ADA ORANG BOSNIA DI LOTENGKU!
Tragedi Tiga Babak
oleh Charles
Hythloday
LATAR: Sebuah rumah
kastel yang mau ambruk di bantaran Kali Marne.
PARA PELAKU
COUNT FREDERICK Count[1],
tuan muda pemilik rumah. Berjuang melawan masa lalu dan dunia kanibal industri
anggur Perancis untuk memulihkan kejayaan kebun anggur Ayahnya.
BABS Adik perempuan Count
Frederick, calon aktris yang cantik namun pencemooh.
LOPAKHIN Impresario teater/manajer bank pengikut Machiavelli, yang tinggal
di rumah kastel tersebut tetapi diam-diam berencana untuk menghancurkannya
serta membangun jalan kereta melintasinya dan mencuri Babs dari Frederick.
MAM’SELLE Babu Perancis
yang kebeloonannya menghibur
HORST DAN WERNER Orang
Bosnia
INSPEKTUR DICK ROBINSON,
SCOTLAND YARD
BABAK SATU ADEGAN SATU
(Ruang duduk. COUNT FREDERICK sedang bermenung menatap ke luar jendela
ketika BABS tiba-tiba masuk dengan meradang, diikuti LOPAKHIN yang berencana
busuk.)
BABS (meradang): Frederick! Oh Frederick!
Betapa menjijikkannya para petani pemberontak itu!
FREDERICK: Aku tahu!
Pernahkah mereka mandi?
(jeda tawa)
BABS: Bisa-bisanya kau guyon pada saat seperti ini? Panennya minggu depan!
Bagaimana kita mau panen kalau tidak ada petani?
FREDERICK (merengut): Aku tahu.
Tepat ketika kebun anggur kita akhirnya tampak mulai pulih. (Berpaling sembari termenung.) Aku tidak
mengerti. Mereka biasanya orang-orang yang periang. Ini seolah-olah ada yang
menggerakkan mereka dengan mengedarkan data palsu mengenai Kebijakan Agraria UE
yang baru. Tetapi siapakah yang berbuat demikian?
LOPAKHIN: Mengapa kau
tidak menyerah saja, Frederick? Itulah yang tidak kumengerti tentang dirimu.
Kau pria yang cerdas. Mengapa kau terus berusaha menghidupkan kembali rongsokan
tua ini? Saat kau bisa memiliki stasiun kereta api tepat di tempat kita
berpijak ini, atau gedung bioskop multipleks.
FREDERICK (dingin): Ada hal
lainnya yang kau tidak mengerti, Lopakhin, dan namanya adalah tradisi. Ayahku
menggarap kebun anggur ini, begitu pula ayahnya, dan ayah ayahnya. Ini bukan
soal uang. Ini soal menghasilkan sebotol Burgundy yang layak. Ini soal
memberikan pekerjaan pada bergenerasi-generasi petani setempat, walaupun terus
terang mereka tidak pantas mendapatkannya. Kami tidak akan pernah menjual rumah
ini! Mereka harus merebutnya dari tangan kami sendiri!
BABS (sedih): Aku
jadi ingat. Pagi ini manajer bank menelepon lagi. Ia mendesak ingin berbicara
padamu. Selain itu Frederick, barang-barang di rumah ini terus pada menghilang!
Dan suara-suara itu—suara-suara liar itu! (ia
menangis)
FREDERICK (merangkul Babs penuh
perlindungan): Jangan khawatir, Babs. Tidak ada yang dapat menyakitimu. (Dengan sikap menantang.) Begitu pula
makhluk liar dan selainnya, tidak akan ada yang dapat mengusir kita dari rumah
ini, tidak sekalipun detektif Scotland Yard turun campur!
LOPAKHIN: Scotland Yard? (terburu-buru
keluar)
FREDERICK: Ada suatu hal pada orang itu yang tidak dapat kupercaya. Kadang
aku bertanya-tanya apakah ia benar-benar mahasiswa backpacker dari Belgia yang sedang melancong mengelilingi Eropa
seperti yang ia nyatakan. Maksudku ransel backpack
saja ia tidak punya. Dan sudah berbulan-bulan ia di sini. Kalau begini caranya
bisa-bisa baru puluhan tahun lagi Eropa habis dikelilinginya.
BABS (tertawa): Oh, Frederick,
jangan konyol ah! Ia menyenangkan, betul-betul menyenangkan! Ia sangat cerdas, dan
ia tahu banyak soal teater. (kemalu-maluan)
Ia ingin mementaskan Hamlet di desa ini. Menurutnya aku pantas memerankan
Ophelia.
FREDERICK: Babs, sayang, kau tahu kan dokter melarangmu berpentas.
Kesehatanmu terlalu rapuh untuk hal begituan. Lagi pula, kurasa ia
memperdayamu. Siapa juga yang akan menonton teater di desa ini? Para petani
celaka itu?
BABS (tersinggung): Mengapa kau
selalu saja merongrongku?
FREDERICK (menggenggam tangan Babs):
Oh, Babs manisku, aku berusaha melindungmu. Kau ini kan naif. Lagi pula, aku
butuh kau menemaniku di sini. Aku tidak mungkin bisa mengurus rumah ini
sendirian.
BABS: Kadang aku membenci rumah ini.
FREDERICK (bersahaja): Itulah
takdir kita. (Ia beranjak lalu berdiri
sembari bermenung di bawah lukisan besar bergambar ayah mereka di atas perapian.)
Hamlet, ya? ‘Maju atau tersingkir.' Itulah persoalannya, bila kau mau memikirkan.
(Terdengar suara gemuruh dari atas. BABS lekas-lekas ke sisi FREDERICK)
BABS: Oh Frederick! Aku
takut!
FREDERICK (sambil menghunus sebilah pedang anggar dari
dinding): Jangan khawatir, Babs, aku di sini!
(Pintu mendadak membuka lalu INSPEKTUR DICK ROBINSON,
SCOTLAND YARD masuk, dengan membawa HORST dan WERNER masing-masing di sebelah
tangannya. LOPAKHIN mengikuti dengan enggan, sambil terlihat bersungut-sungut.)
INSPEKTUR DICK ROBINSON: Yah, sudah kami pecahkan misteri suara-suara itu
beserta pengocok-telur yang hilang. Orang-orang Bosnia ini bersembunyi di
loteng rumah Anda.
FREDERICK: Astaga!
INSPEKTUR: Ini bukan hal yang luar biasa, tuan. Karena terlalu malas dan
tak berdisiplin untuk memperoleh rumah sendiri menurut peraturan, para parasit
ini datang ke negara-negara beradab untuk mencari nafkah—atau dalam hal ini,
rupa-rupanya, untuk mengusir para aristokrat yang tulus hati lagi baik budi
dari rumah kastel mereka.
BABS (menutupi mata): Oh, mereka
menyeramkan! Aku tidak tahan melihat mereka!
INSPEKTUR: Jangan khawatir, Nona. Ke mana pun para bajingan ini pergi,
mereka tak akan dapat mengganggu orang lain terus-terusan.
HORST (menyeringai): Persetan
kau, polisi.
INSPEKTUR: Eh, dasar kurang ajar—(hendak
memukul Horst)
FREDERICK: Hentikan!
(Semua berpaling pada FREDERICK dengan terkejut)
FREDERICK: Boleh jadi mereka itu malas dan tidak berdisiplin. Tetapi
masyarakat juga patut disalahkan. Orang-orang ini pantas mendapatkan kesempatan
kedua. Aku ingin menawari mereka pekerjaan di kebun anggurku.
INSPEKTUR: Orang-orang ini berbahaya, Yang Mulia ….
FREDERICK: Mungkin demikian. Tetapi itulah yang dihendaki Ayah. Itulah
artinya kebun anggur ini. (Kepada para
orang Bosnia itu) Bagaimana menurut kalian, buyung? Ini pekerjaan berat
lagi melelahkan dan tidak akan menjadikan kalian kaya. Kalian bersedia?
(Kedua ORANG BOSNIA melepaskan diri dari INSPEKTUR
ROBINSON dan berlutut di kaki FREDERICK.)
ORANG BOSNIA: Kehormatan
bagi kami.
FREDERICK (tertawa): Berdiri,
berdirilah! Di sini kami tidak bersikap kaku. Wah! Tampaknya kita bisa panen!
LOPAKHIN (pada dirinya sendiri): Sial!
BABS: Oh, bagus sekali!
(Pintu mendadak terbuka. Muncul MAM’SELLE, babu Perancis yang lucu.)
MAM’SELLE (dengan dramatis): Yang Mulia, saya telah
menyasak gedeknya.
INSPEKTUR (terkejut): Maaf?
BABS (tertawa): Jangan khawatir,
Inspektur! Maksudnya ia telah memasak bebeknya.
FREDERICK: Oh Mam’selle—kau
ini kikuk ya!
(Mereka semua tertawa dan keluar bersama-sama, kecuali
LOPAKHIN, yang tetap di ruangan.)
LOPAKHIN: Baiklah, ‘Yang Mulia’, agaknya idealisme model lamamu yang
menang. Tetapi sekarang aku tahu kelemahanmu—adikmu yang rapuh, Babs … dan aku
tidak akan beristirahat hingga memiliki dia, hingga kebun anggurmu yang
berharga bukan apa-apa melainkan reruntuhan ….
Aku mencurahkan diri pada pekerjaanku. Apa lagi yang bisa kulakukan? Mesti
sudah ratusan kali aku menelepon rumah. Tidak sekali pun Bel mengangkat
telepon. Jawabannya tergantung pada orang yang mengangkat teleponku, Bel baru
saja keluar, atau sedang tidak enak badan, atau lagi mandi. Agaknya belakangan
ini ia terus-terusan mandi. Di luar itu—entahkah ia telah mengesampingkan harga
dirinya dan kembali bermain untuk Titian,
mengulangi aksi pemberontakan kecilnya tiap malam di hadapan audiens, atau
menyendiri bersama kesedihannya, dijauhi oleh yang lain—aku tidak tahu. “Tasnya
ketinggalan di sini,” kataku. “Bilang padanya agar meneleponku kalau ia ingin
tasnya diantarkan.” Mereka berjanji untuk menyampaikan pesan tersebut, dan itu
saja yang bisa kuperbuat hingga esok harinya, saat proses itu kembali diulang.
Adapun Mirela, kapan pun ia yang mengangkat telepon aku langsung
menutupnya, meskipun sebagian diriku menggebu-gebu ingin bicara padanya,
memohon padanya, seperti pembunuh yang konon merasa terpaksa untuk kembali
mendatangi tempat kejadian perkara. Aku sendiri tidak sanggup ke rumah itu
karena takut tak sengaja bertemu dengan dia. Maka, seiring dengan terentangnya
November menuju Natal, dan jalanan dipenuhi lampu kecil serta orang bertampang
licik yang menjual cemara dan pinus di bak truk, aku mengubur nuraniku yang
bersalah dalam pekerjaan dan berusaha untuk tidak memikirkan apa-apa.
Untunglah ada banyak pekerjaan untuk menyibukkan diri. November-Desember
merupakan masa tersibuk dalam setahun bagi kami yang bekerja di perusahaan kue
Batang Pohon, dan Zona Pengolahan B ditekan habis-habisan. Semuanya tampak
berjalan dengan kecepatan ganda. Jeda merokok ditiadakan bulan itu, dan sering
kali kami bekerja lembur untuk memenuhi kuota. Aku, Edvin, Bobo, Pavel, Arvids,
dan Dzintars membungkuk diam dengan tekun menaungi mesin kami, sementara
truk-truk berderum menunggu di ruang muat, sedang Pak Appleseed mengawasi
lantai demi lantai sembari memegang tongkat penunjuk di balik punggung.
Sekarang ini aku sudah mengetahui sedikit bahasa Latvia dan menguasai polah
tingkah mesin pembeku-gula untuk menjadi seorang Pelurus Roti teladan. Aku bisa
memanfaatkan peran sederhanaku di reli larut Zona Pengolahan B untuk menyalip
sif C dan mengklaim adanya Hambatan Produktivitas. Tidak hanya itu, aku juga
menggunakan kedudukan pengaruhku serta kecakapanku dalam berbicara bahasa
Inggris untuk mengangkat keluh kesah staf dan berusaha untuk memperbaiki
keadaan pekerja. Selama jam makan siang, ketika Pak Appleseed mengarang soal
betapa sebelumnya ia tidak percaya ada sekumpulan pembuang waktu yang lebih
buruk daripada orang-orang Latvia hingga ia bertemu dengan para haram jadah
dari Estonia yang baru datang, dengan halus aku menyetir pembicaraan ke soal
ruang pancuran.
“Ruang pancurannya kenapa, Goblok?”
“Yah, di sini enggak ada ruang pancuran ….”
Pak Appleseed pun, kadang ada baiknya juga dia, mendengarkan, dan berjanji
untuk mengangkat soal itu di rapat manajemen berikutnya. Sementara itu, di
kalangan pekerja sendiri aku beragitasi, menyebarkan gagasan yang pernah
kudengar dari omongan para tukang bangunan sewaktu di rumah. Tidak selalu
mudah. Sering kali mereka cuma memandangiku seakan-akan aku baru mengusulkan
supaya kami semua pindah ke bulan. “Kamu enggak butuh kerja?” begitu kata
mereka. “Kamu ingin mereka memulangkan kami semua?”
“Ya enggaklah,” kataku. “Aku cuma bilang kita perlu mengorganisasi diri
untuk memastikan, tahulah, supaya jangan sampai air susu dibalas air tuba.
Supaya membagi sama adil, memotong sama panjang.”
“Susu apa?” sahut mereka. “Memotong apa?”
Namun aku gigih, dan pada saat-saat ketika tampaknya usahaku sia-sia aku
mencamkan ini kulakukan demi Bel, kupanjatkan padanya bak semacam doa,
seakan-akan entah bagaimana akan sampai dan merembet padanya dan tanpa
mengetahui sebabnya ia akan berhenti menghinakanku dan sudi berbicara padaku
lagi.
Saat malam aku mengerjakan sandiwaraku. Bisa dibilang ini sia-sia,
mengingat adanya rezim baru di teater. Di samping itu, sejak orang-orang Bosnia
itu ditemukan, penjahatku Lopakhin menjadi-jadi. Sekarang ini ia berputar-putar
di sekitar Frederick sampai-sampai aku mulai mempertanyakan apakah si orang
yang disebut belakangan itu benar-benar sanggup mewujudkan cita-citanya. Walau
bagaimana aku tetap melanjutkan ini, seraya beranggapan bahwa jika saja aku
dapat mengungkapkan yang ingin kuungkapkan, di atas selembar kertas kosong ini,
perubahan menakjubkan akan tercipta dan alam semesta akan terpulihkan.
Kemudian pada suatu malam, kurasa sekitar dua-tiga minggu setelah
pertemuan pahit itu, telepon berbunyi. Entah bagaimana aku tahu telepon itu untukku.
Kulempar pulpenku lalu berlari ke ruang tamu. Tetapi rupanya itu cuma telepon
dari Bunda, yang hendak berpidato padaku karena tidak me-RSVP[2]
undangan makan malam yang dikirimkannya padaku. Malam itu ada badai di luar dan
sambungannya jelek, dicampuri salak dan desis sehingga aku kesulitan menangkap
perkataan Bunda.
“Makan malam yang mana?” kataku.
“Malam malam yang itu lo,
Charles, aduh gusti, makan malam bareng Telsinor, undangannya kan sudah dikirim
dari seminggu lalu.”
“Enggak ada tuh,” sahutku, sambil melihat surat-surat yang ditaruh di
wadah buah: tagihan, tagihan, ultimatum ….
“Menjengkelkan sekali sih, Bunda sudah menitipkan itu seminggu lalu setidaknya pada si—“ Deru angin
menyungkupi bangunan apartemen sehingga sambungan terendam oleh suara-suara
suitan dan letusan—“… cek sendiri suratnya memang langsung dikirim.”
“Apa?” sahutku, sembari mengorek telinga. “Bunda menelepon dari mana sih?
Kok kedengarannya kayak lagi di tengah hujan badai.”
“Bunda pakai ponsel nih,” ujarnya. “Baru lo. Tadi Bunda bilang Bunda
titipkan undangannya pada teman kalian, makanya Bunda enggak mengerti kok kamu
belum dapat ….”
“Teman apa?”
“Oh, si orang itu. Si tukang pos. Macavity Kaki Misteri, atau apalah
namanya.”
Kelelep aku rasanya seperti biasa. “Orang itu bukan temanku,” sahutku.
“Bikin dongkol saja,” ujar Bunda. “Bunda jadi harus periksa deh. Eh,
pokoknya, waktunya Kamis malam pukul delapan tepat, pakai baju formal—maksud Bunda baju formal, Charles, ini
acara resmi, jadi jangan pakai dasi pita lucu-lucuanmu itu, tolong ya—“
“Tetapi itu acara apa sih?”
selaku. “Bunda belum kasih tahu itu—“
“Telsinor,” suaranya terdengar
berderak bak rekaman di gramofon kuno. “Bunda sudah bilang tiga atau empat
kali, ini untuk meresmikan pengadaan kemitraan dengan Pusat. Enggak
besar-besaran amat kok, tamunya cuma sekitar selusin. Biar begitu, Pak O’Boyle
sudah berbaik hati mau hadir secara pribadi, jadi ini kesempatan kita untuk
berterima kasih atas segala kemurahan hatinya.”
“Oh,” sahutku loyo. Aku tidak mengerti untuk apa aku diseret-seret juga,
dan baru saja hendak kukatakan Bunda sudah mendahuluiku. “Bunda kasih tahu ya,
Charles, Bunda waswas mengundang kamu. Waswas sekali, malah. Mungkin naif, tadinya
sih Bunda berharap tugasmu sebagai Pamong Praja mengajarkanmu sedikit tentang
tanggung jawab dan berbagi beban. Tetapi, mengingat kejadian sewaktu
pertunjukan perdana, itu tidaklah benar.”
“Kejadian apa? Bunda enggak bisa menyalahkanku atas apa—“
“Soal yang Golem-golem itu lo, Charles, itu topik kesenanganmu, kan?
Tetapi, Bunda tidak berniat membahas persoalan itu sekarang, selain
menyampaikan bahwa yang terjadi pada malam itu tidak dapat dibenarkan.
Bagaimanapun juga, sekarang ini kamu pria dewasa yang sudah mandiri, dan jika
kamu bersikeras untuk mengabaikan Kuasa Adiluhurmu dan memilih jalan menuju
kebinasaan maka itu urusanmu. Bukan urusan Bunda lagi untuk mencampuri. Yang
Bunda tidak toleransi adalah pengaruhmu yang berbahaya bagi adikmu. Kamu tahu benar bahwa
adikmu sudah punya masalah tetapi kamu terus saja mengisi kepalanya dengan
omong kosong romantik. Tetapi tidak apa-apa—“ seraya meninggikan suara untuk
menenggelamkan pernyataanku bahwa aku tidak bersalah atas segala macam pengaruh
pada aspek apa pun dalam hidup Bel—“tidak apa-apa, bagaimanapun juga Bunda
memutuskan untuk mengundangmu, karena Bunda ingin menunjukkan pada Pak O’Boyle
rasa terima kasih kita bukan hanya sebagai komunitas teater melainkan juga
sebagai keluarga. Karena ini memengaruhi
kita secara pribadi, Charles. Kamu tahu sendiri, mereka menjanjikan jumlah yang signifikan
untuk renovasi rumah ini. Yang lebih penting, agaknya mereka mau berkomitmen
untuk membersihkan semua tunggakan yang belum lunas dan memberi jaminan
finansial hingga waktu tertentu, yang berarti rumah ini tetap atas nama
keluarga kita hingga abad berikutnya. Tentu saja, apakah kita berhak
memperolehnya itu lain perkara. Meski begitu, Bunda ingin seluruh keluarga
hadir untuk memperingati kesempatan ini, termasuk para cecunguk yang agaknya
lebih suka menyelinap ke pinggiran itu. Selain itu,” berhati-hati ia
menambahkan, “terlepas dari apa yang Bunda katakan tadi, Bunda kira kamu
sebaiknya menemui adikmu sebelum dia pergi.”
Lenganku berguncang. “Sebelum dia apa?” Kugoyang-goyangkan telepon ketika
sambungan kembali berdesis. “Sebelum dia apa?”
“—tertarik pada itu,” suara
Bunda timbul kembali, “biar begitu, agaknya ini soal sopan santun sederhana dan
kedewasaan. Jangan apa-apa terus, Charles, bikin jengkel saja—“
“Maaf, maaf,” gumamku, “tetapi tadi Bunda bilang apa? Soal Bel pergi?”
“Ya, pergi,” sahut Bunda tidak sabar. “Terus terang, tidak adakah kabar
yang sampai ke kepompong kecilmu di luar sana? Bel akan pergi ke Yalta selama
enam bulan bersama gadis Kiddon itu. Pelatihan Chekhov begitulah. Kamu tahu kan
Bel dengan Chekhov itu bagaimana.”
Pikiranku serasa jatuh ke sarang tawon. Ada terlalu banyak pertanyaan
untuk disusun menjadi urutan yang berhubungan.
“Yalta, Charles, di Rusia. Sudah berminggu-minggu Bel mempersiapkannya.
Kamu lihat kan beginilah jadinya bila kamu memutus diri dari—“
“Tetapi kapan
dia—maksudku—kapan?”
“Bunda kan sudah bilang, Jumat, itu sebabnya kita akan mengadakan acara
makan malam pada Kamis malam. Perayaan rangkap begitulah.”
Darah menderu di telingaku. Aku terduduk dan bersandar pada pintu. “Si
Gadis Kiddon ini punya teman yang menghadiri malam pembukaan Titian,” kata Bunda. “Tidak lama setelah
pementasan ia mendekati Bel dan menawari dia tempat di ekskursi ini, tetapi
jangan tanya sebabnya ya ….”
“Enam bulan?” aku berbisik. “Di Rusia.”
“Bunda tahu, biayanya besar sekali. Bunda juga ragu-ragu, apalagi sekarang
ini untuk mengikat tali sepatu saja tingkahnya seperti di opera Jerman. Tetapi
mudah-mudahan beberapa bulan tinggal sendiri dapat memberi dia waktu untuk
memulihkan diri dan bahkan mungkin saja bergabung kembali dengan kita di sini
di Planet Bumi. Selain itu, si gadis Kiddon ini meyakinkan Bunda bahwa
orang-orangnya sungguh bereputasi, sungguh prestisius, malah—“
“Siapa?” sahutku.
“Orang-orang lembaganya, namanya Yayasan Knipper—“
“Bukan, bukan, si—Kiddon, siapa tuh gadis Kiddon yang Bunda sebut-sebut?”
“Kamu kenal dia, Charles, Kiddon—siapa itu namanya? Jessica. Ia satu
sekolah dengan Bel. Ayahnya orang penting di Deloitte and Touche[3].”
“Yah, aku enggak pernah mendengar tentang dia tuh,” kataku. “Dan kalau
Bunda mau tahu pendapatku ini kedengarannya sama sekali enggak masuk akal,
membiarkan Bel berkeliaran di Rusia dengan orang asing—“
“Ia bukan orang asing, Charles. Bunda sudah berbicara sendiri pada dia.
Tampaknya ia gadis yang sangat bijaksana dan waras otaknya yang kuharap dapat
memberi pengaruh baik pada adikmu,”
sembari memberi cukup tekanan pada kata itu untuk memperjelas maksudnya. “Tolong
jangan mempersulit ini. Menurut Bunda ini yang terbaik.” Bunda berjeda. “Akhir-akhir
ini Bel tidak begitu gembira,” sambungnya.
“Tetapi kok ia tidak memberitahuku?” Kini suaraku bergetar. “Maksudku,
setidaknya ia mengucapkan perpisahan, begitu?”
“Entahlah, Charles,” ujar Bunda letih. “Kenapa sih kamu mesti mencecar
Bunda dengan pertanyaan begini? Kalau saja kamu langsung me-RSVP seperti yang
lain-lain, masalahnya tidak akan bertambah pelik. Nah jadi kamu datang ke acara
makan malamnya atau tidak?”
“Yah, iya, tentu saja, tetapi—“
“Bagus. Ingat ya, pukul delapan tepat.” Suara Bunda bergema serupa logam saat sambungan mulai
berakhir. Pakaian resmi, Charles. Dan
bawalah pendamping. Candida Olé bilang Patsy sudah kembali dari perjalanan, mungkin
ada baiknya jika kamu—“ Terdengar letusan dari jauh
dan sambungan pun sunyi sama sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar