Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Andrew Driver (6) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (273) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yasutaka Tsutsui (6) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

The Moneyless Manifesto: Waktu bukanlah uang (Mark Boyle, 2012)

Manusia … mengorbankan kesehatannya demi uang. Kemudian ia mengorbankan uang demi memulihkan kesehatannya. Kemudian ia gelisah akan masa de...

20200105

An Evening of Long Goodbyes, Bab 14 (1/7) (Paul Murray, 2003)

ADA ORANG BOSNIA DI LOTENGKU!
Tragedi Tiga Babak

oleh Charles Hythloday


LATAR: Sebuah rumah kastel yang mau ambruk di bantaran Kali Marne.
PARA PELAKU
COUNT FREDERICK Count[1], tuan muda pemilik rumah. Berjuang melawan masa lalu dan dunia kanibal industri anggur Perancis untuk memulihkan kejayaan kebun anggur Ayahnya.

BABS Adik perempuan Count Frederick, calon aktris yang cantik namun pencemooh.

LOPAKHIN Impresario teater/manajer bank pengikut Machiavelli, yang tinggal di rumah kastel tersebut tetapi diam-diam berencana untuk menghancurkannya serta membangun jalan kereta melintasinya dan mencuri Babs dari Frederick.

[Catatan. Kenapa juga Frederick membiarkan Lopakhin tinggal di rumahnya?]

MAM’SELLE Babu Perancis yang kebeloonannya menghibur

HORST DAN WERNER Orang Bosnia

INSPEKTUR DICK ROBINSON, SCOTLAND YARD
BABAK SATU ADEGAN SATU
(Ruang duduk. COUNT FREDERICK sedang bermenung menatap ke luar jendela ketika BABS tiba-tiba masuk dengan meradang, diikuti LOPAKHIN yang berencana busuk.)

BABS (meradang): Frederick! Oh Frederick! Betapa menjijikkannya para petani pemberontak itu!

FREDERICK: Aku tahu! Pernahkah mereka mandi?

(jeda tawa)

BABS: Bisa-bisanya kau guyon pada saat seperti ini? Panennya minggu depan! Bagaimana kita mau panen kalau tidak ada petani?

FREDERICK (merengut): Aku tahu. Tepat ketika kebun anggur kita akhirnya tampak mulai pulih. (Berpaling sembari termenung.) Aku tidak mengerti. Mereka biasanya orang-orang yang periang. Ini seolah-olah ada yang menggerakkan mereka dengan mengedarkan data palsu mengenai Kebijakan Agraria UE yang baru. Tetapi siapakah yang berbuat demikian?

LOPAKHIN: Mengapa kau tidak menyerah saja, Frederick? Itulah yang tidak kumengerti tentang dirimu. Kau pria yang cerdas. Mengapa kau terus berusaha menghidupkan kembali rongsokan tua ini? Saat kau bisa memiliki stasiun kereta api tepat di tempat kita berpijak ini, atau gedung bioskop multipleks.

FREDERICK (dingin): Ada hal lainnya yang kau tidak mengerti, Lopakhin, dan namanya adalah tradisi. Ayahku menggarap kebun anggur ini, begitu pula ayahnya, dan ayah ayahnya. Ini bukan soal uang. Ini soal menghasilkan sebotol Burgundy yang layak. Ini soal memberikan pekerjaan pada bergenerasi-generasi petani setempat, walaupun terus terang mereka tidak pantas mendapatkannya. Kami tidak akan pernah menjual rumah ini! Mereka harus merebutnya dari tangan kami sendiri!

BABS (sedih): Aku jadi ingat. Pagi ini manajer bank menelepon lagi. Ia mendesak ingin berbicara padamu. Selain itu Frederick, barang-barang di rumah ini terus pada menghilang! Dan suara-suara itu—suara-suara liar itu! (ia menangis)

FREDERICK (merangkul Babs penuh perlindungan): Jangan khawatir, Babs. Tidak ada yang dapat menyakitimu. (Dengan sikap menantang.) Begitu pula makhluk liar dan selainnya, tidak akan ada yang dapat mengusir kita dari rumah ini, tidak sekalipun detektif Scotland Yard turun campur!

LOPAKHIN: Scotland Yard? (terburu-buru keluar)

FREDERICK: Ada suatu hal pada orang itu yang tidak dapat kupercaya. Kadang aku bertanya-tanya apakah ia benar-benar mahasiswa backpacker dari Belgia yang sedang melancong mengelilingi Eropa seperti yang ia nyatakan. Maksudku ransel backpack saja ia tidak punya. Dan sudah berbulan-bulan ia di sini. Kalau begini caranya bisa-bisa baru puluhan tahun lagi Eropa habis dikelilinginya.

BABS (tertawa): Oh, Frederick, jangan konyol ah! Ia menyenangkan, betul-betul menyenangkan! Ia sangat cerdas, dan ia tahu banyak soal teater. (kemalu-maluan) Ia ingin mementaskan Hamlet di desa ini. Menurutnya aku pantas memerankan Ophelia.

FREDERICK: Babs, sayang, kau tahu kan dokter melarangmu berpentas. Kesehatanmu terlalu rapuh untuk hal begituan. Lagi pula, kurasa ia memperdayamu. Siapa juga yang akan menonton teater di desa ini? Para petani celaka itu?

BABS (tersinggung): Mengapa kau selalu saja merongrongku?

FREDERICK (menggenggam tangan Babs): Oh, Babs manisku, aku berusaha melindungmu. Kau ini kan naif. Lagi pula, aku butuh kau menemaniku di sini. Aku tidak mungkin bisa mengurus rumah ini sendirian.

BABS: Kadang aku membenci rumah ini.

FREDERICK (bersahaja): Itulah takdir kita. (Ia beranjak lalu berdiri sembari bermenung di bawah lukisan besar bergambar ayah mereka di atas perapian.) Hamlet, ya? ‘Maju atau tersingkir.' Itulah persoalannya, bila kau mau memikirkan.

(Terdengar suara gemuruh dari atas. BABS lekas-lekas ke sisi FREDERICK)

BABS: Oh Frederick! Aku takut!

FREDERICK (sambil menghunus sebilah pedang anggar dari dinding): Jangan khawatir, Babs, aku di sini!

(Pintu mendadak membuka lalu INSPEKTUR DICK ROBINSON, SCOTLAND YARD masuk, dengan membawa HORST dan WERNER masing-masing di sebelah tangannya. LOPAKHIN mengikuti dengan enggan, sambil terlihat bersungut-sungut.)

INSPEKTUR DICK ROBINSON: Yah, sudah kami pecahkan misteri suara-suara itu beserta pengocok-telur yang hilang. Orang-orang Bosnia ini bersembunyi di loteng rumah Anda.

FREDERICK: Astaga!

INSPEKTUR: Ini bukan hal yang luar biasa, tuan. Karena terlalu malas dan tak berdisiplin untuk memperoleh rumah sendiri menurut peraturan, para parasit ini datang ke negara-negara beradab untuk mencari nafkah—atau dalam hal ini, rupa-rupanya, untuk mengusir para aristokrat yang tulus hati lagi baik budi dari rumah kastel mereka.

BABS (menutupi mata): Oh, mereka menyeramkan! Aku tidak tahan melihat mereka!

INSPEKTUR: Jangan khawatir, Nona. Ke mana pun para bajingan ini pergi, mereka tak akan dapat mengganggu orang lain terus-terusan.

HORST (menyeringai): Persetan kau, polisi.

INSPEKTUR: Eh, dasar kurang ajar—(hendak memukul Horst)

FREDERICK: Hentikan!

(Semua berpaling pada FREDERICK dengan terkejut)

FREDERICK: Boleh jadi mereka itu malas dan tidak berdisiplin. Tetapi masyarakat juga patut disalahkan. Orang-orang ini pantas mendapatkan kesempatan kedua. Aku ingin menawari mereka pekerjaan di kebun anggurku.

INSPEKTUR: Orang-orang ini berbahaya, Yang Mulia ….

FREDERICK: Mungkin demikian. Tetapi itulah yang dihendaki Ayah. Itulah artinya kebun anggur ini. (Kepada para orang Bosnia itu) Bagaimana menurut kalian, buyung? Ini pekerjaan berat lagi melelahkan dan tidak akan menjadikan kalian kaya. Kalian bersedia?

(Kedua ORANG BOSNIA melepaskan diri dari INSPEKTUR ROBINSON dan berlutut di kaki FREDERICK.)

ORANG BOSNIA: Kehormatan bagi kami.

FREDERICK (tertawa): Berdiri, berdirilah! Di sini kami tidak bersikap kaku. Wah! Tampaknya kita bisa panen!

LOPAKHIN (pada dirinya sendiri): Sial!

BABS: Oh, bagus sekali!

(Pintu mendadak terbuka. Muncul MAM’SELLE, babu Perancis yang lucu.)

MAM’SELLE (dengan dramatis): Yang Mulia, saya telah menyasak gedeknya.

INSPEKTUR (terkejut): Maaf?

BABS (tertawa): Jangan khawatir, Inspektur! Maksudnya ia telah memasak bebeknya.

FREDERICK: Oh Mam’selle—kau ini kikuk ya!

(Mereka semua tertawa dan keluar bersama-sama, kecuali LOPAKHIN, yang tetap di ruangan.)

LOPAKHIN: Baiklah, ‘Yang Mulia’, agaknya idealisme model lamamu yang menang. Tetapi sekarang aku tahu kelemahanmu—adikmu yang rapuh, Babs … dan aku tidak akan beristirahat hingga memiliki dia, hingga kebun anggurmu yang berharga bukan apa-apa melainkan reruntuhan ….

Aku mencurahkan diri pada pekerjaanku. Apa lagi yang bisa kulakukan? Mesti sudah ratusan kali aku menelepon rumah. Tidak sekali pun Bel mengangkat telepon. Jawabannya tergantung pada orang yang mengangkat teleponku, Bel baru saja keluar, atau sedang tidak enak badan, atau lagi mandi. Agaknya belakangan ini ia terus-terusan mandi. Di luar itu—entahkah ia telah mengesampingkan harga dirinya dan kembali bermain untuk Titian, mengulangi aksi pemberontakan kecilnya tiap malam di hadapan audiens, atau menyendiri bersama kesedihannya, dijauhi oleh yang lain—aku tidak tahu. “Tasnya ketinggalan di sini,” kataku. “Bilang padanya agar meneleponku kalau ia ingin tasnya diantarkan.” Mereka berjanji untuk menyampaikan pesan tersebut, dan itu saja yang bisa kuperbuat hingga esok harinya, saat proses itu kembali diulang.

Adapun Mirela, kapan pun ia yang mengangkat telepon aku langsung menutupnya, meskipun sebagian diriku menggebu-gebu ingin bicara padanya, memohon padanya, seperti pembunuh yang konon merasa terpaksa untuk kembali mendatangi tempat kejadian perkara. Aku sendiri tidak sanggup ke rumah itu karena takut tak sengaja bertemu dengan dia. Maka, seiring dengan terentangnya November menuju Natal, dan jalanan dipenuhi lampu kecil serta orang bertampang licik yang menjual cemara dan pinus di bak truk, aku mengubur nuraniku yang bersalah dalam pekerjaan dan berusaha untuk tidak memikirkan apa-apa.

Untunglah ada banyak pekerjaan untuk menyibukkan diri. November-Desember merupakan masa tersibuk dalam setahun bagi kami yang bekerja di perusahaan kue Batang Pohon, dan Zona Pengolahan B ditekan habis-habisan. Semuanya tampak berjalan dengan kecepatan ganda. Jeda merokok ditiadakan bulan itu, dan sering kali kami bekerja lembur untuk memenuhi kuota. Aku, Edvin, Bobo, Pavel, Arvids, dan Dzintars membungkuk diam dengan tekun menaungi mesin kami, sementara truk-truk berderum menunggu di ruang muat, sedang Pak Appleseed mengawasi lantai demi lantai sembari memegang tongkat penunjuk di balik punggung. Sekarang ini aku sudah mengetahui sedikit bahasa Latvia dan menguasai polah tingkah mesin pembeku-gula untuk menjadi seorang Pelurus Roti teladan. Aku bisa memanfaatkan peran sederhanaku di reli larut Zona Pengolahan B untuk menyalip sif C dan mengklaim adanya Hambatan Produktivitas. Tidak hanya itu, aku juga menggunakan kedudukan pengaruhku serta kecakapanku dalam berbicara bahasa Inggris untuk mengangkat keluh kesah staf dan berusaha untuk memperbaiki keadaan pekerja. Selama jam makan siang, ketika Pak Appleseed mengarang soal betapa sebelumnya ia tidak percaya ada sekumpulan pembuang waktu yang lebih buruk daripada orang-orang Latvia hingga ia bertemu dengan para haram jadah dari Estonia yang baru datang, dengan halus aku menyetir pembicaraan ke soal ruang pancuran.

“Ruang pancurannya kenapa, Goblok?”

“Yah, di sini enggak ada ruang pancuran ….”

Pak Appleseed pun, kadang ada baiknya juga dia, mendengarkan, dan berjanji untuk mengangkat soal itu di rapat manajemen berikutnya. Sementara itu, di kalangan pekerja sendiri aku beragitasi, menyebarkan gagasan yang pernah kudengar dari omongan para tukang bangunan sewaktu di rumah. Tidak selalu mudah. Sering kali mereka cuma memandangiku seakan-akan aku baru mengusulkan supaya kami semua pindah ke bulan. “Kamu enggak butuh kerja?” begitu kata mereka. “Kamu ingin mereka memulangkan kami semua?”

“Ya enggaklah,” kataku. “Aku cuma bilang kita perlu mengorganisasi diri untuk memastikan, tahulah, supaya jangan sampai air susu dibalas air tuba. Supaya membagi sama adil, memotong sama panjang.”

“Susu apa?” sahut mereka. “Memotong apa?”

Namun aku gigih, dan pada saat-saat ketika tampaknya usahaku sia-sia aku mencamkan ini kulakukan demi Bel, kupanjatkan padanya bak semacam doa, seakan-akan entah bagaimana akan sampai dan merembet padanya dan tanpa mengetahui sebabnya ia akan berhenti menghinakanku dan sudi berbicara padaku lagi.

Saat malam aku mengerjakan sandiwaraku. Bisa dibilang ini sia-sia, mengingat adanya rezim baru di teater. Di samping itu, sejak orang-orang Bosnia itu ditemukan, penjahatku Lopakhin menjadi-jadi. Sekarang ini ia berputar-putar di sekitar Frederick sampai-sampai aku mulai mempertanyakan apakah si orang yang disebut belakangan itu benar-benar sanggup mewujudkan cita-citanya. Walau bagaimana aku tetap melanjutkan ini, seraya beranggapan bahwa jika saja aku dapat mengungkapkan yang ingin kuungkapkan, di atas selembar kertas kosong ini, perubahan menakjubkan akan tercipta dan alam semesta akan terpulihkan.

Kemudian pada suatu malam, kurasa sekitar dua-tiga minggu setelah pertemuan pahit itu, telepon berbunyi. Entah bagaimana aku tahu telepon itu untukku. Kulempar pulpenku lalu berlari ke ruang tamu. Tetapi rupanya itu cuma telepon dari Bunda, yang hendak berpidato padaku karena tidak me-RSVP[2] undangan makan malam yang dikirimkannya padaku. Malam itu ada badai di luar dan sambungannya jelek, dicampuri salak dan desis sehingga aku kesulitan menangkap perkataan Bunda.

“Makan malam yang mana?” kataku.

Malam malam yang itu lo, Charles, aduh gusti, makan malam bareng Telsinor, undangannya kan sudah dikirim dari seminggu lalu.”

“Enggak ada tuh,” sahutku, sambil melihat surat-surat yang ditaruh di wadah buah: tagihan, tagihan, ultimatum ….

“Menjengkelkan sekali sih, Bunda sudah menitipkan itu seminggu lalu setidaknya pada si—“ Deru angin menyungkupi bangunan apartemen sehingga sambungan terendam oleh suara-suara suitan dan letusan—“… cek sendiri suratnya memang langsung dikirim.”

“Apa?” sahutku, sembari mengorek telinga. “Bunda menelepon dari mana sih? Kok kedengarannya kayak lagi di tengah hujan badai.”

“Bunda pakai ponsel nih,” ujarnya. “Baru lo. Tadi Bunda bilang Bunda titipkan undangannya pada teman kalian, makanya Bunda enggak mengerti kok kamu belum dapat ….”

“Teman apa?”

“Oh, si orang itu. Si tukang pos. Macavity Kaki Misteri, atau apalah namanya.”

Kelelep aku rasanya seperti biasa. “Orang itu bukan temanku,” sahutku.

“Bikin dongkol saja,” ujar Bunda. “Bunda jadi harus periksa deh. Eh, pokoknya, waktunya Kamis malam pukul delapan tepat, pakai baju formal—maksud Bunda baju formal, Charles, ini acara resmi, jadi jangan pakai dasi pita lucu-lucuanmu itu, tolong ya—“

“Tetapi itu acara apa sih?” selaku. “Bunda belum kasih tahu itu—“

Telsinor,” suaranya terdengar berderak bak rekaman di gramofon kuno. “Bunda sudah bilang tiga atau empat kali, ini untuk meresmikan pengadaan kemitraan dengan Pusat. Enggak besar-besaran amat kok, tamunya cuma sekitar selusin. Biar begitu, Pak O’Boyle sudah berbaik hati mau hadir secara pribadi, jadi ini kesempatan kita untuk berterima kasih atas segala kemurahan hatinya.”

“Oh,” sahutku loyo. Aku tidak mengerti untuk apa aku diseret-seret juga, dan baru saja hendak kukatakan Bunda sudah mendahuluiku. “Bunda kasih tahu ya, Charles, Bunda waswas mengundang kamu. Waswas sekali, malah. Mungkin naif, tadinya sih Bunda berharap tugasmu sebagai Pamong Praja mengajarkanmu sedikit tentang tanggung jawab dan berbagi beban. Tetapi, mengingat kejadian sewaktu pertunjukan perdana, itu tidaklah benar.”

“Kejadian apa? Bunda enggak bisa menyalahkanku atas apa—“

“Soal yang Golem-golem itu lo, Charles, itu topik kesenanganmu, kan? Tetapi, Bunda tidak berniat membahas persoalan itu sekarang, selain menyampaikan bahwa yang terjadi pada malam itu tidak dapat dibenarkan. Bagaimanapun juga, sekarang ini kamu pria dewasa yang sudah mandiri, dan jika kamu bersikeras untuk mengabaikan Kuasa Adiluhurmu dan memilih jalan menuju kebinasaan maka itu urusanmu. Bukan urusan Bunda lagi untuk mencampuri. Yang Bunda tidak toleransi adalah pengaruhmu yang berbahaya bagi adikmu. Kamu tahu benar bahwa adikmu sudah punya masalah tetapi kamu terus saja mengisi kepalanya dengan omong kosong romantik. Tetapi tidak apa-apa—“ seraya meninggikan suara untuk menenggelamkan pernyataanku bahwa aku tidak bersalah atas segala macam pengaruh pada aspek apa pun dalam hidup Bel—“tidak apa-apa, bagaimanapun juga Bunda memutuskan untuk mengundangmu, karena Bunda ingin menunjukkan pada Pak O’Boyle rasa terima kasih kita bukan hanya sebagai komunitas teater melainkan juga sebagai keluarga. Karena ini memengaruhi kita secara pribadi, Charles. Kamu tahu sendiri, mereka menjanjikan jumlah yang signifikan untuk renovasi rumah ini. Yang lebih penting, agaknya mereka mau berkomitmen untuk membersihkan semua tunggakan yang belum lunas dan memberi jaminan finansial hingga waktu tertentu, yang berarti rumah ini tetap atas nama keluarga kita hingga abad berikutnya. Tentu saja, apakah kita berhak memperolehnya itu lain perkara. Meski begitu, Bunda ingin seluruh keluarga hadir untuk memperingati kesempatan ini, termasuk para cecunguk yang agaknya lebih suka menyelinap ke pinggiran itu. Selain itu,” berhati-hati ia menambahkan, “terlepas dari apa yang Bunda katakan tadi, Bunda kira kamu sebaiknya menemui adikmu sebelum dia pergi.”

Lenganku berguncang. “Sebelum dia apa?” Kugoyang-goyangkan telepon ketika sambungan kembali berdesis. “Sebelum dia apa?”

“—tertarik pada itu,” suara Bunda timbul kembali, “biar begitu, agaknya ini soal sopan santun sederhana dan kedewasaan. Jangan apa-apa terus, Charles, bikin jengkel saja—“

“Maaf, maaf,” gumamku, “tetapi tadi Bunda bilang apa? Soal Bel pergi?”

“Ya, pergi,” sahut Bunda tidak sabar. “Terus terang, tidak adakah kabar yang sampai ke kepompong kecilmu di luar sana? Bel akan pergi ke Yalta selama enam bulan bersama gadis Kiddon itu. Pelatihan Chekhov begitulah. Kamu tahu kan Bel dengan Chekhov itu bagaimana.”

Pikiranku serasa jatuh ke sarang tawon. Ada terlalu banyak pertanyaan untuk disusun menjadi urutan yang berhubungan.

“Yalta, Charles, di Rusia. Sudah berminggu-minggu Bel mempersiapkannya. Kamu lihat kan beginilah jadinya bila kamu memutus diri dari—“

“Tetapi kapan dia—maksudku—kapan?”

“Bunda kan sudah bilang, Jumat, itu sebabnya kita akan mengadakan acara makan malam pada Kamis malam. Perayaan rangkap begitulah.”

Darah menderu di telingaku. Aku terduduk dan bersandar pada pintu. “Si Gadis Kiddon ini punya teman yang menghadiri malam pembukaan Titian,” kata Bunda. “Tidak lama setelah pementasan ia mendekati Bel dan menawari dia tempat di ekskursi ini, tetapi jangan tanya sebabnya ya ….”

Enam bulan?” aku berbisik. “Di Rusia.”

“Bunda tahu, biayanya besar sekali. Bunda juga ragu-ragu, apalagi sekarang ini untuk mengikat tali sepatu saja tingkahnya seperti di opera Jerman. Tetapi mudah-mudahan beberapa bulan tinggal sendiri dapat memberi dia waktu untuk memulihkan diri dan bahkan mungkin saja bergabung kembali dengan kita di sini di Planet Bumi. Selain itu, si gadis Kiddon ini meyakinkan Bunda bahwa orang-orangnya sungguh bereputasi, sungguh prestisius, malah—“

“Siapa?” sahutku.

“Orang-orang lembaganya, namanya Yayasan Knipper—“

“Bukan, bukan, si—Kiddon, siapa tuh gadis Kiddon yang Bunda sebut-sebut?”

“Kamu kenal dia, Charles, Kiddon—siapa itu namanya? Jessica. Ia satu sekolah dengan Bel. Ayahnya orang penting di Deloitte and Touche[3].”

“Yah, aku enggak pernah mendengar tentang dia tuh,” kataku. “Dan kalau Bunda mau tahu pendapatku ini kedengarannya sama sekali enggak masuk akal, membiarkan Bel berkeliaran di Rusia dengan orang asing—“

“Ia bukan orang asing, Charles. Bunda sudah berbicara sendiri pada dia. Tampaknya ia gadis yang sangat bijaksana dan waras otaknya yang kuharap dapat memberi pengaruh baik pada adikmu,” sembari memberi cukup tekanan pada kata itu untuk memperjelas maksudnya. “Tolong jangan mempersulit ini. Menurut Bunda ini yang terbaik.” Bunda berjeda. “Akhir-akhir ini Bel tidak begitu gembira,” sambungnya.

“Tetapi kok ia tidak memberitahuku?” Kini suaraku bergetar. “Maksudku, setidaknya ia mengucapkan perpisahan, begitu?”

“Entahlah, Charles,” ujar Bunda letih. “Kenapa sih kamu mesti mencecar Bunda dengan pertanyaan begini? Kalau saja kamu langsung me-RSVP seperti yang lain-lain, masalahnya tidak akan bertambah pelik. Nah jadi kamu datang ke acara makan malamnya atau tidak?”

“Yah, iya, tentu saja, tetapi—“

Bagus. Ingat ya, pukul delapan tepat. Suara Bunda bergema serupa logam saat sambungan mulai berakhir. Pakaian resmi, Charles. Dan bawalah pendamping. Candida Olé bilang Patsy sudah kembali dari perjalanan, mungkin ada baiknya jika kamu— Terdengar letusan dari jauh dan sambungan pun sunyi sama sekali.



[1] Sebutan bagi bangsawan di beberapa negara Eropa
[2] Singkatan dari “répondez s’il vous plait” (bahasa Perancis) yang bermakna “harap dijawab”
[3] Salah satu kantor jasa akuntansi terbesar di dunia

Tidak ada komentar: