Karena
dibesarkan dalam peradaban modern, amatlah mudah untuk memercayai bahwa Bumi
yang kita tinggali ini selalu ada yang memiliki, dan untuk hidup orang selalu
harus memiliki uang. Itulah kebudayaan tempat kita dilahirkan, sehingga hanya
itulah yang kita ketahui. Namun kepemilikan pribadi merupakan karangan manusia
yang relatif modern. Dulu lahan bebas dijelajahi semua orang. Kemudian lahan
dikelola bersama-sama oleh rakyat biasa. Sekarang lahan dimiliki oleh sedikit
orang—1% memegang 70%[1] lahan.
Kisah tentang
rakyat biasa dan lahan berpagar dibahas secara terperinci oleh penulis seperti
Simon Fairlie[2].
Karena sebagian bahasan ini berkait dengan kehidupan tanpa uang, saya akan
membicarakannya hanya sejauh yang berkaitan.
Hingga periode
Tudor[3], sebagian
besar lahan dikelola bersama-sama. Rakyat biasa mencari nafkah dari lahan ini
serta memeliharanya bagi kepentingan mereka dan semua orang. Keputusan untuk
memagari lahan ini mengakibatkan perpindahan banyak penduduk desa serta
pengalihan lahan pertanian menjadi padang penggembalaan. Manusia pun digantikan
oleh domba. Setelah beberapa lama, para pengungsi ini—kita—dipaksa untuk
menjadi domba itu sendiri, harus angkat kaki ke kota-kota besar serta
menyerahkan jiwa raga mereka bagi kemajuan revolusi industri.
Sementara ada
berbagai alasan di balik pemagaran lahan, tergantung pada agenda sejarawan
siapa pun yang Anda ikuti, banyak yang berpendapat bahwa langkah tersebut
umumnya ditujukan untuk mendorong penduduk agar pergi ke kota besar, ke pabrik
industri, dan alhasil pada ekonomi moneter dan upah yang kita terima begitu
saja pada masa kini. Ini merupakan langkah cerdas bagi kaum bangsawan dan
industrialis yang memperoleh manfaat dari padanya, namun tidak begitu berfaedah
bagi kebanyakan orang, yaitu para petani pencari nafkah pada masa itu, atau 99%
populasi masa kini.
Selain itu,
belakangan langkah ini dikompori oleh kelicinan para ekonom, politikus, dan
jurnalis dengan mencampuradukkan kata-kata yang berkenaan dengan ekonomi dengan
kata-kata yang berkenaan dengan keuangan. Istilah yang pertama berasal dari
kata Yunani οἰκονομία, yang berarti
pengelolaan rumah tangga, dan ini tidak lebih daripada sebuah sistem logistik
untuk memenuhi kebutuhan serta keinginan sebatas yang dapat ditunjang tempat
tinggal kita. Sistem logistik ini dapat berupa finansial atau bukan, kata yang
hanya berkenaan dengan pengelolaan uang. Contoh ini menunjukkan kekuatan
bahasa, karena pada masa kini ketika kita mendengar kata “ekonomi”, yang
terpikirkan adalah persoalan yang berhubungan dengan uang (finansial), bukannya
cara-cara untuk memenuhi kebutuhan. Lain kali ketika ada yang mengatakan pada
Anda bahwa melindungi hutan tidak memungkinkan secara ekonomis, ingatkan mereka
bahwa yang mereka maksud sebenarnya adalah tidak memungkinkan secara finansial.
Melindungi hutan boleh jadi krusial secara ekonomis, dalam kaitannya dengan
pengelolaan “rumah tangga” yang pohonnya semakin berkurang saja setiap menit.
Penggunaan
bahasa yang manipulatif seperti ini telah menghasilkan keuntungan bagi mereka
yang memiliki kepentingan pribadi. Sedikit saja orang yang dapat membayangkan
ekonomi nonmoneter atau nonupah, seraya menganggapnya sebagai fantasi utopia
yang diimpikan kaum hippi serta
orang-orang yang tidak tahu kenyataan. Padahal kita dapat dengan mudah melihat
utopia ini dalam kemegahannya kapan pun kita berjalan-jalan ke hutan, di mana
kita saksikan segala spesies lain hidup dengan cara yang sepenuhnya lokal.
Kecenderungan
pada pemagaran lahan, peralihan dari lahan yang dikelola bersama menjadi lahan
pribadi, dengan cepat berkembang di seluruh dunia. Fenomena ini sebagian besar
disokong oleh seorang ahli biologi bernama Garrett Hardin, yang menulis sebuah
esai yang sangat berpengaruh dengan judul “The Tragedy of the Commons”, yang
diterbitkan dalam berbagai jurnal seperti majalah Science. Hardin menyatakan bahwa ketika lahan dikelola bersama,
orang-orang bertindak berdasarkan kepentingan-diri rasional yang menurut Adam
Smith dan Ayn Rand akan menguras lahan itu. Logikanya begini: untuk setiap unit
pertanian tambahan (entahkah itu sapi atau tanaman) yang dikenakan pada lahan
itu, orang dapat memperoleh satu unit tambahan yang utuh, sementara seluruh
lingkungannya yang akan menanggung hilangnya kesuburan tanah, tanaman, dan
seterusnya yang diakibatkan oleh adanya satu unit tambahan tersebut.
Seperti yang
diutarakan banyak pengulas, pandangan Hardin atas keadaan ini segera menjadi
populer, terutama karena ia memperkuat alasan orang-orang yang memang ingin
mengiris-iris Bumi menjadi ruas-ruas yang dimiliki secara pribadi demi tujuan
sendiri-sendiri. Esai ini memberi alasan yang dapat dipercaya untuk
melangsungkan keinginan mereka, yang hasilnya memaksa selebihnya kita pada
perbudakan moneter.
Esai Hardin pada
dasarnya cacat. Untuk mengetahui sebabnya, lihat saja pengelolaan hutan rakyat.
Seperti yang diterangkan George Monbiot, Hardin mengelirukan kepentingan umum
dengan gratis-untuk-semua, dengan mencontohkan lautan sebagai buktinya. Lautan
tidak dipantau secara kolektif oleh siapa pun, sehingga ikannya pada diambili
karena setiap orang bersikap delusif terhada kepentingannya sendiri. Monbiot
berpendapat bahwa “dalam kepentingan umum yang sesungguhnya, setiap orang
saling mengawasi, karena mereka tahu bahwa siapa pun yang mengeksploitasi
sumber daya secara berlebihan berarti mengeksploitasi diri mereka.” Ketika
orang sama-sama bergantung pada sepetak Bumi untuk kelangsungan hidupnya,
mereka merawat lahan itu dengan baik, serta membuat keputusan yang bermanfaat
bagi mereka maupun lahan itu sendiri, bukan demi bangsawan atau industrialis
yang hanya ingin menghasilkan uang dari padanya. Skala yang kecil itu penting.
Agar pengelolaannya baik, para pengguna laan bersama mesti saling mengenal
untuk mengatur pemanfaatan yang berkeadilan.
Namun ada cacat
lain pada teori Hardin. Mari sejenak kita kesampingkan dulu kenyataan dan
berpura-pura bahwa rakyat jelata memang merusak lahan yang dikelola
bersamadengan mengedepankan kepentingan-diri sendiri yang picik daripada
kepentingan bersama. Sekalipun jika kemungkinan itu nyata, seharusnya tidak
ditanggai dengan mengubahnya menjadi kepemilikan pribadi, seperti yang berhasil
dianjurkan Hardin, melainkan dengan menantang kisahan budaya di balik pemikiran
ego yang terbungkus-oleh-kulit. Jika manusia benar-benar memaami bahwa segala
hal saling berhubungan, tidak ada perusakan lahan dalam kepentingan-diri
holistis, tidak juga dalam kepentingan diri-egosentris dalam jangka panjang.
Pemagaran lahan
mendesak kita ke dalam perkotaan dan ekonomi moneter. Akses sah manusia
terhadap tanah berikut tempat untuk mendirikan rumah dari bahan-bahan yang
tersedia oleh lahan itu (sebagaimana cara burung membuat sarang) diambil, dan
secara de facto manusia tersebut diperbudak. Gerakan pemagaran lahan ini timbul
bersama kisahan lain yang dibuat dan dikemukakan pada masa itu, seperti isapan
jempol bahwa kemanusiaan itu terpisah dari Alam. Keyakinan demikian berarti,
pada dewasa ini, pedesaan adalah untuk Alam—sapi, domba, burung, dan lebah—dan
bukan untuk kemanusiaan, seakan-akan kita ini kurang alami dibandingkan dengan
sebilah rumput atau embusan angin.
Semua ini
menghasilkan peradaban yang pada hakikatnya tidak lestari. Monbiot mengimbuhkan
bahwa:
… perubahan
dalam kepemilikan lahan merupakan inti dari krisis lingkungan hidup. Masyarakat
pedesaan tradisional menggunakan lahan bersama untuk memenuhi sebagian besar
kebutuhan hidup mereka: makanan, bahan bakar, kain, obat-obatan, serta rumah.
Untuk melangsungkan hidup mereka perlu mempertahankan keragaman habitat: kayu,
tanah penggembalaan, ladang, telaga, rawa, dan semak belukar. Dalam habitat ini
mereka harus menjaga keluasan spesies: aneka jenis penggembalaan, ragam
panenan, pohon buah-buahan, serat-seratan, obat-obatan, serta rumah.
Yang mereka
miliki hanya lahan itu, sehingga mereka harus menjaganya baik-baik. Namun
ketika lahan bersama itu diprivatiasasi, mereka menyerahkannya pada orang-orang
yang memiliki prioritas untuk menghasilkan uang. Cara paling efisien untuk
menghasilkan uang adalah dengan memilih produk yang paling menguntungkan dan
mengonsentrasikan pada produksinya.
Terlepas dari
filsafat dan sejarah, kenyataannya bagi kita semua saat ini tidak banyak akses
terhadap lahan, baik untuk bercocok tanam maupun untuk membangun sarang. Ini
merupakan hambatan yang sangat nyata dan utama dalam gaya hidup tanpa uang,
karena saya sudah mengalaminya sendiri. Karena saya bukan Perdana Menteri dan
tidak pernah mengharapkannya dalam waktu dekat ini, jalan saya seputar ini
terbatas pada beberapa strategi peralihan yang untuk sementara waktu dapat
digunakan, sambil secara serentak menyebarkan kompos budaya baru untuk
menyuburkan tanah yang dalam padanya benih masyarakat tanpa uang dapat
berkecambah dalam waktu yang tidak terlampau jauh. Dengan kemauan dan
keberanian yang cukup untuk menegakkan diri holistis kita, tidak ada alasan
mengapa ini mustahil. Selazimnya, ini dimulai dengan menciptakan kisahan baru.
Saya akan
menjelaskan strategi peralihan untuk lahan ini di bab enam, tetapi jika kita
ingin kembali menjalani kehidupan yang benar-benar berkelanjutan dalam jangka
panjang, maka reformasi lahan yang serius sudah pasti diperlukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar