan uang ke dalam kehidupan Anda,
saya juga telah menciptakan sarana untuk membantu Anda: model Progresivitas
Prinsip (Progression of Principles/POP).
[1] Keterangan lebih lanjut mengenai The Zeitgeist Movement,
kunjungi www.thezeitgeistmovement.com
[2] Keterangan lebih lanjut mengenai The Venus Project, kunjungi
www.thevenusproject.com
[3] Built-in obsolescence
merupakan konsep di mana pabrik sengaja memperpendek masa pakai produknya untuk
menjamin pelanggan harus terus membeli yang baru.
[4] Keterangan lebih lanjut mengenai gagasan dan filosofi Peter
Joseph, kunjungi www.whoispeterjoseph.com
[5] Keterangan lebih lanjut mengenai The Happy Planet Index,
kunjungi www.happyplanetindex.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar