Lokalisasi
mungkin tidak begitu praktis, namun mau tidak mau tidak ada alternatif lain.
– Dr. David Fleming
Orang-orang yang
tertarik dengan gagasan hidup sepenuhnya bebas niscaya menghadapi rintangan
yang, karena alasan apa pun, tidak berhasil dilalui pada awal percobaan. Alasan
yang paling sering disebutkan berupa rintangan dari luar: tidak punya tanah,
pajak, persyaratan izin perencanaan berikut pendirian hunian mandiri yang
berdampak rendah[1],
dan seterusnya.
Semua contoh
tersebut merupakan rintangan besar yang mungkin terjadi, sebagian besar berakar
dari kenyataan dunia kita kini dan cukup membebani, terutama bagi orang-orang
yang sedang berusaha untuk mengurangi keterikatannya dengan ekonomi mesin
alih-alih meningkatkannya. Akses terhadap tanah—seperti izin dan peraturan,
harga tanah, serta properti pribadi—merupakan persoalan yang terpenting. Namun
banyak di antara tantangan ekonomi dan sosiopolitik ini merupakan hambatan
pribadi dan internal yang kita ciptakan sendiri yang mencegah kita dari menjalani
hidup penuh kesederhanaan, kebebasan, dan petulangan yang semarak. Menganggap
persoalan tanah sebagai masalah pokok berarti melewatkan kisahan kebudayaan
mendasar yang mengawali timbulnya pemikiran tersebut. Toh peraturan dan
kebijakan pemerintah dibuat oleh manusia juga, meskipun adakalanya menggelitik
untuk mempertanyakan apakah orang-orang yang memaksakan hal tersebut
benar-benar dari genus Homo, terutama
ketika kita sedang berhadapan dengan mereka.
Mahatma Gandhi,
Luddite[2] teragung di
dunia, pernah mengatakan “keyakinanmu menjadi pemikiranmu. Pemikiranmu menjadi
perkataanmu. Perkataanmu menjadi tindakanmu. Tindakanmu menjadi kebiasaanmu.
Kebiasaanmu menjadi nilaimu. Nilaimu menjadi takdirmu.” Ada kebenaran dalam
pernyataan ini baik dalam taraf individual maupun kolektif, namun rasanya
terlalu linear padahal kehidupan dan kebudayaan bergerak secara spiral, bukan
berupa garis lurus. Apabila Sang Jiwa
Agung[3] mau repot-repot berunding dengan saya
sebelum membuat komentar gegabah tersebut, saya akan menyarankan ia mengulang
akhir pernyataannya dengan nilaimu
menjadi budayamu. Budayamu menjadi keyakinanmu. Tidak ada takdir, tidak ada
destinasi, melainkan perjalanan memutari spiral tanpa henti.
Kebijakan
pemerintah dewasa ini diawali dengan seperangkat keyakinan yang berlain-lainan,
yang terus mengubah diri menjadi berbagai kisahan, yang kemudian berkawin
silang dan menghasilkan versi baru. Kini kita memiliki kisahan tentang orang
yang dapat memiliki sepetak Bumi, lalu menuntut bayaran dari setiap orang yang
berada di atasnya. Kemudian ada kisahan tentang uang; kisahan antroposentris
mengenai Seorang Agung di Langit yang menjadikan segalanya bagi Umat Manusia
dan yang Disebut Terakhir ini kemudian memiliki dominasi serta dapat berbuat
apa pun yang dihendaki-Nya; kisahan menurut Descartes; kisahan menurut Newton;
kisahan menurut Darwin; hingga kisahan yang dibuat Smith, Marx, dan Friedman.
Ada kisahan tentang cadangan minimum perbankan di mana majikan kita—bank—secara
ajaib memproduksi uang entah dari mana lalu meminjamkannya pada kita dengan
cara yang berarti kita harus memberi mereka bukan hanya modal yang mereka
tanam, melainkan juga bunga, dengan menggunakan uang yang berasal dari jerih
payah kita. Jangan juga lupakan kisahan bahwa sekarang hanya burung, luak, dan
binatang liar lainnya yang boleh membuat sarang sendiri dari material
setempat—kisahan serupa yang memaksa manusia, dari masa ke masa, untuk ditagih,
diawasi, dan diatur dalam segala hal. Ini juga merupakan bagian dari kisahan
bahwa Kebebasan itu untuk Alam, dan kita berada di luarnya.
Ini semua mitos,
bermula dengan keyakinan yang berasal dari masa lampau, ketika kisahan-kisahan
yang dihasilkan itu boleh jadi bermanfaat. Selama berabad-abad kisahan-kisahan
ini bercampur dengan kisahan-kisahan lain yang timbul, melahirkan
kisahan-kisahan kecil yang jika ditilik kini terasa menggelikan dan tidak
berarti bagi tantangan-tantangan nyata yang kita hadapi.
Walau demikian,
kebanyakan dari spesies kita masih memercayai kisahan-kisahan ini dan
membenarkannya, sehingga kita harus menemukan cara untuk bekerja sama
dengannya, di dalamnya, dan kadang pula di seputarnya. Bukan prestasi kecil.
Tetapi karena itulah, pada bab ini, saya bertujuan menilik sebagian rintangan
utama baik internal maupun eksternal yang barangkali menghalangi perjalanan
Anda menuju kehidupan di luar uang, atau memalang pintu gerbang ke jalan
setapak yang mengarah pada transportasi, pangan, perumahan, hiburan, dan
destinasi lainnya yang bebas-uang. Bila perlu saya akan menawarkan cara yang
mungkin untuk memutari rintangan ini. Jika saya tidak memiliki solusi, saya
akan mengatakannya, dan berharap salah seorang dari Anda nantinya
mempersembahkan solusi begitu Anda memperolehnya. Ini bagian dari proses yang
digambarkan Rob Hopkins, salah seorang pelopor Transition Network, sebagai
terurainya kegeniusan kolektif masyarakat.
[1] Ungkapan “hunian
berdampak rendah” biasanya berkenaan dengan dampak ekologis minimal dari rumah
sebagai demikian terhadap lanskap dan planet. Walau begitu, saya cenderung
berpendapat hunian semacam ini “berdampak tinggi”, karena dapat menjadi contoh
menginspirasi bagi orang-orang yang melihatnya mengenai solusi terhadap
banyaknya tantangan yang kita hadapi.
[2] Sekelompok pekerja
tekstil di Inggris pada abad ke-18 yang merasa terancam oleh revolusi industri
dan melakukan aksi penghancuran mesin. Sebutan ini kemudian ditujukan bagi
siapa pun yang menentang kemajuan teknologi. (penerj.)
2 komentar:
Hai ka. Slm kenal
sy mau tanya klo mau nerjemahin novel/cerita lain di blog pribadi, harus izin dulu ya? At blh langsung tulis aja? Mhn di jawab ya ka. Tq
Salam kenal. Sejauh ini, saya langsung publish aja, asal mencantumkan sumbernya, dan belum ada teguran kalau2 ada pihak yang berkeberatan. Banyak juga blog pribadi lain yang publish hasil terjemahannya entah pakai izin dulu atau enggak. Sepertinya yang wajib minta izin itu kalau penerjemahannya untuk keuntungan komersial.
Posting Komentar