Mungkin sepintas aku terlihat berlebihan. Tetapi aku mengenal Bel—akulah satu-satunya orang yang mengenal dia. Akulah
satu-satunya yang dapat memahami maksud dari isyarat ini. Yalta, masyaallah!
Siapa juga orang yang mau ke Yalta? Tidak, aku bisa membaca yang tersirat. Ini
awal yang baru bagi Bel, dan ia akan melakukannya sendirian. Sekalipun jika ia
benar-benar kembali enam bulan lagi—enam bulan!—ia
tidak akan kembali pada kami.
Sisa malam itu agak kabur. Aku ingat secara samar-samar pergi ke SPBU
untuk membeli empat atau lima botol German Riesling yang menjijikkan, usai
menandaskan Bulgarian Cabernet. Aku dapat membayangkan diriku duduk bersila di
lantai ruang tamu pada dini hari, sambil meminum anggur kardusan dengan rasa
tak terkatakan yang kutemukan di bawah bak dapur, yang mungkin diperuntukkan
jika ada bencana kelaparan, kekeringan, atau semacam keadaan darurat, sembari
menangis tak keruan saat meninjau isi koper Bel. Kubentangkan pakaiannya di
karpet. Kutumpahkan isi tas kosmetik kecilnya ke meja—lipstik, penguap Chanel
atau apalah, gumpalan tisu, nomor telepon Telsinor yang semua orang dapat,
recehan, manik-manik gelang yang putus, dan di paling dasar ada lempengan perak
yang akhir-akhir ini sering ia kenakan, mengedip padaku dengan segala
kesahajaannya yang kekanak-kanakkan, tak terperikan, seakan-akan memiliki
jawaban atas segala hal ….
Tetapi mungkin saja aku cuma mengkhayalkannya. Berikutnya yang kuingat
sudah pukul sebelas lewat tiga puluh delapan menit pada Rabu pagi dan aku
tengah berdiri dengan tangan gemetar di samping ban berjalan, yang baru saja
terhenti.
Semua orang memandangku, mengira aku telah menghambat mesin pemberi gula
lagi. Bagiku sendiri, ini terasa seperti penjelasan yang paling masuk akal.
Namun aku tidak menghambat mesin pemberi gula. Mesinnya memang berhenti. Kami
mencari-cari Pak Appleseed dengan gelisah, namun ia tidak terlihat di mana pun.
Kami melepas sarung tangan, mengangkat bahu, dan berdesas-desus. Pengeras suara
memekikkan dentuman ke ruangan, memanggil kami ke Zona Pemotongan Roti untuk
rapat.
Akibatnya keributan semakin besar. Rapat? Kami tidak pernah ada rapat
sebelumnya. Aku bahkan tidak tahu bahwa ada pengeras suara. Rasanya cukup
menggairahkan—rapat, seperti pegawai betulan saja! Dada dibusungkan dan suara
meluap-luap gembira ketika kami mengantre melewati pintu berdaun ganda itu.
“Mungkin mereka akan memberi kita kenaikan upah,” kata Bobo.
“Mungkin mereka mengadakan mesin penjual otomatis yang baru,” ujar Arvids
si rambut jahe, “yang isinya nyamikan layak makan, dan bukan hanya roti sisir.”
Begitu kami sampai, Zona Pemotongan Roti sudah ramai oleh sosok-sosok
berpakaian kerja—termasuk sif C, yang mengejutkanku, karena semestinya baru
mulai bekerja enam jam lagi. Dave dan Dave, dua remaja pecandu narkoba yang
mengurus bagian ini, tengah berdiri di samping sebuah tiang, sambil memandang
dengan kebingungan yang lebih daripada biasanya. Ada para pengaduk roti yang
berkeringat dengan tangan bersaput adonan, orang-orang dari divisi kismis dan
biji kaskas, gadis-gadis berambut panjang-tipis dari ruang cuci, bahkan
pria-pria dari Zona T, divisi roti gandum hitam, yang menyelubungi pekerjaan
mereka dengan kerahasiaan perkumpulan kebatinan yang terus terang kami rasa
agak aneh.
Ruangan berdengung. Gosip dan rumor memanjati dinding lalu memantul dari
atap yang bergelombang. Di atas ruangan kotak-kotak plastik ditata menjadi
semacam mimbar. Mesin pengiris roti tegak dengan khidmatnya pada kedua sisi
mimbar itu. Pisau-pisau pada mesin bergeming tinggi-tinggi, sehingga tampak
bagaikan pembantu pendeta dalam suatu upacara mistis. Tepat ketika ocehan
mencapai puncaknya, terdengar dentum yang terseret-seret. Seketika keheningan
pun luruh. Pak Appleseed muncul di mimbar. Dalam sikap tubuhnya sehari-hari
yang menyerupai setan, ia menatap kami sambil mengetuk mikrofon. Di sampingnya
terdapat sebuah alat dari logam seukuran lemari arsip yang agak kecil, dengan
tambahan berbentuk cakar yang menjulur ramping dari atasnya. “Mesin penjual
otomatis,” kudengar gumaman Arvids di sampingku, namun suaranya sumbang dan
memudar dalam kesunyian mendadak.
“Bapak-bapak,” Pak Appleseed menggaok, “dan ibu-ibu. Terima kasih atas
kehadiran kalian. Hari ini merupakan hari baik dalam sejarah Mr Dough.
Perusahaan ini hendak melompat jauh ke depan, dan suatu keistimewaan bagi kita
berada di sini untuk menyaksikannya.” Di mana-mana terdengar suara pelan
menerjemahkan bagi mereka yang bahasa Inggrisnya kurang baik.
“Kalian semua telah bekerja keras hari ini,” sambung Pak Appleseed, “demikian
pula setiap harinya. Kalian mungkin tidak menyangka saya mengetahui, atau
menghargai, tetapi saya mengetahui dan menghargai itu. Dan saya tahu saya
bicara bukan hanya atas diri sendiri melainkan seluruh dewan Grup Northwestern
BioHoldings plc beserta para pemegang sahamnya saat memuji dedikasin dan
semangat kalian. Mr Dough bukanlah lingkungan kerja yang serbagampang. Debu,
panas yang hebat—keadaan di sini jauh dari ideal, sebagaimana yang disampaikan
pada saya secara terang-terangan.”
Seketika orang-orang menoleh dan menyengir padaku, atau menonjok akrab
bahuku, yang tidak kunikmati dalam keadaan rapuhku ini.
“Ini bukanlah pekerjaan bagi yang sensitif atau berkemauan lemah. Orang
mungkin bilang bahwa di dunia sempurna tidak ada yang harus melakukan pekerjaan
seberat kalian. Tidak disangsikan lagi, ini pekerjaan bagi pria, atau, dalam
keadaan tertentu, juga bagi wanita.” Ia meredakan ledakan aplaus dengan
mengangkat sebelah tangan. “Namun hari ini, berkat ilmu pengetahuan, dengan
bangga saya memberi tahu kalian bahwa kita selangkah lebih dekat pada dunia
sempurna.” Dengan diiringi serentetan tepuk tangan lagi, kali ini terpencar dan
agak teredam, Pak Appleseed melangkah ke belakang perkakas logam itu dan
menekan sebuah tombol. Cahaya berkedip-kedip dan lengan mesin itu mulai
berputar ke atas. “Perkenalkan BZD2348,” kata Pak Applessed. “Model yang satu
ini telah diperlengkapi untuk mengerjakan segala tugas yang saat ini dikerjakan
Divisi Kue Batang Pohon. Perhatikan.” Ia menempatkan sebungkal roti yang belum
diberi lapisan gula pada sebuah baki yang menyembul dari salah satu ujung
mesin. Terdengar bunyi menggilas saat mesin menelan bungkal roti itu, lalu
serangkaian gerincing, dan kemudian, hanya beberapa detik setelahnya mesin itu
meludahkan bungkal roti tersebut—bukan hanya bagian atasnya sudah berlapis gula
tetapi juga seluruh kue itu terkemas rapi dalam kotak pesta Kue Batang Pohon.
Mesin itu merendahkan lengannya. Derumnya terdengar seperti yang menjilat. “Mengagumkan,”
Pak Appleseed terkekeh-kekeh. “Intinya, ini berarti berkat teknologi terbaik
dari Jerman, sebuah alat dapat mengerjakan semua pekerjaan yang, dalam hal ini
biasa dikerjakan lima orang Latvia dan seorang Goblok—tetapi empat kali lebih
cepat dengan sedikit biaya.”
Terdengar beberapa tepukan tangan bergema di ruangan yang tinggi itu.
Tahu-tahu seperti ada jurang pemisah di antara kami berenam dan kerumunan
selebihnya. Orang memandang kami dengan aneh, campuran antara simpati, takut,
dan kelegaan cukup kentara.
“Model lainnya dapat dipasang untuk baguette,
roti soda, pastel, dan apa saja,” seru Pak Appleseed, kembali menarik perhatian
para hadirin. “Akhir bulan ini, kami berharap Mr Dough sudah beralih menjadi
pabrik yang sepenuhnya diotomatisasi.” Terdengar desakan tajam ketika tiga
ratus orang menghela napas. “Pemasangannya dimulai hari ini.” Pak Appleseed
melanjutkan. “Mulai sore ini, Mr Dough akan ditutup, dan akan terus ditutup
hingga peralihannya komplet. Tinggal saya mengucapkan terima kasih sekali lagi
atas pengabdian berdedikasi kalian selama beberapa bulan, ada juga yang
bertahun-tahun, serta mengharapkan masa depan terbaik bagi kalian.” Ia menatap
kami yang berada lebih rendah dari padanya, seakan-akan terkejut karena kami masih
ada di situ. “Itu saja.”
Tak seorang pun berkata-kata. Tak seorang pun bergerak.
“Apa!” jeritku.
“Eh, Goblok, kamu ada pertanyaan?”
“Maksudmu kami dipecat? Kami semua?”
“Aku senang kamu menanyakan itu, Goblok. Penting bagi kita untuk
benar-benar jelas soal ini. Jawabannya adalah tidak, tidak benar istilahnya
kami memecat kalian. Pemberi kerja kalian tetap agensi rekrutmen yang
menyewakan kalian pada kami. Jadi cara yang lebih konstruktif dalam melihatnya
adalah agensi tersebut telah mengakhiri kontraknya dengan Mr Dough. Dan kalian
semua bisa berbangga atas pekerjaan yang telah dilakukan dengan baik. Perlu
kutambahkan bahwa siapa pun dengan kualifikasi yang sesuai dalam bidang
teknologi informasi sangat disambut untuk menyerahkan CV-nya sehingga dapat dipertimbangkan
untuk mengisi posisi di Divisi Pemrograman Robot kami yang baru. Ada pertanyaan
lagi? Tidak ada? Bagus.” Ia menuruni mimbar lalu pergi lewat pintu di belakang,
diikuti si mesin yang menggelinding.
Begitu Pak Appleseed pergi, ruangan itu kembali berisik. Tetapi walaupun
ada duka, walaupun ada wajah-wajah sedih meratap dan bahkan air mata, tampaknya
tak seorang pun yang benar-benar terkejut.
Tidak ada yang mengambil peti lalu mulai merusak mesin pengiris roti. Tidak ada
yang merenggut mikrofon lalu menyatakan bahwa ia tidak akan pergi hingga darah
Pak Appleseed tertumpah dan siapakah gerangan kroni orang itu? Alih-alih semua
orang agaknya terima kalah saja. Sudah beberapa orang yang menyeret kaki keluar
lewat pintu tempat kami masuk tadi. Aku terkejut. Inikah orang-orang yang
bekerja berdampingan denganku pada sif sepuluh jam dalam tungku pembakaran Zona
Pengolahan B? Inikah semangat pantang menyerah yang telah memenangkan kami dari
Hambatan Produktivitas?
“Kita tidak akan membiarkan mereka lolos begitu saja?” kuseru para
kameradku. “Maksudku, kita tidak akan menggeletak pasrah begitu saja seperti
anjing, kan?”
“Apa lagi yang bisa kita lakukan?” sahut Pavel, seraya bergerak ke arah
pintu keluar.
“Enggak tahu juga sih,” kataku. “Bisa enggak kita adakan aksi mogok kerja,
atau apalah?”
“Kita kan memang sudah diberhentikan, Goblok,” terang Edvin. “Tidak ada
gunanya mogok kerja bila kita sudah diberhentikan.”
“Lagi pula, perbuatanmu itu sudah cukup,” sambil cemberut Dzintars yang
bersuara parau memecah.
“Aku? Memangnya apa yang kuperbuat?”
“Rewel melulu. Bukannya fokus kerja. Tukang Mengeluh.”
“Aku ‘kan cuma ingin memperbaiki keadaan,” protesku. “Jangan menyalahkanku
dong.”
“Kamu tahu apa tentang
keadaan kami?” Dzintars menggeram.
“Sudah, sudah,” Bobo menyela. “Tidak ada gunanya meributkan ini sekarang.”
“Mungkin kita bisa menghubungi, apa itu namanya, Serikat Robot?” Edvin
terkikih-kikih.
“Hei, sarkasme juga enggak bakal membantu,” aku bersungut. Namun
retorikaku yang berapi-api sudah terbukti sia-sia. Merembes kabar bahwa cek
upah tengah diberikan di gerbang pabrik, dan tidak seorang pun ingin mengambil
risiko. Walaupun, setepatnya, alih-alih menggeletak pasrah seperti anjing, orang-orang
malah mengisi kantong mereka dengan roti marsepen, pastri Denmark, dan apa pun
yang ditemukan selagi kembali ke ruang loker. Mendadak pabrik penuh oleh orang
berseragam biru yang belum pernah kami jumpai. Begitu kawanan buruh
meninggalkan area, orang-orang itu bergerak ke belakang kami untuk menutup
tempat tersebut dengan barier dari plastik. Kini kami bungkam. Setiap orang
surut dalam pikiran masing-masing.
Di gerbang terjadi antrean panjang yang bergerak lamban. Salah seorang
pria berseragam biru menyerahkan cek. Begitu cek diterima, beberapa orang tidak
langsung pergi. Sejenak mereka berdiri di sebelah luar, berbicara dan
menggeleng. Kemudian mereka berkumpul di jalan, berduaan atau bertigaan. Di
pojok area pemuatan di dekat belakang gedung, semakin banyak orang berseragam
mengeluarkan peti yang kira-kira seukuran robot dari truk gandeng.
Bobo, Arvids, dan lain-lain dari Divisi Kue Batang Pohon termasuk yang
terakhir pergi.
“Nama?” Si pria berseragam memiliki pangkal janggut yang tebal. Sebuah
baton menggantung di sisinya. Aku penasaran apakah ia dan rekan-rekannya juga
diupah oleh agensi, khususnya untuk kesempatan ini.
Kusampaikan namaku. Ia menemukan namaku pada papan jalan dan menorehkan
garis. Lalu ia memberiku selembar amplop. Begitu aku keluar untuk bergabung
dengan yang lain, baru terpikir olehku bahwa Sirius Recruitment mestilah sudah
mengetahui tentang PHK ini agar dapat memberikan cek upah bulanan beberapa hari
lebih awal. Aku memerhatikan angka di bagian bawah cek dan menghitung di dalam kepala.
Kalau hitunganku benar, mereka membayar kami hingga pukul sebelas lewat tiga
puluh delapan menit pagi itu, tidak lebih semenit pun.
“Aku tidak percaya ini,” ucap Bobo, seraya menatap hampa pada secarik
kertas di tangannya.
“Aku mengerti, segala kekikiran ini …. Kamu tahu, aku yakin kalau kamu
mengundang mereka makan malam, mereka itu tipe orang yang bukan saja tidak
membawakan anggur tetapi juga sengaja melaparkan
diri sendiri dari berhari-hari sebelumnya—eh—“ sementara kertas itu menggelepar
terbebas dari tangannya. “Apa ini?”
Bobo ambruk ke pembatas jalan sembari menangkupkan kepala ke tangan. Aku
menguber cek miliknya dan menangkap benda itu yang dengan riangnya
terhuyung-huyung ke selokan. Sembari menyeka kotoran pada kertas itu, aku
membaca di atas terdapat BOBODAN “BOBO” BOBEYOVICH, dan di sampingnya terdapat angka yang sama
dengan yang ada padaku, mencakup upah, lembur, rapel, serta uang cuti. Tetapi
di bawahnya tercetak POTONGAN: biaya agensi 1200.001E, dan di bawahnya, POTONGAN: akom. 108 nts @ 8.58
p.n., kemudian POTONGAN: reg. & pros. visa, POTONGAN: pengurusan, POTONGAN: biaya pesawat &
asuransi, dan seterusnya, POTONGAN POTONGAN POTONGAN, hingga sampailah ke akhir halaman, di mana
dalam sebuah kotak biru kecil bertengger dengan apiknya NET:
000.00.
Aku bersiul pelan. Kemudian, karena mendengar suara, aku berbalik dan
melihat gerbang ditutup lalu gerendel dipasang. Dari balik gerbang dua orang
pria menatapku dengan lengan terlipat.
Arvids, Edvin, dan Dzintars, yang dari tadi berdiri dalam sikap setaraf
keputusasaan, kini beranjak pergi. Pavel menarik kaki Bobo dan mereka pun
bersusah payah menyusuri jalan. Aku berderap menyusul mereka sambil mengepal
cek yang tak bernilai itu. Langit tampak berat, kusam, lagi dingin. Beberapa truk
yang lewat menggemuruh dengan gumpalan asap knalpot yang memerihkan mata. Apa
gerangan yang terjadi pada hidupku ini? Beginikah jalannya dunia nyata? Apakah
ini tidak lebih daripada sekadar badai pasir yang ditembus dengan mata
tertutup, yang setiap momennya segera terhapus oleh momen berikutnya? Kami pun
tiba di persimpangan di mana orang-orang Latvia berbelok ke barak mereka
sementara aku jalan terus ke halte bis.
“Apa rencana kalian?” tanyaku. “Ke mana kalian akan pergi?”
“Menelepon agensi,” jawab Dzintars.
“Menelepon agensi? Setelah yang tadi
itu?”
Dzintars mengangkat bahu.
“Tanpa agensi, tidak ada visa,” terang Edvin.
“Tetapi ….” Aku bergeming dengan pipi kempot. Aku tidak bisa membiarkan
mereka pergi begitu saja. Sif B tidak
boleh dibiarkan lenyap begitu saja bak memedi senja, seakan-akan beberapa
minggu kemarin tidak pernah ada. Namun agaknya tidak ada lagi yang dapat
dikatakan, tidak ada selain—
“Dadah,” Bobo menepuk bahuku. “Sampai berjumpa lagi, kawan.”
“Dadah, Goblok,”
kata yang lain-lain, sembari mengangguk padaku. Kemudian, sembari mengeluarkan
Kue Batang Pohon dari saku masing-masing, mereka menuju bukit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar