Begitu
Patrik Ohlsson membuka lipatan tiket undian dan melihat nomornya untuk pertama
kali, ia memerhatikan adanya ambiguitas yang menarik.
“Kemarilah lihat ini, Linn,” seru Patrik pada anaknya.
Linn sedang berdiri di atas kotak trafo, berusaha meraih salah satu balon yang
ditambatkan di situ untuk pesta di lapangan tempat penitipan anak. Beberapa
anak lain berdiri di sekitarnya sambil menyoraki. Klara merenggut kaki Linn dan
ingin naik juga sendirian. Dengan enggan, Linn merangkak turun dan menghampiri
Patrik. Patrik menunjukkan tiket undian itu pada Linn.
Linn mengira nomor yang tertera di situ 66, namun ayahnya
menerangkan bahwa sebetulnya itu 99. Linn melihat angka tersebut secara
terbalik. Ayahnya membalikkan tiket itu ke atas, dan menerangkan kesalahpahamannya.
Linn mengamati, lalu berseru-seru kegirangan. Ia berlari
menghampiri kawan-kawannya di sekitar kotak trafo untuk memberi tahu mereka
tentang tiket undian ajaib yang memiliki dua nomor tersebut. Tinggallah Patrik
bersama tiket di tangannya. Saat ia memeriksa tiket itu lebih cermat, teranglah
bahwa putrinya yang benar. Nomor yang tertera memang 66. Ada titik kecil di
samping angka enam yang kedua. Ia membalikkan tiket itu ke atas, dan kini titik
tersebut tampak menyerupai apostrof. Ia menyadari bahwa ini tidak akan
beres-beres.
Linn kembali sambil berlari-lari. Ia ingin meminjam tiket
undian itu untuk ditunjukkan pada yang lain. Ia menyambar tiket itu dari tangan
Patrik, lalu lebur dalam kerumunan anak-anak yang berkacau.
Patrik Ohlsson tidak pernah berhasil merasa nyaman
sepenuhnya pada acara seperti ini. Ia selalu merasa wajib memainkan semacam
peran, sebagai ayah yang gembira. Orang tua yang tertarik. Ia sebenarnya
tertarik dengan kegiatan putrinya, dan ia biasanya senang-senang saja,
sekalipun sulit membangkitkan kesenangan itu menurut suasana. Di samping itu,
ia hampir-hampir tidak mengenal orang dewasa lainnya yang hadir di pesta
tersebut. Para orang tua lain bertindak seolah-olah mereka kurang lebih satu
keluarga. Mereka bermain-main, saling berpelukan, dan merencanakan kegiatan
bersama selama musim panas. Patrik berdiri di pojok dekat gerbang. Ayah Klara
juga berdiri sendirian, tidak jauh dari situ, dan tampaknya yang ia rasakan
kurang lebih seperti Patrik. Mereka tidak mengobrol. Sewaktu baru datang tadi
mereka bersapaan, dan kini mereka tengah mengamati Klara dan Linn berlarian di
lapangan bersama anak-anak lain. Patrik melihat Klara menariki rambut Linn.
Sepintas ia melirik ayah Klara, namun lelaki itu sedang melihat ke arah lain.
Bagaimanapun juga, para karyawan telah mengadakan acara
kumpul-kumpul bergembira dengan segala macam aktivitas luaruang bagi anak-anak
maupun orang tua. Jual-beli barang untuk amal. Teater boneka. Kopi, jus, dan
kue. Puncak pestanya yaitu penarikan pemenang tiket undian. Selanjutnya tiga
keranjang berisi makanan dan mainan akan diserahkan pada pemilik baru. Patrik
telah membeli lima tiket. Sebagian karena kebetulan ada receh 25 krona di
sakunya, dan sebagian lagi karena tahun lalu, Linn mengatakan betapa inginnya
dia memenangkan keranjang seperti itu. Patrik ragu jika tahun ini Linn masih
tertarik, tetapi lebih baik berjaga-jaga ketimbang menyesal nantinya.
Mei itu udaranya hangat. Beberapa anak mengenakan celana
pendek, dan Patrik merasa harus melepas jaket.
Ia menyeka beberapa tetes keringat dari keningnya, menatap langit, dan melihat
sekumpulan awan mendung. Mungkinkah akan ada badai? Rasanya begitu.
Salah seorang karyawan keluar membawa mangkuk dan mulai
memanggili orang-orang. Para orang tua melenggang ke arah meja tempat hadiah
dipajang. Dengungan pelan bernada gembira menjalar di antara para orang dewasa.
Anak-anak masih berlarian dengan amat bersemangat. Beberapa di antaranya
menariki orang tua mereka. Patrik Ohlsson mengambil kereta Linn dan
mendorongnya ke tepi lingkaran yang telah terbentuk di sekeliling wanita yang
membawa mangkuk. Tiga keranjang bertumpu di atas meja, terbungkus dalam plastik
bening.
Wanita itu memasukkan tangannya ke mangkuk, sebentar
mencari-cari, lantas mengeluarkan salah satu tiket. Ia membuka lipatannya dan
membacanya keras-keras.
“Nomor 32.”
Sementara Patrik memeriksa tiketnya, ia mendengar seruan
kemenangan dari seberang lingkaran.
“Menangkah kita?” terdengar suara Linn dari sebelah
kanannya.
“Belum, belum yang ini, sayang.”
Patrik melihat orang tua dari anak dalam kelompok Beri
Biru melangkah maju untuk diserahi keranjang pertama. Linn menariki celana
Patrik.
“Aku ingin menang juga, Yah.”
“Ya, tentu, sayang. Nah, mungkin yang kali ini ....”
Wanita itu kembali merogoh isi mangkuk. Mengambil satu
tiket dan mengumumkan pemenang berikutnya.
“Nomor 16.”
Patrik memeriksa tiketnya, namun tidak ada yang bernomor
16.
“Menangkah kita, Yah?”
“Hmm, sayangnya tidak ....”
Sekali lagi orang tua dari kelompok Beri Biru. Patrik
merasa seharusnya pemenang yang keluar lebih tersebar. Lantas disadarinya bahwa
sulit juga mengatur itu. Ia menyiapkan kata-kata penghiburan, bersiap bila
ternyata lagi-lagi bukan mereka pemenang tiket yang berikutnya.
Si wanita yang membawa mangkuk mengangkat tiket pemenang
yang ketiga sekaligus yang terakhir. Ia membuka lipatannya dan membacakan.
“Nomor 66.”
Nyaris saja jantung Patrik Ohlsson berhenti berdetak. Ini
pertama kalinya ia memenangkan undian. Ia menoleh pada Linn dan tersenyum.
“Menangkah kita?” tanya Linn, dengan nada yang sama
seperti sebelumnya. Seakan-akan entah bagaimana ia sudah mengetahui bahwa bukan
mereka yang menang. Patrik tahu benar perasaan itu, segala harapan hidup yang
tak terpenuhi. Seakan-akan Linn telah menginsafi bahwa kemenangan bukan untuk
dirinya, setidaknya, bukan untuk keluarganya. Meski begitu,
pertanyaan harus diajukan. Meski begitu, impian itu tetap harus dijaga. Namun diam-diam
ia sudah tahu bahwa dirinya bukanlah salah seorang pemenang. Patrik bisa
tiba-tiba mendengar dengan jelas rasa tak percaya dalam suara Linn, dan ia tak
sanggup bicara cukup cepat untuk menyatakan keadaan yang baru ini: kali ini
mereka menang. Putrinya juga pemenang.
“Kau tidak mendengarnya?” ujar Patrik. “Ini nomor kita.”
“Jadi kita menang?” sahut Linn, mulutnya menganga.
“Mana tiketnya?” tanya Patrik.
Linn memeriksa kedua tangannya satu per satu, dan tidak
mendapati ada tiket. Ia merabai kantongnya namun tidak juga menemukan apa pun.
Patrik menatap lekat-lekat tiket lainnya yang ia punya, menggeledah baju monyet
yang dikenakan Linn serta memeriksa tanah di sekeliling mereka. Tiketnya tidak
ada.
“Ah ya sudah, tidak apa-apa,” ucap Patrik. Menggamit tangan
Linn dan mulai melangkah ke arah meja hadiah. “Kita tahu kitalah pemilik tiket
itu.”
Selagi mereka menghampiri si wanita yang memegang wadah
undian, ayah Klara berdiri di dekat meja tempat keranjang ketiga masih
tergeletak.
“Hai,” ucap Linn. “Kami pemenangnya.”
“Bukan, kami pemenangnya,” ujar Klara.
Wanita itu menatap Patrik dan Linn.
“Ya ampun,” ucapnya. “Pemenangnya sudah ada.”
Patrik menatap wanita itu, kemudian pada Klara, yang
tengah memegangi keranjang.
“Maaf. Pasti ada kekeliruan,” ujar Patrik, seraya
menyengkelit menembus anak-anak yang berkerumun di sekitar meja hadiah. “Kami
punya nomor 66.”
“Kami juga,” sahut Klara.
“Tiketnya ada?” Wanita itu bertanya.
“Tidak, tiketnya hilang,” sahut Patrik. “Tetapi saya
yakin sekali nomornya yang itu.”
“Bukankah kita menang, Yah?” rengek Linn di balik
punggungnya. Patrik mesti menyeret anak itu dari antara kedua bocah yang lebih
besar, yang mendesak maju ke meja.
“Bukan, kami yang menang,” Klara melengking.
“Aneh, ya,” kata wanita itu, seraya berbalik menghadap
ayah Klara. “Bapak yakin nomornya 66?”
Ayah Klara tersenyum dan mengeluarkan tiket undian dari
sakunya.
“Tentu, ini dia. Anda yakin tidak keliru?” tanyanya,
seraya menatap Patrik. “Gampang sekali lo mengelirukan 66 dengan 99, ya kan.
Nomornya sama, kalau dibalik.”
Ayah Klara tersenyum dan melambaikan tiket undian itu
sesaat sebelum menyimpannya kembali dalam saku. Klara merenggut keranjang itu
kuat-kuat hingga nyaris jatuh dari meja.
“Maaf,” sahut Patrik, “tetapi saya pikir Andalah yang
keliru. Ada detail kecil yang menunjukkan nomor yang sebenarnya. Saya
memperlihatkan itu pada Linn. Saya yakin seratus persen tiket kamilah yang
bernomor 66.”
“Bukankah kita menang, Yah?” tanya Linn.
“Maaf, ya,” sahut ayah Klara. “Kamilah yang pegang
tiketnya.”
Ia mengambil keranjang itu, namun Patrik mencengkeram
ujung satunya. Patrik memegangnya erat-erat dan menatap mata ayah Klara. Wanita
penyelenggara undian tampak khawatir. Ia menggendong Linn dan memeluknya.
“Kalau Anda berkenan memperlihatkan tiket itu, saya bisa
menunjukkannya,” ujar Patrik.
“Ayah, katanya tiketnya terbalik,” isak Linn.
“Kau benar, sayang, Ayah bilang begitu. Tetapi Ayah
keliru. Ketika Ayah memeriksa tiketnya lebih dekat ....”
“Tetapi kami yang menang,” pekik Klara, dan mulai
menariki kedua tangan Patrik. Patrik bertahan. Ia bisa merasakan kuku kecil
tajam Klara mengeruk buku jemarinya.
“Ada titik kecil,” Patrik mengawali--namun kini Linn
mulai menjerit. Menjerit sekuat tenaga, dan menyembunyikan kepalanya
dalam-dalam di rambut ikal panjang wanita itu. Klara ikut menjerit, sambil
menarik keranjang tersebut. Si wanita pengundi dan ayah Klara sama-sama
membelalak menyalahkan pada Patrik.
“Tidakkah menurutmu sekarang waktunya untuk menghentikan
omong kosong ini?” tukas ayah Klara.
Patrik terdiam dan melepaskan pegangannya. Linn masih
terisak. Wanita itu memeluk Linn erat-erat sementara Patrik mencoba meletakkan
sebelah tangannya yang goyah ke punggung anak itu, namun lantas menyadari itu
akan menimbulkan salah pengertian. Ia terpikir untuk memberi senyuman sabar,
namun memutuskan untuk tidak melakukannya. Klara serta ayahnya mengambil
keranjang itu dan bergabung dengan orang tua lain yang kini telah mulai
berkemas dan pergi.
“Kami menang!” Klara bersorak di tengah keramaian
anak-anak yang berbalap di sekitar para orang tua yang sedang bersusah payah
mengatur perjalanan pulang.
Patrik bergeming di tempatnya dengan menggenggam sisa
tiket undian. Ia menggumalkan tiket-tiket itu dan memasukkannya ke saku celana.
Angin sepoi nan dingin bertiup melintasi lapangan taman kanak-kanak itu. Linn
masih dalam dekapan si wanita pengundi, sambil ditimang-timang. Patrik ingin
menjadi orang yang menghibur putrinya dalam keadaan ini. Matahari telah undur,
sementara awan badai nan suram tengah berhimpun.
“Katanya kita menang, Yah,” cicit Linn dari sela rambut
wanita itu.
Patrik mengelus kepala putrinya dan menurutnya sudah
saatnya wanita itu menurunkan Linn.
“Iya, sayang,” sahut Patrik. Dan memang. Kitalah yang
memiliki nomor yang menang itu namun ayah Klara berdusta dan mengakali supaya
mendapat hadiah itu, pikirnya. Namun yang terucap olehnya:
“Kadang memang begitulah keadaannya. Ayolah, sebaiknya
kita pergi sebelum mulai hujan.”
Baru setelah lama sekali wanita itu menyerahkan Linn pada
ayahnya, dan Patrik memeluk putrinya erat.
“Pulang yuk, terus makan es krim,” ucap Patrik.
Mereka kembali ke kereta dorong dan mengemasi barang.
Hampir semua orang tua beserta anak-anak telah pergi saat itu, sementara para
karyawan membawa masuk kembali meja dan kursi. Langit berwarna biru gelap
merisaukan. Balon-balon berayun tertiup oleh angin. Linn masih terisak,
sementara Patrik memikirkan berapa tetes air mata yang luruh akibat hadiah yang
gagal mereka peroleh, dan berapa banyak pula untuk kejadian di meja tadi.
Sebentar kemudian tetesan hujan yang besar-besar mulai
berjatuhan. Patrik mendudukkan Linn di kereta lalu bergerak ke tempat parkir.
Ia membuka payung dan berusaha sebisanya untuk meneduhi mereka berdua. Sewaktu
mereka melewati kotak trafo, Patrik memerhatikan benda biru yang tergeletak di
tanah. Selembar tiket undian. Bahkan sebelum ia memungut lembaran kertas yang
basah kuyup itu, ia tahu nomor berapa yang ada padanya. Ia memandang sekeliling
dan melihat ayah Klara tengah mengemasi barangnya yang terakhir ke dalam mobil.
“Tunggu di sini sebentar,” ucapnya pada Linn dan bergegas
menuju mobil ayah Klara. Jalannya cukup jauh, sementara hujan tengah menderas.
Ia memintas ke rerumputan, terpeleset, dan nyaris jatuh, namun berhasil
memperoleh kembali keseimbangan, dan menghampiri ayah Klara tepat ketika lelaki
itu hendak duduk di balik kemudi.
”Lihat ini,” serunya, termegap-megap, seraya mengacungkan
selembar kertas biru basah kuyup.
Ayah Klara menyipitkan matanya menembus hujan. Patrik
memegangi payung menaungi mereka berdua. Si ayah mengambil tiket itu,
membukanya, dan membaca nomornya. Hujan berderai-derai di atap mobil.
“Bisa lihat ada titik kecil setelah angka enam?” ucap
Patrik.
Ayah Klara mengembalikan tiket undian itu pada Patrik.
Lewat pintu yang terbuka pada sisi pengemudi Patrik dapat melihat Klara tengah
duduk memangku keranjang itu, sabuk pengaman sudah terpasang sebagaimana
mestinya, kakinya berjuntai. Ayahnya menatap Patrik.
“Kalau kau hendak mengambil barang itu dari dia,
silakan.”
Patrik menatap balik lelaki itu. Sesaat ia berdiri tanpa
mengucap sepatah kata pun sementara pukulan hujan semakin kencang.
“Tidak jadi?” sahut ayah Klara, sembari mengangkat alis.
“Maksud saya ...” sela Patrik. Berbalik dan mengamati
kereta beroda empat tempat Linn tengah duduk kehujanan, kebasahan dan menangis.
“Ya sudah kalau begitu,” tukas ayah Klara dan menaiki
mobilnya. Ia mundur, sementara Patrik berlari kembali ke Linn.
Selagi berlari Patrik Ohlsson disusul mobil yang berisi
Klara dan ayahnya. Walau tidak dapat mendengar suara Klara, ia bisa melihat
mulut anak itu mengucap kata-kata: “Kami yang menang.”[]
Jonas
Karlsson, lahir pada 1971, terkenal sebagai salah satu aktor Swedia paling
terkemuka. Cerpen “Lotten” termuat dalam karya pertamanya sebagai penulis,
kumpulan cerpen Det
andra mlet (Stockholm: Wahlstrom &
Widstrand, 2007). Cerpen ini diterjemahkan ke bahasa Indonesia dari versi
bahasa Inggris Laurie Thompson, “The Raffle Ticket”, dalam Words without
Borders edisi Juni 2007.