Belum lama ini saya menjaga anak teman saya. Teman saya sibuk sementara
saya lowong, sehingga saya senang-senang saja mengasuh si kecil Elijah selama
beberapa jam. Kami pun pergi ke taman. Kami melukis. Ia menendang bokong saya
saat bermain tebakan nama hewan. Kami bersenang-senang. Bayangkan pengalaman
yang berbeda—bagi teman saya, Elijah, dan saya sendiri—seandainya teman saya
menitipkan anaknya pada pengasuh anak yang berbayar. Barangkali ia akan merasa
agak bersalah, karena meninggalkan anaknya untuk diurus orang asing, yang boleh
jadi menganggap Elijah sekadar anak kecil lainnya. Teman saya juga sudah pasti
akan merasa agak terasing, karena tidak ada bantuan dari lingkungan sosial yang
dapat diandalkan. Tentu saja akibatnya ia harus mengeluarkan uang (sehingga ia
harus bekerja lembur untuk membayarnya, yang berarti jasa pengasuh anak
profesional semakin diperlukan). Elijah tidak akan merasa sama nyamannya,
ketika menghabiskan waktu dengan orang yang tidak memiliki hubungan yang
sinambung dan tepercaya dengan dirinya, dan ia juga tidak akan bisa
menghabiskan waktu di luar, bermain di sekitar rumahnya. Saya pun tidak akan
menghabiskan pagi itu dengan memperingati bahwa anak usia tiga tahun dapat
banyak mengajari kita keindahan dunia. Lebih-lebih, dengan mengambil bagian
dalam semangat dan pemahaman terhadap kesalingbergantungan itu kami bertiga
dapat memperkuat hubungan antarsatu sama lain—hubungan yang menebalkan dan
memperkukuh semangat tersebut. Ketika nanti saya mengalami kesulitan, hubungan
tersebut akan terasa sehingga saya tahu bahwa saya memiliki teman yang dapat
menyokong saya.
Pengubahan hubungan demikian menjadi layanan berbayar—proses
yang melanggar semakin banyak aspek dalam kehidupan kita—menggiring pada kehancuran
masyarakat, sebagaimana kekayaan alam diterjemahkan menjadi “sumber daya” untuk
dieksploitasi menggiring pada kehancuran ekosistem. Membayar sesuatu hal,
menentukan nilainya, ialah dengan menguantifikasikannya. Jadinya hanya sekadar
angka. Kekhasan, hubungan, kesalingbergantungan, beserta segala hal lain pun
tersingkir. Bukan pohon berusia lima ratus tahun, penyedia pangan, naungan,
perlindungan, dan struktur tanah, melainkan hasil kayu berharga £10,000. Ia
bukanlah orang yang membutuhkan pelayanan, beserta harapan, impian, keinginan,
kesedihan, kesenangan, dan situasi tersendiri, ia “klien”, atau “pengguna
layanan”—yang membebani wajib pajak £30,000 setahun. Kita tidak melihat
berbagai hal sebagaimana adanya, kita melihatnya menurut nilai keuangannya.
Label harga membutakan kita terhadap nilai yang sejati. Dengan memandang
pengasuhan anak semata dalam kaitannya dengan uang, kita kehilangan kesempatan
bagus untuk belajar, membantu, dan memelihara satu sama lain. Dengan memandang
hutan semata dalam kaitannya dengan uang, pada akhirnya kita akan kehilangan
kemampuan untuk hidup di planet ini—juga menghalangi sekian orang lainnya dari
berbuat demikian.
Charles Eisenstein, dalam The
Ascent of Humanity, meringkaskannya dengan baik: “Dalam kebudayaan sekarang
kita merasakan kesepian serta rasa lapar akan autentisitas yang boleh jadi
tidak ada bandingannya dalam sejarah. Kita berusaha ‘membangun masyarakat’,
tanpa menyadari bahwa niat saja tidak cukup sementara keterpisahan
diikutsertakan ke dalam infrastruktur fisik dan sosial yang itu juga di
masyarakat kita. Selama infrastruktur ini melengkapi kehidupan kita, kita tidak
akan pernah mengalami masyarakat.”[1] Dalam Sacred Economics ia menambahkan bahwa
“masyarakat bukanlah suatu aksesori bagi kebutuhan kita yang lain-lain, bukan
unsur terpisah bersama dengan makanan, perlindungan, musik, sentuhan,
rangsangan intelektual, dan bentuk nutrisi fisik serta spiritual lainnya menuju
kebahagiaan. Masyarakat berdiri karena kebutuhan-kebutuhan tersebut bertemu.
Tidak mungkin ada masyarakat di antara orang-orang yang tidak membutuhkan satu
sama lain.” Dengan uang, apalagi dalam ekonomi berbasis globalisasi, sudah
tentu kita tidak membutuhkan satu sama lain.
Implikasinya merentang lebih jauh, memecah belah apa yang
dulunya masyarakat menjadi pasar yang terpisah-pisah. Terkhusus dalam bidang
musik dan seni, perhubungan kita berubah tidak terhingga, sehingga dalam kurun
seratus tahun kebanyakan orang telah beralih dari partisipan dan pencipta
menjadi konsumen. Di Irlandia, kampung halaman saya, pada 1920-an orang
merubung api unggun satu sama lain tiap malam dan memainkan musik. Sebagian
besar orang dapat menyumbangkan sesuatu—entahkah menari mengiringi biola atau
mengentak-entakkan kaki—dan semua yang terlibat pada dasarnya mengetahui dan
merasakan nilai pertunjukan komunal yang kreatif.
Masa itu sebelum datangnya radio, kemudian televisi, yang
dengan segera disusul oleh perekam, cakram digital, berikut iPod, serta kemunculan
singkat suatu gawai yang disebut minicakram kalau ingatan saya benar. Tiap-tiap
perkembangan teknologi mutakhir—yang hanya dimungkinkan melalui pertumbuhan
ekonomi skala[2]
serta divisi tenaga kerja yang lebih baik yang nanti akan dibahas dalam bab ini—menghilangkan
sebongkah kreativitas dan kemasyarakatan, hingga tinggallah kita bersama lima
puluh orang di suatu ruangan yang asyik dengan lima puluh karya musik yang
berbeda-beda—tidak seorang pun yang menciptakan, dan tidak seorang pun yang
berbagi. Proses serupa telah meresapi hampir segala aspek kehidupan kita,
hingga sekarang kita sekadar konsumen kehidupan, dan bukannya partisipan.
Semua ini hasil dari monetisasi kehidupan. Segalanya jadi
memiliki nilai finansial yang intrinsik, supaya bisa dibeli dan dijual. Yang
sekarang disebut “pertumbuhan ekonomi” sekadar konversi sumber daya alam,
budaya, sosial, dan spiritual milik bersama menjadi uang. Tanah, seni, musik,
pendidikan, perjamuan, kesehatan—kita bahkan memperdebatkan nilai finansial
keibuan dan planet ini. Komodifikasi segala hal ini menghilangkan arti berikut
autentisitasnya sehingga menjadi sekadar layanan, untuk dibeli dari orang mana
pun yang tidak dikenal yang memiliki kualifikasi untuk menyediakannya.
Bagaimana mungkin ada masyarakat bila semua orang dapat digantikan sebagaimana
roda gigi yang dapat dipertukarkan pada Mesin, dan bagaimana mungkin tidak ada
perasaan terasing, bila semua orang yang berurusan dengan Anda tidak ada yang
dikenal?
Ini kondisi yang rawan untuk diambil. Uang telah menggantikan
masyarakat sebagai sumber utama perlindungan kita, dan seperti yang
diperlihatkan negara-negara yang telah menderita kejatuhan finansial, ini
bukanlah perlindungan yang nyata.
Berbalikan dengan ekonomi moneter dewasa ini, yang mana
dengannya sebagian besar hubungan kita bersifat kepentingan belaka, Lewis Hyde[3] dan
lain-lain berpendapat bahwa dengan ekonomi kasih (model ekonomi yang akan saya
uraikan di bab dua) ekonomi hanyalah sebagian kecil dari kehidupan sosial, yang
tujuan utamanya ialah untuk memperkuat hubungan dan menyambungkan setiap orang,
yang bertentangan dengan upaya mencatut dari satu sama lain. Ran Prieur
menyatakan bahwa pada banyak suku “hubungan bersifat kepentingan belaka itu
dilarang”,[4] yang dengan
sendirinya bersanding dengan ekonomi moneter yang kita kembangkan dewasa ini,
di mana kita diberi tahu supaya tidak mencampurkan bisnis dengan kesenangan
(yang sudah tentu merupakan salah sebuah kearifan paling absurd yang pernah
diciptakan). Betapa mengerikan cara hidup demikian, di mana kegiatan kita
sehari-hari tidak diluapi kesenangan dan dipagari orang-orang yang kita kasihi.
Hasilnya ialah dunia di mana segala kegiatan ekonomi kita tidak ada yang bersifat pribadi dan keseluruhan yang disebut
masyarakat ini didasarkan pada kedangkalan tanpa adanya kesalingbergantungan
yang nyata.
Dalam Debt: The First
5.000 Years, antropolog David Graber menyatakan pokok yang lebih penting
ketika mengemukakan bahwa dengan melunasi utang secepatnya (yang dimungkinkan
oleh penggunaan uang dalam wujudnya yang lebih eksak) kita merasa memiliki
kewajiban apa-apa lagi terhadap orang lainnya tersebut. Kita telah membereskan
utang dengan mereka, dan karenanya tanpa merasa bersalah dapat memutuskan
hubungan tersebut, menurut kerangka moral tempat kita berdiam. Ia menggunakan
contoh dari buku Margaret Atwood, Payback:
Debt and the Shadow Side of Wealth[5], memerinci
kasus luar biasa penulis alam bernama Ernest Thompson Seton. Pada ulang
tahunnya yang kedua puluh satu ia menerima tagihan dari ayahnya atas setiap
pengeluaran berpautan dengan masa kecil Ernest, “termasuk biaya yang diminta
dokter bersalinnya”. Sebagaimana yang disampaikan Graeber, bagi kebanyakan kita
laku tersebut “terasa kejam, tidak manusiawi”.
Namun pemuda Seton membayar tagihan si ayah, dan tidak pernah
berbicara padanya lagi. Graeber menambahkan bahwa “inilah tepatnya mengapa
pemberian tagihan [tersebut] terasa sangat keterlaluan. Melunasi tanggungan
berarti kedua pihak dapat meninggalkan satu sama lain. Dengan memberikan
tagihan, si ayah mengesankan bahwa ia benar-benar tidak ada keperluan apa-apa
lagi dengan anaknya[6].
Menurut saya dengan sekadar membayar tagihan tersebut, Seton junior
mengungkapkan sentimen yang sama persis. Uang memungkinkan riwayat dan hubungan
emosional selama dua puluh satu tahun tersapu oleh penyerahan uang kontan.
Bahkan bagi mereka yang hidup dalam budaya yang dikendalikan
uang, anak melunasi utang serupa itu pada ayahnya terasa absurd. Meski demikian
dalam budaya lainnya yang dikendalikan relasi, melunasi utang pada orang dalam
lingkungan yang lebih luas sama absurdnya, dan akibatnya justru memudarkan
hubungan serta pengertian bersama akan kesalingbergantungan. Dengan meminta
supaya utang dilunasi, lantas membayarnya, hubungan tersebut dapat dianggap
berakhir.
Ada beberapa pokok lainnya di sini. Ketika Anda memiliki
uang, bukan soal apakah sehari-hari Anda bertingkah tolol, apalagi jika
penghasilan Anda berasal dari luar lingkungan tempat tinggal Anda. Kasir
supermarket akan tetap menjual makanan pada Anda, karena kemungkinan mereka
tidak tahu nama Anda apalagi betapa baik (atau sebaliknya) diri Anda. Reputasi
Anda bukan lagi alat pembayaran Anda. Bukan berarti saya menyarankan reputasi
sebagai alat pembayaran itu gagasan ideal, namun seharusnya ada semacam
prestasi sosial bagi pertanggungjawaban setiap orang atas pembawaannya—sesuatu
yang rasanya jauh sekali dengan keadaan kita kini.
Untuk menggambarkan pokok yang terakhir ini dalam kehidupan
nyata, saya akan berbagi sebuah kisah dengan Anda mengenai video yang pernah
menyebar luas di Sina Weibo, persilangan antara Facebook dan Twiter buatan
Cina. Seorang gadis kecil berusia dua tahun bernama Yueyue ditabrak mobil. Si
sopir melindasnya dengan roda depan, berhenti sejenak, lantas lanjut menyetir,
melindasnya lagi dengan roda belakang, meremukkan tubuhnya. Selama lebih dari
tujuh menit berikutnya, lebih dari selusin orang berjalan di dekatnya,
melihatnya, dan terus berjalan. Banyak mobil dan motor yang melintas, banyak
yang menghindari tubuh kecilnya yang hancur—salah satunya bahkan melindasnya
lagi, semakin meremukkan tubuhnya. Setelah tujuh menit, akhirnya ada yang
menyeret anak itu dari jalan dan mencari pertolongan. Seminggu kemudian anak
itu mati. Ketika kemudian beberapa orang yang menyaksikan peristiwa tersebut
ditanyai mengenainya, mereka menyatakan bahwa mereka tidak berani menolong
(sambil merujuk kecelakaan serupa pada 2006) karena ada risiko dituntut oleh
orang yang hidupnya telah berusaha diselamatkan, yang dapat mengakibatkan
terdesaknya keluarga mereka sendiri menuju kemiskinan.
Ini merupakan konsekuensi logis dari masyarakat yang
berdasarkan uang dan kompetisi, dan dengan meninjau ke belakang konsekuensi
serupa tidak dapat dielakkan sedari permulaannya. Dalam masyarakat yang
berdasarkan ekonomi kasih, di mana tabiat dan tindakan Anda secara lekat
dikaitkan dengan mata pencaharian Anda, cerita sedih serupa itu bahkan tidak
terbayangkan.
[1] Eisenstein, Charles (2007). The Ascent of Humanity. Panenthea.p. 206.
[2] Keadaan turunnya biaya produksi per unit dari suatu
perusahaan yang terjadi bersamaan dengan meningkatnya jumlah produksi (output) disebabkan biaya-biaya tetap
dalam produksi (penerj.)
[3] Hyde, Lewis (1983). The
Gift: Imagination and the Erotic Life of Property. Vintage: New York.
[4] Prieur, Ran. http://ranprieur.com/archives/009.html
[5] Atwood, Margaret (2008). Payback:
Debt and the Shadow Side of Wealth. House of Anansi Press. Edisi kedua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar